Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153203 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dessy Rakhmawati Emril
"Latar belakang: Sebuah skala prediktor yang dapat secara konsisten memprediksi keluaran pasien perdarahan intraserebral spontan (PIS) sangat diperlukan dalam penatalaksanaan pasien. Semakin cepat prognosis diketahui akan semakin baik karena sangat erat kaitannya dengan efektifitas terapi.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berperan sebagai prediktor independen terhadap keluaran pasien perdarahan intraserebral spontan di supratentorial, dan membuat sebuah skala prediktor PIS yang sesuai dengan pola penderita PIS di RSCM
Disain dan Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi kasus kontrol yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan skala prediktor berdasarkan variabel yang terbukti sebagai prediktor independen keluaran penderita PIS.
Hasil: Faktor yang berperan sebagaai prediktor independent terhadap keluaran 30 hari pasien PIS adalah Skala koma Glassgow (p< 0.001), perluasan perdarahan ke intraventrikel (p= 0.001), dan volume lesi (p=-0.010). Skala prediktor PIS adala total nilai masing-rasing komponen yang terdiri Bari: SKG 34 (=2), 9-12 (=1), 13-15 (=0); IVH ya (=1), tidak (=0); volume Iasi ? 30 cc (=1), < 30 cc ff.)). Subyek dengan total skor 0, 1, 2, 3, 4, berturut-turut memiliki probabilitas meninggal 1.3%, 9.2-13.16%, 52.7-63.5%, 92:5-95.1%, dan 99.3%. Probabilitas keluaran meninggal meningkat sebanding dengan peningkatan total skala prediktor.
Kesimpulan: Faktor yang berperan sebagai prediktar keluaran 30 hari pasien PIS spontan supratentorial adalah Skala koma Glassgow, perluasan perdarahan ke intraventrikel, dan volume hematom. Berdasarkan prediktor independent tersebut dapat dibuat skala prediktor untuk memprediksi keluaran pasien. Probabilitas meninggal meningkat sebanding dengan peningkatan total skala prediktor.

Background. The predictor scale that predict consistently the outcome of patients with ICH is very important. Prognosis has strong relationship with effectiveness of treatment
Objective. To found the factors that act as the predictors of 30-day outcome for spontaneous intracerebral hemorrhage and to define a predictor scale or modified ICH scoring .
Methods. These was a case control study that continued by defined a predictor scale for ICH which use a criteria that was predictive of outcome.
Result. Factors independently associated with 30-day mortality were Glasgow Coma Scale score (p< 0.001), presence of intraveniricular hemorrhage (p0 001), and ICH volume (p=O.0I). The predictor scale of ICH was the sum of individual points assigned as follows: GCS score 3 to 8 (= 2 points), 9 to 12 (= 1 point), 13 to 15 point (41); Intraventricular hemorrhage yes (-I), no (41); ICH volume 30 cc (=1), < 30 cc (4). Thirty-day mortality rates for subjects with predictor scale of ICH of 0,1,2,3,and 4 were 1.3%, 9.2-13.6%, 52.7-63.5%, 92.5 - 95.1%, and 99.3% respectively. Thirty-day mortality increased steadily with predictor scale of ICI
Conclusions. Factors independently associated with 30-day mortality is Glasgow Coma Scale score, presence of intraventricular hemorrhage, and ICH volume. The ICH predictor scale can predict the risk stratification on patients with ICH. The use of a scale such ICH predictor scale could improve standardization of clinical treatment protocols.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Purwati
