Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Setia Wati Astri Arifin
"Latar Belakang: Osteoartritis (OA) lutut seringkali menyebabkan disabilitas akibat nyeri dan penurunan kemampuan fungsional berjalan. Low Level Laser Therapy (LLLT) dan High Intensity Laser Therapy (HILT) telah terbukti mampu menurunkan nyeri dan kemampuan fungsional pada OA lutut, namun hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang membandingkan kedua modalitas tersebut.
Tujuan: Mengetahui perbedaan efek LLLT dan HILT terhadap derajat nyeri dan kemampuan fungsional pasien OA lutut.
Metode: Studi ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda yang melibatkan 61 subjek yang diacak ke dalam kelompok LLLT (n=31) dan HILT (n=30). Subjek adalah pasien OA lutut di Poliklinik Muskuloskeletal Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan VAS ≥ 4 dan mampu berjalan 15 meter. Terapi laser diberikan 3 kali seminggu selama 2 minggu. Derajat nyeri dinilai dengan VAS dan kemampuan fungsional dinilai dengan uji jalan 15 meter.
Hasil: Setelah 6 kali terapi, didapatkan penurunan VAS kelompok LLLT dan HILT sebesar 3 (2 – 4) dan 3 (2 – 5) serta peningkatan kecepatan berjalan sebesar 0,23
(0,02 – 1,24) meter/detik dan 0,22 (0,08 – 0,7) meter/detik) yang bermakna secara statistik (p<0,001) maupun secara klinis. Pada perbandingan antar kelompok didapatkan kelompok HILT mengalami penurunan VAS yang lebih cepat dan lebih besar dibanding kelompok LLLT (p<0.001), namun tidak didapatkan perbedaan perubahan kecepatan berjalan yang bermakna antara kedua kelompok (p=0,655).
Simpulan: Pemberian HILT pada pasien OA lutut mampu menurunkan derajat nyeri dengan lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan pemberian LLLT.

Background: Osteoarthritis (OA) of the knee causes disability due to pain and decreased functional ability to walk. The degree of pain will affect the functional ability to walk. Low Level Laser Therapy (LLLT) has been shown to reduce pain in knee OA, while High Intensity Laser Therapy (HILT) is able to reach deeper joint areas.
Aim: To compare the differences of LLLT and HILT on pain and functional capacity knee OA.
Methods: This is a double-blind randomized controlled trial with 61 subjects randomized into LLLT (n=31) and HILT (n=30) groups . Subject was knee OA patient with VAS ≥ 4 in Muskuloskeletal Polyclinic of Medical Rehabilitation RSUPN Cipto Mangunkusumo. Laser therapy was given 3 times per week for 2 weeks. Pain measured with VAS and functional capacity evaluated with 50-feet walk test.
Result: After 6 therapy sessions, both LLLT and HILT group showed reduced VAS score [LLLT = 3 (2 – 4), HILT = 3 (2 – 5)] and increased walking speed (LLLT =
0.23 (0.02 – 1.24) m/s, HILT = 0.22 (0.08 – 0.7) m/s) which was statistically (p<0.001) and clinically significant. HILT group had faster and greater VAS reduction compared to LLLT group (p<0.001), but there was no significant difference in walking speed between the two groups (p=0.655).
Conclusion: HILT and LLLT combined with exercise were effective in reducing pain and increasing functional capacity in knee OA patient after 6 sessions of treatment. Pain improvement was faster and greater in HILT group than LLLT group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Pratama Arnofyan
"Latar Belakang : Angka kejadian reseksi anastomosis pada kasus intususepsi
masih sangat tinggi. Hal ini dikarenakan masih seringnya pasien datang terlambat
setelah 72 jam, kurangnya SDM untuk melakukan reduksi non operatif, dan
kurangnya penunjang seperti USG untuk menegakkan diagnosa. Penting untuk
memperhatikan presisi, tehnik dan mempertimbangkan usus yang tersisa dalam
melakukan reseksi anastomosis. Hingga saat ini belum ada standar operasi khusus
yang dapat menjadi panduan bagi para dokter bedah dalam melakukan reseksi
akibat intususepsi. Karena itu, peneliti tertarik untuk mencari batas reseksi yang
diperlukan untuk menghasilkan suatu anastomosis end-to-end yang optimal dan
rendah tingkat kebocorannya. Penelitian akan dilakukan kepada tikus sebagai pilot
study sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut.
