Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214212 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Findi Alexandi
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya pengalihan penguasaan pengelolaan komoditas tepung terigu dari negara kepada swasta pascaliberalisasi pangan, yaitu dari Bulog kepada Bogasari Flour Mills. Saat ini, komoditas tepung terigu di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai komoditas pangan, tetapi juga berfungsi sebagai komoditas politik (political goods), dimana harga dan ketersediaannya dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori Negara Birokratik Otoriter dari Guillermo O?Donnel, teori Persekutuan Segitiga (Triple Alliance Theory) antara Negara, Burjuasi Nasional dan Modal Asing dari Peter Evans. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analitis data menggunakan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, penelusuran terhadap dokumen resmi negara seperti Undang-Undang No. 5 tentang 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keppres No. 19 Tahun 1998 tentang Liberalisasi Pangan, Peraturan Menteri Perindustrian, Peraturan Menteri Perdagangan, Peraturan Menteri Keuangan dan wawancara mendalam dengan anggota KPPU.
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa pascaliberalisasi pangan, terjadi konflik dan tarik-menarik kepentingan antarlembaga negara, yaitu antara Bappenas dengan Depperindag menyangkut penetapan BMAD (Bea Masuk Anti Dumping) bagi tepung terigu impor. Bappenas berargumen bahwa penetapan BMAD hanya akan menguntungkan produsen dominan yaitu Bogasari Flour Mills. Sedangkan menurut pihak Depperindag, penetapan BMAD dilakukan untuk melindungi produsen beskala kecil. Selanjutnya terjadi konflik kepentingan terjadi antara KPPU dengan Depperindag menyangkut penerapan SNI Secara Wajib Tepung Terigu. KPPU berpendapat penetapan SNI secara wajib merupakan bentuk hambatan masuk (barrier to entry) bagi tepung terigu impor. Sedangkan menurut Depperindag, kebijakan SNI wajib pada tepung terigu ditujukan untuk menjaga kualitas tepung terigu sebagai bahan pangan.
Implikasi teoritis menujukkan bahwa teori persekutuan segitiga antara negara dan burjuasi nasional dari Peter Evans masih berlaku dan relevan dalam pengelolaan industri tepung terigu pada era reformasi di Indonesia. Persekutuan antara Departemen Perindustrian dengan APTINDO, atau Persekutuan antara Departemen Perdagangan dengan Bogasari Flour Mills, terjadi dalam pengelolaan industri tepung terigu di Indonesia, meskipun melalui negosiasi politik dan konflik kepentingan. Intervensi negara melalui kebijakan penerapan SNI dan BMAD, maupun penanggungan PPN impor gandum oleh Departemen Keuangan, ditujukan untuk melindungi industri tepung terigu nasional dan memperkuat program ketahanan pangan nasional. Intervensi negara dalam stabilisasi harga empat bahan pangan pokok termasuk tepung terigu, dapat dijadikan sebagai alat politik APTINDO dan Bogasari Flour Mills dalam menekan pemerintah.

This research of background by transfer of power of managing wheat flour commodities from state to corporate, from Bulog to Bogasari Flour Mills after food liberalitation. Now, wheat flour commodities just not food commodities, but as a political goods, where rate of its prices and supplies can pressure the government. As theoretical stepping, this research use Authoritarian Bureaucratic State from Guillermo O?Donnel and Triple Alliance Theory between State, Local Capitalist and International Capitalist from Peter Evans. Research use the qualitative methode, is while technique analysis the data use analytical descriptive. Technique data collecting by library studies, searching document of states like Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 about Antimonopoly or Competition Policy, Keppres No. 19 Tahun 1998 about Food Liberalitation, Regulation from Ministry of Industry, Ministry of Trade, Ministry of Finance and interdepth interview with members of KPPU.
