Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Cherli Septiani
"Kontestasi anime Jepang dan animasi Cina (donghua) merupakan fenomena yang menarik. Belakangan ini, film animasi yang beredar bukan hanya didominasi oleh anime Jepang namun juga film animasi Cina atau yang dikenal dengan sebutan donghua. Peminat anime Jepang mulai melirik donghua Cina. Bagaimana kontestasi konkrit di antara keduanya menjadi fokus permasalahan penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan kontestasi anime Jepang dan donghua Cina. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontestasi budaya yang dikemukakan oleh Marc Howard Ross (2009) dan soft power dari Joseph Nye (2004). Eksplanasi atas kontestasi anime Jepang dan donghua Cina terbagi atas kontestasi unsur intrinsik dan kontestasi unsur ekstrinsik. Kontestasi unsur intrinsik berkenaan dengan (i) isi cerita, (ii) sinematografi, dan (iii) karakter animasi. Sementara itu, kontestasi unsur ekstrinsik, terbagi atas (i) kontestasi popularitas anime Jepang dan donghua Cina di kalangan komunitasnya, dan (ii) kontestasi popularitas anime-donghua di kalangan reviewer anime. Berdasarkan hasil yang diperoleh, anime Jepang masih dapat berkontestasi dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik. Namun, permasalahan internal seperti pekerjaan animator yang bekerja melampaui batas dengan pendapatan yang rendah membuat orang Jepang enggan menjadi animator. Jika permasalahan ini tidak teratasi, anime akan mengalami masalah dalam hal rekrutmen animator yang berkualitas. Sementara itu, donghua dalam hal ini masih pada tahap mengembangkan unsur intrinsik dan ekstrinsiknya, seperti isi cerita, sinematografi, karakter anime, popularitas di kalangan komunitas dan reviewer. Meskipun pembuatan animasinya sudah sangat canggih, masih ada bagian-bagian tertentu dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik yang belum bisa menyaingi anime.
The contestation between Japanese anime and Chinese animation (donghua) is an interesting phenomena. These days, animated films in circulation are not only dominated by Japanese anime but also Chinese animated films or known as donghua. Japanese anime fans are starting to look at Chinese donghua. How concrete contestation between the two is the focus of this research problem. The purpose of this research is to explain the contestation of Japanese anime and Chinese donghua. The theory used in this research is cultural contestation proposed by Marc Howard Ross (2009) and soft power from Joseph Nye (2004). Explanation of the contestation of Japanese anime and Chinese donghua is divided into intrinsic element contestation and extrinsic element contestation. Intrinsic element contestation concerns (i) story content, (ii) cinematography, and (iii) animated characters. Meanwhile, the contestation of extrinsic elements is divided into (i) contestation of the popularity of Japanese anime and Chinese donghua among their communities, and (ii) contestation of anime-donghua popularity among anime reviewers. Based on the results obtained, Japanese anime can still contest in intrinsic and extrinsic elements. However, internal problems such as overworked animators with low income discourage Japanese people from becoming animators. If these issues are not resolved, anime will experience problems in terms of recruiting qualified animators. Meanwhile, donghua in this case is still in the stage of developing its intrinsic and extrinsic elements, such as story content, cinematography, anime characters, popularity among the community and reviewers. Although the animation creation is very sophisticated, there are still certain parts such as story content, popularity among the community and reviewers that cannot compete with anime."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Salsabila Alfajri
"Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengaruh budaya meme terhadap persepsi musik Jepang di era digital, secara khusus menganalisis dampak budaya meme terhadap lagu "Dolphin in Town" oleh Kingo Hamada. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan survei sebagai teknik utama pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya meme memainkan peran penting dalam memperkenalkan lagu dan artis yang mungkin sebelumnya tidak mendapat perhatian. Penelitian ini juga menyoroti beragam dampak budaya meme terhadap persepsi musik Jepang, termasuk pengaruhnya dalam mempopulerkan, menerima, dan menginterpretasikan musik dengan berbagai cara. Penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya meme telah menjadi kekuatan yang signifikan dalam membentuk persepsi musik di era digital, menciptakan jaringan sosial di mana musik menjadi bahasa universal, menghubungkan orang-orang dari latar belakang yang berbeda, dan memperkaya pengalaman bermusik mereka. Kata Kunci: meme, meme song, musik meme Jepang, meme culture, Dolphin in Town – Kingo Hamada, meme viral.
The research aims to explore the influence of meme culture on the perception of Japanese music in the digital era, specifically analyzing the impact of meme culture on the song "Dolphin in Town" by Kingo Hamada. This study utilized quantitative methods, with surveys as the main technique for data collection. The results showed that meme culture plays an important role in introducing songs and artists that may not have previously received attention. The study also highlights the diverse impacts of meme culture on the perception of Japanese music, including its influence on popularizing, accepting, and interpreting music in various ways. The research concludes that meme culture has become a significant force in shaping perceptions of music in the digital age, creating a social network in which music becomes a universal language, connecting people from different backgrounds, and enriching their musical experience. Keywords: meme, meme song, Japanese music meme, meme culture, Dolphin in Town – Kingo Hamada, viral meme"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library