Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 219130 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Saat ini jumlah penyandang autisme terus meningkat. Badan pusat statistik saat ini
mencatat sekitar 1,5 juta anak di Indonesia mengalami autisme (http://www.medicastore.com/cybermed/detail). Dalam perkembangannya anak
autisme akan rnengalami gangguan komunikasi dan interaksi sosial (Mudjito; dikutip
dari International Herald Tribune (10/2)). Salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap perkembangan anak adalah faktor keluarga yang mencakup orang tua,
sibling, dan pola asuh (Mott & Spenhack, 1988). Penelitian ini dibuat untuk
mengetahui apakah ada atau tidak hubungan pola asuh terhadap kemampuan
komunikasi dan interaksi sosial pada anak autisme. Dilakukan penelitian terhadap 35
pasang responden yang terdiri dari; 35 responden orang tua dan 35 responden anak
autisme di Yayasan Pendidikan Luar Biasa Nusantara. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa ada hubungan antara pola asuh demoratis terhadap kemampuan komunikasi
dan interaksi sosial anak autisme. Selain itu diketahui juga bahwa ada hubungan pola
asuh non demokratis terhadap kemampuan kornunikasi dan interaksi sosial anak
autisme."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
TA5516
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andria Saptyasari
"ABSTRAK
Jumlah anak autis di Indonesia terus meningkat tahun 2010 1: 300 dan
tahun 2015 di setiap 250 kelahiran ada 1 anak yang lahir autis. Anak autis masih
dianggap sebagai pihak ketiga (third party) sekaligus stressor bagi keluarga.
Kestabilan kondisi keluarga seperti ini sulit untuk dicapai sebab ada sebuah
uncertainty (ketidakpastian) kapan kondisi ini akan berakhir dan memang tidak
ada jaminan kapan anak autis akan menjadi mandiri. Inilah yang memicu
ketegangan hubungan spouse maupun parenting dalam hubungan segitiga
(triangle relationship). Sehingga penelitian ini ingin memaparkan pola dialektika
hubungan interpersonal dalam keluarga dengan anak autis dan melihat bagaimana
mereka menegosiasikan kontradiksi tersebut dalam mencapai suasana yang
kondusif (harmonis) di sistem keluarganya. Relational dialectics theory
digunakan untuk menjelaskan kontradiksi dan dialektika hubungan interpersonal
ini. Metode Interpretative Phenomenologycal Analysis digunakan untuk melihat
pola dialektika keluarga autis dari penuturan pengalaman masing-masing anggota
keluarga non autis.
Hasil penelitian menunjukkan terjadi ketidakseimbangan dalam pola
hubungan interpersonal keluarga dengan anak autis yang memiliki sistem tertutup
tetapi bukan berarti mengarah ke centrifugal karena tergantung pada autistic
child background, personal background, family background dan beliefs
background seperti respon cepat ?bangkit? (resilience) dari kesedihan, menerima
dengan ikhlas, bersyukur, pasrah ketika usaha sudah maksimal, tidak
menyalahkan diri sendiri ataupun pasangan, semua respon tersebut lebih
mengarahkan ke keharmonisan (centripetal) antar individu dalam keluarga dengan
anak autis. Budaya patriarki masih terlihat di mana bapak berkorban finansial
sedangkan ibu berkorban tenaga. Menariknya, walaupun ibu mengeluarkan tenaga
yang besar untuk anak autisnya tetapi ketika bapak hanya memberikan sedikit
perhatian terhadap ibu dengan mengajak jalan/makan, menonton bioskop berdua
ataupun mengucapkan ?tidak usah bangun terlalu pagi untuk memasak? karena
bapak tahu lelahnya ibu, hal itu mampu ?meluruhkan? beban berat dan
?menentramkan? perasaan ibu yang seharian mengurus anak autisnya

ABSTRACT
Number of children with autism in Indonesia continues to increase with the trend
in 2010. 1:300 and 2015 in every 250 births there was one autistic child born.
