Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Beladenta Amalia
"Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah salah satu jenis Multidrug-resistant organism (MDRO) yang cukup endemik di banyak fasilitas kesehatan, terutama di rumah sakit bagian Intensive Care Unit (ICU). Riwayat rawat pasien sebelum masuk ICU dinilai telah menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kolonisasi MRSA pada pasien. Permasalahan muncul ketika diketahui bahwa pasien ICU yang memiliki kolonisasi MRSA berisiko tinggi mengalami infeksi MRSA. Oleh karena itu, diperlukan data mengenai kejadian kolonisasi MRSA yang dihubungkan dengan riwayat rawat pasien sebelum masuk ICU. Dengan demikian, kejadian kolonisasi MRSA di rumah sakit Indonesia dapat diturunkan.
Penelitian ini merupakan studi cross sectional analitik dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan mikrobiologi swab (hidung, ketiak, dan rektum) dan rekam medik 109 pasien ICU Pusat RSCM dari bulan Januari 2011 sampai Agustus 2011. Pemilihan sampel dilakukan dengan consecutive sampling. Hasil pemeriksaan mikrobiologi yang dilihat adalah hasil uji resistensi MRSA baik pada pasien yang memiliki riwayat rawat di rumah sakit sebelum masuk ICU ataupun tidak. Data dianalisis dengan uji Chi-square.
Hasil perbandingan data antara proporsi pasien yang positif memiliki kolonisasi MRSA dan memiliki riwayat rawat di rumah sakit sebelumnya dengan proporsi pasien positif mengalami kolonisasi MRSA dan tidak dirawat di rumah sakit sebelumnya adalah RP=1,206 dengan nilai kemaknaan p=0,307 dan IK95% -3,087; 5,499. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara kolonisasi MRSA dengan riwayat rawat pasien sebelum masuk ICU.

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) is one of the Multidrug-resistant organism (MDRO) which has been quite endemic in many healthcare facilities, especially in the Intensive Care Unite (ICU) of hospitals. History of patients’ hospitalization before ICU admission was considered to be one of risk factors for MRSA colonization in patients. Problems arised after known that ICU patients with MRSA colonization are at high risk of MRSA infection. Therefore, we need data of MRSA colonization associated with history of patients’ hospitalization before ICU admission. So that, the incidence of MRSA colonization in Indonesia hospitals can be reduced.
This is an analytic cross sectional study using secondary data results from microbiological examination of swabs (nose, armpit, and rectum) and medical records of 109 patients from the Central ICU RSCM on January 2011 until August 2011. Samples selection was done by consecutive sampling. Microbiological examination results which are used in this study were the results of MRSA resistance test both in patients who had history of hospitalization before ICU admission or those who had not. Data is analyzed with Chi-square.
The result of data comparison between proportion of patients with positive MRSA colonization and had history of hospitalization to the proportion of patients with positive MRSA colonization and had not history of hospitalization before is RP=1,206 with significance value p=0,307 and IK95% -3,087; 5,499. This suggests that there is no significant relationship between MRSA colonization and the history of patients’ hospitalization before ICU admission.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arcci Pradessatama
"Enterobacter penghasil extended spectrum beta-lactamse (ESBL) merupakan organisme yang resisten terhadap beta-lactamase jenis baru seperti sefalosporin. Kejadian ESBL pada instansi kesehatan diketahui meningkatkan lama rawat pasien, biaya perawatan, dan angka kematian. Prevalensi ESBL juga terus meningkat secara signifikan sehingga ESBL merupakan masalah yang serius bagi dunia kesehatan. Pasien yang di rawat di rumah sakit, khususnya Intensive Care Unit (ICU) cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kolonisasi ESBL.Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui prevalensi ESBL di ICU dan hubungannya dengan salah satu faktor risiko kolonisasi, yaitu riwayat rawat inap. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan sampel sejumlah 97 orang yang merupakan pasien ICU Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) dalam tahun 2011. Identifikasi ESBL dilakukan dengan uji laboratorium mikrobiologi sesuai standar The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) 2010. Data riwayat rawat inap didapatkan dari rekam medik pasien yang kemudian dikategorikan menjadi pernah dirawat dan tidak pernah dirawat. Hasil uji labotatorium menunjukkan 26 dari 97 sampel (26.8%) mengalami kolonisasi ESBL. Data kemudian dianalis menggunakan uji hipotesis chi-square. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat rawat inap dengan kejadian ESBL (p=0.798). Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara riwayat rawat inap sebelum masuk ICU dengan angka kejadian ESBL di ICU RSCM pada tahun 2011.