Research result indicate that after food liberalitation, there were conflicts of interest on state institution, the conflict between Bappenas with Depperindag about BMAD for wheat flour imported. Bappenas argue that BMAD just give a privilege for dominant firm like Bogasari Flour Mills. But Depperindag claimed that BMAD would protect the fringe firms. The next conflict between KPPU with Depperindag about SNI policy for wheat flour mills industries. KPPU argued SNI as a barrier to entry for wheat flour imported. But Depperindag claimed that SNI policy to wheat flour mills industries made to protect quality of wheat flour as food commodities.
Theory implication show that Triple Alliance Theory especially between State and Local Capitalist is relevan in managing wheat flour mills industry in Indonesia. Cooporation between Departement of Industry with APTINDO, or cooporation between Departement of Trade with Bogasari Flour Mills is a real fenomena in wheat flour industry in Indonesia, although with political negotiation dan conflict of interests. State intervention with SNI and BMAD policies, or handle of Value Added Tax policies for wheat imported by Departemen of Finance indicated to protect national wheat flour industries and support food security programe. State intervention on price stabilitation of four food commodities include wheat flour, can used as political tools by APTINDO and Bogasari Flour Mills to pressure the government."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D888
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri-Edi Swasono
Jatipadang, Pasar Minggu: Perkumpulan Prakarsa, 2005
320.12 SRI i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elmyra Noor Khalida
"ABSTRACT
Benchmarking is one of the most effective means to develop and learn from successful cases. Benchmark study to Incheon Free Economy Zone IFEZ and Shenzhen Special Economic Zone Shenzhen would provide insights for Indonesian government, as the country now prepares to face the challenges of developing Nongsa Digital Park, the first industrial park to foster digital and technology enterprises. This paper discovers the key success factors behind IFEZ and Shenzhen. Besides located in the worlds most powerful economies ndash Republic of Korea and China ndash both are also among the most prominent and advanced SEZs, now pursuing the development of high technology industries. This study utilizes qualitative method with in depth interview and literature study as data collection technique. Several key success factors of IFEZ and Shenzhen found from the research 1 support from central and local government 2 clear strategic direction and purposes 3 efficient investment services 4 investment in research and development 5 develop linkage between local enterprise and foreign investors and 6 attract high quality talents from partnerships with universities.

ABSTRAK
Benchmarking adalah salah satu metode paling efektif untuk berkembang dan belajar dari kasus-kasus yang terbukti berhasil. Benchmark study kepada Incheon Free Economic Zone dan Shenzhen Special Economic Zone sebagai Kawasan Ekonomi Khusus KEK dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada Pemerintah Indonesia yang sedang bersiap menghadapi tantangan dari pengembangan Nongsa Digital Park, industrial park pertama di Indonesia yang ditujukan untuk perusahaan digital dan teknologi. Riset ini mempelajari kunci-kunci penting di balik kesuksesan IFEZ dan Shenzhen. Selain keduanya berlokasi di negara dengan ekonomi terbesar dunia ndash; Korea Selatan dan Cina ndash; keduanya juga termasuk KEK paling unggul dan maju, karena sudah berfokus pada pengembangan industri high-tech. Riset ini menggunakan metode kualitatif dengan in-depth interview dan studi iterature sebagai teknik pengumpulan data. Beberapa kunci kesuksesan IFEZ dan Shenzhen yang ditemukan dari riset ini: 1 dukungan dari Pemerintah pusat dan lokal; 2 strategi dan tujuan yang jelas; 3 service untuk investor yang efisien; 4 investasi pada kegiatan research and development; 5 menciptakan hubungan antara perusahaan lokal dengan investor asing; dan 6 menarik tenaga kerja dengan keterampilan tinggi melalui kerjasama dengan universitas atau institusi pendidikan."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Komalasari
"ABSTRAK
The representation of womens interest through women Members of Parliament (MPs) is achieved if there is a connection between constituents and parliamentarians. In order to be able to establish cooperation, it requires a deep understanding of their behavior. This study reveals the variety of relationships and political economic affiliations that surround women MPs. The relationship has been built since the nomination period to become a member of parliament, which in turn raises various interests and pressures that women parliamentarians must respond to. By understanding the various interests and pressures faced by women MPs, civil society can design action plans that trigger positive responses so as to minimize the potential risks."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2019
305 JP 24:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syihabuddin
"Penelitian ini berfokus pada Dinamika HIPMI Pasca Orde Baru. Sebagai wadah belajar dan kaderisasi pengusaha muda yang telah berpengalaman dalam mencetak kader-kader pengusaha-politisi di Era Orde Baru melalui partai Golkar yang menjadi induk politiknya, HIPMI sedikit banyak terkena imbas dari reformasi 1998. Sistem politik berubah dan mengikis jaringan sentral HIPMI selama ini dibirokrasi, partai politik, dan militer. Karenanya, menghadapi liberalisasi ekonomi dan politik pasca Orde Baru, HIPMI dituntut oleh keadaan untuk melakukan transformasi diri.