Children with autism are still regarded as a third party once the stressor for
families. The stability of autistic family are difficult to be achieved because there
is an uncertainty such as when these conditions will end and there is no guarantee
when the autistic child will become independent. These conditions cause tension
in spouse or parenting relationships or in the triangular relationship. Thus, this
study aims to expose the pattern of interpersonal relationships dialectic in families
with an autistic child and see how they negotiate the contradiction in achieving a
conducive atmosphere (harmony) in the family system. Relational Dialectics
Theory is used to explain the contradictions and their dialectics. Interpretative
Phenomenologycal Analysis is used to see a pattern of relational dialectic in
autism families from the non-autistic family members? narrative about their
experience.
The results showed there was imbalance relationships pattern in closed family
system with autistic child but it did not mean that it was centrifugal because it
depends on autistic child background, personal background, family background
and beliefs background such as rapid response to resilience, accept willingly, be
grateful, be resigned when efforts have the maximum, do not blame yourself or
your partner, all the responses are more directed to harmony (centripetal) among
individuals in families with an autistic child. Patriarchal culture is still visible
where the father is more sacrifice financially while the mother sacrifices
physically. Interestingly, although mothers expend so much time and energy to
her autistic child, but when the father paid little attention to the mother by taking
the road/dining together, watch the movie or just saying the words "do not have to
get up too early to cook" because father knows how exhausted mother is, it has
been able to "shed" a heavy burden and to "pacify" the mother feeling taking care
of children with autism all day."
2016
D2192
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Ratih Tresna Aryanti
"ABSTRAK
Salah satu ciri dari anak dengan Autisme adalah memiliki hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Kata-kata yang dikeluarkan oleh anak dengan Autisme seringkali tidak ditujukan untuk berkomunikasi dan mereka juga jarang menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi sehingga apa yang diinginkan oleh anak dengan Autisme terkadang tidak dapat dipahami oleh orang disekitar. Picture Exchange Communication System (PECS) merupakan sistem bergambar bagi anak yang mengalami keterbatasan sosial dan komunikasi, biasanya digunakan oleh Autisme. Dengan sistem ini, anak diajarkan untuk menyampaikan permintaan apa yang diinginkannya kepada orang lain dengan cara menukarkan kartu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan meningkatkan keterampilan komunikasi dalam menyampaikan permintaan pada anak dengan Autisme menggunakan prinsip-prinsip PECS yang ditandai dengan penguasaan tugas-tugas pada fase 3B. Dalam penelitian ini, juga dilibatkan ibu sebagai orang yan paling dekat dengan anak. Berdasarkan hasil penelitian, anak mampu menguasai fase 3B dan terdapat peningkatan keterampilan berkomunikasi dalam menyampaikan permintaan pada anak dengan Autisme.

ABSTRACT
One of the difficulties that children with Autism have is in language development and communication. The words spoken by children with autism, often not intended to communicate and they rarely used body language to communicate, so people around them sometimes don’t understand their wants and needs. Picture Exchange Communication System (PECS) is a pictorial system was developed for children who have social and communication problems. This system is usually applied for children with autism. With this system, children with autism are taught to ask for what they want to other people by exchanging cards. The purpose of this research is to improve communication skill in requesting something to other people in children with autism using PECS which are marked by mastery of tasks in phase 3B. Child’s mother is also participated in the research, as she is the closest person to the child. The result of this research is the child mastered phase 3B and there is improvement in communication skill, especially in asking for request."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T32639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifaurrahma Hanif
"Latar belakang: Pandemi Covid-19 menyebabkan terbentuknya beberapa kebijakan oleh pemerintah guna mencegah penyebaran penyakit. Kebijakan yang dibuat berupa PSBB (pembatasan sosial berskala besar). PSBB ini menyebabkan semua aktivitas yang tidak mendesak dilakukan dari rumah termasuk sekolah. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan kebiasaan terhadap anak-anak usia sekolah dasar. Perubahan kebiasaan tersebut berupa peningkatan penggunaan internet dan juga perubahan pola tidur. Orang tua yang memiliki anak usia sekolah dasar mengeluhkan bahwa sang anak menngalami penurunan kualitas tidur. Penurunan kualitas tidur dapat menjadi indikasi mengalami gangguan tidur yang kadang tidak disadari oleh sang anak dan orang tuanya. Gangguan tidur dapat berdampak kepada emosi, proses tumbuh kembang dan kognitifnya. Oleh karena itu, perlu diketahuinya hubungan aspek sosiodemografi terhadap gangguan tidur pada anak di sebelum dan selama pandemi Covid-19
Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder dari projek SEANUTS II yang diambil dari anak usia 6-12 tahun di 22 Kabupaten/Kota di Indonesia. Jenis studi yang digunakan adalah before and after studies dengan uji yang digunakan adalah uji Chi-square, Uji normalitas, uji Kruskall-Wallis dan uji Mc-Nemar)
Hasil: Prevalensi gangguan tidur pada periode sebelum pandemi sebesar 41.82%, sedangkan prevalensi gangguan tidur saat pandemi mengalami penurunan dibanding sebelum pandemi menjadi 40.19%. Akan tetapi, hubungan antara gangguan tidur dengan pandemi Covid-19 tidak memiliki hubungan yang bermakna (p>0.05) Terjadinya peningkatan prevalensi gangguan tidur pada domain sleep-wake transisiton disorders dan diorders of excessive sonolence pada periode saat pandemi dibanding sebelum pandemi. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan usia dengan gangguan tidur baik sebelum pandemi dan saat pandemi (p > 0.05). Akan tetapi, pada variabel area tempat tinggal periode sebelum pandemi memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan tidur (p < 0.05), sedangkan area tempat tinggal pada periode pandemi tidak memiliki hubungan yang siginifikan dengan gangguan tidur.