Enterobacter producing extended spectrum beta lactamases (ESBL) are organisms which develop resistance to new type beta-lactam antibiotic. ESBL in health instances are known to increase hospital length of stay, costs, and mortality rate. ESBL prevalences increase significantly nearly in every part of the world. Hospitalized patient, especially those in Intensive Care Unit (ICU) tend to have an increased risk of ESBL colonization. Thus ESBL is a serious threat. The objectives of this study is to identify the prevalence of ESBL in ICU and its correlation with hospital admission history. This study used cross-sectional design with 97 samples taken from ICU Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) in 2011. Identification of ESBL used the standardized method according to The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) 2010. The hospital admission history data was taken from patient’s medical record in ICU. Laboratory test results show 26 of 97 samples (26.8%) were colonized with ESBL. Chi-square is used to analyze the data which shows that there is no correlation between hospital admission history and ESBL colonization (p=0.798). It is concluded that there is no correlation between hospital admission history and ESBL colonization in ICU RSCM in 2011."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Swastya Dwi Putra
"Multidrug Resistant Organism adalah bakteri yang resisten terhadap satu atau lebih kelas antibiotika. Infeksi MDRO menyebabkan kegagalan terapi pada beberapa jenis antibiotik dan meningkatkan kesulitan untuk penyembuhan. Infeksi MDRO cukup banyak ditemukan pada pelayanan kesehatan terutama di bagian Intensive Care Unit karena pengaruh beberapa faktor risiko yang diantaranya pemakaian alat medis intensif, status imunologis yang lemah, dan transmisi dari petugas kesehatan. Penggunaan alat medis intensif terutama adalah tracheal tube adalah faktor risiko terjadinya kolonisasi bakteri Pseudomonas sp yang tidak jarang ditemukan di ICU adalah MDR-Pseudomonas sp. Oleh karena itu, data mengenai kejadian kolonisasi MDR-Pseudomonas sp. yang dihubungkan dengan riwayat penggunaan tracheal tube di ICU dibutuhkan untuk melakukan usaha pencegahan infeksi MDR-Pseudomonas sp. di rumah sakit.
Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo , Jakarta Pusat pada bulan Januari hingga Juni 2012. Data diambil dari data sekunder yang berasal dari kultur sputum dari 111 pasien yang dirawat di ICU pusat RSCM. Sampel diambil dengan metode consecutive sampling. Data yang didapat oleh peneliti dianalisis dengan metode chi-square, dengan p=0.05. Hasil yang didapatkan adalah prevalensi 8,1%, RP>1, nilai kemaknaan p=0.164, dan IK 95% 0.986 ; 2.787. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat penggunaan tracheal tube dengan infeksi MDR-Pseudomonas sp.

Multidrug Resistance Organism (MDRO) is bacteria resist with one or more antibiotics group. MDRO can cause the failure of treatment in some types of antibiotics and increases the difficulty for healing. MDRO infection commonly found in health services, especially in the Intensive Care Unit due to the influence of several risk factors including intensive use of medical devices, the lack of immunological status, and transmission of health workers. The use of medical devices, particularly tracheal tube, is a risk factor of colonization MDR- Pseudomonas sp. Therefore, we need data of MDR- Pseudomonas sp. colonization in Indonesia Hospital associated with administration history of tracheal tube in patients of adult ICU. So the practitioner can use these data for prevention and control of infection MDR- Pseudomonas sp. in hospital especially in ICU.
