Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68040 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Toety Heraty Noerhadi Rooseno, 1933-
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984
306 TOE a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Karlina Leksono Supelli
"Revolusi Copernicus pada pertengahan abad ke-16 menyingkapkan kenyataan bahwa Bumi bukan merupakan pusat alam semesta sebagaimana diyakini selama berabad-abad. Bumi adalah sebuah planet di antara planet-planet lain yang beredar megelilingi sebuah bintang normal, yaitu Matahari. Penemuan hukum--hukum gerak planet di dalam tata surya oleh Johannes Kepler {1571--1630) serta pengungkapan hukum universal gravitasi oleh Isaac Newton (1643-1727) memperkuat keyakinan baru bahwa tidak ada kekhususan pada Bumi, begitu pula pada planet-planet yang mengembara di langit. Baik Bumi maupun planet-planet merupakan bendabenda material yang dapat dipahami berdasarkan hukumhukum alam. Langit bukan lagi wilayah benda-benda spiritual yang tidak terjangkau akal budi manusia sebagaimana diyakini sejak Aristoteles, dan kosmos menjelma menjadi sebuah model matematika yang memperoleh keabsahannya melalui pengukuran dan pengamatan.
Betapapun revolusionernya pemikiran Copernicus, ia belum sepenuhnya meninggalkan alam pemikiran skolastik. Hal ini dapat dilihat dari komentarnya terhadap posisi Matahari. Ia juga berpendapat bahwa Matahari bukan hanya pusat tata surya, tetapi pusat kosmos yang berhingga. Namun pandangan yang menyingkirkan Bumi sebagai pusat kegiatan Semesta berkembang dan mendasari hampir semua penyelidikan alam. Galileo Galilei (1564-1642) menolak sepenuhnya rancangan kosmos antroposentrik dengan alasan bahwa manusia terlalu arogan bila beranggapan bahwa semesta tidak diciptakan untuk sesuatu yang lain di luar manusia.
Ditinjau dari sudut pandang yang sempit, revolusi Copernicus dapat dipahami sebagai semata-mata sebuah pergeseran paradigma di dalam perkembangan astronomi dan kosmologi. Namun dari sudut pandang yang lebih luas revolusi ini membawa serta dasar yang paling penting untuk pemikiran modern, yaitu pengenalan kritis bahwa kondisi semu dunia obyektif secara tidak sadar ditentukan oleh kondisi subyek."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toety Heraty Noerhadi Rooseno, 1933-
"Bahwa manusia dan budaya tak dapat dipisahkan adalah suatu kenyataan universil yang tak perlu langsung dimasalahkan. Tetapi bila kita dalam budaya mutakhir melihat derap pembangunan disertai arus pengalihan teknologi, kemudian dihadapkan pada pola-pola dan gaya hidup konsumtif, maka sudah saatnya kiranya untuk memperhatikan masalah manusia dalam budaya, sebagai suatu subyek menghadapi obyek-obyek dalam lingkungannya.
Di sinilah letak sumbangan suatu orientasi filsafat yang sebagai orientasi teoretis dapat memberi suatu kerangka referensi untuk meneliti fenomena budaya dalam lingkungan kita, khususnya di mana di satu fihak pengalihan teknologi menjadi sumber daya utama bagi pembangunan. Di lain fihak manusia harus meningkatkan daya seleksi terhadap pengalihan teknologi ini.
Dalam sistematik filsafat, maka bidang filsafat tentang manusia mengetengahkan kodrat manusia adalah pada subyektivitas, sebagai suatu subyek atau aku di satu fihak. Di lain fihak pula pada kehidupan budayanya, sehingga semakin menariklah untuk memasalahkan bersama kedua kodrat manusia, akte dalam budaya ini.
Suatu pembedaan budaya dalam tahap ontologis, fungsional dan mitis menyertai pembedaan aku ontologis, fungsional, dan mitis pula yang menampilkan bersama berbagai hakekat dan dimensi aku pada umumnya.
Aku ontologis mendasari dimensi aku yang mengambil jarak dari obyek, meneliti, dan kemudian cenderung untuk menguasai, bersikap intrumentil-teknologis. Teknologi sebagai penerapan sistematis akal-budi kolektif manusia memang ingin mencapai pcnguasaan yang lebih besar atas alam dan atas semua proses manusiawi. Aku ontologis merupakan dimensi aku yang mutlak untuk suatu aku teknologis dalam ruang lingkup budaya.
