Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131190 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Lusi Indriani
"ABSTRAK
Notaris adalah pejabat umum dengan tugas utama
membuat akta otentik. Dalam menjalani jabatannya notaris
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan serapat-rapatnya
isi akta sesuai dengan salah satu pasal dalam Peraturan
Jabatan Notaris (P.J.N.). Di sisi lain notaris juga
mempunyai kewajiban untuk hadir apabila dipanggil menjadi
seorang saksi di muka pengadilan. Seorang notaris yang
dipanggil menjadi saksi dapat menggunakan hak ingkar atau
hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi. Hak ingkar
(notaris) yang telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan ini menemui banyak kendala dalam
pelaksanaan ketika notaris diminta menjadi saksi terutama
pada perkara pidana. Dalam perkara perdata , notaris
lebih leluasa menggunakan hak ingkar yang diberikan oleh
undang-undang kepadanya. Dalam perkara pidana , notaris
hampir tidak bisa menggunakan hak ingkar yang
dimilikinya/ karena dalam perkara pidana ada kewajiban
untuk mencari kebenaran materil oleh penegak hukum
sehingga notaris dituntut untuk ikut membantu upaya
penegakan hukum tersebut. Sampai saat ini ketentuanketentuan
yang mengatur tentang hak ingkar masih tersebar di berbagai peraturan yang ada, sehingga menyulitkan
bagi pihak-pihak yang terkait untuk memahami dan
menerapkankannya sementara dalam Peraturan Jabatan
Notaris kita harus menafsirkan adanya hak ingkar secara
analogis. Tugas seorang notaris tidak hanya sekedar
memberikan kesaksian mengenai apa yang dilihat dan
didengar tetapi juga ikut mencari kebenaran sejati, oleh
karena itu jika ada kepentingan yang lebih tinggi untuk
proses penegakan hukum/ maka seorang notaris dapat
memilih untuk tidak menggunakan hak ingkar yang
dimilikinya."
2003
T37694
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwastuti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22568
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Flora Dianti
"Penelitian dilakukan dalam rangka melakukan: l.identifikasi permasalahan hukum pembuktian dalam proses penyelesaian perkara pidana terkait dengan keterangan saksi anak sebagaimana rumusan peraturan perundangan-undangan, UU Nomor 8 Tahun 1981 serta Revisi UU Nomor 8 Tahun 1981; 2. Melakukan analisis atas permasalahan hukum pembuktian secara khusus yang ditemukan dalam praktik peradilan di Indonesia mengenai saksi anak; 3.Memberikan suatu pemikiran akademis dalam rangka revisi UU Nomor 8 Tahun 1981 demi tercapainya suatu pembaruan hukum pembuktian mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi anak dalam proses penyelesaian perkara pidana. Pasal 171 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)menyatakan anak di bawah 15 tahun tidak berkompeten menjadi saksi, sehingga saksi yang kurang umurnya dari 15 tahun tidak boleh memberi keterangan di bawah sumpah. Penjelasan Pasal 171 tersebut menyatakan saksi anak dapat dijadikan petunjuk. Adapun petunjuk yang dimaksud bukanlah alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud pasal 188, karena sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk terbatas dari alat-alat bukti yang sah yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2), yaitu alat bukti Keterangan Saksi; Surat; dan Keterangan Terdakwa. Keterangan saksi anak sendiri tidak dilakukan di bawah sumpah, sehingga saksi anak tidak dianggap sebagai alat bukti keterangan saksi. Secara maksimal keterangan anak hanya dapat menambah keyakinan hakim, jika ditunjang oleh alat bukti yang sah lainnya. Di sisi lain, karakteristik tindak pidana yang menyangkut anak sendiri, sangat komplek. Salah satu permasalahan, pelaku pidana terhadap anak kebanyakan adalah orang dekat, atau bahkan keluarga atau lingkungan keluarga/ teman korban, sehingga tindak pidana terhadap anak jarang memiliki saksi lain yang berkompeten untuk memberikan keterangan yang dapat mendukung. Dengan kata lain tidak ada alat bukti saksi yang melihat, mengalami dan mendengar langsung peristiwa pidana, sehingga saksi yang paling berkompeten adalah anak itu sendiri. Akibatnya, putusan peradilan mengenai tindak pidana tersebut sangat bergantung pada kredibilitas dan kemampuan anak sebagai saksi utama untuk memberikan keterangan yang selengkap dan seakurat mungkin mengenai tindak pidana tersebut. Praktek pemeriksaan perkara pidana yang melibatkan anak, memperlihatkan kenyataan adanya keadaan saksi anak yang kurang kompeten dan distabil, karena traumatis akan pemeriksaan yang penuh tekanan serta intimidatif, sehingga akhirnya mengakibatkan saksi anak mengundurkan diri ketika pemeriksaan sampai di tahap persidangan. Dari identifikasi di atas jelas bahwa perlu diciptakan suatu prosedur penanganan perkara yang memberikan perhatian yang lebih difokuskan pada perlindungan saksi korban terutama saksi anak, demi meningkatkan kompetensi serta kekuatan pembuktian saksi anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munthe, Saut Erwin Hartono A.