Transformasi ini ditandai dengan indepensi HIPMI dihadapan partai politik manapun, meskipun secara tradisi dan jaringan masih cukup kuat mengandalkan jaringan lama yang tertanam kuat di partai Golkar. Transformasi selanjutnya adalah corak bisnis yang digeluti oleh para pengusaha muda yang, seiring dengan liberalisasi ekonomi pasca Orde Baru, tidak hanya bisa mengandalkan proyek dari pemerintah semata, meski sebagai pendatang baru dalam dunia bisnis, mengerjakan proyek pemerintah berbasis ABPN/APBN masih menjadi pintu masuk ke dunia bisnis yang lebih luas. Modal ekonomi, intelektualitas, dan jaringan menjadi kunci bagi pengautan kaderisasi di HIPMI pasca Orde Baru. Dan HIPMI pasca Orde Baru selalu menuntut dirinya untuk membibitkan kader-kader pengusaha muda yang mandiri di hadapan negara.
Berpijak pada teori ekonomi politik relasi bisnis dan kekuasaan, teori modal sosial, dan kelas menengah, amatan terhadap kelembagaan dan perilaku anggota HIPMI dilakukan dan dikemukakan bahwa meski orde Politik telah berubah, namun peran tradisional HIPMI dalam politik Indonesia tetap sama: selain menjadi unit kaderisasi pengusaha pemula, HIPMI juga memerankan diri sebagai wadah kaderisasi politik sekaligus. Hal ini bukan persoalan salah atau benar dalam melihat perilaku kelembagaan HIPMI. Namun transformasi kelembagaan HIPMI yang telah kian matang, dengan perubahan perilaku bisnis yang beranjak menjauh dari negara, masih diikuti oleh tuntutan kesejarahan HIPMI: selain menyiapkan diri menjadi pengusaha yang sukses, HIPMI juga dituntut untuk siap menjadi pemimpin-pemimpin bangsa melalui jalur politik.
Demokrasi Indonesia yang masih mencari bentuknya yang ideal juga menyajikan dilemma dalam hubungan bisnis dan politik. Partai-partai politik semakin pragmatis dalam rekrutmen politiknya karena menghadapi ongkos politik yang mahal. Bagi HIPMI ini adalah peluang sekaligus tantangan dalam perannya sebagai kelas menengah di Indonesia. Di satu sisi, idealitas pembangunan kelas menengah berbasis komunitas bisnis yang kuat dan mandiri di hadapan negara menjadi tanggung jawab mereka, namun di sisi lain, ongkos politik yang begitu mahal memberi tawaran yang begitu besar bagi kelompok pengusaha untuk masuk dan bermain di dalamnya. Kaderisasi politik yang ramah terhadap kalangan usahawan ini mengidap hampir semua partai politik dan seolah menjadi tren dalam pentas politik Indonesia, sehingga membuka ruang yang begitu besar bagi organisasi yang bermotto “pengusaha pejuang, pejuang pengusaha ini”

This research is mainly focused on the post-New Order dynamism of the Indonesian Young Entrepreneurs Association (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia/HIPMI). As an organization which has a long experience on educating young generations of businessman-politicians through its political patron, Golongan Karya (Golkar), HIPMI has been to some extent affected by the 1998 reform. The changing political system erodes HIPMI’s central networking in bureaucracy, political parties, and military. As a consequence, HIPMI must adjust by transforming itself in view of the post-New Order political and economic liberalization.
