Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Guntur Utama Putera
"Latar Belakang: Giant Cell Tumor (GCT) adalah tumor yang sering mengenai individu berusia 20-45 tahun. Penatalaksanaan GCT radius distal adalah untuk menghilangkan massa tumor sepenuhnya dan mempertahankan pergelangan tangan. Beberapa metode rekonstruksi dapat dilakukan seperti arthrodesis total, Free Vascularized Fibular Graft (FVFG) atau Non-Vascularized Fibular Graft (NVFG), dengan prosedur rekonstruksi terutama melibatkan artroplasti atau arthrodesis pergelangan tangan parsial. Penelitian ini disusun untuk mengetahui perbandingan luaran fungsional pasien rekonstruksi GCT radius distal menggunakan teknik FVFG, NVFG, dan arthrodesis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain studi potong lintang yang menilai keluaran. post operasi dan tidak pada subjek tidak terdapat perlakuan khusus pada pasien. Pengambilan data akan dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakara, dan dilaksanakan pada bulan Juli 2020 – Juli 2021. Populasi target pada penelitian ini yaitu pasien yang telah didiagnosis dengan GCT tulang distal radius dan telah dilakukan operasi penyelamatan ekstrimitas beserta prosedur rekonstruksi berupa NVFG atau FVFG atau arthrodesis. Hasil : Terdapat 21 pasien GCT radius distal di RSCM pada penelitian ini yang termasuk kriteria inklusi dan di ikutkan dalam proses analisis data. Jumlah subjek laki-laki adalah 12 orang dan perempuan 9 orang (rasio 4:3). Golongan usia yang paling banyak adalah 21-30 tahun (33,3%). Tidak didapatkan hubungan yang bermakna di antara ketiga prosedur tersebut dengan luaran fungsional pasien (p = 0,49). Namun apabila dilihat dari rerata skor MSTS yang terbaik adalah metode FVFG dengan skor 24,4. Rerata FVFG lebih baik bila dibandingkan dengan arthrodesis 23,2 dan NVFG 23,18. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan luaran fungsional dari tatalaksana operasi penyelamatan ekstremitas pada pasien dengan GCT tulang distal radius yang dilakukan prosedur NVFG, FVFG, dan arthrodesis.

Background: Giant Cell Tumor (GCT) is a tumor that often affects individuals aged 20- 45 years. Management of the distal radius GCT is to completely remove the tumor mass and preserve the wrist. Several reconstruction methods can be performed such as total arthrodesis, Free Vascularized Fibular Graft (FVFG) or Non-Vascularized Fibular Graft (NVFG), with the reconstructive procedure primarily involving arthroplasty or partial wrist arthrodesis. This study was structured to compare the functional outcomes of patients with distal radius GCT reconstruction using FVFG, NVFG, and arthrodesis techniques. Method: This study is an analytic study with a cross-sectional design that assesses outcomes. postoperatively and not on the subject there is no special treatment for the patient. Data collection will be carried out at Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, and will be held in July 2020 – July 2021. The target population in this study are patients who have been diagnosed with GCT of the distal radius and have undergone extremity rescue surgery along with reconstruction procedures in the form of NVFG or FVFG or arthrodesis. Result: There were 21 distal radius GCT patients at the RSCM in this study which included the inclusion criteria and were included in the data analysis process. The number of male subjects was 12 people and 9 female subjects (4:3). The most common age group is 21-30 years (33.3%). There was no significant relationship between the three procedures and the patient's functional outcome (p = 0.49). However, when viewed from the average MSTS score, the best is the FVFG method with a score of 24.4. The mean FVFG was better when compared to arthrodesis 23.2 and NVFG 23.18. Conclusion: There was no difference in the functional outcome of limb salvage surgical management in patients with GCT of the distal radius who underwent NVFG, FVFG, and arthrodesis procedures."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rendra Irawan
"ABSTRAK
Pendahuluan. Tumor Ganas Jaringan Lunak Soft Tissue Sarcoma merupakan kelompok heterogen tumor ganas mesenkim dengan jumlah kasus yang sangat sedikit dengan gejala klinis sulit dibedakan dengan tumor jinak, menjadikan tumor ini sering ditangani tanpa mengetahui batas tumor yang jelas unplanned excision . Penanganan tumor ganas jaringan lunak secara inadekuat ini mengakibatkan tumor masih tersisa sehingga beresiko terjadi rekurensi dan mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rekurensi dan mortalitas pasien tumor ganas jaringan lunak ekstremitas yang telah dilakukan unplanned excision, serta faktor-faktor yang memengaruhinya.Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan kohort retrospektif yang menggunakan data pasien RS Cipto Mangunkusumo tahun 2005 hingga 2015. Pada penelitian ini, didapati yang memenuhi kriteria sebanyak 87 subjek, yakni pasien unplanned excision tumor ganas jaringan lunak ekstremitas yang dilakukan analisis angka rekurensi dan mortalitas serta faktor-faktor yang berhubungan dengan rekurensi dan mortalitas tersebut.Hasil Penelitian. Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat rekurensi dengan operator yang tidak berkompeten non orthopaedi onkologi p0,05 . Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara mortalitas dengan operator pembedahan, lokasi tumor, ukuran awal tumor dan tipe rumah sakit P>0,05 .Kesimpulan. Faktor yang memengaruhi rekurensi pada pasien unplanned excision tumor ganas jaringan lunak yakni operator non orthopaedi onkologi.