Tujuan : Mengetahui batas reseksi usus yang optimal dinilai dari kebocoran
anastomosis berdasarkan grading kolagen pada batas reseksi tersebut.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan hewan coba
tikus putih Sprague Dawley. Tikus putih dilakukan intususepsi dengan
menggunakan stylet, dari proksimal ke distal. Setelah 45 menit, intususepsi di
reduksi.Tikus putih dikelompokkan dalam tiga kelompok sesuai batas reseksi
anastomosis, yang kemudian batas reseksi ini dilakukan pemeriksaan grading
kolagen. Setelah 5 hari, dilakukan laparotomi untuk menilai kebocoran
anastomosis.
Hasil : Pada perbandingan grading kolagen dengan reseksi usus didapatkan
grading terbanyak pada batas 1 adalah grading 2 (57,1 %), pada batas 2 grading 2
(71,4 %) ,batas 3 grading 3 (71,4%).Perforasi terbanyak ditemukan pada grading
2 sebanyak 5 sampel. Pada perbandingan batas reseksi dengan perforasi
didapatkan perforasi terbanyak pada batas 1 (85,7 %)
Simpulan : Terdapat perbedaaan grading kolagen pada batas reseksi usus dimana
batas kelompok batas 3 memiliki grading kolagen yang lebih baik ( grade 3 dan 4)
sehingga kelompok batas 3 lebih direkomendasikan secara histopatologis.
Grading kolagen dapat dinilai untuk melihat kemungkinan perforasi hasil
anastomosis. Terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian
perforasi selain grading kolagen.

Background : There is still high presentation of intussuseption cases with resection and
anastomose, caused of multi factors as : patient delay more than 72 hours, less on
profesional expert to do non operative reduction and less of examination such as ultra
sound to make a diagnose. That is important to take attention with pretition, tehniques
and less of intestine when do the resection. There is still no operative standard about the
boundary of resection cause of intussuseption, thats why the author want to do the
experimental to find the optimal part of resection with minimal leakage. The experimental
will do on rat as a pilot study.
Aim : How to get the optimal part of resection compared with anastomotic leakege based
on collagen grading.
Method : The experimental test using a Sprague Dawley rat. We make a intussuseption
on gut rat using a styleth from proximal to distal. The release do after 45 minutes. The
rats then separated into three boundaries group, and did resection-anastomose with each
gut from groups were performed a histopatologic test to count collagen grading. Leakage
of anastomose were examinated after 5 days
Result : In comparison between collagen grading and the extent of resection
obtained the highest grading in group 1 is grade 2 (57,1%), group 2 is grade 2
(71,4%), group 3 (71,4%). The highest Leakage can be found on grade 2 (5
sample).in comparison the extent of resection and leakage,the highest is group 1
(85,7%).
Summary : There are differences about collagen gradingin the extent of bowel
resection which is the third group of resection has higher collagen grading (3 and
4 ) and then more recommended as histopatologic exam. Collagen grading could
be marked to see possibilities of anastomotic leakage. There is some factors that
affect a leakage besides collagen grading.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Claudhea Salsabila
"Latar Belakang: Kanker paru merupakan salah satu kanker yang paling sering terjadi
dan menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi. Salah satu komplikasi yang dapat
timbul adalah infeksi oportunistik berupa mikosis paru. Mikosis paru masih jarang
dikenali, padahal menyebabkan beban kesehatan dan peningkatan laju mortalitas. Salah
satu penyebabnya adalah diagnosis yang masih menjadi tantangan karena tidak
spesifiknya gejala klinis dan uji diagnosis tidak invasif yang ada juga masih belum
diketahui kepastian tingkat akurasinya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kaitan berupa nilai akurasi hasil
diagnosis immunodiffusion test (IDT) dibandingkan dengan profil IgG spesifik
Aspergillus.