Aku ontologis mengambil jarak dari lingkungan secara absolut tetapi pada filsafat Rene Descartes dan Maine de Biran keduanya, akan nyata bahwa aku ontologis yang semula dianggap bersifat terpisah murni dan mandiri, menunjuk pada unsur lain, ialah unsur nonaku. Rupanya aku ontologis menampilkan selalu aspek fungsional, subyek selalu menunjuk kehadiran hal yang lain, subyek ataupun obyek lain.
Filsafat analitik menanggapi filsafat sebagai kumpulan pernyataan-pernyataan bahasa, dan aku pula merupakan suatu kata dalam bahasa, dikenal sebagai salah satu kata deiktik. Kata aku sebagai kata deiktik ternyata merupakan suatu pusat orientasi bagi kata-kata lainnya. Pernyataan bahasa yang bertolak dari obyek-obyek menunjuk selalu pada suatu pusat referensi, suatu subyek atau aku.
Aku ontologis yang ternyata nyaris bersifat ontologis murni, menampilkan bahwa subyek menunjuk pada obyek, sebaliknya filsafat analitik dari obyek menunjuk pada subyek; dua gerak bertentangan ini saling menunjang mengetengahkan aspek fungsional pada aku.
Aku fungsional melihat dirinya dalam relasi dengan obyek, dan relasi ini yang semakin menjadi realita. Teknologi dan teknokrasi cenderung untuk melihat manusia melebur menurut fungsi mereka dalam relasi ini: pengaturan yang efisien menguasai kehidupan manusia demi kelancaran sistem-sistem kolektif--relasionil. Ini pun ciri suatu teknologi modern: aku fungsional menjadi aku operasional."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1979
D243
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jo Priastana
"Filsafat Timur, khususnya filsafat Buddha menaruh perhatian yang dalam terhadap masalah penderitaan yang berkenan dengan eksistensi manusia. Dalam filsafat Buddha, masalah aku mendapatkan tempat yang sangat penting, karena menyangkut keselamatan atau pembebasan manusia atas eksistensi kemenderitaannya. Oleh karenanya, masalah aku merupakan suatu tema sentral dari filsafat Buddha.Pandangan tentang adanya aku sebagai suatu yang substansial merupakan akar permasalahan dari penyebab adanya penderitaan. Melalui ajarannya yang disebut Jalan Tengah, Buddha menolak pandangan tentang adanya aku yang bersifat subtansial, yang dianggapnya sebagai suatu ketidaktahuan (avijja). Jalan tengah Buddha ini secara filosofis dikembangkan oleh Nagarjuna, yang merupakan pemikir Buddha India pertama, dan peletak dasar dari filsafat Madhyamika atau filsafat Jalan Tengah.Filsafat Madhyamika Nagarjuna merupakan suatu sistem filsafat yang sangat penting dan memiliki pengaruh secara mendalam bagi pertumbuhan dan perkembangan aliran Buddha Mahayana. Secara epistemologis, filsafat ini menunjukkan suatu filsafat yang mengatasi paham idealisme maupun paham materialisme.Buddha menolak adanya paham tentang aku metafisik yang merupakan penyebab derita manusia, namun mengakui aku sebagai aku epistemologis yang sifatnya empiris. Untuk itu, penderitaan dalam filsafat Buddha adalah suatu persoalan epistemologis, yakni soal pembetulan pengetahuan yang keliru, yakni pandangan aku yang substantialistis. Dalam upaya pencaharian filosofisnya, mendapatkan _Prajnaparamita-Sutra_, suatu teks suci Mahayana yang mengandung inti ajaran Buddha, yakni pandangan tentang tiadanya aku yang substansial, dan kekosongan segenap fenomena. Filsafat Nagarjuna adalah mengenai sunyata yakni tentang kekosongan realitas atau tiada substansi dalam segenap fenomena. K.V. Ramanan adalah salah seorang dari sedikit doktor filsafat India yang dalam masa modern ini melakukan studi filsafat Nagarjuna. Pada akhirnya, pandangan Nagarjuna tentang kekosongan, tiadanya aku yang substansial sebagaimana dikemukakan oleh K.V. Ramanan ini terdapat juga pada beberapa filsuf Barat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S16138
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggono Wisnudjati
"Permasalahan tentang siapakah aku yang sebenarnya merupakan permasalahan pokok di dalam filsafat manusia. Permasalahan ini belum memiliki jawaban yang tuntas dan menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh karena manusia dapat dilihat dari berbagai macam segi _ Salah satunya adalah dari segi jiwa dan tubuhnya. Plato merupakan salah satu filsuf yang berefleksi tentang manusia dari segi jiwa dan tubuhnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S15996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suyono
