Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135184 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartini Zachrotunnisa
"Akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, apabila cara pembuatannya telah memenuhi ketentuan yang ditetapkanperaturan perundang-undangan dan isinya menyatakan perbuatan hukum yang sebenarnya. Keberadaan akta otentik disebabkan karena ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan adanya alat bukti yang demikian itu untuk perbuatan hukum tertentu atau para pihak menghendaki agar perbuatan hukum tertentu diwujudkan dalam bentuk akta otentik. Adapun pokok permasalahan yang timbul adalah bagaimana kekuatan hukum akta Notaris sebagai alat bukti dan kriteria apa yang yang menentukan cacatnya suatu akta Notaris sehingga dapat dibatalkan oleh pengadilan. Guna menjawab permasalahan tersebut, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan, yang dilakukan dengan menganalisa data dengan pendekatan kualitatif sehingga menghasilkan penelitian yang bersifat Perspektif Evaluatif Analisis. Dengan menggunakan metode analisis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang meliputi daya pembuktian lahiriah, daya pembuktian formal dan daya pembuktian materil. Keotentikan tersebut sangat bergantung pada ketelitian Notaris dalam membuatnya dan kejujuran dari para pihak yang menghadapi Notaris untuk dibuatkan aktanya dalam memberikan keterangan kepada Notaris, namun apabila hal tersebut diabaikan maka akibatnya akta Notaris dapat menjadi akta yang hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, yang tentu saja akta tersebut termasuk dalam akta yang cacat, dan dapat dimintakan pembatalannya. Pembatalan akta Notaris dapat dilakukan atas kesepakatan dari para pihak dengan bersama-sama menghadap Notaris guna membuat akta pembetulan/pembatalanya, atau melalui pengadilan apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan. Demikian sifat otentik suatu akta Notaris tidak mutlak sepanjang apa yang dapat dibuktikan sebaliknya."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19626
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmatul Hidayat
"ABSTRAK
Hakim dan kebebasannya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009. Dimana hakim memiliki sebuah kebebasan yang sangat luas untuk
menjatuhkan sebuah sanksi, meskipun hakim memiliki kewenangan yang besar ia
tidak bebas secara mutlak. Kekuasaan memiliki arti penting, sebab kekuasaan
tidak saja merupakan instrument pembentukan hukum (law making), tetapi juga
merupakan instrument penegakan hukum (law enforcement) dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum memiliki arti penting bagi
kekuasaan karena hukum dapat berperan sebagai sarana legalisasi bagi kekuasaan
formal lembaga-lembaga negara dan unit-unit pemerintahan. Dan dalam
penegakan hukum, menghendaki agar kekuasaan kehakiman yang merdeka
terlepas dari pengaruh pemerintah atau kekuasaan lainnya. Discretionary power
yang dimiliki oleh hakim dianggap sedemikian rupa besarnya sehingga terjadi
adalah abuse of power yang berujung pada kesewenang-wenangan dalam
menjatuhkan hukuman. Pedoman pemidanaan dianggap sebagai jalan terbaik
dalam membatasi kebebasan hakim sehingga objektifitas dan konsistensi dalam
memutuskan perkara akan tetap terjaga, sehingga dengan pedoman pemidanaan
itu juga akan diperoleh sebuh hukuman yang proporsionalitas sesuai dengan apa
yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

ABSTRACT
Judge and independent have been regulating in Under Act No. 48 of 2009
The judge have a extensive independency to give a sanction, although the judge
have a extensive authority, but his not absolutely free. The authority have
significance, because the authority isn’t just a law-making instrument, but also an
instrument of law-enforcement in the life of society, nations and state. Law have
significance the authority cause the law could act as a means of formal authority
legalization of state institutions and the government units. And in lawenforcement,
calls for independent judiciary from the influence of government or
other authority. Discretionary power held by judges considered such magnitude
that happened was abuse of power that led to the arbitrariness in sentencing.
Sentencing guidelines are considered as the best way of limiting the independent
of judge so that objectivity and consistency in deciding cases will be maintained,
so that the sentencing guidelines would also obtained a proportionality
punishment in accordance with what has been done by criminals."
Universitas Indonesia, 2013
T35897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Gunawan
"Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yang telah mengalami perubahan menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman di Republik Indonesia adalah ?kekuasaan kehakiman yang merdeka?. Hakim disini memegang peran sentral dalam peradilan sebagai personifikasi dari peradilan, sehingga kedudukan hakim dan kemerdekaan hakim harus dijamin dalam sebuah undang-undang (UU). Saat ini, kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, oleh karena itu tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis materi UU No. 48 Tahun 2009 dalam melindungi kemerdekaan hakim di Republik Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang terdapat pada UUD 1945 dan instrumen-instrumen internasional. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang dilengkapi dengan pendekatan sejarah, perbandingan dengan negara lain dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa UU No. 48 Tahun 2009 telah memiliki norma-norma yang mengatur kemerdekaan hakim, namun tetap masih terdapat kekurangan dan ketidaklengkapan dari materi UU No. 48 Tahun 2009 dalam melindungi kemerdekaan hakim, sehingga perlu diadakan perbaikan terhadap UU No. 48 Tahun 2009.