HIPMI’s independence from any political party, albeit its ongoing dependence on its old tradition and networking both of which are deeply rooted in Golkar, marks this transformation. Another transformation is manifested in HIPMI’s type of business which, in line with the post-New Order economic liberalization, no longer depends solely on the government’s projects. However, the national budget (APBN)-based government’s projects remain the main entrance for the business new-comers to explore broader business opportunities. Economic capital, intellectuality, and networking play important role in strengthening the regeneration process of the post-New Order HIPMI which always urges itself to produce new, young entrepreneurs who are independent of the government.
Using business-power relation theory of political economy, social capital theory, and middle class theory to analyze the institutional and behavioral aspects of HIPMI members, this theses argues that although the political order has changed, and some of HIPMI’s members’ business role and networking have accordingly changed, the traditional role of HIPMI in Indonesian politic remains unchanged. In addition to its role as a medium for regeneration of new entrepreneurs, HIPMI plays another role as a medium for political regeneration. This does not have anything to do with right or wrong in analyzing HIPMI’s institutional behavior. HIPMI’s maturing transformation marked by its increasing distance from the government remains connected to its historical call: producing successful entrepreneurs as well as political leaders.
Indonesian democracy which is still in search for its ideal format poses a dilemma on business-politic relations. Political parties become more pragmatic in their political recruitment due to expensive political costs. This is an opportunity as well as challenge for HIPMI in its role as an Indonesian middle class. On one hand, the responsibility of building the middle class based on a strong and independent business free of the government’s influence lays on their shoulder. On the other hand, the expensive political costs pave their way to enter into politic. This businessmen-friendly climate of political regeneration is present in all political parties and apparently becomes a trend in Indonesian political contestation, providing a vast arena for HIPMI whose motto is “heroic entrepreneurs, entrepreneurial hero.”
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rosalina
"Neoliberalisme adalah suatu bentuk varian dari Liberalisme yang berkembang di Amerika sejak tahun I980an. Neoliberalisme muncul seiring dengan proses globalisasi sebagai pilihan terbaik dalam menjawab masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh pemikiran Liberal selama ini (Embedded Liberalism).
Pemikiran Neoliberal Amerika - yang timbul dari hubungan individu, masyarakat dan negara dalam budaya Liberal Amerika - tidak hanya mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah Amerika, melainkan juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah negara-negara lain - yang disosialisasikan melalui hubungan multilateral lewat lembaga-lembaga internasional.
Tesis ini akan menunjukkan bagaimana pemikiran Neoliberalisme itu terbentuk mengikuti perkembangan kebutuhan dan kepentingan bangsa Amerika, dan akhirnya mengendalikan kebijakan ekonomi politik luar negeri Amerika yang diimplementasikan dalam kebijakan welfare Bank Dunia.
Tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dengan memusatkan pada prinsip-prinsip umum yang mendasari suatu gejala atau pola yang ada dalam penerapan kebijakan politik ekonomi luar negeri Amerika. Dan menggunakan teknik penulisan deskriptif-interpretably yang melihat gejala-gejala dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi sebagai satu kesatuan yang membentuk suatu pemahaman yang holistik dan integratif- selain sebagai gejala yang berdiri sendiri.

Neoliberalism is a variant of Liberalism, which has widespread influence in the United Stated since the 1980s. Neoliberalism emerged along with globalization as the best choice in answering many questions that Embedded Liberalism is not equipped to provide.
American Neoliberalism - that grew from the relationship between the state, the community and the individual in American Liberal thoughts - affected not only the policies of United States' government, but also influenced has influenced the policies of other countries' government as well - due to their interaction with international institutions.
This thesis will attempt to show how Neoliberalism idea evolved in the effort to satisfy the interests and the needs of the United States' government. This neoliberal idea deeply impacted the international political economic policy of the United States especially those, which pertains to the World Bank's welfare programs and their implementations.