"Pada zaman batu masyarakat arkais suka bermain gembira dengan sebutan senyum arkais: Pada tahap paling awal masyarakatnya bermain dengan bebas. Manusia yang kelebihan energi cenderung untuk bermain dengan maksud rekreasi. Pengejawantahan untuk melakukan simbolisasi pada anak-anak, misalnya ada yang pura-pura menjadi ibu, menjadi pembeli, menjadi musuh, menjadi masinis dan berbagai ragam peran permainan sejenisnya. Manusia sebagai subyek adalah bebas untuk bermain. Faktanya manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, jadi subyek itu adalah lemah. Kelemahan ini tampak di dalam cara pemahaman dan penafsiran sebuah teks kuno — yang mirip bayangan dalam cermin--- artinya tidak benar-benar tepat, penafsiran itu menggunakan bahasa yang spekulatif, walaupun penafsir sudah bersungguh-sunguh membenamkan-diri ke dalam obyek untuk proses penafsiran. Seni penafsiran adalah mirip dengan seni permainan. Apabila digolongkan kepada 'seni; maka tidak ada bahasa univokal. Menurut Anton Bakker menjadi bahaya, jikalau gaya pikiran univokal dipergunakan bagi manusia bahasa ilmiah yang paling analogal ialah bahasa ilmu-ilmu yang meneliti manusia, khususnya humaniora 145), maka dari itu Gadamer menjelaskan mengenai hermeneutika dengan bahasa analogi melalui kata-kata seperti seni, cermin, spekulasi dan erlebnis yang memakai metafora. Bahasa merupakan refleksi pengetahuan manusia. Seberapa jauh konsep permainan menjiwai perilaku kehidupan manusia yang temyata pada masyarakat purba, masyarakat modem dan masyarakat pasca modem jugs, bermain. Artinya politik adalah permainan, hukum adalah permainan, perang adalah permainan, kedokteran adalah permainan, rekayasa teknologi adalah permainan. Dengan demikian Everything is game, language is game, everything is hermeneutic'. Dan kalimat 'Segala sesuatu adalah permainan' berikut ini akan disajikan penalaran logika. Berpikir yang balk adalah berpikir yang logis dialektis yang taat pada penalaran sesuai realitas. Penjelmaan deduksi yang sempuma adalah silogisme. Dengan silogisme akan tampak hubungan Iogisnya. Silogisme yang dimaksudkan berbunyi sebagai berikut..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T37446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Doludea
"Siapakah manusia itu? Pertanyaan ini mungkin sudah sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dan sejak itu juga manusia selalu berupaya untuk menjawab dan kembali mempertanyakan tentang siapakah sebenarnya dirinya itu. Siapakah Aku ini?, atau, apakah Aku ini? Manusia itu merupakan suatu masalah, sebuah persoalan bagi dirinya sendiri. Atau lebih tepat lagi, suatu misteri yang misterius, rahasia yang menarik, yang menantang, dan yang mengajak kita untuk terus menyelidiki tentang kedirian dari diri kita."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S16087
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Setyawan
"Skripsi ini membahas bagaimana posisi siswa dalam kerangka pemikiran Freire dan dalam sistem pendidikan nasional. Serta bagaimana keterkaitan posisi siswa dalam konsep filsafat pendidikan Paulo Freire dengan posisi siswa sebagai subjek dalam sistem pendidikan nasional. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis terhadap masalah posisi siswa sebagai subjek. Filsafat pendidikan Freire yang berdasar pada pendidikan kritis sebagai suatu bentuk kritisisme sosial mencoba untuk menciptakan suatu hubungan dialogis antara pendidikan dengan konteks sosial. Berdasarkan hal tersebut, keberpihakan Freire pada siswa sebagai subjek dalam pendidikan formal dimulai dengan menempatkan dialog sebagai aspek utama dalam proses pendidikan. Dialog ini menuntut suatu hubungan yang setara antara guru dan murid, yang dilandasi dengan cinta, kerendahan hati, harapan, kepercayaan, dan sikap kritis. Dialog sebagai bagian fundamental dari struktur pengetahuan harus selalu terbuka bagi subjek-subjek lain dalam proses pengetahuan. Selain itu, pendidikan hadap masalah yang memungkinkan adanya konsientisasi (penyadaran), menempatkan posisi guru setara dengan murid, di mana guru berupaya untuk melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis murid secara