This is an analytical cross sectional study conducted at central ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital on January, 2011 until June, 2012. Samples taken from secondary data derived from sputum examinations and medical records of 111 patients in ICU RSCM. We select the sample by consecutive sampling method. Data were analyzed with chi-square method, with p = 0.05. The results are prevalence 8,1%, RP> 1, the value of significance p = 0164, and 95% CI 0986; 2787. These results suggest that there is no association between administration history of tracheal tube and incidence of infection by MDR- Pseudomonas sp.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avy Retno Handayani
"Pseudomonas sp. Dikenal karena kemampuannya yang bersifat pathogen oportunis.Beberapa data epidemiologis menyatakan bahwa resistensi bakteri ini terhadap antibiotika semakin meningkat berdasarkan isolasi dari laboratorium. Prevalensi Pseudomonas sp.didapatkan lebih banyak secara bermakna pada Intensive Care Unit (ICU) dibandingkan pada ruang perawatan non-intensif, Salah satunya adalah akibat ICU memungkinkan terjadinya antibiotic pressure yang lebih besar karena penggunaan antibiotika yang lebih agresif, dimana penggunaan antibiotika dinilai telah menjadi factor risiko diperolehnya organism ini. Dengan mengetahui hubungan factor risiko dengan kejadian bakteri Pseudomonas sp. Yaitu penggunaan antibiotik, diharapkan para praktisi kesehatan lebih waspada dalam penanganan pasien infeksi terutama di ICU.
Penelitian ini merupakan studi cross sectional analitik dengan menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan mikrobiologi kultur (darah, sputum, dan/ataujaringan) dan rekam medik 111 pasien ICU Dewasa RSCM dari tanggal 10 Januari 2011 hingga 9 Agustus 2011. Pemilihan sampel dilakukan dengan consecutive sampling.
Hasil pemeriksaan mikrobiologi yang dilihat adalah hasil uji resistensi Pseudomonas sp.baik pada pasien yang memiliki riwayat penggunaan antibiotikaa taupun yang tidak. Data dianalisisdenganuji Chi-square, p=0.05. Hasilperbandingan data antaraproporsipasien yang positif terinfeksi bakteri Pseudomonas sp.dan memiliki riwayat penggunaan antibiotika dengan proporsi pasien positif terinfeksi bakteri tersebut dan tidak menggunakan antibiotika adalah RP >1 dengan nilai kemaknaan p=1.000 dan IK95% 1.259; 1.779. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika dapat menjadi factor risiko terhadap kejadian infeksi bakteri Pseudomonas sp.

Pseudomonas sp. known for its ability to be opportunistic pathogens.Some epidemiological shows that bacterial resistance to antibiotics is increasing by the isolation of the laboratory.Pseudomonas sp. bacteria is a microorganism which produce an enzyme that could hydrolyze penicillin, first, second, and third generation cephalosporins, and aztreonam (except cephamycin and carbapenem) which its activity could be inhibited by beta lactam inhibitor. The prevalence of Pseudomonas sp. was showed more significant in Intensive Care Unit (ICU) than in non-intensive care unit, because the bigger antibiotic pressure is more liable to happen in ICU where the antibiotic use is more aggressive. The use of antibiotic is considered to be the risk factor of Pseudomonas sp. infection. Therefore, we need the data of prevalence of Pseudomonas sp. bacteria associated with the use of antibiotics in ICU in Indonesia, so the health practitioner could use it to prevent and control the infection of Pseudomonas sp. bacteria in ICU.
This is an analytical cross sectional study conducted at adult ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital on 10th of January, 2011 until 9th of August, 2011. Samples were taken from secondary data derived from culture examinations and medical records 111 patients in ICU RSCM. The samples were selected by consecutive sampling.