The thesis is largely based on library research with an emphasis on a qualitative approach focusing on general principles of a phenomenon or a method in analytically describing the implementation of the United States foreign policy in the area of political economic. While at the same time using a descriptive-interpretation technique to understand phenomenons from a diversity of aspects, economic, political, cultural, and social as a holistic and integrative understanding of it.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T14616
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Azis Muslim
"ABSTRAK
Bagi Indonesia, Singapura telah lama dikenal sebagai negara perantara (intermediary) perdagangan untuk ekspor maupun impor. Secara umum sunk cost entry to export merupakan pertimbangan untuk masuk ke pasar ekspor, namun dalam kondisi terdapatnya perantara perdagangan apakah sunk cost entry to export tidak menjadi pertimbangan untuk masuk ke pasar ekspor?
Untuk mengetahui hal tersebut dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menguji apakah sunk cost entry berpengaruh atau tidak untuk ekspor Indonesia ke Singapura. Model penelitian menggunakan model histerisis Baldwin-Krugman dengan pertimbangan penggunaan data aggregate dan lonjakan nilai tukar. Metode yang digunakan adalah perubahan koefisien pada saat structural break sedangkan nilainya diestimasi dengan model regresi Autoregressive Distributed Lag (ARDL).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sunk cost entry tidak memengaruhi ekspor Indonesia ke Singapura atau dengan kata lain tidak menjadi pertimbangan memasuki pasar ekspor Singapura. Temuan tersebut bermanfaat bagi eksportir dengan modal terbatas untuk menggunakan Singapura sebagai intermediary. Pemerintah sebagai fasilitator dapat menyarankan kepada eksportir pemula terutama eksportir dengan modal terbatas untuk menjadikan Singapura sebagai perantara dalam perdagangan."
Jakarta: Sekretariat badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan, RI, 2017
332 BILPDG 11:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Solahuddin Kusumanegara
Yogyakarta: Gava Media, 2010
320.6 SOL m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Zainul Munasichin
"ABSTRAK
Dalam kurun waktu 1999-2009, kinerja legislasi DPR RI mendapat sorotan tajam dari publik. Jumlah RUU yang berhasil disahkan menjadi UU selalu jauh di bawah target legislasi nasional yang sudah ditetapkan oleh DPR bersama pemerintah. Kinerja legislasi DPR yang rendah diduga disebabkan oleh etos kerja anggota DPR yang rendah. Menjawab kritikan tajam dari publik, DPR Tahun 2009 membuat Tata Tertib yang mengatur pembahasan dan pengesahan RUU dibatasi waktu tertentu. Alhasil, kinerja legislasi DPR tetap tidak menunjukkan perbaikan berarti. Studi kasus pembahasan RUU Gerakan Pramuka yang tepat waktu dan RUU Organisasi Masyarakat yang melampui batas waktu, menunjukkan terdapat empat faktor yang menyebabkan terjadinya differensiasi waktu pembahasan dan pengesahan RUU di DPR, yaitu; proses dan tahapan, pokok bahasan krusial, konfigurasi aktor dan kepentingannya serta strategi formulasi kepentingan.

ABSTRACT
The legislation performance of the House of Representatives, in the period 1999-2009, under the spotlight of the public . Total bill that successfully passed into law is always well below the national legislation targets that have been defined by parliament and the government. Parliament legislation low performance suspected by a work ethic that is lower house members. Answering public sharp criticism, The House of Representatives in 2009, make rules that discussion and passage of the bill is limited given time. As a result, the performance of the House legislation still does not show significant improvement . Case studies of the Scout Movement Bil deliberation timely and Community Organizations Bill which exceeded time limits. There are four factors that cause differentiation of time for discussion and passage of the bill in the House; the processes and stages, contents crucially, the configuration of actors and interests and the strategic of interest formulations.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T39387
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrul Salam
"Jepang dan China saat ini dikenal sebagai dua negara yang memiliki pengaruh yang cukup besar di kawasan Asia Tenggara. Hal ini terlihat dari dinamika dan pola hubungan yang dibangun oleh China dan Jepang di ASEAN. Bagi Jepang sendiri, pola dan perannyy di ASEAN telah dijalin dalam waktu yang cukup lama, yakni semenjak tahun 1977. Dalam dua dekade, eksistensi dan peran Jepang di ASEAN terlihat sangat bpsar khususnya dalam peran-peran ekonomi dan juga politik. Sementara pola hubungan yang dibangun China dengan ASEAN barn secara formal dijalin pada awal tahun 1990an.