ABSTRACT
Introduction. Soft tissue sarcoma is part of mesenchymal malignant tumor heterogeneous group with very little number of cases. Unplanned excision often become the choice of treatment due to difficulties to differentiate it with benign tumor. The inadequate treatment of this soft tissue sarcoma often leave trace of the tumor, leading to recurrence and mortality. We studied the recurrence and mortality of patients with unplanned excision on soft tissue sarcoma of extrimities, including affecting factors.Methods. This is an analytical descriptive study with retrospective cohort design, using patient rsquo s data in Cipto Mangunkusumo hospital during 2005 to 2015. Our study acquired 87 subjects with unplanned excision on soft tissue sarcoma of extrimities. Analysis of recurrence rate, mortality rate, and related factores were examined and analysed.Results. There was significant relationship between recurrence rate with incompetent surgeon non oncology orthopaedics p0,05 . However, this study could not find statistical significance between mortality with non oncology orthopaedic surgeon, location of the tumour, initial size of the tumour, and hospital type P 0,05 .Conclusion. There is relationship between recurrence rate with non oncology orthopaedics operator. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bangkit Primayudha
"Latar Belakang: Osteosarkoma, tumor ganas primer pada tulang, dikenal karena perilakunya yang agresif dan kecenderungan untuk metastasis ke paru-paru. Pengobatan standar untuk osteosarkoma meliputi operasi dikombinasikan dengan kemoterapi. Namun, perubahan genetik dan kromosom berkontribusi pada perilaku agresif tumor sehingga memengaruhi efektivitas kemoterapi menyebabkan  resistensi obat dan terjadinya metastasis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ekspresi P53 tipe mutan dan ekspresi GSTP1 terhadap respons kemoterapi yang buruk dan kejadian metastasis pada pasien osteosarkoma di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini adalah studi cross sectional dengan menggunakan blok paraffin dari Departemen Patologi Anatomi RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dari pasien yang didiagnosis dengan osteosarkoma dan telah mendapatkan kemoterapi neoajuvan lini pertama sebanyak 3 siklus dari tahun 2019-2021, kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia GSTP1 dan P53 Mutan, untuk penilaian menggunakan immunoreactive scoring system dari Fedchenko dan Reifenrath. Hasil yang didapat setelah pemeriksaan dan penilaian imunohistokimia dari ekspresi GSTP1 dan ekspresi P53 Mutan dilakukan uji korelasi analisis bivariat dengan respons kemoterapi (Skor Huvos) dan kejadian Metastasis.
Hasil: Hasil Penelitian ini didapatkan jumlah sampel total 36 pasien. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-Square, didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan untuk ekspresi GSTP1 dan ekspresi P53 Mutan dengan kejadian metastasis (P=0,871). Sementara itu untuk ekspresi GSTP1 didapatkan hubungan yang signifikan dengan respons kemoterapi yang buruk pada pasien osteosarkoma (P=0,001), begitu juga terdapat hubungan yang signifikan antara ekspresi P53 Mutan dengan respons kemoterapi yang buruk (P=0,001).
Kesimpulan: Didapatkan hubungan yang bermakna antara ekspresi GSTP1 dan ekspresi P53 Mutan dengan respons kemoterapi yang buruk pada pasien osteosarkoma di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, dan tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara ekspresi GSTP1 dan ekspresi P53 Mutan dengan kejadian metastasis pada pasien osteosarkoma di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo.