This study use the result of Pseudomonas sp.resistance test in patients with or without history of antibiotic use. The data were analyzed with Chi-square method, p=0.05. The results are RP >1, the value of significance p=1.000 and 95% CI 1.259; 1.779. These results show that the use of antibiotics may be a risk factor of Pseudomonas sp. bacteria infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Purwono
"Penggunaan antibiotika yang tidak rasional dapat meningkatkan angka kejadian infeksi Enterobacteriaceae penghasil extended spectrum beta-lactamase (ESBL). Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL berbeda di berbagai rumah sakit, dan dapat mempersulit pengobatan, memperpanjang lama rawat, dan meningkatkan angka kematian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di ICU Pusat RSCM dan hubungannya dengan penggunaan antibiotika. Penelitian merupakan studi cross sectional menggunakan 111 data sekunder hasil uji resistensi ESBL dari pemeriksaan mikrobiologi kultur sesuai standar The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) dan rekam medik pasien ICU Pusat RSCM dalam tahun 2011.
Hasil uji laboratorium menunjukkan 8 dari 111 sampel (7,2%) mengalami infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Data dianalisis dengan uji chi-square, p=0,05. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa RP>1 dengan nilai kemaknaan p=1.000 dan IK95% 1.039; 1.179. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara penggunaan antibiotika dengan kejadian infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di ICU Pusat RSCM pada tahun 2011.;

Irrational use of antibiotics can increase the incidence of infection by extended-spectrum beta-lactamase (ESBL) producing Enterobacteriaceae. Prevalence of ESBL-producing Enterobacteriaceae varies among hospitals, and which its resistance could complicate the treatment, extend hospital length of stay, and increase the mortality.
The aim of this study is to determine the prevalence of ESBL-producing Enterobacteriaceae and its association with antibiotic use. This study was a cross sectional study, involving 111 secondary data derived from ESBL resistance test of culture examinations which used the standardized method according to The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) and patients? medical records in Central ICU RSCM in 2011.
Laboratory test results showed that 8 from 111 samples (7,2%) were infected with Enterobacteriaceae producing ESBL. Data were analyzed using chi-square test, p=0,05. Statistical analysis results were RP>1 with the value of significance p=1.000 and 95% CI 1.039; 1.179. It is concluded that there is no association between antibiotic use and ESBL-producing Enterobacteriaceae infection in Central ICU RSCM in 2011.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Delly Chipta Lestari
"Bakteri multi-resisten antibiotik [multidrug-resistant (MDR)] saat ini menjadi perhatian di seluruh dunia, terutama pada Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase. Di Indonesia, data mengenai Klebsiella pneumoniae MDR belum tersedia. Penelitian ini bersifat restrospektif untuk mengidentifikasi Klebsiella pneumoniae MDR penghasil enzim beta laktamase (ESBL, AmpC, dan karbapenemase), mengidentifikasi gen penyandi sifat resisten pada isolat yang resisten karbapenem, menganalisis faktor risiko dan menilai luaran klinis pasien yang terinfeksi oleh bakteri tersebut. Penelitian dilakukan di ICU RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011.
Dari hasil penelitian didapatkan prevalensi Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL 76%, penghasil AmpC 0%, dan penghasil karbapenemase adalah 43%. Ditemukan 1 isolat dengan penyandi gen resinten pada karbapenem yaitu NDM-1. Faktor risiko pasien yang berhubungan dengan infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL adalah penggunaan CVC. Infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase dapat memengaruhi lama rawat pasien di ICU dengan selisih lama rawat 11 hari dan effect size d = 0,4 (efek kecil hingga sedang). Infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase dapat memengaruhi luaran klinis pasien meskipun dengan efek kecil (ES d = 0,2).