Metode: Metode penelitian ini adalah dengan uji laboratorium IDT dan IgG spesifik
Aspergillus dengan desain studi potong lintang. Pemeriksaan IDT menggunakan crude
antigen Aspergillus sedangkan pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus menggunakan kit
komersial Dynamiker dengan hasil positif jika nilai absorbansi di atas 120 AU/mL.
Hasil: Berdasarkan 70 subjek didapatkan karakteristik sebagai berikut yaitu subjek
umumnya berjenis kelamin laki-laki 61,4% (n=43), berusia di atas 60 tahun 54,3%
(n=38), memiliki riwayat merokok 60,0% (n=42) dengan indeks Brinkmann berat
31,4% (n=22). Pasien umumnya memiliki jenis histologi berupa adenokarsinoma 74,3%
(n=52) dengan stadium IIIB-IV sebesar 78,6% (n=55) dan tampilan status kategori PS 1
40,0% (n=28). Prevalensi aspergillosis berdasarkan IgG spesifik Aspergillus pada
penelitian ini adalah 25,7%, sedangkan prevalensi jika menggunakan IDT sebesar 42,9%. Nilai akurasi IDT dengan IgG spesifik Aspergillus sebagai baku emas menunjukkan tingkat sensitivitas 44,4% (IK95% 21,5%-67,4%), spesifisitas 57,7% (IK95% 44,3%-71,1%), nilai duga positif 26,7% (IK95% 10,8%-42,5%), dan nilai duga
negatif 75,0% (IK95% 61,6%-88,4%) dan nilai Kappa sebesar 0.017. Selain itu, terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara jenis kelamin dan indeks brinkmann terhadap hasil pemeriksaan IDT Aspergillus (p<0.05).
Kesimpulan: IDT bukan merupakan metode diagnosis yang baik dan perlu adanya validasi terhadap crude antigen yang digunakan.

Background: Lung cancer is one of the most common cancers and causes a high
mortality rate. One of the complications that can arise is an opportunistic infection in
the form of pulmonary mycosis. Pulmonary mycosis is rarely recognized, even though it
causes a health burden and an increased mortality rate. One of the causes is the method
of diagnosis which is still a challenge because the clinical symptoms are not specific
and the existing non-invasive diagnostic tests are not yet known for its exact level of
accuracy.
Aim: This study aims to determine the correlation in the form of accuracy value of the
immunodiffusion test (IDT) diagnostic results compared to the Aspergillus-specific IgG
profile.
Method: The method of this research was laboratory tests in forms of IDT and
Aspergillus-specific IgG with cross-sectional study design. IDT test used crude antigen
while Aspergillus-specific IgG test used a commercial Dynamiker Kit with a positive
result if the absorbance value above 120 AU/mL.
Results: Based on 70 subjects, the characteristics of the subjects are mainly male 61.4%
(n=42) with age over 60 years old 54.3% (n=43), had a history of smoking 60% (n=42)
with a severe Brinkmann index 31.4% (n=22). Subjects generally had a histological
type of adenocarcinoma 74.3% (n=52) with stage IIIB-IV 78.6% (n=55) and
performance status category PS1 40.0% (n=28). The prevalence of aspergillosis in this
study was 25.7% using Aspergillus-specific IgG, while the prevalence when using IDT
was 42.9%. The IDT accuracy value with Aspergillus-specific IgG as the gold standard
showed a sensitivity level of 0.444 (95%CI 0.215-0.674), a specificity of 0.577 (95% CI
0.443-0.711), a positive predictive value of 0.267 (95% CI 0.108-0.425), and a negative
predictive value of 0.750 (95% CI 0.616-0.884) and the Kappa value is 0.017. In
addition, there was a statistically significant relationship between gender and the
Brinkmann index on the results of the Aspergillus IDT examination (p <0.05).