Kesimpulan: Terjadinya penurunan prevalensi gangguan tidur pada pandemi dibanding sebelum pandemi. Tidak ditemukannya hubungan yang signifikan antara usia dan jenis kelamin dengan gangguan tidur baik periode sebelum dan selama pandemi, sedangkan aspek area tempat tinggal memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan tidur hanya pada periode sebelum pandemi.

Abstrak Berbahasa Inggris:
Introduction: The Covid-19 pandemic has led to the formation of several policies by the government to prevent the spread of the disease. The policy made is in the form of PSBB (large-scale social restrictions). This PSBB causes all non-urgent activities to be carried out from home, including school. This causes a change in the habits of elementary school-age children. Changes in these habits are in the form of increased use of the internet and also changes in sleep patterns. Parents who have elementary school-aged children complain that their children experience a decrease in sleep quality. Decreased sleep quality can be an indication of having a sleep disorder that is sometimes not realized by the child and his parents. Sleep disturbances can have an impact on emotions, growth, and cognitive processes. Therefore, it is necessary to know the relationship between sociodemographic aspects to sleep disorders in children before and during the Covid-19 pandemic.
Method: This study used secondary data from the SEANUTS II project taken from children aged 6-12 years in 22 districts/cities in Indonesia. The type of study used is before and after studies with the tests used are the Chi-square test, normality test, Kruskal-Wallis test, and Mc-Nemar test)
Result: The prevalence of sleep disorders before the pandemic period was 41.82%, while the prevalence of sleep disorders during the pandemic was 41.82%. the pandemic has decreased compared to before the pandemic to 40.19%. However, the relationship between sleep disturbances and the Covid-19 pandemic was not significant (p>0.05). There was an increase in the prevalence of sleep disorders in the domain of sleep-wake transition disorders and orders of excessive somnolence during the pandemic period compared to before the pandemic. There was no significant relationship between sex and age with sleep disturbances before and during the pandemic (p > 0.05). However, the area of ​​residence in the pre-pandemic period had a significant relationship with sleep disturbances (p < 0.05), while the area of ​​residence during the pandemic period did not have a significant relationship with sleep disturbances.
Conclusion: There was a decrease in the prevalence of sleep disorders during the pandemic compared to before the pandemic. No significant relationship was found between age and sex with sleep disturbances both before and during the pandemic, while the area of ​​residence had a significant relationship with sleep disturbances only in the pre-pandemic period
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Demak Agustina
"Masalah tidur pada anak di rumah singgah yang sedang menjalani kemoterapi dapat meningkat bila tidak ditangani dengan tepat. Rumah singgah merupakan rumah kedua bagi anak dan orang tua/pendamping untuk tinggal bersama saat menjalani pengobatan. Jumlah anak dengan kanker yang tinggal di rumah singgah Jakarta dan Pekanbaru ada 104 anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang dapat memengaruhi masalah tidur pada anak dengan kanker di rumah singgah. Jenis penelitian ini studi kuantitatif, dengan desain penelitian cross sectional, menggunakan tekhnik consecutive sampling. Penelitian dilakukan di rumah singgah Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) Jakarta dan Pekanbaru dengan melibatkan 62 anak yang memenuhi kriteria inklusi (42 anak di Jakarta dan 20 anak di Pekanbaru). Pengambilan data menggunakan instrumen data demografi, Skala Fatigue Onkologi Anak_Allen (Skala FOA_A), Skala Depresi CES-DC, Skala Nyeri (Face), dan Skala Gangguan Tidur pada Anak (Skala GATIA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap masalah tidur di rumah singgah yaitu depresi (p=0,002, B=-9,907) dan jenis kanker (p=0,003, B=-4,480). Kedua faktor ini dapat dijadikan pertimbangan bagi perwat anak dalam memberikan intervensi yang tepat dan berkualitas dalam mengatasi masalah tidur di rumah singgah.