"Perawatan pada pasien dengan perdarahan intraserebral pada fase subakut memerlukan pemantauan ketat di ruang rawat ICU. Masalah keperawatan yang terjadi pada pasien meliputi bersihan jalan napas inefektif, perfusi serebral inadekuat, ketidakstabilan glukosa darah, resiko defisit nutrisi, resiko ketidakstabilan cairan dan elektrolit, serta adanya risiko perluasan infeksi. Masalah gastrointestinal pada pasien ICH mengakibatkan gangguan penyerapan nutrisi dengan tingginya GRV yang berisiko terjadinya aspirasi. Salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui pijat perut (abdominal massage). Laporan ini disusun untuk memaparkan analisis asuhan keperawatan pada pasien kritis dengan perdarahan intraserebral dalam penerapan abdominal massage untuk mengurangi residu lambung. Asuhan keperawatan diberikan secara menyeluruh sesuai masalah keperawatan pada kasus selama tiga hari. Sebagian intervensi meliputi abdominal massage yang dilakukan selama 20 menit sebanyak dua kali sehari. Setelah asuhan keperawatan diberikan didapatkan bersihan jalan napas yang belum efektif, perfusi serebral belum adekuat, glukosa darah belum stabil, defisit nutrisi tidak terjadi dengan peningkatan asupan, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan perluasan infeksi masih mungkin terjadi. Residu NGT berkurang hingga 0 cc setelah dilakukan intervensi abdominal massage. Pemberian intervensi abdominal massage sebagai bagian dari keseluruhan asuhan keperawatan dapat diterapkan di berbagai ruang rawat untuk menurunkan GRV dan meningkatkan penyerapan nutrisi pasien dengan NGT.

Care for patients with intracerebral hemorrhage in the subacute phase still requires close monitoring in the ICU ward. The nursing problems occurring in the patient include ineffective airway clearance, inadequate cerebral perfusion, blood glucose instability, risk of nutritional deficit, risk of electrolyte and fluid imbalance, and the risk of infection spread. Gastrointestinal problems in ICH patients result in nutrient absorption disorders with high GRV, which poses a risk of aspiration. One of the interventions that can be done to address high gastric residue is through abdominal massage. This report is prepared to present an analysis of nursing care for critically ill patients with intracerebral hemorrhage in the application of abdominal massage to reduce gastric residue. Nursing care was provided comprehensively according to the nursing problems in the case over three days. Some interventions included abdominal massage performed twice a day. After nursing care was provided, it was found that airway clearance was still ineffective, cerebral perfusion was inadequate, blood glucose was unstable, fluid and electrolyte imbalance had not been resolved, and the spread of infection was still possible. GRV decreased to 0 cc after abdominal massage intervention. The provision of abdominal massage intervention as part of overall nursing care can be applied in various wards to reduce GRV and improve nutrient absorption in patients with NGT."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
hapus4
"Epidural hematoma merupakan perdarahan yang terjadi antara tulang kranium dan duramater. Dua pertiga penderita epidural hematoma terjadi pada usia kurang dari 40 tahun, jarang terjadi pada usia diatas 60 tahun, hal ini disebabkan pada usia tua secara anatomis terdapat perlekatan-perlekatan antara kranium dan duramater. Usia kurang dan 40 tahun merupakan usia dengan aktivitas yang sangat tinggi, sehingga merupakan masa yang rawan terjadinya trauma kapitis akibat kecelakaan lalu lintas atau faktor trauma lain yang banyak menyebabkan terjadinya perdarahan epidural.
Penegakan diagnosis perdarahan epidural selain dari anamnesis dan pemeriksaan klinis pasien, juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang seperti Brain CT-Scan sehingga dapat ditentukan kriter+a inklusi dan ekslusi penderita perdarahan epidural sesuai dengan tujuan penelitian. Tidak semua kasus epidural hematoma yang dibawa ke IGD RSUPN CM memerlukan tindakan operasi, hal ini disebabkan disamping karena memang tidak terindikasi juga disebabkan hal - hal lain yang berakibat batalnya tindakan operasi yang bersifat non medis.