Conclusion: IDT is not a good diagnostic method and it is still necessary to validate the
crude antigen used.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihya Fakhrurizal Amin
"Pendahuluan: Peningkatan karbondioksida pada atmosfer berdampak pada perubahan iklim. Peningkatan karbondioksida dapat mempengaruhi tubuh manusia terutama pada sistem imun manusia, yang diketahui dapat menurunkan produksi sel T. Pada penelitian ini menggunakan subjek berupa sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) yang menjadi representatif dari sistem imun manusia. Berbagai respon mungkin akan ditunjukkan jika PBMC dipaparkan karbon dioksida dengan konsentrasi lebih tinggi dari normal, tetapi pada penelitian ini hanya spesifik melihat pada kadar hidrogen peroksida melalui pengukuran kadar DCFH-DA. Metode: PBMC yang sudah diisolasi dari subjek dipaparkan karbon dioksida 5% sebagai kontrol dan 15% sebagai uji. Waktu pemaparan dilakukan selama 24 jam dan 48 jam. Pada waktu akhir waktu inkubasi untuk masing-masing kelompok akan dilakukan pengukuran kadar DCFH-DA dengan fluorometri. Hasil yang didapat berupa absorbansi/sel yang akan dianalisis lebih lanjut melalui SPSS versi 24. Hasil: Didapatkan jumlah hidrogen peroksida lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol secara signifikan (p<0.05) saat diinkubasi selama 24 jam tetapi tidak signifikan pada waktu inkubasi 48 jam. Perbandingan konsentrasi hidrogen peroksida antara 24 dan 48 jam menunjukkan penurunan secara signifikan konsentrasi saat diinkubasi 48 jam jika dibanding 24 jam. Kesimpulan: Paparan karbon dioksida selama 24 jam dapat meningkatkan produksi hidrogen peroksida dibandingkan kontrol, namun hal ini tidak terjadi pada PBMC yang dipaparkan karbondioksida selama 48 jam.

Introduction: Increased carbon dioxide in the atmosphere has an impact on climate change. Increased carbon dioxide can affect the human body, especially in the human immune system, which is known to reduce the production of T cells. So as to represent the human immune system, this study uses the subject of Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells. Various responses might be demonstrated if PBMCs were exposed to carbon dioxide concentrations higher than normal, but in this study only specifically looked at hydrogen peroxide levels by measuring DCFH-DA levels. Method: PBMC which had been isolated from the subject were exposed to 5% carbon dioxide as a control and 15% as a test. Exposure time is 24 hours and 48 hours. At the end of the incubation time for each group, measurement of DCFH-DA with fluorometry will be carried out. The results obtained in the form of absorbance / cells will be further analyzed through SPSS version 24 Result : There was a significant increase in the amount of hydrogen peroxide compared to the control (p <0.05) when incubated for 24 hours but not significantly at 48 hours incubation time. Comparison of hydrogen peroxide concentrations between 24 and 48 hours shows a significant decrease in concentration when incubated 48 hours when compared to 24 hours (p<0.05). Conclusion: Exposure to carbon dioxide for 24 hours can increase hydrogen peroxide production compared to control, but there is no significant change in hydrogen peroxide production was observed in 48 hours of carbon dioxide exposure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfian Aby Nurachman
"Latar Belakang : Global warming atau peristiwa meningkatnya suhu rerata bumi disebabkan oleh peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2) pada atmosfer bumi. Peningkatan kadar karbondioksida ini berpengaruh terhadap kesehatan melalui berbagai cara. Dalam tubuh kondisi kadar karbondioksida yang tinggi atau hiperkapnea dapat memberikan pengaruh pada tubuh salah satu nya adalah peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menyebabkan stres oksidatif. Dengan menggunakan sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC), kadar ROS terutama superoksida yang diproduksi akibat paparan CO2 tinggi dapat dideteksi dengan menggunakan dihydroethidium (DHE) assay.
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemaparan pada kadar CO2 tinggi terhadap perubahan produksi superoksida pada sel PBMC.
Metode : Sel PBMC diinkubasi pada kadar CO2 yang berbeda yaitu kadar tinggi sebesar 15% dan kontrol 5% CO2. Produksi superoksida pada sel tersebut dapat dilihat menggunakan DHE assay dengan melihat perubahan nilai absorbansi pada fluorometer. Hasil yang didapatkan adalah nilai absorbansi per sel yang menggambarkan kadar superoksida untuk tiap satu sel PBMC.