Sleep problems which happened in children at halfway house are undergoing to the chemotherapy that can increase if it is not treated properly. A halfway house is a second home for children and their parents/guardians to live together while undergoing treatment. The number of children with cancer living in shelter homes that located in Jakarta and Pekanbaru are 104 children. The aims of this study is to analyze the factors that can affect sleep problems in children with cancer in shelter homes. This type of research is a quantitative study, with a cross-sectional research design, using a consecutive sampling technique. The study was conducted at the Indonesian Cancer Child Care Foundation (YKAKI) shelter in Jakarta and Pekanbaru, involving 62 children who met the inclusion criteria (42 children in Jakarta and 20 children in Pekanbaru). Data retrieval using demographic data instruments, Pediatric Oncology Fatigue Scale_Allen (FOA_A Scale), CES-DC Depression Scale, Pain Scale (Face), and Sleep Disorders Scale in Children (GATIA Scale). The results showed that the factors that influenced sleep problems in the halfway house were depression (p=0.002, B=-9.907) and the type of cancer (p=0.003, B=- 4.480). These two factors can be taken into consideration for pediatric nurses in providing appropriate and quality interventions in overcoming sleep problems in shelter homes."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Nurdin
"Latar belakang. OCS merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk penapisan ganguan fungsi kognitif. Instrumen ringkas, domain spesifik, dan mampu untuk penapisan afasia dan pengabaian. Penelitian ini bertujuan melakukan uji validitas dan reliabilitas OCS-INA.
Metode. Proses adaptasi dan translasi OCS sesuai kaidah WHO, kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas OCS-INA. Populasi penelitian subjek berumur > 18 tahun dengan fungsi kognitif normal menggunakan Moca-INA. Penelitian dilakukan di panti sosial dan fasilitas kesehatan yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil. 104 subjek memenuhi kriteria inklusi. Sebagian besar laki-laki (51,92%). Usia berkisar antara 20 sampai 87 tahun dengan prevalensi usia tertinggi > 60 tahun (60%), tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (35,58%) dan kebanyakan tidak bekerja (62,5%). Uji validitas menggunakan rumus koefisien korelasi spearman, nilai valid pada hampir semua domain yaitu nilai r hitung > r tabel (0,1927). Uji reliabilitas Kappa p didapatkan interpretasi kesepakatan dominan sangat baik pada 6 tugas pemeriksaan, yaitu tugas semantik (0,874), orientasi (0,842) memori verbal (0,822), memori episodik (0,870) dan tes lapang pandang (1,000). Nilai baik didapatkan pada tes penamaan gambar (0,774), membaca (0,726) dan kalkulasi (0,774).
Kesimpulan. OCS-INA valid dan reliabel sebagai instrumen untuk penapisan gangguan kognitif dan bisa melengkapi instrumen yang sudah digunakan sebelumnya.

Background. OCS is an instrument that can be used to screen impaired cognitive function. This is a compact, domain specific and capable instrument for aphasia and neglect screening. This study aims to test the validity and reliability of OCS-INA.
Method. The process of adaptation and translation of OCS according to WHO rules, then tested the validity and reliability of OCS-INA. The study population was subjects > 18 years old with normal cognitive function using Moca-INA. The study was conducted in social institutions and health facilities that met the inclusion criteria.