Pola hubungan dan peran strategis Jepang di ASEAN semakin terlihat ketika periode 1980an sampai awal tahun 1990an perekonornian negara-negara ASEAN terns mengalami pertumbuhan mengitu trend yang dijuluki dengan istilah the flying geese, teori angsa terbang dimana Jepang didalamnya memilnpin pertumbuhan dan kebangkitan perekonornian kawasan. Peran Jepang dalam pembangunan ASEAN yang paling menonjol adalah pada sumbangsih FDI, ODA dan juga perdagangan. Ketika periode krisis melanda ASEAN termasuk dalam hal ini adalah negara-negara Asia Timur, keberadaan dan peran Jepang di ASEAN dalam aspek ekonomi politik mengalami gangguan produktifltas.
Sementara itu, peran dan pola hubungan yang dibangun oleh Chlna dengan ASEAN terns mengalami kemajuan walaupun secara formal bare dimulai sekitar tahun 1991. Dalarn item hubungan dagang dan juga inisiasi kerjasama ASEAN China jugs menunjukan tree peningkatan. Ketika periode krisis melanda Asia, eksistensi China relatif cult-up bertahan dan kebal sehingga poly hubungan dan peran-peran ekonomi politiknya dengan ASEAN pun terns mengalamu peningkatan.
Dengan temuan seperti disebutkan di Was, tesis ini memunculkan satu pokok persoalan yakni apakah kehadiran China di ASEAN telah mengancam dominasi ekonomi politik Jepang di ASEAN khususnya periode pasca krisis yakni tahun 1999-2004. Untuk menganalisa sekaligus menjawab pertanyaan penelitian dalam permasalahan tesis, penulis menggunakan beberapa pendeltatan atau teori terkait seperti national interest, neo realis dan juga open regionalism.
Analisa dalam tesis ini menemukan beberapa poin panting; pertama bahwa peran Jepang di ASEAN pasca krisis mengalami fluktuasi dan dalam beberapa hal peran Jepang terlihat menurun. Kedua, Jepang sangat khawatir melihat China yang secara produktif terus berperan aktif dengan ASEAN. Hal ini karena kebangkitan dan pertumbuhan ekonomi China terus meningkatkan eskpansi dan kemitraan dengan negara-negara kawasan khususnya ASEAN.
Pada akhirnya, penulis menemukan beberapa hal terkait dengan ancaman China terhadap dominasi ekonomi politik Jepang di ASEAN. Pertama, periode pasca krisis peran dominasi keperuimpinan ekonomi politik Jepang di ASEAN mulai bergeser, akibat munculnya China dengan pengaruhnya yang prestisius dalam bidang ekonomi dan politik dan railiter. Kedua, peran dan dominasi ekonom politik Jepang di ASEAN yang mengalami pergeseran juga menyebabkan berkurangnya kontrol Jepang teradap pembarxgunan ekonomi politik di ASEAN. Ketiga, menguatnya trend regionalisme di Asia Timur dalam wujud FTA ASEAN China, telah meiahirkan satu bentuk potensi yang sangat besar yakni new emerging market dan keempat, trend China yang secara ekonomi politik terns mengalami peuguatan, berpotensi secara langsung mengancain keberadaan Jepang dalam kepemimpinan kawasan dan, kelima adalah kebangkitan ekonomi politik China telah berakibat secara langsung pada peningkatan alokasi anggaran militer tiap tahunnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>