Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40169 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurhasyim Ilyas
Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Supriyanto
"Diantara begitu banyak jenis perjanjian, perjanjian kerja mempunyai ciri yang khas yaitu adanya unsur per1indungan terhadap salah satu pihak dalam perjanjian kerja tersebut yaitu pekerja yang pada umumnya berada dalam posisi yang lebih lemah dibanding dengan pihak yang lainnya yaitu pengusaha. Undang-undang membedakan adanya dua macam perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Dalam rangka mengatur tentang perjanjian kerja waktu tertentu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri tenaga Kerja No 02 / 1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu yang berlaku secara umum. Di lingkungan sub sektor minyak dan gas bumi, pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam suatu Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 05/ 1995 yang berlaku khusus di perusahaan-perusahaan lingkungan sub sektor migas termasuk Unocal Indonesia Company, yang merupakan obyek penelitian tialam skripsi ini. Di tinjau dari kelakuan (hal berlakunya) kaedah hukum dari segi yuridis, sosiologis, dan filosofis, Peraturan MenterĀ· Tenaga Kerja No 05/ 1995 berlaku dengan baik di Unocal Insonesia. Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri tersebut di Unocal Indonesia Company, terbukti kaedah hukum tersebut di terima dengan baik tanpa masalah oleh kedua belah pihak yang merupakan subyek perjanjian yaitu pekerja dan pengusaha. Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri tersebut tidak saja memberikan perlindungan yang sangat memadai bagi pekerja, tetapi di sisi lain juga memberikan kemudahan dalam pelaksanaan operasional perusahaan. Metode penelitian yang digunakan adalah comparative method dengan menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan di Unocal Indonesia Company, suatu perusahaan mitra PERTAMINA yang bergerak di bidang explorasi minyak dan gas bumi di lapangan lepas pantai, di selat Makasar dan delta Mahakam di Kalimantan Timur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S21120
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, James
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purnamawati
"ABSTRAK
Didalam rangka mengisi kemerdekaan Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satunya adalah pembangunan dalam bentuk bangunan gedung-gedung, dimana untuk keperluan tersebut diperlukan pemborong untuk melaksanakannya, hal ini didahului dengan adanya perjanjian pemborongan, dimana akibat adanya perjanjian ini maka menimbulkan hubungan - hubungan Perdata. Karena adanya hubungan keperdataanlah maka penulis tertarik untuk membuat skripsi yang ada hubungannya dengan Pemborongan Pekerjaan serperti ter sebut diatas, yaitu dengan memilih judul: "Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Gedung Sekretariat Jenderal DPR-RI". Dimana hasil dari skripsi ini sekaligus merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Berdasarkan metode penelitian kepustakaan dan metode penelitian lapangan yaitu melalui wawancara dengan para pihak yang berkompeten dapat disimpulkan bahwa :
- Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Gedung Sekretariat Jenderal DPR-RI, antara Sekretariat Jenderal DPR-RI dengan P.T. Getraco Utama berlandaskan pada Garis Besar Haluan Negara yang dicantumkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rskyat No. II/1983.
- Perjanjian Pemborongan Pekerjaan ini bukan merupakan perjanjian murni. Ketidakmurnian perjanjian ini terlihat dari : Adanya aspek Hukum Publik, yang mempefigaruhi perjanjian tersebut. Adanya ketidak seimbangan antara hak dan kewajiban para pihak.
Tetapi hal tersebut masih dalam batas - batas kewajaran, karena yang mampu oleh pemerintah diusahakan agar dapat bersaing dengan kontraktor yang kuat.
Namun demikian perlu diadakan peraturan tambahan tentang perjanjian yang dapat memberikan keseimbangan antara bouwheer dan pemborong. Terutama mengenai pasal-pasal y~ng dalam surat perjanjian yang diadakan sering berat sebelah. Seperti halnya bila terjadi peristiwa yang bersifat force majeure atau menyangkut wanprestasi."
Depok: Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendar Ristriawan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1984
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saras E Padmiandini Mangoendipoero
"ABSTRAK
Perjanjian adalah merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada pihak lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Antara Biro Arsitek sebagai Ahli dengan Pemerintah sebagai Pemberi Tugas adalah merupakan salah satu bentuk dari perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu. Ternyata didalam prakteknya, banyak
hal-hal yang belum diatur secara tegas mengenai perjanjian tersebut; baik didalam Kitab Undang-Undang Perdata itu sendiri maupun didalam peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan kerja antara Ahli dengan Pemberi Tugas. Karena hal itulah yang mendorong minat penulis untuk membahas lebih Ianjut mengenail perjanjian tersebut. Adapun metode yang penulis gunakan adalah metode normatif dan empiris, dalam arti bahwa disamping penulis mengumpulkan data melalui buku-buku maupun tulisan-tulisan serta artikel yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini, penulis juga mencoba untuk mencari data dengan jalan.wawancara lansung yaitu berupa studi kasus yang penulis peroleh dari suatu Biro Arsitek.