Results. 104 subjects met the inclusion criteria. Most of the subjects were men (51.92%). Age of subjects ranged from 20 to 87 years with the highest age prevalence > 60 years (60%), high school education level (35.58%) and most of them were not working (62.5%). The validity test uses the Spearman correlation coefficient formula, the valid value in almost all domains is the calculated r value > r table (0.1927). Kappa p reliability test showed that the dominant agreement interpretation was very good on 6 examination tasks: semantic (0.874), orientation (0.842) verbal memory (0.822), episodic memory (0.870) and visual field test (1,000). Good scores were obtained in the picture naming test (0.774), sentence reading (0.726) and calculation (0.774).
Conclusion. OCS-INA is valid and reliable instrument for cognitive impairment screening and can complement the instruments that have been used previously.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Hediati Tri Charissa
"Kehadiran seorang anak dengan spektrum autisme dalam keluarga dapat menjadi sebuah tantangan bagi saudara kandung. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran keberfungsian keluarga terhadap well-being (emosi positif dan negatif, serta psychological flourishing) pada saudara dari anak dengan spektrum autisme. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, variabel keberfungsian keluarga diukur dengan Family Assessment Device (FAD), serta well-being diukur menggunakan Scale of Positive and Negative Emotion (SPANE) dan Flourishing Scale (FS). Penelitian ini melibatkan 136 partisipan dengan rentang usia 18 - 35 tahun. Hasil pada penelitian ini menunjukkan keberfungsian keluarga secara umum ditemukan dapat memprediksi well-being (emosi positif dan negatif) secara signifikan F(1,134) = 28.278, p < 0.001, R2 = 0.174, serta well -being (psychological flourishing) secara signifikan F(1,134) = 30.914, p < 0.001, R2 = 0.181). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat keberfungsian keluarga yang dimiliki individu, akan semakin tinggi pula kemungkinan individu tersebut memiliki well-being yang baik.

The presence of a child with autism spectrum in the family may be a challenge for their siblings. This study aims to see how the role of family functions on the well- being (positive and negative emotions, and psychological flourishing) of children with autistic sibling. This study is a quantitative study, the function of family were measured using the Family Assessment Device (FAD), and well-being was measured using the Scale of Positive and Negative Emotion (SPANE) and Flourishing Scale (FS). This study involved 136 participants with an age range of 18-35 years. The results of this study indicate that the function of family in general is found to be able to significantly predict the well-being (positive and negative emotions) F F(1,134) = 28.278, p < 0.001, R2 = 0.174, and well-being (psychological flourishing) by F(1,134) = 30.914, p < 0.001, R2 = 0.181). From these results it can be said that a higher level of function in the family results in higher possibility of the individual having good welfare."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwaningsih
"Latar Belakang: Perilaku abberant sering terdapat pada pasien GSA. Salah satu kuesioner yang bisa digunakan untuk menilai perilaku abberant adalah kuesioner ABC-C 2017. Kuesioner ABC-C 2017 mengukur 5 domain perilaku abberant (iritabilitas, penarikan diri secara sosial, perilaku stereotipik, hiperaktivitas/ ketidakpatuhan dan pola bicara yang tidak tepat) pada anak dan remaja dengan diagnosis GSA, saat ini belum ada versi Bahasa Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai kesahihan dan keandalan kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia. Kesahihan isi dihitung menggunakan Content Validity Index for Items (I-CVI) dan Content Validity Index for Scales (S-CVI). Uji keandalan konsistensi internal dihitung menggunakan Cronbach alpha. Penelitian ini juga menilai proporsi perilaku abberant berdasarkan 5 domain kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia, pada anak dan remaja dengan GSA di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSCM.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan nilai I-CVI dan S-CVI kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia sebesar 0,917, sehingga kesahihan isi kuesioner ini dinilai baik. Hasil keandalan konsistensi internal baik sampai excellent dengan nilai Cronbach’s alpha untuk masing-masing domain iritabilitas 0,938; penarikan diri secara sosial 0,936; perilaku stereotipik 0,930; hiperaktivitas, ketidakpatuhan 0,949 dan domain pola bicara yang tidak tepat 0,869. Proporsi perilaku abberant berdasarkan penilaian 5 domain kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia, pada anak dan remaja dengan GSA di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSCM, didapatkan hasil, domain iritabilitas derajat ringan sebesar 70,6%; penarikan diri secara sosial derajat ringan 72,5%; perilaku stereotipik 100% derajat ringan; hiperaktivitas/ketidakpatuhan derajat sedang 47,1%, dan pola bicara yang tidak tepat 100% derajat ringan. Proporsi perilaku abberant berdasarkan usia dan jenis kelamin juga didominasi derajat ringan, kecuali domain hiperaktivitas/ketidakpatuhan derajat sedang. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik, proporsi perilaku abberant berdasarkan usia dan jenis kelamin anak.