Hasil : Pemaparan sel PBMC pada kondisi tinggi CO2 (15% CO2) selama 24 jam dan 48 jam secara signifikan meningkatkan produksi superoksida bila dibandingkan dengan kontrol (5% CO2) pada sel PBMC. Namun terdapat penurunan yang signifikan antara paparan tinggi CO2 selama 48 jam bila dibandingkan dengan paparan tinggi CO2 selama 24 jam. Dari sini dapat disimpulkan bahwa paparan tinggi CO2 dapat meningkatkan laju produksi superoksida pada sel PBMC. Selain itu terdapat penurunan kadar superoksida pada sel PBMC apabila lama paparan CO2 tinggi lebih dari 24 jam.
Kesimpulan : pemaparan kadar CO2 tinggi pada sel PBMC selama 24 jam dan 48 jam akan meningkatkan laju produksi ROS terhadap kontrol. Penurunan kadar superoksida pada inkubasi CO2 tinggi selama 48 jam menunjukan ada nya pengurangan kadar superoksida apabila lama inkubasi lebih dari 24 jam.

Background: Global warming or the increase in the average temperature of the earth is caused by an increase in the concentration of carbon dioxide (CO2) in the earth's atmosphere. Increased levels of carbon dioxide affect health in various ways. In the body of conditions high carbon dioxide levels or hypercapnea can give effect to the body one of them is an increase in the production of Reactive Oxygen Species (ROS) which can cause oxidative stress. By using Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells, ROS levels, especially superoxide produced due to high CO2 exposure can be detected using dihydroethidium (DHE) assay.
Objective: This study was conducted to see the effect of exposure to high CO2 levels on changes in superoxide production in PBMC cells.
Methods: PBMC cells were incubated at different CO2 levels, namely a high level of 15% and a control of 5% CO2. Superoxide production in these cells can be seen using the DHE assay by looking at changes in absorbance values on the fluorometer. The results obtained are absorbance values per cell that describe the levels of superoxide for each one PBMC cell.
Results: Exposure of PBMC cells under high CO2 conditions (15% CO2) for 24 hours and 48 hours significantly increased superoxide production when compared to controls (5% CO ¬ 2) on PBMC cells. However, there was a significant decrease between 48 hours of high CO2 exposure compared to 24 hours of high CO2 exposure. From this it follows that high exposure to CO2 can increase the rate of superoxide production in PBMC cells. In addition there is a decrease in superoxide levels in PBMC cells if the duration of high CO2 exposure is more than 24 hours.
Conclusion: exposure to high CO2 levels in PBMC cells for 24 hours and 48 hours will increase the rate of superoxide production to control. Decrease in superoxide levels in incubation of high CO2 for 48 hours shows that there is a reduction in superoxide levels if the incubation time is more than 24 hours.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanto Kusnawara
"Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana Tahun 2019 belum mencapai 2 target yakni, peningkatan penggunaan kontrasepsi modern dan menurunkan tingkat unmet need. Hal ini menjadi dasar dari peneliti untuk mengambil sampel di Jakarta Utara. tingkat kemiskinan yang tinggi dan laju pertumbuhan penduduk di Jakarta Utara yang tinggi 1.03% dibandingkan dengan target 0.75%. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang secara kuantitatif untuk mencari faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga yang tinggal di pemukiman kumuh Jakarta Utara tentang program keluarga berencana dan metode wawancara mendalam secara kualitatif untuk memperoleh penyebab perilaku keluarga. Jumlah sampel diteliti dalam penelitian ini
adalah 70 orang. Didapatkan hasil terdapat hubungan antara kegiatan sosial dengan perilaku keluarga tentang program KB di pemukiman kumuh Jakarta Utara (nilai P <0.05). Perilaku keluarga yang tinggal di pemukiman kumuh Jakarta Utara tentang program KB adalah rendah dan faktor yang berhubungan hanya kegiatan sosial. Hasil wawancara mendalam mendapatkan kegiatan sosial yang berpengaruh adalah interaksi warga membagikan pengalaman saat kegiatan.