Ahli adalah seorang yang mahir/faham dalam suatu ilmu atau pengetahuan, sedangkan Pemberi Tugas adalah perorangan atau suatu badan yang menugaskan atas nama siapa ditugaskan untuk kegiatan-kegiatan ataupun melakukan dan mengerjakan sesuatu; dan sesuatu itu dalam hal ini dikerjakan oleh seorang ahli. Suatu hubungan kerja dianggap telah terjadi sejak adanya suatu penugasan dari pemberi tugas kepada ahli. Selanjutnya ahli yang dalam hal ini siperencana bangunan (arsitek) harus menegaskan penugasan tersebut secara tertulis untuk di
setujui oleh kedua belah pihak berdasarkan peraturan yang telah diperjanjikan. Sebagaimana diketahui bahwa Buku III KUHPerd mengatur mengenai perjanjian, dan Hukum Perjanjiantersebut menganut sistim terbuka; yang berarti memberikan ke
bebasan seluas-luasnya antara para pihak yang terlibat didalamnya untuk mengadakan perjanjian sesuai dengan kehendak mereka asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
"
1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Azizatun Khasanah
"Mekanisme transaksi Sewa Guna Usaha jenis Finance Lease memiliki ciri khas yang berbeda dengan jenis Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi atau Sewa Operasi (Operating Lease). Hak Opsi bagi Lessee untuk memiliki barang modal merupakan karakteristik utama jenis transaksi Leasing ini. Hak Opsi merupakan hak bagi Lessee untuk memiliki barang, mengembalikan barang, atau memperpanjang jangka waktu sewa guna usaha. Kepemilikan barang modal pada akhir masa sewa dilakukan dengan pembayaran Nilai Sisa merupakan hak Lessee pada mekanisme Finance Lease secara umum banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan Leasing saat ini. Namun, pada beberapa kasus di pengadilan, Hak Opsi bagi Lessee untuk memiliki barang modal menjadi gugur disebabkan adanya cidera janji atau wanprestasi yang dilakukan oleh Lessee. Ketika terjadi wanprestasi, sebagai akibatnya adalah barang modal ditarik oleh lessor yang kemudian dijual olehnya digunakan untuk menutupi sisa kewajiban Lessee. Selain itu, Lessee juga dikenakan ganti kerugian sebesar akumulasi seluruh pembayaran angsuran, biaya-biaya lainnya, dan termasuk Nilai Sisa yang mana mewakilkan harga perolehan barang modal selayaknya Hak Opsi dijalankan. Pada praktiknya, hasil penjualan barang modal tidaklah mampu menutupi nominal ganti kerugian yang ditagihkan kepada Lessee, sehingga Lessee harus membayar seluruh ganti kerugian selayaknya Hak Opsi dijalankan walaupun hak tersebut gugur.

