Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95648 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Dalam memutus suatu perkara pidana pada sidang
pengadilan, yang terpenting adalah adanya alat bukti.
Diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Ini sesuai dengan pasal 183 Kitab Undangundang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Keyakinan hakim mengenai
alat bukti dapat diperoleh dengan bantuan barang bukti.
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus sulit dimana tidak
terdapat saksi, seperti dalam kasus perkosaan, maka barang
bukti bisa jadi merupakan satu-satunya sarana dalam
pengungkapan suatu kasus tindak pidana. Dengan demikian,
tindakan polisi untuk segera mendatangi Tempat Kejadian
Perkara (TKP) memang sangat diperlukan. Apa yang ditemukan
di TKP dapat menunjukkan adanya hubungan antara korban,
pelaku dan barang bukti. Untuk kepentingan peradilan,
sesuai pasal 133 ayat (1) KUHAP, maka kepolisian (dalam hal
ini penyidik) dapat meminta kepada seorang ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya untuk melakukan
pemeriksaan atas tubuh manusia yang mengalami luka,
keracunan ataupun yang sudah mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, sebagai barang
bukti. Hasil dari pemeriksaan atas tubuh manusia tersebut
disampaikan dalam bentuk keterangan ahli atau dalam bentuk
alat bukti surat Visum et Repertum. Selain tubuh manusia
sebagai barang bukti, sesuai dengan pasal 120 ayat (1)
KUHAP, jika terdapat keragu-raguan mengenai barang bukti
lainnya yang ditemukan di TKP, penyidik juga dapat meminta
seorang ahli yang memiliki keahlian khusus untuk melakukan
pemeriksaan terhadap barang bukti tersebut. Terutama barang
bukti yang berupa bagian-bagian tubuh manusia (seperti
sidik jari, darah, DNA, jaringan tubuh, air mani, rambut
dan tulang-tulang) yang ditemukan di TKP, jika nantinya
barang bukti tersebut diajukan dalam sidang pengadilan,
maka akan sulit untuk disangkal oleh pelaku kejahatan
karena berasal dari bagian tubuh mereka sendiri ataupun
korban. Barang bukti seperti ini yang seringkali menjadi
kunci keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus pidana."
[Universitas Indonesia, ], 2006
S22127
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Ratna Nurul Afiah
Jakarta: Sinar Grafika, 1989
345.05 RAT b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Zakaria
"Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara. Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures). Dalam beberapa kasus, penguasaan terhadap teknologi sering kali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Diantara ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat didalamnya suatu bentuk kejahatan terorisme baru, yaitu cyberterrorism. Penanganan Cyberterrorism berbeda dengan penanganan terorisme konvensional. Salah satu perbedaannya adalah penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik. Bagaimana pengaturan penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia? Dapatkah sebuah kode sumber website dijadikan alat bukti di persidangan Tindak Pidana Terorisme? Bagaimana dalam prakteknya penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana Terhadap Informasi Elektronik (Source Code Website) di dalam Peristiwa Tindak Pidana Terorisme pada Kasus Website Anshar.net? Penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik telah diakomodir oleh Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terkait hal tersebut diperlukan adanya Standar Operasional Prosedur dalam perolehan alat bukti berupa informasi elektronik tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S22463
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nisa Ayu Spica
"Barang bukti atau yang juga dikenal dengan istilah benda
sitaan mempunyai manfaat atau fungsi dan nilai dalam
upaya pembuktian. Kehadiran barang bukti sangat penting
bagi hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil
atas perkara yang sedang diperiksa. Dalam proses
persidangan, barang bukti dapat dikembangkan dan dapat
memberikan keterangan yang berfungsi atau bernilai
sebagai alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan
saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa. Pada
tahap penyidikan, ada kalanya penyidik memperoleh barang
bukti yang sifatnya mudah rusak atau yang membahayakan
atau jika penyidik menyimpan barang bukti tersebut sampai
proses persidangan akan membutuhkan biaya yang tinggi.
Menurut Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), atas alasan-alasan
tersebut, maka penyidik dapat melakukan pelelangan.
Namun, KUHAP tidak menjelaskan mengenai prosedur
pelelangan. Sehingga berdasarkan hal tersebut, dalam
skripsi ini akan dibahas mengenai pengertian barang bukti
menurut doktrin, bagaimana proses pelelangan yang secara
sah dilakukan pada tahap penyidikan, serta kekuatan
pembuktian barang bukti yang telah melalui proses
pelelangan di dalam praktiknya. Pelelangan terhadap
barang bukti tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa.
Penyidik harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
Selain itu, penyidik harus memiliki pertimbangan/alasan
yang kuat tentang perlunya dilakukan pelelangan.
Pelaksanaan yang tepat dan hati-hati akan mencegah
timbulnya permasalahan di kemudian hari."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2008
S22443
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nemi Aryani
"ABSTRAK
Dalam Pembaharuan hukum pidana (materiil),
masalah pidana merupakan masalah yang sangat pelik. Salah
satu permasalahan pidana yang mendapat perhatian besar
dari kalangan ahli hukum adalah mengenai masalah
perbedaan putusan hakim (Disparity o f Sentenc-ing) yang
terlalu menyolok yang dijatuhkan oleh hakim terhadap para
pelaku tindak pidana-tindak pidana yang sama tanpa dasar
pembenar yang sama. Perbedaan pidana yang menyolok dalam
pemidanaan, selain menimbulkan rasa tidak puas di
kalangan masyarakat, juga menimbulkan masalah yang serius
bagi para narapidana. Perbedaan tersebut akan berakibat
fatal, bila dikaitkan dengan usaha perbaikan narapidana.
Masalah tersebut menyangkut jenis pidana, ukuran
berat/lamanya pidana tersebut dan cara pelaksanaan
pidana. Dalam penjatuhan pidana pada kasus perkosaan
ternyata juga terjadi disparitas pidana. Yang dimaksud
disparitas pidana dalam hal ini adalah penerapan pidana
yang tidak sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang
sifat berbahayanya dapat diperbandingkan, tanpa dasar
pembenaran yang jelas. Disparitas pidana disebabkan oleh
berbagai faktor yang bersumber dari perundang-undangan,
yaitu baik berupa perumusan perkosaan dan masalah
penjatuhag pidana minimum khusus dan yang bersumber dari
diri hakim sendiri."
2005
T37749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimasz Jeremia
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22159
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2000
S21988
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>