Multidrug-resistant organisms (MDRO) are being public health concern worldwide, especially for beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae. There is no data about multidrug-resistant Klebsiella pneumoniae in Indonesia yet. In this restrospective study we identified beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae (ESBL, AmpC, and carbapenemase), identified resistance encoding genes on carbapenem resistant isolates, analysed risk factors and patient?s outcomes. This study conducted in intensive care unit Cipto Mangunkusumo Hopital during 2011.
Study results found 76% isolates are ESBL producing, 0% are AmpC producing, and 43% are carbapenemase producing. We found 1 isolate contain gene that encoded resistance on carbapenem resistant, namely NDM-1. Risk factor that have correlation with ESBL producing is the use of central venous catheter. Infection due to beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae could influence length of stay at ICU (11 days longer) and effect size (ES) d = 0,4 (low to medium effect). Infection due to beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae also could influence patient?s outcome although with low effect (ES d = 0,2).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Glory Gelarich
"Resistensi antibiotik merupakan masalah utama yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau transfer gen horizontal yang membawa gen resisten dari satu bakteri ke bakteri lainnya. Rumah sakit merupakan sumber penularan dan penyebaran bakteri pembawa gen resisten antibiotik (ARG) serta sumber senyawa antibiotik yang tinggi sehingga merupakan reservoir utama dan tempat sempurna untuk transfer gen resisten antibiotik yang menyebabkan bakteri berkembang menjadi Multi-drug resistance (MDR). Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu bakteri batang gram negatif yang sering ditemukan pada air limbah. Hal ini terkait dengan tingginya prevalensi infeksi yang disebabkan oleh patogen ini. Berbagai gen seperti blaNDM dan blaTEM pada K. pneumoniae meningkat pada air limbah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi K. pneumoniae dan gen resistensi pengkode ESBL (blaTEM) dan carbapenemase (blaNDM) pada air limbah rumah sakit untuk mendapatkan data primer Antimicrobial Resistance (AMR) di lingkungan yang pertama di Indonesia. Metode deteksi gen resisten yang dikembangkan menggunakan singleplex Real-Time PCR berbasis SYBR Green dan multiplex Real-Time PCR berbasis probe. Hasil dianalisis untuk pemeriksaan kuantitatif secara absolut dan relatif. Penelitian ini menggunakan 24 sampel air limbah berasal dari inlet dan outlet. Dengan menggunakan kedua metode, semua gen dapat terdeteksi pada sampel inlet. Namun pada sampel outlet ditemukan blaNDM dan blaTEM pada singleplex tetapi tidak terdeteksi pada multiplex PCR dan beberapa blaNDM juga dapat terdeteksi pada multiplex namun tidak terdeteksi pada singleplex PCR. Berdasarkan hasil, dapat disimpulkan bahwa deteksi gen resisten menggunakan singleplex lebih sensitif dibandingkan dengan multiplex PCR. Selain itu, proses pengerjaan seperti pipetting dan konsentrasi komponen PCR harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil pengujian.