Berdasarkan data - data kasus perdarahan epidural yang datang ke bagian Gawat Darurat RSUPN CM selama periode tiga tahun ( 2001 - 2004) serta keterkaitannya dengan berbagai faktor yang berhubungan dengan kasus tersebut, kami membuat suatu penelitian bersifat retrospektif yang diambil dari rekam medik penderita perdarahan epidural yang datang ke IGD RSUPN CM selama tiga tahun. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menelaah berbagai faktor yang berhubungan dengan perdarahan epidural yang dibuat dalam bentuk variabel - variabel tertentu yang sangat berkaitan, sehingga diharapkan dapat membenkan masukan bagi pihak - pihak yang membutuhkan khususnya bagian bedah saraf RSCM guna menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat kasus trauma kepala khususnya yang disebabkan oleh perdarahan epidural.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Belum ada data penelitian penderita perdarahan epidural pada tiga tahun terakhir, di RSUPN CM, khususnya di Bagian Bedah Saraf
2. Belum ada data demografis penderita trauma kepala umumnya dan penderita perdarahan epidural khususnya, baik menyangkut umur, jenis kelamin, penyebab perdarahan maupun hal - hal lain yang berhubungan dengan kasus perdarahan epidural
3. Belum pemah diteliti faktor - faktor yang mempengaruhi prognosis penderita perdarahan epidural di RSUPN - CM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wismaji Sadewo
"Trauma atau kecelakaan di beberapa negara maju cenderung meningkat dari tahun ke tahun, bahkan merupakan penyumbang angka kematian dan kesakitan tertinggi menggantikan infeksi, penyakit cardio vaskuler, neoplasma dan carat bawaan.
Di negara maju epidemiologi kecelakaan berubah seiring dengan perubahan masyarakat moderen dalam pandangan mereka tentang penggunaan helem, sabuk keselamatan, kebiasaan minum dan Cara mengendara; yang lebih penting lagi adalah peningkatan penanganan pra rumah sakit oleh masyarakat awam dan penanganan rumah sakit oleh tenaga medic.
Hingga ini belum ada penelitian yang mencari kaitan kondisi klinis radiologis dan temuan operatif untuk membuat prediksi pada pasien dengan epidural hematoma traumatika dan hat ini berguna untuk edukasi dan persetujuan medis bagi keluarga pasien.
Berdasar dari pemikiran inilah maka penelitian ini dilakukan dengan harapan bahwa hasil yang diperoleh dapat dipakai sebagai salah satu acuan ataupun menjadi rujukan dalam menentukan standar baku pengelolaan epidural hematoma akibat trauma kepala di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
RUMUSAN MASALAH
Belum ada data karakteristik klinis, radiologis dan temuan operatif penderita dengan epidural hematoma traumatika di Bagian Bedah Saraf FKUI/RSUPNCM. Belum adanya acuan atau prosedur standar yang dtetapkan untuk membuat prediksi penderita dengan epidural hematoma baik yang perlu tindakan operasi maupun yang diiakukan konservasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Janno
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penekanan mekanikal bantal pasir 2,3 kg antara 2, 4, 6 jam terhadap komplikasi. Metode penelitian randomized controlled trial, dengan jumlah sampel sebanyak 90 orang. Kelompok intervensi I menggunakan bantal pasir 2,3 kg 2 jam, intervensi II 4 jam, kelompok kontrol 6 jam, pengukuran dilakukan setiap 2 jam.
Hasil penelitian tidak ada mengalami perdarahan pada semua kelompok, tidak ada perbedaan insiden haematom diantara kelompok (p= 0,866; α= 0,05). Ada perbedaan rasa nyaman diantara kelompok pada observasi 4 jam (p= 0,003; α= 0,05) dan observasi 6 jam (p= 0,0005; α= 0,05). Rekomendasi penelitian ini adalah perlunya modifikasi Standar Prosedur Operasional penggunaan bantal pasir 2,3 kg sebagai penekan mekanikal dari 6 jam menjadi 2 jam, sebab tidak meningkatkan komplikasi, akan tetapi meningkatkan rasa nyaman klien.

This study was to determine the effectiveness of the mechanical suppression of sandbag 2.3 kg between the 2, 4, 6 hours against complications. The research design was randomized controlled trial study, where 90 patients as sample. A 2.3 kg sandbag was applied for two hours for the first group, four hours for the second groups, and six hours for the control groups, measurements were taken every 2 hours.