"Penerapan Teleconference untuk penghadiran saksi dalam Persidangan Pidana menimbulkan perdebatan panjang. Disatu sisi perkembangan hukum ketinggalan jauh dengan perkembangan masyarakat, apalagi bila diperbandingkan dengan kemajuan teknologi sedangkan disisi lainnya, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana {KUHAP} sebagai basis acara Pemeriksaan Perkara Pidana tidak mengaturnya. Pasal 185 KUHAP ayat (1) yang isinya sebagai berikut "keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan". Kalimat yang saksi nyatakan di sidang pengadilan inilah yang menjadi titik tolak perdebatan. Disatu pihak mengatakan bila saksi tidak hadir langsung secara fisik kedepan persidangan kesaksiannya tidak sah, di pihak lain menyatakan bahwa dengan teleconference saksi sudah hadir dipersidangan, karena keterangan saksi tetap dapat di Cross-Check oleh kedua belah pihak dan fisik saksi dapat dilihat pada layar monitor yang ada. Berkaitan dengan permasalahan hukum pembuktian, tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk memecahkan permasalahan yang ada mengenai teleconference sebagai salah satu alat bukti dalam memeriksa keterangan saksi, khususnya kekuatan bukti keterangan saksi melalui teleconference dan legalitas prosedur pemeriksaan jarak jauh melalui teleconference. Permasalahan hukum pembuktian Teleconference terkait dengan kekuatan bukti dan kekuatan pembuktian tidak bertentangan dengan asas-asas hukum pidana dan peraturan perundang-undangan yang ada. Ada beberapa asas-asas umum yang berlaku dalam hukum acara pidana yaitu asas terbuka secara umum, asas pemeriksaan secara langsung,asas peradilan cepat, sederhara, dan biaya ringan,asas kelangsungan/oral debat. Penggunaan teleconference sudah memenuhi syarat materiil dan syarat formil KUHAP. Dalam syarat formil tidak terlihat adanya hambatan, kecuali pasal 185 ayat (1), Penerapan Teleconference justru menutupi kelemahan Pasal 162 KUHAP karena dengan teleconference maka tetap dilakukan dialog dan tanya jawab serta melihat emosi saksi selama memberikan keterangan. Padoaharuan hukum pembuktian terutama dikaitkan dengan legalitas prosedur pemeriksaan jarak jauh mutlak dilakukan karena beberapa Undang-undang sebenarnya telah memasukkan dokumen elektronik sebagai alat bukti seperti RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, RUU Perlindungan Saksi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Pemberantasan Korupsi, UU Terorisme. Berkaitan dengan hal itu KUHAP sebagai "UU Payung" mestinya mengakomodasi Perkembangan Alat Bukti modern khususnya Teleconference sebagai data Elektronika."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Dwi Nugroho
1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Yuwono
"ABSTRAK
Dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Indonesia (KUHAP) dikenal lima alat bukti yang sah, yaitu 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. surat-surat 4. petunjuk 5. keterangan terdakwa. Kelima alat bukti tersebut memiliki nilai yang sama untuk mernberi keyakinan kepada hakim, namun masing-masing alat bukti menjalankan peran yang berbeda-beda sesuai dengan sifat dari alat bukti tersebut. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, ialah keterangan yang diberikan/disampaikan seseorang di sidang Pengadilan, yang sebenarnya patut untuk diragukan kebenarannya. Hal ini disebabkan karena sifat yang terdapat pada umumnya dalam diri seseorang yang tidak juga terlepas dari keterbatasan-keterbatasan. Dengan demikian persoalannya adalah bagaimana dari pada alat bukti keterangan saksi itu berperan dalam rangka pembuktian tindak pidana"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nababan, Adetya Evi Yunita
"Skripsi ini membahas penerapan asas unus testus nullus testis dalam praktik peradilan pidana di Indonesia serta kekuatan pembuktian keterangan saksi de auditu berdasarkan KUHAP yang melekat pada keterangan penyidik dalam pertimbangan majelis hakim sebagai salah satu akibat yang ditimbulkan dari kelemahan penerapan asas unus testis nullus testis. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak semua hakim yang memeriksa perkara pidana dapat menerapkan dengan tepat ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang lebih dikenal dengan asas unus testis nullus testis.
Terdapat respon yang berbeda terkait penerapan asas tersebut. Hal ini karena belum ada peraturan yang mengakomodir kelemahan dari asas tersebut, yaitu keterbatasan alat bukti yang tersedia dalam suatu tindak pidana. Selain itu, penelitian ini juga akan memperlihatkan perbandingan atas tanggapan para hakim Indonesia dan tanggapan hakim di peradilan Negara bagian dalam menilai kekuatan pembuktian saksi de auditu (hearsay evidence). Peranan aktif hakim dalam menemukan kebenaran materiil melalui perannya menentukan kekuatan pembuktian keterangan saksi yang memiliki kekuatan pembuktian bebas juga dipaparkan dalam penelitian ini.

The focus of this study is the application of the principle unus testis nullus testis in the practice of criminal justice in Indonesia as well as the strength of evidence on witness testimony de auditu based on Indonesian Criminal Procedure are attached to the description of the investigator in the judges?verdict as one of the weakness from the application of the principle 'unus testis nullus testis'. The research method used is this study is normative literature. The results of this study indicate that not all judges are examining a criminal case by applying the appropriate provisions of Article 185 paragraph (2) Indonesian Criminal Procedure Code which is better known as the principle of unus testis nullus testis.
There are different responses related to the application of this principle. This is because there is no regulation that accommodate the weaknesses of this principle, namely the limitations of the available evidence in a criminal act. In addition, this study will also show the comparison of the responses of the judges of Indonesia and the responses of judges in Texas state courts in assessing the strength of evidence the witness de auditu (Hearsay evidence). The study also describes the active role of judges in finding the material truth through its role to determine the strength of statements of witnesses evidence who have the independent verification power.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S398
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hisam Alibasym
Jakarta: Universitas Indonesia, 1984
S21696
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Flora Dianti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S21978
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>