Two indicators of Population and Family Planning Development Year 2019, have not reached the target, namely, increasing modern contraceptive use and reducing unmet need. This is the basis for researchers to take samples in North Jakarta. slums have high poverty rates and high rates of population growth. This study use a quantitative cross-sectional method to find the factors related to family behaviour in slum settlements in North Jakarta on family planning program in 2019 and in-depth interview method to find the cause of family behaviour. The number of samples examined in this study were 70 people. Results obtained are there is a relationship between social activities and family behavior on family planning program in North Jakarta slum settlements in 2019 (p value <0.05) It is known that the family behaviour in slum settlements in North Jakarta on family planning program in 2019 are low and the only factor related to it is social activities. From in-depth interview, communication among them by sharing their experience affected their social activities."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Shelly
"Infeksi cacing usus merupakan salah satu jenis infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia, dengan anak berusia di bawah lima tahun (balita) sebagai salah satu kelompok yang rentan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara perilaku cuci tangan ibu, sebagai orang yang terdekat dengan balita, dengan infeksi cacing usus pada balita di Kecamatan Nangapanda, Flores, Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang yang melibatkan 98 ibu dan balita. Ibu diwawancara dengan kuesioner yang berisikan pertanyaan mengenai perilaku cuci tangan ibu di waktu-waktu tertentu. Status infeksi STH pada anak ditentukan dengan menggunakan metode Kato-Katz untuk melihat adanya telur cacing di tinja. Perilaku cuci tangan ibu dan faktor-faktor lainnya seperti usia balita, jenis kelamin balita, pendidikan ibu, dan status infeksi balita kemudian dianalisis menggunakan SPSS dengan uji chi-square dan analisis multivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase ibu yang memiliki balita yang sudah melakukan praktik cuci tangan adalah sebesar 93%. Analisis antara perilaku cuci tangan ibu dengan infeksi cacing usus pada balita menunjukkan hasil yang tidak signifikan secara statistik (p>0,05). Analisis multivariat terhadap faktor lainnya seperti usia balita dan jenis kelamin balita dengan status infeksi cacing usus balita menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05), sedangkan analisis pendidikan ibu dengan status infeksi cacing usus balita menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa perilaku cuci tangan ibu tidak berhubungan dengan infeksi cacing usus pada balita, namun diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan infeksi cacing usus pada balita.

Soil-transmitted helminthiasis (STH) is still a health problem in most developing countries, especially in under-five children. The objective of this research was to determine the association between handwashing practice in mother and STH in under-five children in Nangapanda Subdistrict, Flores Island, Indonesia. This cross-sectional study included 98 mothers and their under-five children. The mothers were interviewed using the questionaire that included questions about handwashing practice of mother in certain time. The STH infection status of the children was determined using Kato-katz technique to detect the presence of helminth eggs in stool. Handwashing practice in mother and other factors such as age and gender of under-five children, mothers education and STH infection status in under-five children were analyzed by SPSS using chi-square test and multivariate test.
The result showed that most of the mothers had done handwashing practice (93%). Association between handwashing practice in mother and STH in under-five-year-old children were not statistically significant (p>0,05). Other factors were then analyzed using multivariate analysis, which showed that the association between age and gender of under-five children and STH in under-five children were statistically significant (p<0,05), but the mothers education had no significant association with STH infection in children. It can be concluded that handwashing practice in mother does not associate with soil-transmitted helminthiasis in under-five children, but further research is needed to evaluate other factors that can be related to the STH infection in under-five children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy William
"Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi dengan angka kekurangan nutrisi pada anak balita yang cukup tinggi. Kekurangan nutrisi merupakan penyebab mortalitas utama pada anak balita, yang dapat disebabkan oleh infeksi. Indonesia merupakan negara yang endemis terhadap soil transmitted helminth (STH) yang mencakup Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa infeksi STH dapat menyebabkan kekurangan nutrisi pada anak. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mencari pengaruh infeksi STH terhadap kekurangan nutrisi pada anak balita di kecamatan Nangapanda, NTT yang diukur dengan weight-for-age z-score (WAZ), height-for-age z-score (HAZ), dan weight-for-height z-score (WHZ).