The results showed that no patient has any bleeding, not difference the incidence of hematoma between groups (p= 0.866; α= 0.05). That the differences of discomfort between groups were found after 4 hours (p= 0.003; α= 0.05), and after 6 hours (p= 0.0005; α=0.05). It is recommended that Standard Operational Procedure modification required from six hours into two hours in using a 2.3 kg sandbag as a mechanical pressure, because there is no increase of incidence of complications, on the otherhand an improvement of comfort level is detected.
"
STIKES Mutiara Indonesia ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
610 JKI 15:3 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Listiono Linggo
"Cedera otak pada perdarahan intraserebral spontan (PIS) terdiri dari cedera primer kerusakan struktural karena proses mekanis dan cedera sekunder akibat respons patofisiologis subklinis mencakup inflamasi, stress oksidatif dan sitotoksik terhadap komponen serta produk degradasi darah. Proses subklinis PIS yang sedang berlangsung tersebut masih belum terpantau secara lengkap, sehingga penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi perjalanan proses subklinis cedera otak sekunder perdarahan intraserebral spontan dan pengaruhnya terhadap perubahan luaran respons klinis kasus (LRK) PIS pasca-intervensi bedah saraf. Penelitian ini menggunakan desain observasional prospektif, mulai Agustus 2016-April 2018 terhadap 20 subjek yang baru pertama kali mengalami perdarahan intraserebral spontan yang disertai perdarahan intraventricular dan menjalani intervensi bedah saraf external ventricular drainage (EVD). Data tercatat mencakup skor Full Outline of UnResponsiveness (SF), TIK, dan kadar hari ke-1 dan hari ke-7 Tumor Necrosis Factor alpha (TNFα), Superoxide Dismutase (SOD) dan zat besi dalam LSS. Analisis bivariat menggunakan uji Ttak berpasangan atau uji Mann-Whitney. Data skala kategorik diuji dengan Chisquare atau Fisher's exact test, dan untuk data kategorik berpasangan dengan uji McNemar.
TIK pasca-intervensi semua subjek menurun secara gradual menjadi normal dan ada lima subjek yang tidak mengalami perbaikan LRK SF hari 1-7. Semua subjek kelompok 'tanpa perbaikan' mempunyai kadar TNFα LSS hari ke-1 tinggi, sebaliknya yang kadarnya normal mengalami perbaikan LRK (P=0,003). Selisih nilai peningkatan TNFα hari 1-7 juga lebih besar bermakna pada yang 'tanpa perbaikan' (P=0,005). Kadar SOD LSS hari ke-1 dan perubahannya tidak terbukti berbeda bermakna antara kedua kelompok. Pengamatan klinis memperlihatkan 80% subjek 'perbaikan', mempunyai kadar zat besi LSS hari ke-1 normal dalam status saturasi transferin < 50%. Semua subjek yang mempunyai kadar zat besi hari ke-1 tinggi dalam status saturasi transferin ≥ 50% mengalami LRK 'tanpa perbaikan'. Terdapat perbedaan bermakna dari selisih peningkatan status saturasi transferin antara kedua kelompok subjek. (P=0,05). Penelitian ini menyimpulkan bahwa subjek PIS dengan kadar TNFα LSS hari ke-1 tinggi dan/atau zat besi LSS tinggi dalam status saturasi transferin ≥ 50%, mempunyai LRK 'tanpa perbaikan'. Semakin besar peningkatan kadar TNFα LSS pada hari ke-7 dan/atau kadar zat besi yang disertai peningkatan saturasi transferrin, mempunyai LRK 'tanpa perbaikan'. Kadar SOD hari ke-1 dan perubahan kadar hari 1-7 belum dapat dimanfaatkan sebagai penanda prognosis dan proses subklinis PIS.