Introduction: Osteosarcoma, a primary malignant tumor of the bone, is known for its aggressive behavior and tendency to metastasize to the lungs. The standard treatment for osteosarcoma includes surgery combined with chemotherapy. However, genetic changes and chromosomal contributions to the aggressive behaviors of the tumor affect the effectiveness of chemotherapy, often resulting in drug resistance and metastasis. This study aims to determine the relationship between expression P53 mutant and GSTP1 to poor chemotherapy response and the occurence of metastasis in osteosarcoma patients at RSCM.
Method: This study is a cross-sectional study using paraffin blocks from the Department of Anatomical Pathology at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from patients diagnosed with osteosarcoma who received first line drug of neoadjuvant chemotherapy for 3 cycles from 2019-2021. Immunohistochemical examinations of GSTP1 and Mutant P53 were conducted, using the immunoreactive scoring system from Fedchenko and Reifenrath. The results obtained after the immunohistochemical examination and evaluation of GSTP1 expression and Mutant P53 expression were subjected to bivariate correlation analysis with chemotherapy response (Huvos Score) and the occurence of metastasis.
Results: This study involved a total sample of 36 patients. Statistical analysis using the Chi-Square test revealed no ignificant relationship for increasing in GSTP1 expression and Mutant P53 expression with metastasis events (P=0,871). However, an increasing in GSTP1 expression has a significant relationship with poor chemotherapy response in osteosarcoma patients (P=0,001), as well as a significant relationship between increasing Mutant P53 Expression and poor chemotherapy response (P=0,001).
Conclusion: A meaningful relationship was found between the increasing expression of GSTP1 and Mutant P53 with poor chemotherapy response in osteosarcoma patients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, and no significant relationship was found between the increasing expression of GSTP1 and Mutant P53 with the occurence of metastasis in osteosarcoma patients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Dumastoro
"Pendahuluan: Skor TRISS menjadi salah satu alat yang paling umum digunakan mengukur keberhasilan pelayanan trauma. Saat ini belum ada data penggunaan Skor TRISS pada penanganan pasien politrauma di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penelitian ini disusun untuk mengetahui kemampuan skor TRISS memprediksi kematian pasien politrauma di IGD RSCM.
Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian kohor retrospektif. Data diambil dari rekam medis pasien politrauma tahun 2011- 2014 yang datang di IGD RSCM. Analisis dilakukan untuk mengetahui hubungan skor TRISS dengan prognosis pasien. Dilakukan analisa bivariat dan multivariat dengan menggunakan program SPSS 18.
Temuan Penelitian dan Diskusi: Terdapat 70 data pasien yang memenuhi inklusi pada pasien ini. Mayoritas pasien adalah laki-laki (65%) dan berusia muda. Terdapat 69 pasien yang mengalami trauma tumpul dengan kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab terbanyak trauma paling banyak(94,3%). Sebanyak 26 pasien meninggal dunia dan 54 pasien survive setelah mendapat perawatan. Pada analisis bivariat dan multivariat didapatkan hubungan bermakna antara skor TRISS dengan prognosis pasien. Skor TRISS mampu memprediksi kuat mortalitas pasien politrauma (AUC = 0,899; IK95% 0,824-0,975). Skor TRISS mempunyai sensivitas 84,6% dan spesifivitas 81,8 % dengan titik potong optimal ≤90,5.
Simpulan: Skor TRISS dapat memprediksi kematian pasien politrauma yang di rawat di RSCM.

Introduction: TRISS score is one of the most commonly used trauma score. Currently there is no data about using TRISS score in the care of polytrauma patients at emergency department of Ciptomangunkusumo Hospital. This research is to determine whether TRISS score can predict the mortality of polytrauma patients at Ciptomangunkusumo Hospital.
Methods: It was a retrospective cohort study. Data was collected from medical records of polytrauma patients who was admitted to emergency department of Ciptomangunkusumo Hospital 2011-2014. From there, we analyze the relationship between TRISS score and patient?s prognosis. Furthermore, we conducted bivariate and multivariate analysis by SPSS 18 software.