Antibiotic resistance is a major problem caused by various factors, such as inappropriate use of antibiotics or horizontal gene transfer that carries resistance genes from one bacterium to another. Hospitals are a source of transmission and spread of bacteria that carry antibiotic resistance genes (ARGs) and are high sources of antibiotic compounds so that they are the main reservoir and perfect place for the transfer of antibiotic-resistant genes that cause bacteria to develop into Multi-drug resistance (MDR). Klebsiella pneumoniae is one of the bacilli gram-negative bacteria that is often found in wastewater. This is related to the high prevalence of infections caused by this pathogen. Various genes such as blaNDM and blaTEM in K. pneumoniae were increased in wastewater. This study aims to detect K. pneumoniae and resistance genes encoding ESBL (blaTEM) and carbapenemase (blaNDM) in hospital wastewater to obtain primary data on Antimicrobial Resistance (AMR) in the first environment in Indonesia. The resistance gene detection method was developed using singleplex Real-Time PCR based on SYBR Green and multiplex Real-Time PCR based on probe. The results were analyzed for quantitative examination in absolute and relative terms. This study used 24 samples of wastewater from the inlet and outlet. Using both methods, all genes could be detected in the inlet sample. However, in the outlet samples, blaNDM and blaTEM were found in singleplex but not detected in multiplex PCR and some blaNDM could also be detected in multiplex but not detected in singleplex PCR. Based on the results, it can be concluded that the detection of resistance genes using singleplex is more sensitive than multiplex PCR. In addition, processing processes such as pipetting and the concentration of PCR components must be considered because they can affect the test results."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbuun, Ruth Fitri Margareta
"Pendahuluan: Ulkus dekubitus adalah suatu kerusakan jaringan lunak akibat penekanan yang berkepanjangan di atas tonjolan tulang. Sebagian besar studi menggunakan madu Manuka sebagai perawatan luka (dressing), di mana madu tersebut mahal. Atas landasan tersebut, studi ini menggunakan madu lokal, yaitu madu Nusantara, dengan tujuan untuk membuktikan penggunaan madu lokal pada pasien pressure injury memiliki luaran yang lebih baik, diobservasi dari penyembuhan luka, profil bakteri, dan harga, dibandingkan dengan dressing standar, yaitu hydrogel.
Metode: Studi eksperimental ini dilakukan kepada pasien pressure injury yang dikonsultasikan ke divisi kami. Observasi dilakukan selama satu bulan. Parameter profil bakteri diambil melalui kultur jaringan. Proses penyembuhan luka dinilai berdasarkan Pressure Ulcer Scale for Healing (PUSH) Tool. Biaya diakumulasikan dari awal sampai akhir tata laksana. Analisis data menggunakan T-test atau Mann-Whitney (jika distribusi tidak normal), dengan signifikansi didefinisikan sebagai p<0,05.
Hasil: Dari 26 luka, terdapat 12 luka ditata laksana dengan hydrogel dan 14 madu. Karakteristik pasien dinilai berdasarkan jenis kelamin, usia, indeks massa tubuh, tingkat kesadaran, status mobilisasi, penyebab imobilisasi, komorbiditas, derajat dan luas luka, kadar hemoglobin, leukosit, dan albumin. Terdapat reduksi luas luka yang signifikan secara klinis berdasarkan PUSH Tool (p=0,118). Profil bakteri dan reduksi bakteri serupa di antara kedua grup. Madu lebih efisien dalam hal biaya, terkait dengan harga dressing (p<0,001) dengan total biaya lebih rendah.
Kesimpulan: Dressing madu lokal memiliki kemampuan penyembuhan luka yang lebih baik, walaupun tidak signifikan secara statistik. Kemampuan penurunan bakteri sama dengan dressing standar, dengan biaya yang lebih murah, terutama harga dressing. Madu lokal dapat dipakai untuk perawatan luka di area di mana tidak tersedia dressing modern.

Background: Pressure injury is a localized soft tissue injury caused by prolonged pressure over bony prominence. Most published papers used Manuka honey as dressing, while this product is expensive. As this reason, this study will use local product honey called Nusantara honey, to prove the use of local honey has better healing process, bacterial profile, and cost effectiveness, compared to the standard dressing, hydrogel.
Methods: This is a one-month experimental study conducted in patients with pressure injury that referred to our division. Parameter of the bacterial profile was taken from deep-tissue specimen. The healing process was examined with Pressure Ulcer Scale for Healing (PUSH) Tool. Cost was accumulated after all the treatment. Data was analyzed with T-Test or Mann Whitney (if the distribution is not normal), with statistical significance was define as p<0.05.
Results: Of 26 wounds, 12 were randomized to hydrogel and 14 to honey dressing. Characteristics were determined by sex, age, body mass index, level of consciousness, mobilization status, immobilization etiology, comorbidities, grade and location of ulcer, hemoglobin, leukocytes, and albumin level. There was clinically significant wound size reduction in honey dressing according to PUSH Tool (p=0.118). The bacterial profile and reduction were similar. Honey dressing appeared to be more cost effective in terms of dressing cost (p<0.001) and lower total cost.