Penelitian menggunakan desain cross-sectional dengan 98 subjek anak balita di Kecamatan Nangapanda yang berasal dari random sampling. Status WAZ, HAZ, dan WHZ diperoleh dari pengukuran antropometri, sementara status infeksi STH ditentukan melalui metode Kato-Katz untuk menemukan telur cacing di tinja. Hubungan antara infeksi STH dan kekurangan nutrisi pada anak balita dianalisis dengan chi-square, dan dilakukan analisis regresi logistik untuk mencari pengaruh faktor lain seperti usia anak balita, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan ibu. Dari 98 anak balita, sebanyak 58 di antaranya terinfeksi STH.
Sementara itu, ditemukan bahwa 27,6% anak balita memiliki WAZ <-2, 40,9% memiliki HAZ <-2, dan 10,2% memiliki WHZ <-2. Meskipun begitu, hasil analisis menunjukkan bahwa status infeksi STH tidak berhubungan secara bermakna dengan status gizi buruk pada anak balita, baik menurut WAZ (p = 0,997), HAZ (p = 0,244), maupun WHZ (p = 1,000). Analisis multivariat juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan faktor lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa infeksi STH tidak mempengaruhi kekurangan nutrisi pada anak balita di NTT, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.

East Nusa Tenggara Province had one of the highest rate of undernutrition in under-five children in Indonesia. Undernutrition contributes to a high proportion of mortality in under-five children, which can be caused by infection. Indonesia is endemic for soil-transmitted helminth (STH) infection, which can be caused by Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura¸ and hookworm. Several studies have shown that STH infections can cause malnutrition in under-five children. Therefore, this research aims to investigate the association between STH infection and undernutrition in under-five children measured by weight-for-age z-score (WAZ), height-for-age z-score (HAZ), and weight-for-height z-score (WHZ).
This is a cross-sectional study involving 98 under-five children which is recruited using random sampling from Nangapanda Sub-District, East Nusa Tenggara. WAZ, HAZ, and WHZ status is determined from anthropometry, while STH infections are determined by Kato-Katz method to find the helminth eggs. Chi-square analysis is performed to find the association between STH infection and nutritional status in under-five children, and logistic regression is also performed to find other potential factors such as age, gender, and mother?s education. Of the 98 children recruited, 58 had STH infections.
This study also found that 27,6% of the children had WAZ <-2, 40,9% had HAZ <-2, and 10,2% had WHZ <-2. However, chi-square analysis showed that there are no significant association between STH infection and undernutrition in under-five children of Nangapanda measured by WAZ (p = 0,997), HAZ (p = 0,244),and WHZ (p = 1,000). Multivariate analysis also showed that other factors in this study are not significant. Therefore, this research showed that STH infection are not the main cause of undernutrition in children of East Nusa Tenggara, and further research are warranted to determine other factors which may cause the problem.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alice Tamara
"Latar Belakang: ALDH1A1 merupakan gen yang meregulasi diferensiasi dan proliferasi sel dengan jalur asam retinoat. Telah dikenal sebagai gen pluripotensi, ALDH1A1 dapat ditemukan pada Cancer Stem Cell (CSC) dan Mesenchymal Stem Cells (MSC) seperti Adipose-derived Stem Cell (ASC) dan Umbilical Cord Stem Cells (UCSC). Studi ini bertujuan untuk membandingkan relatif ekspresi gen ALDH1A1 pada ASC dan UCSC terhadap ALDH+ Breast CSC (BCSC). Metode: One-step qRT-PCR dilakukan untuk mendeteksi ekspresi mRNA ALDH1A1 pada ekstraksi RNA ASC, UCSC, dan BCSC. Hasil PCR dianalisis dengan BCSC menjadi ekspresi relatif setelah data dinormalisasikan oleh gen 18S.
Hasil: Ekspresi gen ALDH1A1 relatif ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada ASC dibandingkan UCSC. Sementara itu, ALDH1A1 lebih rendah diekspresikan pada MSC dibandingkan BCSC.
Konklusi: ASC memiliki kemampuan pluripotensi lebih baik dibandingkan UCSCs pada aspek ALDH1A1. Hal ini disebabkan oleh kemampuan spesifik yang dimiliki ALDH1A1 untuk proliferasi dan diferensiasi ASC.