langsung. Selanjutnya dalam sistem pendidikan nasional, posisi siswa sebagai subjek belum terpenuhi. Beberapa peraturan mengenai pendidikan hanya secara eksplisit menjelaskan posisi siswa sebagai subjek. Hal tersebut diperparah dengan peran guru yang masih dominan dan sentral dalam proses pendidikan. kurikulum yang diberlakukan semenjak pasca kemerdekaan hingga masa orde baru, masih menempatkan siswa sebagai objek dan guru sebagai subjek sentral dalam proses transfer ilmu, baru setelah diberlakukannya UU No 20 tahun 2003 dengan pembentukan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) siswa mulai diarahkan ke sumber dan subjek belajar. Namun tetap saja, Banyaknya beban belajar dan dominasi guru di dalam kelas semakin menunjukkan bentuk opresi yang dialami siswa di sekolah. Oleh karena itu, perlu diadakan penataan ulang konsep pendidikan nasional yang berorientasi pada kepentingan siswa sebagai subjek, dan perlu adanya peraturan khusus yang mengatur hubungan siswa dan guru yang setara dan posisi siswa sebagai subjek dalam pendidikan, sehingga kelak tidak ada lagi dominasi dan opresi dalam proses pendidikan Indonesia.

This bachelor thesis criticized how the position of students defined in Freire's defined in national system of education, also how s frame point and how it'the relation between them. this study is a descriptive analysis of the problem how students posited as subject. Freire' s philosophy of education point of view stands as a critical education system as a kind of social critic that tries to develop a dialogical relation between education and social context. based on that view, freire took side on students'side as subject began by put dialogue as main aspect in educational process.this kind of dialogue demanded a balanced relation between teachers and students that derived from love, generosity, hope, trust, and critical action. dialogue as a fundamental part of the structure has to stay open tp any other subjects on the process. more, education faces problem where any conscientiation enabled, where teachers and students are in even position, also where teachers involving themselves dan stimulating the critical thinking of the students in direct actions. but as can be seen in the national system of education, the students'position as subjects is not yet fulfilled. some of the regulation of the education only explained explicitly about the students'position. worse, the teachers'role still works centrally and dominantly. the basic curricullum since independent era through reformation still placed students as objects where the teachers are the subject. only after the Act no 20 year 2003, with the formation of KBK (curicullum based on competention) and KTSP, the students are directed to a certain source and learning subject. but still, the pressure in learning and teachers'domination still shows the opression for the students in school. by all that reason, the urgency of reordering national education that firmly orienting students'interest as subject and the specific and distinctive regulation that arrange the even relation between students and teachers both as subjects in education so in the future there would be no longer oppresing domination inside it."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S16002
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Dinar Prihatina
"Skripsi ini menganalisis kaitan antara eksistensi dan intersubjektivitas yang ditampilkan dalam film Artificial Intelligence: A.I. dengan memaknai tokoh David, sebagai subjek yang memenuhi dorongan untuk mencapai pemenuhan diri (transendensi). Dengan menggunakan pendekatan filsafat Gabriel Marcel, penelitian ini menganilisis dinamika tokoh David yang berpartisipasi dalam hubungan personal berlandaskan cinta sehingga dapat mencapai transendensi. Berdasarkan analisis tersebut dapat dibuktikan bahwa manusia dapat meraih pemenuhan diri dengan menghentikan objektivikasi dan membina hubungan intersubjektif. Secara keseluruhan, A.I. menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi manusia modern yang cenderung tenggelam dalam individulitas dan mengabaikan nilai hubungan personal antarmanusia sehingga tidak dapat mencapai tingkat eksistensi tertinggi sebagai _Aku_ yang _Ada_.