Conclusion: The local honey dressing has better wound healing outcome, although it is not statistically significant. Its capability of decreasing pathogens is similar with hydrogel, with lower cost, particularly the dressing cost. This local honey dressing could be a good choice as wound dressing in areas where the modern dressings are not available.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selvi Nafisa Shahab
"Latar Belakang: Bakteri resistan multiobat (MDR) dapat dibawa oleh pasien yang baru masuk perawatan inap dan menjadi sumber penyebaran di rumah sakit hingga menyebabkan. Namun, pemeriksaan deteksi bakteri MDR pada awal perawatan belum menjadi standar. Oleh karena itu, dilakukan pengembangan media cair selektif yang digunakan dalam kultur bakteri untuk mengetahui prevalensi kolonisasi bakteri MDR pada pasien saat admisi rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Untuk mengembangkan media cair selektif, dilakukan uji stabilitas cakram carbapenem. Cakram carbapenem yang paling stabil digunakan untuk suplementasi media cair untuk bakteri batang Gram negatif resistan carbapenem (CR-GNB). Media cair selektif yang digunakan adalah tryptic soy broth (TSB) yang ditambahkan cakram antibiotik yang sesuai dengan bakteri resistan yang akan diperiksa. Media kemudian menjalani uji limit deteksi dan uji spesifisitas. Saat admisi rawat inap, subjek menjalani pengambilan spesimen dan pengisian kuesioner. Spesimen skrining yang digunakan adalah swab tenggorok, swab pusar, swab rektal, swab nasal, dan swab ketiak.
Hasil Penelitian: Berdasarkan hasil uji stabilitas, cakram imipenem adalah yang paling stabil. Media cair selektif yang digunakan untuk CR-GNB, Enterobacterales penghasil beta-lactamase spektrum luas (ESBL-PE), dan Staphylococcus aureus resistan methicillin (MRSA) adalah TSB dengan vancomycin-imipenem (limit deteksi < 1,5×10-1 CFU/mL), vancomycin-cefotaxime (limit deteksi < 1,5×10-1 CFU/mL), dan cefoxitin (limit deteksi 1,5×100 CFU/mL), berurutan. Dari 100 pasien yang diikutsertakan dalam penelitian, prevalensi kolonisasi bakteri MDR saat admisi rawat inap adalah 63%. Faktor yang berhubungan dengan kolonisasi bakteri MDR adalah riwayat penggunaan alat medis invasif dan komorbiditas, sedangkan faktor yang berhubungan dengan kolonisasi CR-GNB adalah riwayat penggunaan antibiotik.
Kesimpulan: Prevalensi kolonisasi bakteri MDR pada pasien saat admisi rawat inap di RSCM tahun 2022 adalah 63% yang berhubungan dengan riwayat penggunaan alat medis invasif dan komorbiditas.

Background: Multidrug-resistant (MDR) bacteria could be carried by newly admitted patients and become a source of spread in the hospital amd causing infections. However, the detection of MDR bacteria on admission has not been a standard. Therefore, we developed selective liquid media to culture MDR bacteria to get the prevalence of MDR bacteria colonization in patients on admission in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: To develop selective liquid media, we performed carbapenem disc stability testing. The most stable carbapenem disc was used to supplement the liquid media in detecting carbapenem-resistant Gram-negative bacilli (CR-GNB). Selective liquid media used for the detection was tryptic soy broth (TSB) with added antibiotics based on the target bacteria. We performed a limit detection test and specificity test on the developed media. While admitted to the hospital, we took samples from subjects and interviewed them to fill out a questionnaire. The specimens used for this study were throat swabs, navel swabs, rectal swabs, nasal swabs, and armpit swabs.