Background: ALDH1A1 is a gene which regulates the cell differentiation and proliferation through retinoic acid pathway. Being a renowned pluripotent gene, ALDH1A1 could be found in both cancer stem cells (CSCs) and human Mesenchymal Stem Cells (MSCs) such as Adipose-derived Stem Cells (ASCs) and Umbilical Cord Stem Cells (UCSCs). This research aimed to compare the expression of ALDH1A1 gene in ASCs and UCSCs relatively towards ALDH+ Breast CSCs (BCSCs).
Method: A one-step qRT-PCR was done to detect the mRNA levels of ALDH1A1 gene in the RNA extraction of ASCs, UCSCs, and BCSCs. The PCR result was analyzed into relative expression with BCSCs, after being normalized with housekeeping 18S gene.
Results: The expression of ALDH1A1 was found to be significantly higher in ASCs than UCSCs, relatively. Furthermore, ALDH1A1 gene was expressed lower in MSCs than BCSCs.
Conclusion: ASCs are discovered to be better in pluripotent capability than UCSCs in the aspect of ALDH1A1. This finding signifies the specific role of ALDH1A1, resulting in contribution of differentiation and proliferative capability to ASCs.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Retno Yova Meidina
"Latar Belakang: Batu empedu merupakan penyakit yang sering dijumpai di negara-negara Barat. Namun dengan adanya perubahan sosial ekonomi, penyakit ini mulai ditemukan juga di negara berkembang. Komposisi batu empedu dapat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin.
Tujuan: Mengetahui distribusi komposisi batu empedu dan hubungannya dengan umur dan jenis kelamin di Jakarta.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan jumlah sampel 230 sampel data analisis komposisi batu empedu di Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI. Data dianalisis menggunakan SPSS tipe 20 menggunakan uji Mann Whitney untuk melihat hubungan antara kelompok umur terhadap komposisi Fe, pigmen empedu, dan fosfat serta uji chi square untuk melihat hubungan antara jenis kelamin dengan komposisi batu empedu dan untuk melihat hubungan antara kelompok umur dengan komposisi. kolesterol, kalsium, dan karbonat.
Hasil: Batu empedu paling banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria (1,7:1) dan pada kelompok usia 40-49 tahun (27,00%). Komposisi yang paling banyak ditemukan adalah kolesterol (83,91%). Hubungan antar kelompok umur terhadap komposisi kolesterol menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05) tetapi tidak signifikan (p>0,05) terhadap komposisi lainnya. Hubungan antara jenis kelamin dan komposisi batu empedu menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0,05).
Kesimpulan: Kolesterol merupakan komposisi batu empedu yang paling umum. Wanita dan kelompok usia yang lebih tua adalah orang-orang yang paling menderita dari batu empedu. Ada hubungan antara kelompok umur dengan komposisi kolesterol tetapi tidak pada komposisi lainnya. Juga tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan komposisi batu empedu.
Background: Gallstones are a disease that is often found in Western countries. However, with the socio-economic changes, this disease began to be found also in developing countries. The composition of gallstones can be affected by age and gender.
Objective: To determine the distribution of gallstone composition and its relationship with age and sex in Jakarta.
Methods: This study was a cross-sectional study with a total sample of 230 samples of gallstone composition analysis data at the Laboratory of Biochemistry and Molecular Biology, Faculty of Medicine, Faculty of Medicine. Data were analyzed using SPSS type 20 using the Mann Whitney test to see the relationship between age groups on the composition of Fe, bile pigments, and phosphates and the chi square test to see the relationship between gender and gallstone composition and to see the relationship between age groups and composition. cholesterol, calcium, and carbonate. Results: Most gallstones were found in women compared to men (1,7:1) and in the 40-49 year old group (27.00%). The most common composition found was cholesterol (83.91%). The relationship between age groups on cholesterol composition showed significant results (p<0.05) but not significant (p>0.05) against other compositions. The relationship between gender and gallstone composition showed insignificant results (p>0.05). Conclusion: Cholesterol is the most common composition of gallstones. Women and older age groups are the ones who suffer the most from gallstones. There is a relationship between age group with cholesterol composition but not on other compositions. There was also no relationship between gender and gallstone composition."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>