Article 24 of The 1945 Amended Constitution of Republic of Indonesia stated that "The judicial power branch shall be independent". In here, judge has a central role on the judiciary, that judge as the personification of judiciary, therefore judge's status and independence shall be secured by law. Now, the judicial power is regulated on Act No. 48 Year 2009 (The Judical Power Act), so then the purpose of this writing is to analyze the substance of Act No. 48 Year 2009 in accomodating judge's independence in the Republic of Indonesia based on the judicial principles on the 1945 Constitution and international instruments. This is a normative study and also be improved by historical approach, comparative approach and case study method. The result of this study showed that the Act of No. 48 Year 2009 has contained the general norms to protect judge?s independence, but still has to be revised because of its material incompleteness in order to protect judge's independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62602
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, R.M.
"Pembahasan mengenai budaya hukum hakim hanya difokuskan pada periode 1950 s/d 1965, karena satu hal yang sangat menarik untuk dianalisis yaitu mengenai Hakim Agung yang ada dan yang menjabat pada masa pemerintahan Demokrasi Parlementer adalah sama dalam jumlah maupun orangnya, dengan yang ada pada masa Pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
Dari latar belakang di atas telah tergambar mengenai budaya hukum Hakim dalam
menjalankan fungsinya yang selalu berbeda-beda, karena pada prinsipnya banyak
dipengaruhi kebijakan kekuasaan politik, padahal kekuasaan tersebut selalu didasarkan pada
Konstitusi (UUDS 1950 dan UUD 1945) yang sama-sama memiliki asas kemandirian
Hakim/Peradilan. Dalam perkembangannya kekuasaan kehakiman tidak selalu mandiri,
karena budaya hukum Hakim dipengaruhi oleh kepentingan politik penguasa. Hakim sering
berada di bawah kendali Eksekutif dan membenarkan tindakan penguasa melalui putusan-
putusan atau penetapan-penetapan Hakim, sehingga tindakan pemerintah dibenarkan
menurut keadilan formal, namun tidak menurut keadilan substansial. Demikian juga
sebenarnya selain faktor politik masih banyak faktor lainnya yang mempengaruhi budaya
hukum Hakim dalam menjalankan fungsinya.
Oleh karena itu penelitian ini mencoba mengembangkan pembahasan yang
difokuskan kepada budaya hukum Hakim, khususnya budaya hukum Hakim Agung sebagai
persoml Hakim yang tertinggi dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, sekaligus
merupakan benteng terakhir dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukurn.
Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka disusun rumusan masalah yang
menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Mengapa budaya hukum dalam sistem hukum merupakan aspek yang sangat penting
dan menentukan bexjalannya sistem hukum itu?
2. Faktor-faktor apakah yang paling menentukan sikap atau budaya hukum Hakim
dalam menjalankan fungsinya?
3. Mengapa pada masa pemerintahan Demokrasi Parlementer sikap atau budaya
hukum Hakim dapat mencerminkan rasa keadilan yang berkembang di tengah-
tengah masyarakat, padahal waktu itu situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi
dan keamanan tidak menentu?
4. Mengapa pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin sikap atau budaya hukum
Hakim tidak banyak mencerminkan rasa keadilan yang berkembang di tengah-
tengah masyarakat?
5. Bagaimanakah sikap atau budaya hukun Hakim dalam memeriksa dan mengadili
perkara-perkara jika pemerintah sebagai salah satu pihak (kasus politik) atau yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, bagaimana pula jika tidak terkait dengan pemerintah pada periode Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin?
Beberapa metode penelitian digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian yuridis normative, metode penelitian sejarah hukum dan penelitian empiris yangbersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. penelitian juga dilakukan terhadap berbagai putusan Mahkamah Agung RI yang menarik perhatian masyarakat, baik dalam masa pemerintahan era Demokrasi Parlementer di bawah UUDS 1950, dan pemerintahan demokrasi terpimpin di bawah UUD 1945. Dalam penelitian lapangan digunakan pedoman wawancara (interview guide) dengan menggunakan metode non probability purbosive sampling, yaitu sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan subjektif dari peneliti. Jadi peneliti menentukan sendiri responden mana yang dianggap mewakili dalam kaitannya dengan budaya hukum Hakim dalam menjalankan fungsinya.;;"
2003
D909
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, R.M.
Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
347.01 PAN b (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Mahkamah Agung merupakan benteng terakhir tempat pencari keadilan memperoleh keadilan. Kualitas putusannya dapat menjadi panutan dari hakim-hakim lain, meskipun tidak mengikat sebagaimana pada negara-negara Anglo Saxon. Salah satu langkah strategis utama yang dilakukan MA untuk meningkatkan kecepatan pembuatan putusan dan meningkatkan kualitas putusan adalah memberlakukan sistem kamar. Melalui sistem kamar, semua perkara yang masuk ke MA akan diperiksa oleh hakim atau hakim-hakim yang kompeten sesuai bidangnya. Putusan-putusan yang sudah melalui mekanisme yang runtut sesuai dengan ketentuan hukum akan menciptakan keadilan dan putusan yang berkualitas. Namun, Hakim Agung sebagai inti subjek dalam sistem kamar, Mahkamah Agung, pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, dan pihak lain yang berkepentingan perlu mendukung pelaksanaan sistem kamar.
"
340 ARENA 6:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Koesnoe
Surabaya: Ushara Press, 1998
347.01 KOE k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Afifi
"Intervensi terhadap kekuasaan kekuasaan yudikatif merupakan salah satu indikasi rapuhnya prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Korupsi yudikatif (judicial corruption) telah melemahkan eksistensi independensi kekuasaan yudikatif dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Politik hukum pembentukan Majelis Kehormatan Hakim sebagai mekanisme pemberhentian hakim pada Mahkamah Agung seharusnya mampu menjawab permasalahan tersebut. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui, memahami, menelaah, dan menganalisis politik hukum pembentukan Majelis Kehormatan Hakim sebagai mekanisme pemberhentian hakim pada Mahkamah Agung di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif ini lebih berfokus pada studi pustaka (library research). Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, dalam era orde lama dan era orde baru, independensi kekuaan kehakiman diintervensi oleh kekuasaan eksekutif. Sedangkan pada era reformasi, bandul independensi kekuasaan kehakiman menguat. Akan tetapi, tidak diimbangi dengan akuntabilitas hakim dalam memutus suatu perkara. Kedua, gagasan yang berkembang dalam perubahan UUD 1945 selanjutnya adalah memperluas wewenang Komisi Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial yang tidak hanya mengangkat dan menghentikan hakim agung, tetapi juga melakukan pengawasan, walaupun bukan pengawasan mengenai masalah tindakan yudisial, tetapi dalam rangka memelihara kehormatan dan menjaga martabat hakim. Ketiga, politik hukum pembentukan Majelis Kehormatan Hakim sebagai mekanisme pemberhentian hakim pada Mahkamah Agung di Indonesia adalah membentuk wadah dimana hakim diperiksa dan membela diri. Majelis Kehormatan Hakim tetap mempertahankan pemikiran dualisme pengawasan secara internal maupun eksternal hakim agung. Majelis Kehormatan Hakim hanya melibatkan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial secara institusional. Komisi Yudisial tidak dalam posisi untuk mengusulkan pemberhentian hakim sekaligus memutus juga sehingga ada keseimbangan kewenangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karenanya, disepakati Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berada pada posisi setimbang dalam melakukan usulan pemberhentian terhadap hakim agung dalam Majelis Kehormatan Hakim.

Intervention against the judiciary power is one indication of the fragility of the principle of independence of judicial power. Judicial corruption (judicial corruption) weakened the independence of the judiciary existence in check, try and decide a case. Legal political formation mechanism of the Honorary Council of Judges as the dismissal of judges on the Supreme Court should be able to answer these problems . This study has the objective to find, understand, examine, and analyze legal political formation mechanism of the Honorary Council of Judges as the dismissal of judges on the Supreme Court of Indonesia. The method used in this study is a normative legal research is more focused on the study of literature (library research). The results of this study are as follows. First, in the era of the old order and the new order era , the independence of the judiciary kekuaan intervention by the executive power. While the reform era, the pendulum strengthened independence of judicial authorities. However, it is not matched by the accountability of judges in deciding a case. Second, the idea that developed in 1945 further changes are expanding the authority of the Judicial Commission. The existence of the Judicial Commission which not only lift and stop the justices, but also monitors, although not control the issue of judicial action , but in order to maintain the honor and maintain the dignity of the judge. Third, the legal political formation of the Honorary Council of Judges as a mechanism dismissal of judges on the Supreme Court in Indonesia is forming a place where judges examined and defend themselves. Honorary Council of Judges retain control duality of thought internally and externally justices. Honorary Council of Judges of the Supreme Court and only involves institutional Judicial Commission. Judicial Commission is not in a position to propose the dismissal of judges as well cut as well so there is a balance of authority between Supreme Court and the Judicial Commission. Therefore, the Supreme Court agreed and the Judicial Commission is in a position of equilibrium in conducting the proposed dismissal of the justices in the Honorary Council of Judges.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Martiman Prodjohamidjojo
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
347.01 MAR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>