Results: Based on the stability test, imipenem disc was the most stable. Selective media used for CR-GNB, extended-spectrum beta-lactamase-producing Enterobacterales (ESBL-PE), and methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) were TSB with vancomycin-imipenem (detection limit < 1,5×10-1 CFU/mL), vancomycin-cefotaxime (detection limit < 1,5×10-1 CFU/mL), dan cefoxitin (detection limit 1,5×100 CFU/mL), respectively. Of 100 patients included in the study,the prevalence of MDR bacteria colonization on admission was 63%. Factors associated with MDR bacteria colonization were the recent use of invasive medical devices and comorbidity, while a factor associated with CR-GNB colonization was the recent use of antibiotics.
Conclusion: Prevalence of MDR bacteria colonization in patients on admission in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in 2022 was 63% and was associated with the recent use of invasive medical devices and comorbidity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rivia Gina Rahmawaty
"Anosmia merupakan salah satu gejala COVID-19 yang spesifik. Mekanisme anosmia pada COVID-19 belum dapat dijelaskan dengan pasti. Beberapa studi melaporkan perubahan kemampuan penciuman disertai perubahan komposisi mikrobioma nasal. Saat ini studi mikrobioma nasal pasien COVID-19 yang mengalami gejala anosmia masih kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil mikrobioma nasal pasien COVID-19 dengan dan tanpa anosmia di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI tahun 2021. Studi potong lintang ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI Juli sampai September 2021 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Diagnosis anosmia ditegakkan menggunakan metode subjektif. Pengambilan spesimen usap nasofaring dan orofaring untuk pemeriksaan RT-PCR COVID-19 dan usap nasal untuk pemeriksaan mikrobioma dilakukan pada pasien tersangka COVID-19. Bila didapatkan hasil RT-PCR positif, maka pada spesimen usap nasal dilakukan pemeriksaan sekuensing 16S RNA-Next Generation Sequencing. Didapatkan 17 spesimen usap nasal dari subjek yang mengalami gejala anosmia dan 8 spesimen yang tidak mengalami gejala anosmia. Pada mikrobioma nasal pasien COVID-19 yang mengalami gejala anosmia terjadi berupa penurunan kelimpahan filum Actinobacteria, Ordo Propionibacteriales, Famili Propionibacteriaceae, genus Cutibacterium dan Peptoniphilus. Dari penelitian ini, terdapat perubahan komposisi mikrobioma nasal pada pasien COVID-19 dengan gejala anosmia.

Anosmia is a specific symptom of COVID-19. The mechanism of anosmia in COVID-19 cannot be explained with certainty. Changes in nasal microbiome composition are associated with olfactory function. SARS-CoV-2 infection alters the respiratory microbiota and influence the susceptibility to COVID-19 infection. There are also changes in the composition of nasal microbioms of COVID-19 patients experiencing anosmia. Studies of the nasal microbiome in COVID-19 patients who experience symptoms of anosmia are rare. The aim of this study is to determine the nasal microbiome profile of COVID-19 patients with and without anosmia.
This cross-sectional study was conducted at the Clinical Microbiology Laboratory of the FKUI from July to September 2021 which met the inclusion criteria and did not meet the exclusion criteria. Anosmia is determined subjectively. Nasopharyngeal and oropharyngeal swab specimens for RT-PCR COVID-19 examination and nasal swabs for microbiome are collected from patients. If a positive RT-PCR result is obtained, then the nasal swab specimen is subjected to a RNA-Next Generation Sequencing. There were 17 nasal swab specimens from subjects with anosmic symptoms and 8 specimens without anosmic symptoms. In the nasal microbiome of COVID-19 patients who experience symptoms of anosmia, there is a decrease in the abundance of the Actinobacteria, Propionibacteriales, Propionibacteriaceae, Cutibacterium and Peptoniphilus. From this study, there were changes in the composition of the nasal microbiome in COVID-19 patients with anosmia symptoms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>