Brain injury of spontaneous intracerebral hemorrhage caused by primary injury of structural damage due to mechanical processes and secondary injuries resulting from subclinical pathophysiological responses of inflammation, oxidative stress and cytotoxicity to components and blood degradation products including iron. The subclinical pathophysiology processes still cannot be monitored explicitly. This study is aimed at identifying the course of ICH subclinical secondary brain injury process and finding its relations with the days 1-7 trend of clinical response outcomes after neurosurgical intervention. This study is a prospective observational designed study done from August 2016 until April 2018. Twenty subjects were diagnosed as spontaneous intracerebral hemorrhage and underwent neurosurgical intervention external ventricular drainage (EVD). Recorded data consist of everyday Full Outline of UnResponsiveness (FOUR) score, intracranial pressure, and cerebro-spinal fluid (CSF) Tumor Necrosis Factor alpha (TNFα), Superoxide Dismutase (SOD), iron and transferrin saturation at day-1 and day-7. Bivariate analysis performed with unpaired T-test or Mann-Whitney test. Unpaired categorical scale data tested by Chi-square or Fisher's exact test, and McNemar test for paired categorical data.
All 'unimproved' subjects had high levels of day-1 CSF TNFα, whereas all subjects with normal TNFα have clinical improvement response (P=0.003). Subsequently those subjects had significantly greater increasing levels (P=0.005). No significant difference of CSF SOD between of 'unimproved' and 'improved' group. Clinical observation clearly showed that 80% of 'improved' subjects have normal day-1 iron levels in controlled by transferrin saturation < 50%. There will be no improvement of those high iron levels with transferrin saturation ≥ 50%. A significant difference results were also noted of increasing transferrin saturation status (P=0,05). This study concluded that SICH with high level of day-1 CSF TNFα and/or high CSF iron with transferrin saturation ≥ 50%, would have an 'unimproved' trend of clinical response outcome. Greater increasing level of those biomarkers in days 1-7, tend to have an unimproved outcome. CSF SOD could not to be use as a significant clinical prognostic and process biomarker."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasan
"[ABSTRACT
Background : Spontaneous intracerebral hemorrhage is responsible for 10-15 % of stroke cases and associates with higher mortality rate compared to ischemic stroke or subarachnoid hemorrhage. The causative in 70-80% cases is caused by hypertension or amyloid angiopathy cerebral.
With mortality rate up to 40-50%, identification of risk factor that can be modified is crucial. Hypertension posed as a modifiable risk factor and contribute as the highest caused for spontaneous intracerebral hemorrhage. With the better control of the blood pressure we can lowering the risk of spontaneous intracerebral hemorrhage. In geriatric patients the risk can be lowered up to 50% if we could control the systolic blood pressure. Overall the relative risk of hypertensive patients compared to normotensive patients is about 3.9 ? 13.3. Men are more prone to intracerebral hemorrhage than women.
Clinical evaluation and diagnosis of spontaneous cerebral hemorrhage are based on clinical examination and other additional examination. The clinical exam is depend on the location and volume of hematome. For the additional exam, computed tomography scan can be done to detect the hemmorhage. Based on it?s location, spontaneous intracerebral hemorrhage can be classified into lobar, ganglia basal, thalamic, pons and cerebellar. Methods : This is a descriptive study with cross-sectional approach. The data in this study are gotten from the medical record unit of Cipto Mangunkusumo National Hospital. The population in this study are all of the spontaneous intracerebral hemorrhage patients which being consulted to the Neurosurgery Departement of Cipto Mangunkusumo National Hospital during January 2013 until August 2014 periods.
The method for getting the sample in this study is using consecutive sampling. The inclusion criteria in this study is spontaneous intracerebral hemorrhage cases which proven using CT scan and consulted to the Neurosurgery Departement of Cipto Mangunkusumo National Hospital during January 2013 until August 2014 periods. The exclusion criteria in this study is the patient that does not have complete data in the medical record. Results : In this study, there are 29 cases in male (63%) and 17 cases in female (37%) that diagnosed with the spontaneus intracerebral hemorrhage. For the location of hemorrhage, there are 19 cases located on basal ganglia (41,3%), 21 cases located on lobar (45,7%), 5 cases located on thalamus (10,9%) and 1 case located on cerebellum (2,1%).
