Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140066 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurur Rahmah
"ABSTRAK
Pekerja di Jepang terkenal sebagai pekerja keras. Mereka terbiasa bekerja 12 jam Iebih dalam sehari, sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan kerja daripada di rumah. Kelelahan bekerja tanpa disertai istirahat yang cukup diduga sebagai penyebab kasus kematian pada pekerja yang mulai meluas di masyarakat Jepang sekitar pertengahan tahun 1980-an. Kasus kematian ini disebut dengan istilah Karoushi.
Skripsi ini menganalisa penyebab Karouishi, ditinjau dari latar belakang budaya masyarakat Jepang dan pengaruhnya pada perubahan sistem dan cara pandang orang Jepang terhadap kerja.

"
2001
S13767
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Murtiyani
"Upacara setelah kelahiran yang dilaksanakan oleh masyarakat Jepang ialah: upacara oshichiya, upacara omiyamairi, upacara okuizome, perayaan hatsuzekku, dan upacara hatsutanja. Sedangkan upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa ialah: selametan brokohan, selametan sepasaran atau puputan, selametan selapanan, selametan neton (weton), upacara tedhak siten, selametan gaulan, dan selametan nyerahuni.
Dalam upacara setelah kelahiran pada kedua masyarakat itu terlihat ada persamaan-persamaan yang dibagi menurut jenis-jenis upacara berdasarkan hal-hal yang diperingati atau dirayakan, unsur-unsur yang mendukung upacara, serta tujuan diadakannya upacara Selain itu juga terdapat perbedaan-perbedaan dalam setiap jenis_-jenis upacaranya, misalnya perbedaan waktu pelaksanaan, tata cara, dsb.
Persamaan-persamaan itu terjadi karena adanya sistem pemikiran yang bersifat universal antara masyarakat Jepang dan Jawa. Pemikiran tersebut adalah bahwa dalam lingkaran kehidupan manusia terdapat tngkat-tingkat kehidupan. Peralihan dari tingkat satu ke tingkat lainnya ditandai dengan diadakan suatu upacara. Karena masa peralihan tersebut dianggap masa yang penuh bahaya atau masa krisis, maka upacaranya disebut crisis-rites (upacara waktu krisis)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S13745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Article described capitalist social life of modern Japanese that was having individualistic characteristic. This high individualistic life affected the availability of disconnected family life called muenshakai. This phenomenon caused social and economic shifts in the Japanese family. This research used qualitative approach elaborated in descriptive analysis. The object of research or data corpus was the problem of a decline in Japan population in terms of the breakdown of the family. The research results indicated that muenshakai phenomenon has emerged in Japan caused by some sequential events, those are: the 2nd World War "legacy', the availability of baby boom, the abolition of shuushinkoyou, the decreasing of marital rate, the increasing of divorce rate, the decreasing of birth rate, and the lost of family relationship. It can be concluded that the urban individualistic life style is able to change the traditional thinking pattern into opportunistic one that becomes one of the causal factors of muenshakai phenomenon."
LINCUL 8:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Pusparesmi M
"Skripsi ini menguraikan tentang wanita Jepang. Secara khusus skripsi ini menguraikan tentang perubahan pandangan wanita Jepang terhadap perkawinan sebagai akibat dari adanya perubahan Undang Undang dan perkembangan pendidikan bagi wanita Jepang. Perubahan pandangan ini terutama ditekankan pada saat Jepang berada di bawah pendudukan Amerika (tahun 194 akibat dari kekalahan Jepang pada Perang Dunia II) karena setelah masuknya Amerika terlihat jelas perubahan pandangan tersebut. Namun, sebelumnya diuraikan pula mengenai kehidupan dan anti perkawinan bagi wanita sebelum tahun 1946 (sebagai latar belakang). Sebelum tahun 1946, perkawinan dianggap sebagai jalan hidup wanita karena pendidikan yang diterima wanita pada saat itu, baik di rumah maupun sekolah bertujuan untuk menjadikan wanita sebagai Ryosai Kenbe sehingga wanita tidak memiliki kemandirian. Adanya perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang atas desakan pihak penguasa Amerika menumbuhkan kesadaran wanita Jepang bahwa perkawinan bukanlah satu-satunya jalan hidup yang tersedia bagi mereka. Perkawinan yang pada awalnya dianggap sebagai suatu keharusan kemudian berubah menjadi satu pilihan hidup wanita Jepang. Dengan demikian terbukti bahwa secara tidak langsung Amerika melalui perubahan Undang Undang dan perkembangan bidang pendidikan telah mempengaruhi pandangan wanita Jepang terhadap perkawinan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S13576
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susy Ong
"Jepang dikenal sebagai salah satu negara modern dan maju sejak pertengahan abad ke-20 sampai sekarang. Berbagai keberhasilan tersebut menimbulkan kekaguman bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk di Indonesia. Dunia akademisi dan jurnalistik Indonesia sering mengutip contoh keberhasilan Jepang dengan memberi opini ‘cultural determinism’ atau ‘budaya sebagai faktor penentu’. Menurut anggapan itu, Jepang berhasil karena memiliki budaya unggul. Dari opini tersebut, lahirlah kesimpulan bahwa jika bangsa lain (termasuk Indonesia) ingin maju seperti Jepang, maka yang perlu dipelajari adalah budaya Jepang. Dalam Seikatsu Kaizen ini, pembaca diajak menelusuri perjalanan sejarah modernisasi Jepang, yang dimulai pada tahun 1860-an. Kita akan melihat apa saja upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Jepang, sehingga berhasil mewujudkan negara yang modern, sejahtera, dan maju dengan rakyat yang disiplin, rajin, produktif serta memiliki rasa tanggung jawab sosial."