The option right for the Lessee to own capital goods is the main characteristic of this type of Finance Lease transaction. The Option Right is the right for the Lessee to own the goods, return the goods, or extend the lease term. Ownership of capital goods at the end of the lease period by payment of Residual Value is the right of the Lessee in the Finance Lease mechanism generally applied by Leasing companies today. However, in some cases litigated in court, the Option Right for the Lessee to own capital goods becomes void due to a breach of promise or default committed by the Lessee. When a default occurs, the result is that the capital goods are withdrawn by the lessor which is then sold by him which is later used to cover the remaining obligations of the Lessee. In addition, the Lessee is also subject to compensation amounting to the accumulation of all instalment payments, other costs, and including the Residual Value which represents the acquisition price of the capital goods as if the Option Right was exercised. In practical terms, the proceeds from the sale of the capital goods are not able to cover the nominal compensation charged to the Lessee, so the Lessee must pay all compensation if the Option Right is exercised even though the right is cancelled."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Ranggawacana
"Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.04/2016 tentang Segmentasi Perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek mengatur segmentasi perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek ke dalam dua bentuk sub perizinan yaitu izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. Adapun Perantara Pedagang Efek memiliki fungsi selain fungsi pemasaran, yaitu fungsi manajemen risiko, fungsi pembukuan, fungsi kustodian, fungsi teknologi informasi, fungsi kepatuhan dan fungsi riset. Menjadi pertanyaan kemudian mengapa Otoritas Jasa Keuangan hanya mengatur terkait segmentasi pada fungsi pemasaran tetapi tidak pada fungsi manajemen risiko, fungsi pembukuan, fungsi kustodian, fungsi teknologi informasi, fungsi kepatuhan dan fungsi riset. Berdasarkan hasil penelitian penulis, baik yang berasal dari penelaahan peraturan terkait maupun hasil wawancara dengan pejabat Otoritas Jasa Keuangan, tujuan utama diterbikanya peraturan tersebut adalah untuk meningkatkan jumlah tenaga pemasaran bagi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Berdasarkan fakta, jumlah pemohon izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran memang bertambah cukup signifikan sehingga dapat dikatakan bahwa Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini tergolong efektif. Penetapan peraturan ini berdampak kepada seluruh ketentuan lain yang menyebutkan terkait dengan Wakil Perantara Pedagang Efek harus dimaknai bahwa termasuk di dalamnya pemegang izin Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. Kedepan, penulis berharap agar Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan segmentasi Wakil Perantara Pedagang Efek pada fungsi selain fungsi pemasaran.

The Financial Services Authority Regulation No.22/POJK.04/2016 concerning Segmentation of Securities Broker Dealer Representative Licensing arranged the segmentation of Securities Broker Dealer Representative licenses into two sub-licensing forms, namely the Securities Broker Dealer Representative for Marketing license and the Securities Broker Dealer Representative for Limited Marketing license. While the Securities Broker Dealer has other functions besides the marketing function namely the risk management function, bookkeeping function, custodian function, information technology function, compliance function and research function. The question then becomes, why does the Financial Services Authority only regulate segmentation related to the marketing function but not to the risk management function, bookkeeping function, custodian function, information technology function, compliance function and research function. Based on the results of the author's research, both from the review of relevant regulations and the results of interviews with Financial Services Authority officials, the main purpose of the issuance of these regulations is to increase the number of marketers for Securities Companies conducting business activities as Broker Dealer. Based on the facts, the number of applicants for licensing of the Securities Broker Dealer Representative for Marketing license has indeed increased significantly enough so that it can be said that the Application of the Financial Services Authority Regulation is quite effective. The stipulation of this regulation has an impact on all other provisions that related to Securities Broker Dealer Representative must be interpreted as including the holders of Securities Broker Dealer Representative for Marketing license and Securities Broker Dealer Representative for Limited Marketing license. In the future, the authors hope that the Financial Services Authority could segment the Securities Broker Dealer Representative in other than the marketing function."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsyaa Ramadhani
"Skripsi ini mengkaji perbandingan hukum di Indonesia dan Filipina atas ketentuan mengulangsewakan objek sewa yang dilakukan oleh penyewa dalam perjanjian sewa menyewa. Perbandingan hukum ini dilaksanakan dengan melakukan komparasi hukum perjanjian sewa menyewa di Indonesia yang didasari oleh Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan The Civil Code Of The Philippines yang merupakan dasar dari hukum perjanjian sewa menyewa di Filipina Dalam skripsi ini, metode yang digunakan ialah metode yuridis normatif dengan pendekatan komparatif, pendekatan kasus dan pendekatan perundang-undangan. Skripsi ini akan mengupas teori hukum perjanjian lebih khusus hukum perjanjian sewa menyewa dan lebih detil ketentuan mengulangsewakan objek sewa yang dilakukan oleh penyewa kepada pihak lain di Indonesia dan Filipina beserta putusan-putusan hakim di Indonesia dan Filipina dalam mengadili perbuatan mengulangsewakan objek sewa yang dilakukan penyewa kepada pihak lain. Berdasarkan pembahasan tersebut, didapati faktor-faktor pembanding yang merupakan dasar perbandingan ketentuan mengulangsewakan objek sewa oleh penyewa kepada pihak lain. Melalui hasil perbandingan tersebut, ditemukan perbedaan dan persamaan atas ketentuan hukum dalam mengulangsewakan objek sewa yang dilakukan oleh penyewa kepada pihak lain.