Abstract
The main focus of this study is the significance of David_s existence in Steven Spielberg_s film, Artificial Intelligence: A.I. This study particularly analyzes the correlation between human_s existence and openness (l_intersubjectivit_) by exploring David as a subject who urges to achieve the exigence of transcendence, the need of transcendence. Using Gabriel Marcel_s philosophical approach, this study examines David_s interpersonal relationship based on love as a manifestation of his openness which could lead him to achieve the state of fullness (transcendence). This study confirms that human being will be able to achieve the need of transcendence when we are willing to see other people as subject and maintain interpersonal relationship. All in all, A.I. criticizes the condition of modern man who are drowned in individuality and despises the value of interpersonal relationship, so that the highest level of existence, the state of Being cannot be achieved."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S13942
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ngakan Putu Putra
"ABSTRAK
"Sekalipun agama Hindu diperkirakan berumur lebih dari 5000 tahun, dan sebagai agama tertua yang tetap hidup, banyak orang tidak mengetahui dengan benar paham ketuhanan yang dianutnya, termasuk orang-orang Hindu sendiri. Sebagian besar orang-orang di luar Hindu menganggap Hindu menganut politheisme. Dalam banyak buku perbandingan agama dikatakan demikian. Orang-orang Hindu, menyatakan bahwa agama Hindu adalah monotheistik. Sikap semacam ini bisa diartikan sebagai upaya orang Hindu untuk menyesuaikan diri dengan kategori-kategori yang dibentuk oleh orang lain. Orang-orang Hindu seperti tunduk di bawah kekuasaan wacana orang lain, dalarn hal ini filsafat Barat dan agama-agama Abrahamik, khususnya Kristen dan Islam. Tetapi bisa juga karena kekeliruan menafsirkan teks-teks di dalam Weda maupun Upanisad yang menyebut Tuhan sebagai ""Yang Esa,"" ""Satu-satunya"", ""Tiada Yang Kedua"" dan sebagainya. ""Para maharesi menyebut banyak nama kepada Yang Satu."" (RigVeda I: 164, 6; 46); ""Dalam kebenaran sejati Yang Satu menjadi seluruh dunia."" (RigVeda VIII: 58, 2-8, vi); ""Dia adalah Satu menyusupi segalanya, tamu manusia"" (AtharvaVeda VII: 21, vi); ""Dia adalah Satu, Satu-satunya, yang hanya Satu. Di dalamnya semua para Dewa menjadi Satu."" (AtharvaVeda XIII: 4, 12- 24). Tetapi `""Yang Satu"" di ini bisa berarti, selain monotheisme, juga pantheisme, parwntheisme atau monisme. Kekeliruan menafsirkan kata ""Yang Esa"" atau ""Yang Satu"" dapat terjadi karena filsafat ketuhanan di dalam agama Hindu, sangat berbeda dengan filsafat Barat. Di dalam Hindu, kategori-kategori seperti politheisme, monotheisme dan sebagainya tidak dikenal. Pemikiran ketuhanan berfokus pada perbedaan antara Tuhan berpribadi dengan nama dan rupa (Saguna Brahman) dan Tuhan tak berpribadi tanpa nama dan rupa (Nirguna Brahman). Di samping itu, di dalam Hindu terdapat konsep Istadewata, di mana setiap orang bebas memilih Ideal yang ingin dipujanya. Seseorang dapat mengikuti filsafat ketuhanan tertentu yang dikehendakinya, Nirguna Brahman atau Saguna Brahman. Bila ia mengikuti filsafat Saguna Brahman, ia dapat memilih nama dan rupa tertentu dari Tuhan yang ingin dipujanya. Konsep Istadewata ini lalu menimbulkan kesan bahwa Hindu adalah politheistik atau henotheistik. Upanisad menjelaskan Tuhan, yang disebut Brahman, ada di dalam ciptaan, sekaligus melingkupi ciptaan. Maka paham ketuhanan menurut Upanisad, dalarn kategori filsafat ketuhanan Barat, adalah pantheistik/panentheistik. Tetapi Upanisad juga menjelaskan Tuhan, sebagai substansi transenden dan personal, disebut Isvara, yang dalam kategori filsafat Barat dapat dikategorikan sebabai monotheisme. Brahman sebagai substansi tunggal, dicari ke dalam diri melalui meditasi atau jnana dan raja yoga. Sedangkan Isvara dipuja sebagai praktek dari bhakti yoga. Di samping diperbolehkan memilih nama rupa, orang Hindu juga bebas memilih berbagai jalan menuju Tuhan. Tuhan yang mahatakterbatas, tidak mudah untuk didefinisikan, diberikan batasan-batasan. Akses kepadanya juga tidak mungkin dibatasi. Ramakrishna Paramahamsa seorang yogi Ilindu menyatakan,""
2007
T39133
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>