Jakarta: PT. Gramdeia, 2021
952 SUS s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Sejak peralihan minat pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri pada tahun 1955, pekerjaan sebagai sarariman mulai menjadi pilihan untuk banyak masyarakat Jepang karena paradigma yang berkembang dalam masyarakat Jepang waktu itu adalah bekerja sebagai sarariman memberikan jaminan terhadap kesejahteraan di masa depan, kestabilan, dan keamanan kerja dari pemecatan. Paradigma yang berkembang tersebut adalah hasil dari penerapan sistem manajemen perusahaan Jepang. Namun seiring jatuhnya bubble economy pada awal tahun 1990-an, budaya korporasi di perusahaan Jepang mulai berubah karena adanya pergeseran dalam penerapan sistem manajemen perusahaan Jepang yang mulai mengadaptasi gaya manajemen perusahaan Barat. Ditambah dengan berubahnya kualitas hidup masyarakat Jepang, kedua hal tersebut melatarbelakangi bergesernya paradigma yang berkembang di masyarakat Jepang mengenai sarariman. Pergeseran paradigma tersebut walaupun tidak mempengaruhi minat masyarakat untuk menjadi sarariman, namun secara tidak langsung menimbulkan pengaruh dalam hal minat kerja yang semakin bervariasi, berubahnya motivasi dan etas kerja, serta mempengaruhi cara pandang kaum muda Jepang terhadap masa depan."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13871
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febrina Rizki Utami
"Sekularisasi adalah proses pembedaan secara fungsional elemen-elemen sosial: politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan, dari agama, sebagai akibat dari perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat yang dulunya didominasi oleh norma-norma agama. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan teks-teks sejarah Jepang dari tahun 1868 hingga 2006 terkait peristiwa kunjungan Koizumi ke Yasukuni Jinja dan Yasukuni Jinja. Berbagai pernyataan Koizumi mengenai kunjungannya ke Yasukuni Jinja menunjukkan bahwa ia menganggap orang-orang yang gugur dan disemayamkan di Yasukuni Jinja adalah pahlawan, meskipun jaman telah berganti dan Kokka Shinto telah runtuh. Ia merasa tidak bersalah untuk mengekspresikan keyakinannya dengan cara mengunjungi Yasukuni Jinja dan tidak menginginkan pihak luar negeri campur tangan dengan permasalahan keyakinannya pribadi maupun urusan domestik Jepang. Selain itu, alasan politis kunjungan Koizumi ke Yasukuni Jinja adalah untuk memperoleh dukungan dari Asosiasi Keluarga Korban Perang yang anggota keluarganya disemayamkan di Yasukuni Jinja. Selaku seorang perdana menteri yang merupakan pemimpin negara, kunjungannya ke Yasukuni Jinja menunjukkan sikapnya yang tidak menaati undan-g_undang mengenai pemisahan agama dengan negara, sebab Yasukuni Jinja adalah institusi nasional sekaligus relijius. Tindakannya ini bertentangan dengan sistem dan ideologi yang berlaku di dalam pemerintahan Jepang di masa kini, yaitu pemerintahan demokrasi dan sekuler. Dari sudut pandang sekularisasi agama yang merupakan proses pembedaan secara fungsional elemen-elemen social, politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan, dari agama, sebagai akibat dari perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II, kunjungan Koizumi sebagai Perdana Menteri Jepang ke Yasukuni Jinja merupakan sebuah hal yang paradoks. Koizumi sebagai Perdana Menteri Jepang, sebuah negara yang memiliki undang-undang untuk tidak memberikan dukungan pada agama manapun, berdoa di Yasukuni Jinja, sebuah kuil Shinto. Bagi sebagian masyarakat Jepang tindakan Koizumi ini dipandang sebagai sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap kejahatan agresi militer Jepang di masa lalu, terutama oleh negara-negara yang mengalami agresi militer Jepang, sikap Koizumi tersebut belum dapat dimaafkan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13632