From the bivariate analysis, we found that there is correlation between operative procedure to length of stay (p=0,012). But there are not any correlation between operative procedure to glasgow outcome scale (GOS) (p=0,708) and to the mortality outcome (p=0,472). There are not any correlation between the onset of PISS to the mortality outcome (p=0,09) and history of hipertension with mortality outcome (p=1,00). We found that there is correlation between glasgow coma scale (GCS) and mortality outcome (p=0,013). Based on the hemorrhage location, there is not any correlation between the location and the mortality outcome. (p=0,370). Conclusions :The conclusion of this study are, the spontaneous intracerebral hemorrhage is often occured in male with age 40-60 years old. Mostly, the location of intracerebral hemorrhage is on the basal ganglia. GCS is a parameter that has correlation with the spontaneous intracerebral hemorrhage, but history of hypertension does not have correlation with the outcome (mortality). Operative procedure will make longer length of stay of the patient and does not influence the GOS.

ABSTRAK
Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati.
Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita.
Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo.
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo ? Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap.
Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%).
Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi.;Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati.
Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita.
Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo.
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap.
Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%).
Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi., Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati.
Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita.
Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo.
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap.
Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%).
Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herbagyanto Purnomo
"Campak (Measles) merupakan penyakit yang umumnya menyerang anak di bawah lima tahun (balita). Penyakit ini disebabkan oleh virus dan dapat dicegah dengan imunisasi.
Pada anak dengan status gizi kurang dapat terjadi komplikasi seperti Diare, Pnemonia, Encephalitis, Otitis media dan adanya komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian.
Di Indonesia angka kejadian (Incidence rate) pada balita adalah 19,4/10.000 balita, oleh karenanya pemerintah mengadakan program imunisasi terhadap bayi umur 9-12 bulan, agar angka kejadian campak dapat diturunkan.
Di Jakarta Selatan meskipun keberhasilan cakupan (caverage) imunisasi telah mencapai lebih dari 100 %, tetapi penyakit campak masih endemis di wilayah Jakarta Selatan, bahkan relatif tinggi untuk anak balita. Hal ini menimbulkan pertanyaan faktor penyebab apa saja yang dapat mempengaruhi kejadian campak pada anak usia 12 - 24 bulan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan disain kasus kontrol (Cases Control Study) dengan tujuan dapat menjawab pertanyaan diatas.
Sebagai kasus adalah anak usia 12 - 24 bulan yang menderita campak, dan sebagai kontrol adalah anak usia 12 - 24 bulan tidak menderita campak dan tinggal dekat rumah kasus. Jumlah kasus dan kontrol masing-masing sebanyak 50 anak (dengan perbandingan 1 : 1).
Variabel yang diteliti adalah status imunisasi dan status gizi anak; pendidikan, pengetahuan, dan sikap ibu; dan lingkungan rumah penderita yaitu kepadatan dan ventilasi hunian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status imunisasi dan status gizi anak; pendidikan ibu; keadaan rumah penderita berpengaruh terhadap kejadian campak pada anak usia 12 - 24 bulan, sedangkan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian campak berdasarkan kontribusinya secara berurutan adalah status imunisasi, status gizi dan ventilasi hunian.
Penelitian ini menyimpulkan bahua anak yang dilakukan imunisasi dengan status (keadaan) gizi yang baik dan tinggal pada rumah dengan ventilasi yang baik dapat mengurangi kejadian(insidence) campak.
Dari hasil penelitian ini disarankan untuk meningkatan cakupan imunisasi dengan memanfaatkan momentum "Pekan Inunisasi Nasional" ( PIN ) , perbaikan gizi anak balita dan perbaikan ventilasi rumah tinggal untuk menurunkan angka kejadian campak pada balita.