Kesimpulan: Kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia dapat dipakai di Indonesia untuk penelitian selanjutnya, mendeteksi 5 domain perilaku abberant pada pasien GSA dan sebagai modul pendidikan bagi tenaga kesehatan.

Background: Abberant behavior is often found in ASD patients. One of the questionnaires that can be used to assess abusive behavior is the 2017 ABC-C questionnaire. The 2017 ABC-C questionnaire measures 5 domains of abberant behavior (irritability, social withdrawal, stereotypic behavior, hyperactivity/non-compliance and inappropriate speech patterns) in children. and adolescents with a diagnosis of ASD, currently there is no Indonesian version.
Methods: This study used a cross-sectional design to assess the validity and reliability of the Indonesian version of the 2017 ABC-C questionnaire. Content validity was calculated using the Content Validity Index for Items (I-CVI) and the Content Validity Index for Scales (S-CVI). Internal consistency reliability test was calculated using Cronbach alpha. This study also assessed the proportion of abusive behavior based on the 5 domains of the Indonesian version of the 2017 ABC-C questionnaire, in children and adolescents with ASD at the Children and Adolescent Mental Polyclinic RSCM.
Results: The results of the analysis show that the I-CVI and S-CVI scores of the 2017 ABC-C Indonesian version of the questionnaire are 0.917, so the validity of the contents of this questionnaire is considered good. The results of the reliability of internal consistency are good to excellent with Cronbach's alpha value for each irritability domain 0.938; social withdrawal 0.936; stereotypic behavior 0.930; hyperactivity, non-compliance 0.949 and inappropriate speech pattern domain 0.869. The proportion of abnormal behavior based on the assessment of the 5 domains of the 2017 ABC-C questionnaire in Indonesian version, in children and adolescents with ASD at the Child and Adolescent Mental Polyclinic RSCM, the results obtained, the domain of mild irritability was 70.6%; mild social withdrawal 72.5%; 100% mild stereotypic behavior; moderate degree of hyperactivity/non-compliance is 47.1%, and inappropriate speech is 100% mild. The proportion of abberant behavior based on age and gender was also dominated by mild degrees, except for the moderate degree of hyperactivity/non-compliance domain. There was no statistically significant difference, the proportion of abusive behavior based on the age and sex of the child.
Conclusion: The Indonesian version of the ABC-C 2017 Questionnaire can be used in Indonesia for further research, detecting 5 domains of abnormal behavior in ASD patients and as an education module for health workers.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meidyta Puspa M.
"Penelitian ini membahas peran orang tua bagi anak autis dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penderita autis dapat diketahui dari terhambatnya interaksi sosial yang diikuti gangguan perkembangan komunikasi baik verbal maupun nonverbal. Untuk memperoleh kesejahteraannya, peran keluarga sangat diperlukan agar anak autis bisa mengaktualisasikan dirinya secara optimal terutama agar anak autis dapat diterima dengan baik oleh orang-orang di sekitar mereka. Dengan metode penelitian kualitatif menggunakan studi kasus terhadap 3 keluarga yang memiliki anak autis, penelitian ini memahas peran-peran yang dijalankan keluarga bagi anak autis. Didapati bahwa keluarga menjalankan peran yang cenderung berbeda dalam memenuhi kebutuhan fisik, psikologis dan sosial anak autis.

This research describes parents role for Autistic Children in their dialy life. Children with Autism can be known by their distracted social interaction followed by communication disorder either verbal or non-verbal communication. Family role is something that autism children really require to be actualized optimally, especially so that they can be accepted by the people they surrounded by. By using qualitative research method with case study, this research means to explain family roles for children with Autism. From this research known that family play pretty much different roles in sustaining and providing children with autism?s Physical, Psychological and social needs."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45006
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siegel, Byrna
New York: Oxford University Press, 2003
371.94 SIE h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>