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hasmi Yanuardi
"Penelitian mengenai kehidupan kaum imigan Jepang di dalam kamp-kamp relokasi semasa pecah Perang Dunia II di Amerika Serikat telah dilakukan semenjak bulan Maret 2000, tujuannya ialah untuk mengungkapkan sejarah orang-orang Jepang yang menjadi bagian dari masyarakat Amerika Serikat yang sempat mendapat perlakuan diskriminatif secara besar-besaran dengan menempatkan mereka di sepuluh kamp khusus pada kurun waktu Perang Dunia II akibat ketakutan dari sebagian masyarakat kulit putihnya yang lebih didasari oleh prasangka rasial. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari sumber-sumber dari berbagai literatur maupun `web-site' di internet yang berkaitan dengan kehidupan orang-orang Jepang khususnya yang ada di Amerika Serikat. Penelitian bersifat kualitatif dengan menggunakan metode ilmu sejarah. Sumber yang dipergunakan ada yang berupa sumber primer yakni tulisan yang telah dibukukan tentang pengalaman kehidupan di dalam kamp relokasi oleh imigran Jepang yang mengalami sendiri peristiwa tersebut dan beberapa dokumen resmi Pemerintah Amerika Serikat yang berkaitan dengan relokasi. Sumber sekunder yang digunakan berupa buku teks yang membahas baik secara umum maupun khusus tentang imigran Jepang dan kamp relokasi, selain beberapa novel dan cerita pendek yang ditulis sendiri oleh imigran Jepang. Dampak dan akibat yang ditimbulkan dengan adanya pengevakuasian sebanyak 112.000 orang keturunan Jepang di Amerika Serikat ke berbagai kamp relokasi adalah adanya keinginan dari sekitar 5.589 orang Amerika berketurunan Jepang untuk melepas kewarganegaraan Amerika Serikatnya pada tahun 1945. Sebanyak 9.300 dari mereka siap menjalani repatriasi ke Jepang setelah kehilangan segala harta benda dan juga kekecewaan yang sulit diukur atas perlakuan terhadap mereka. Kehidupan di kamp relokasi ternyata juga telah banyak memberi perubahan pada pola perilaku budaya di sebagian internir Jepang, seperti yang dialami oleh kaum perempuan generasi pertama (Isser) yang menjadi lebih mau terbuka, aktif dan bersedia bersosialisasi dengan lingkungannya yang merupakan kebalikan dari kaum laki-lakinya. Sikap yang cenderung untuk lebih menunjukkan bahwa imigran Jepang setia kepada Amerika Serikat diperlihatkan pada umumnya oleh para imigran generasi kedua (Nisei) yang bergabung di dinas kententaraan Amerika Serikat dalam kancah Perang Dunia II baik di Eropa maupun yang di Asia-Pasifik. Sikap maupun tindakan yang mendiskriminasikan seseorang atau suatu golongan apalagi didasarkan pada prasangka rasial, pada dasarnya mereduksi nilai-_nilai kemanusiaannya sendiri walau itu sudah menjadi kenyataan sosial. Berdasarkan pemahaman tersebut, selayaknya segala macam pendiskriminasian dimanapun dan apapun bentuknya harus diupayakan untuk dihentikan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S12505
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frieska Sekar Nadya
"Jepang memiliki kebudayaan-kebudayaan tradisional yang sampai sekarang masih terus dijaga dan diselenggarakan. Salah satu kebudayaan tradisional tersebut adalah matsuri. Matsuri merupakan suatu kegiatan keagamaan yang diselenggarakan sedikitnya oleh satu unit keluarga untuk melayani kamisama (dewa). Salah satunya adalah hadaka matsuri. Hadaka matsuri yang masih ada hingga sekarang adalah Saidaiji Eyou di Okayama. Dalam Saidarji Eyou, para peserta berusaha mendapatkan shingi untuk mendapatkan keberuntungan selama setahun mendatang.