Measles is common childhood disease in children under five years of age. The Disease is spread by virus, and can be prevented by immunization. For children with poor nutrition. the disease can be complicated by diarrhea, pneumonia, enchephalitis and otitis media, and these complication can result in death.
The incidence for children in Indonesia under five years is 19,4 per 10.000 children, so to reduce this rate the government has implemented an immunization program for infant 9 to 12 months old. In South Jakarta even though the coverage of immunization exceed 100 percent, measles is still considered endemic to the area and is in fact relatively high for the children under five years. This poses the question: what factors influence the incidence of measles for children between 12 and 24 months in this area ?.
To answer this question, this research used the cases control study approach. The cases were children aged 12 to 24 months who had measles, and the controls were children aged 12 to 24 months who did not have measles and live near the cases. The number of both cases and controls was 50 children each ( a ratio of 1 to 1 ).
The variable examined were the immunization status and nutrition of child ; the mother's education, knowledge and attitude; and the surrounding environment, namely the population density and ventilation within the home.
The research indicated that the incidence of measles in children aged between 12 and 24 months old was influenced by the immunization status and nutrition of the child, the mother's education and the home environment, while the factors those most contributed to the incidence of measles were, in order of magnitude, the child's immunization status, the level of nutrition, and the home ventilation.
This research concludes that immunized children with a good nutrition and living in a well ventilated house can decreased the incidence of measles. The research suggest that to decrease the incidence of measles among children aged 12 to 24 months the extent of immunization be increased by taking advantage of the momentum created by the "Pekan Inunisasi National" ( PIN - National Immunization week ), that nutrition in children under 5 years old be improved, and that the public be made aware of importance of good ventilation in housing.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T5779
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfia Nadia
"Obstetric Hemorrhage is one of leading causes for maternal death in developing country and cause for 50% of estimated 500.000 maternal death globally per year. It is known that 7,6% of complications during labor and delivery that happen in Indonesia is postpartum hemorrhage (PPH). The purpose of this study is to examine factors that associated with PPH complication in Indonesia. Research method which is used in this study is cross sectional that analyze Indonesia Demographic and Health Survey (SDKI) 2012?s data source. Population in this study is all woman in age range 15-49 year old that ever gave birth in Indonesia from January 2007 until SDKI 2012 started. This study find that mother with low education (PR=1,248; 95% CI: 1,108 ? 1,405), maternal age <20 and >35 years (PR= 1,157; 95% CI: 1,007 ? 1,329), smoking behavior (PR= 1,991; 95% CI: 1,047 ? 1,425), parity >3 children (PR= 1,221; 95% CI: 1,047 ? 1,425), pregnancy complications (PR= 2,805; 95% CI: 2,477 ? 3,175), past labor complications (PR= 1,765; 95% CI: 1,468 ? 2,123), and completeness of antenatal care (PR= 0,79; 95% CI: 0,664 ? 0,94) are associated with PPH complication. Government commitment is needed to improve health facility?s coverage, train health assistance, and educate people to increase awareness of rights and needs of maternal and newborn health.