This thesis examines the legal comparison between Indonesia and the Philippines regarding the provision of subleasing an object in a lease agreement by a tenant. The legal comparison is conducted by comparing the laws of lease agreements in Indonesia, based on Indonesian Civil Code, and the laws of lease agreements in the Philippines, based on The Civil Code of the Philippines. In this thesis, the juridical-normative method is employed, using a comparative approach, case approach, and statue approach. This thesis will explore the legal theory of agreements, specifically lease agreements, and in more detail, the provisions concerning the subleasing of an object by a tenant to another party in Indonesia and the Philippines, along with court decisions in Indonesia and the Philippines regarding the act of subleasing an object by a tenant to another party. Based on the discussion, comparative factors are identified as the basis for comparing the provisions regarding the subleasing of an object by a tenant to another party. Through the results of this comparison, differences and similarities are found in the legal provisions regarding the subleasing of an object by a tenant to another party."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ita Roikhatul Jannah
"Pengadaan pesawat udara melalui perjanjian leasing di Indonesia menjadi salah satu cara maskapai penerbangan untuk mengembangkan bisnisnya dikarenakan mahalnya biaya pengadaan pesawat udara jika melalui jual beli. Untuk membantu pengadaan pesawat udara tersebut, Indonesia telah mengaksesi Konvensi Cape Town 2001 beserta protokolnya dan telah melakukan penyesuaikan dalam Undang-Undang Penerbangan 2009. Namun demikian, aksesi tersebut menyebabkan ketentuan mengenai lembaga jaminan hipotek atas pesawat yang sebelumnya terdapat dalam Undang-Undang Penerbangan 1992 hapus. Dalam Undang-Undang Penerbangan 2009 hanya menyebutkan bahwa pesawat untuk dapat dibebani kepentingan internasional yang merupakan terjemahan dari istilah international interest dalam Konvensi Cape Town 2001. Hal tersebut menimbulkan permasalahan lembaga jaminan apakah yang berlaku atas pesawat udara setelah diaksesinya Konvensi Cape Town 2001. Dalam penulisan ini akan digunakan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder.
Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa jaminan yang berlaku atas pesawat udara di Indonesia setelah diaksesinya Konvensi Cape Town 2001 adalah hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162-1232 KUH Perdata dan Pasal 314-315 KUHD. Selain itu, sesuai ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Penerbangan 2009 yang menyatakan bahwa ketentuan Konvensi Cape Town 2001 beserta Protokolnya berlaku sebagai lex specialis dalam undang-undang ini sehingga ketentuan Article VIII II Protokol Konvensi Cape Town 2001 yang mengatur mengenai pilihan hukum para pihak berlaku pula untuk menentukan hukum jaminan atas pesawat udara. Dengan demikian, ketiadaan peraturan yang mengatur mengenai jaminan atas pesawat udara secara tegas dalam Undang-Undang Penerbangan 2009 tidak mengakibatkan terjadi kekosongan hukum karena ketentuan dalam KUH Perdata dan KUHD tentang hipotek dan ketentuan dalam Konvensi Cape Town 2001 beserta protokolnya mengenai pilihan hukum berlaku untuk mengatur hukum jaminan atas pesawat udara.

Aircraft procurement through leasing agreement in Indonesia is one of several ways for airlines to develop their business due to the high cost of aircraft procurement by buying and selling. To assist the procurement of an aircraft, Indonesia has accessioned The Cape Town Convention 2001 and its protocol and also adopted it in Law Number 1 Year 2009 on Aviation. After the accession, the provisions regarding mortgage in Law Number 15 Year 1992 on Aviation is revoked. In the Cape Town Convention 2001, the term international interest is defined by Law Number 1 Year 2009 on Aviation as an ldquo kepentingan internasional rdquo . It raises the question of what securities under Indonesian law applies to the aircraft after the accession of the Cape Town Convention 2001. In this thesis will uses juridical normative research method using secondary data.
From the results of the research, the author found the law under Article VIII II of the Protocol to Cape Town Convention 2001 applies to the aircraft security after the accession of Cape Town Convention 2001. The provision of Article 1162 1232 Civil Code Indonesia and Article 314 315 Commercial Code Indonesia on mortgage still valid. Beside that, the provision of the Cape Town Convention 2001 and Its Protocol is applicable under the virtue of the Article 82 of Law Number 1 Year 2009 on Aviation states that the provisions of the Cape Town Convention 2001 as lex specialis in this law. The absence of aircraft security regulations in the Law Number 1 Year 2009 on Aviation cannot be considered as a legal vacuum as the provision in the Civil Code Indonesia, Commercial Code Indonesia and the Cape Town Convention 2001 and Its Protocol provide the laws governing aircraft security."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>