Mutsuro Takahashi (Tamotsu Yato, 1968:149), mengungkapkan bahwa di dalam matsuri Jepang, ketelanjangan mempunyai konotasi yang lebih luas. Hadaka dapat diartikan sebagai ketelanjangan secara total, atau hanya menutupi salah satu bagian tubuh, atau sebagian tubuh yang tidak berbusana. Hal ini mungkin akan membingungkan, khususnya untuk orang asing. Ketika mendengar kata "hadaka matsuri", yang ada di dalam benak mereka adalah orang-orang yang berpartisipasi dalam matsuri tersebut pasti `telanjang bulat', mengikuti definisi yang ada di dalam kamus. Akan tetapi, ternyata pelaku ritual tidak benar-benar telanjang bulat, mereka masih memakai fundoshi (cawat), kain berwarna putih yang digunakan khusus menutupi alat kelamin pria.
Menurut Yoneyama Toshinao (1986: 171), Yanagita Kunio juga membedakan matsuri menjadi dua, yaitu matsuri itu sendiri dan sairei. Sairei merupakan kegiatan keagamaan yang diselenggarakan dengan meriah dan disaksikan oleh banyak penonton. Saidayi Eyou, dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk sairei, karena diselenggarakan dalam bentuk yang besar dan meriah jika dibandingkan dengan penyelenggaraan awalnya. Akan tetapi, hal ini bukan berarti dengan adanya perubahan matsuri menjadi sairei, merupakan penurunan dalam kebudayaan atau keagamaan di Jepang. Sebaliknya hal ini dijadikan momen bagi bangsa Jepang untuk mempertahankan budaya matsuri tersebut."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T 20686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Ayu Cassandra
"ABSTRAK
Pasangan suami isteri yang melakukan perkawinan campuran seringkali tidak
memperhatikan akibat hukum dari perkawinan campuran tersebut, khususnya terhadap
harta bersama. Untuk melindungi diri pribadi dan agar di kemudian hari konsekuensi
hukum atas suatu perbuatan hukum dapat dipertanggungjawabkan oleh masing-masing
pihak sehingga tidak melibatkan harta yang dimilikinya, hendaknya pasangan yang
melakukan perkawinan campuran membuat perjanjian kawin. Perjanjian kawin sebelum
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sesuai Pasal 29 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan hanya dapat dibuat pada saat atau sebelum perkawinan
dilangsungkan. Pada studi kasus Putusan Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 613/PDT/2017/PT.DKI, pasangan suami isteri tersebut sempat membuat
perjanjian kawin yang dibuat pada Notaris di Indonesia, setelah perkawinan
dilangsungkan di Australia, namun kemudian perjanjian kawin tersebut batal demi
hukum. Penulis mengadakan penelitian atas kasus tersebut dengan jenis penelitian
yuridis normatif dan sifat penelitiannya deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian,
Penulis menyimpulkan bahwa implikasi hukum atas pembatalan perjanjian kawin
menyebabkan seperti dari semula tidak pernah ada suatu perjanjian. Oleh karenanya
dalam perkawinan campuran tersebut terdapat harta bersama yang harus dibagi antara
suami isteri setelah perkawinan berakhir karena perceraian yakni masing-masing 50%
(lima puluh persen) atau setengah bagian dari harta bersama.
ABSTRACT
Married couples who do a mixed marriage often do not pay attention to the legal
consequences of the mixed marriage, especially for joint property. To protect oneself
and so that in the future the legal consequences of a legal action can be accounted for by
each party so that it does not involve the assets they own, couples who have to make a
mixed marriage make a marriage agreement. Marriage agreement before the
Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015, in accordance with Article
29 paragraph (1) of the Marriage Law can only be made during or before the marriage
takes place. In the case study of the Decision of the High Court of the Special Capital
Region of Jakarta Number 613/PDT/2017/PT.DKI, the couple made a marriage
agreement made to a notary in Indonesia, after the marriage took place in Australia, but
then the marriage agreement was null and void. . The author conducted research on
these cases with a type of normative juridical research and the nature of the research
was analytical descriptive. Based on the results of the study, the author concludes that
the legal implications of the cancellation of the marriage agreement cause that from the
beginning there was never an agreement. Therefore, in a mixed marriage there is a Joint
asset which must be divided between husband and wife after the marriage ends due to
divorce, each of which is 50% fifty percent or half of the joint property.
"
2020
T54459
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>