Perdarahan obstetri adalah salah satu penyebab utama kematian maternal di negara berkembang dan penyebab 50% dari 500.000 kematian maternal yang diperkirakan terjadi per tahun di dunia. Sebesar 7,6% dari komplikasi persalinan yang terjadi di Indonesia adalah komplikasi perdarahan pascapersalinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian komplikasi perdarahan pascapersalinan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan analisis data sekunder SDKI 2012. Populasi penelitian adalah seluruh wanita usia 15-49 tahun yang pernah melahirkan di Indonesia dalam kurun waktu Januari 2007 sampai pelaksanaan SDKI 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan pendidikan rendah (PR=1,248; 95% CI: 1,108 ? 1,405), umur ibu <20 dan >35 tahun (PR= 1,157; 95% CI: 1,007 ? 1,329), perilaku merokok ibu (PR= 1,991; 95% CI: 1,047 ? 1,425), paritas >3 anak (PR= 1,221; 95% CI: 1,047 ? 1,425), komplikasi kehamilan (PR= 2,805; 95% CI: 2,477 ? 3,175), riwayat komplikasi persalinan (PR= 1,765; 95% CI: 1,468 ? 2,123), dan kelengkapan pelayanan antenatal (PR= 0,79; 95% CI: 0,664 ? 0,94) berhubungan dengan kejadian komplikasi perdarahan pascapersalinan. Perlunya komitmen pemerintah untuk memperbaiki cakupan fasilitas kesehatan, pelatihan lebih lanjut pada tenaga kesehatan, dan pemberian edukasi pada masyarakat sehingga menumbuhkan kesadaran hak dan kebutuhan tentang kesehatan ibu dan anak.
"
Universitas Indonesia, 2015
S60876
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangunsong, Maruli
"Latar belakang : Stroke masih merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker. Kematian karena perdarahan intraserebral dalam 7 hari pertama masih tinggi. Banyak faktor yang berpengaruh dan dapat dilakukan intervensi pada perawatan khusus.
Tujuan : Mengetahui faktor faktor prognostik kematian dini di RSUD R Syamsudin SH Sukabumi.
Bahan dan Cara : Pasien yang ikut penelitian ini adalah pasien stroke dengan perdarahan intraserebral yang dirawat di RSUD R Syamsudin SH yang memenuhi kriteria inklusi sejak 1 Januari 2005 sampai 30 Juni 2006.
Metode : Penelitian kohort prospektif dan dianalisis dengan analisis survival.
Hasil : Dari 117 pasien perdarahan intra serebral didapatkan kematian dini sebanyak 26,5%. Variabel yang sangat berpengaruh sebagai faktor prognosis kematian dini perdarahan intraserebral adalah gangguan kesadaran HR= 4,31 Interval Kepercayaan (2,0-9,19) p{1,000 sedangkan volume perdarahan HR=5,3 Interval Kepercayaan (2,34-11,9) p=0,000 serta kadar gula darah HR= 2,15 Interval Kepercayaan (0,99-4,65) p=0,051.
Kesimpulan : Kematian karena perdarahan intra serebral masih cukup tinggi yaitu 26,5%. Perlu penanganan segera faktor yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya kematian dini yaitu gangguan kesadaran, gula darah, dan volume perdarahan sehingga dapat menurunkan angka kematian.

Background: Stroke is still known as the third leading cause of death after coronary heart disease and cancer. Death due to intra-cerebral hemorrhage in the first 7 days is having high rote. Many factors are able to influence the incidence, although it can he inter vent through special care.
Objectives: To find out prognostic factors on early death due to infra-cerebral hemorrhage at the District General Hospital of R. Syanisudin SH (DGH-RS) at Kota Sukabumi.
Objects and Technique: Respondents involved in the study are stroke patients that suffer with infra-cerebral hemorrhage. The patients are being treatment at the DGH-RS and have fulfilled the inclusion criteria of the study, from 1st `January 2005 until 30rd June 2006.
Method: The study is a prospective cohort study and is analyzed by using survival analysis.
Results: Of 117 patients with intro-cerebral hemorrhage, an early death has occurred at 26.5%. The most influence variables, as prognostic factor to early death of infra-cerebral hemorrhage, are: consciousness disorders HR= 4.31 Confidence interval (2.0 - 9.19) p= 0.000, blood depletion volume HR= 5.3 Confidence interval (2.34 - 11.9) p= 0.000, and blood sugar level l-IR= 2.15 Confidence Interval (0.9[9 - 4.65) p= 0.051.
Conclusion: The rate of death as a result of infra-cerebral is still high, i.e. 26.5%, There is an urgent need on controlling those factors affected the incidence of early death, namely consciousness disorders, blood sugar, and blood depiction volume, in order to decrease the death rate.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>