Result and Discussion: Seventy medical records was included in this study. Majority of our patients was male (65%) in young age. There were 69 patients who experienced blunt trauma, with the majority of them (94,3%) was caused by motor vehicle accident. After receiving trauma care, there were 26 deaths, while other 54 patients survived. From bivariate and multivariate analysis, we found a significant association between TRISS score and patient?s prognosis. TRISS score strongly predicts polytrauma patient?s mortality (AUC 0,899; IK95% 0,824-0,975). TRISS score has 84,6% sensitivity and 81.8% specificity with optimal intersection point ≤90,5.
Conclusion: TRISS score can predict the mortality of polytrauma patients at Ciptomangunkusumo Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Hidayat
"ABSTRAK
Pendahuluan: Fusi spinal posterolateral adalah prosedur sering dilakukan dalam tindakan arthrodesis spinal yang menggunakan autograft dari krista iliaka. Penggunaan autograft memiliki keterbatasan dan komplikasi. Tingkat
pseudoarthrosis berkisar antara 5-35%. Penggunaan platelet rich plasma (PRP) sebagai faktor osteoinduktif memiliki dasar ilmiah. Platelet dengan cepat
menempel pada permukaan tandur tulang dan mengalami degranulasi, kemudian melepaskan faktor-faktor pertumbuhan yang memicu penyembuhan tulang dan inkorporasi tandur. Studi ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian PRP terhadap tingkat fusi pada tindakan fusi spinal pada kelinci putih New Zealand Metode: Fusi posterolateral dilakukan pada 16 ekor kelinci putih New Zealand yang terbagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok fusi dengan autograft dan fusi dengan autograft + PRP. PRP diambil dari vena perifer lalu disentrifugasi, kemudian dilanjutkan dengan tindakan fusi posterolateral, pengambilan tandur krista iliaka, dan aplikasi PRP. Observasi dilakukan selama 8 minggu. Evaluasi dinilai secara radiologis dengan modifikasi skor Bridwell dan histologis dengan skor Huo/Friedlaender.
Hasil: Secara radiologis, pada kelompok perlakuan fusi spinal dengan autograft
didapatkan 5 sampel definite fusion, 1 sampel probable fusion, dan 2 sampel
nonunion. Sementara itu, pada kelompok perlakuan fusi spinal dengan autograft + PRP terdapat 5 sampel definite fusion, 3 sampel probable fusion, dan tidak ada nonunion. Namun, tidak terdapat perbedaan radiologis yang bermakna. Kelompok fusi spinal dengan autograft + PRP memiliki rerata dan median skor histologis yang lebih tinggi dibandingkan kelompok fusi spinal dengan autograft saja secara bermakna (8 vs 6,5).
Simpulan: Pemberian PRP bersama dengan autograft pada fusi spinal
posterolateral memiliki pengaruh terhadap tingkat fusi pada fusi spinal pada
kelinci putih New Zealand. Pemberian PRP dapat dipertimbangkan dan diteliti
lebih lanjut sebagai faktor osteoinduktif alternatif dalam fusi spinal posterolateral

ABSTRACT
Introduction: Posterolateral spinal fusion is a common procedure in spinal arthrodesis using autograft from iliac crest. Autografts utilization possess limitations and complication with pseudoarthrosis ranging between 5-35%. Platelet rich plasma (PRP) usage as an osteoinductive factors is based on scientific reasons. Platelets can quickly adhere to the surface of the bone graft and degranulate, releasing growth factors afterwards and inducing bone healing and graft incorporation. This study aim to establish the effect of PRP administration on fusion rate for spinal fusion on New Zealand white rabbit.
Method: Posterolateral fusions were done on 16 white New Zealand rabbits divided into two groups: fusion with autograft and fusion with autograft + PRP. PRP was taken from peripheral vein and centrifuged. Posterolateral fusion and graft harvesting from iliac crest were followed by PRP application. Observation was done for 8 weeks. Evaluation was done radiologically with modified Bridwell score and histologically with Huo/Friedlaender score.
Results: Radiologically, for spinal fusion with autograft group, the result were 5 definite fusion, 1 probable fusion, and 2 nonunion fusion. For spinal fusion with autograft + PRP, there was 5 definite fusion, 3 probable fusion, and no nonunion. There was no significant difference radiologically. Spinal fusion with autograft + PRP had higher mean and median for histological score compared to spinal fusion with autograft (8 vs 6.5).
Conclusion: PRP administration with autograft for posterolateral spinal fusion affected fusion rate for spinal fusion on New Zealand white rabbit. PRP administration can be considered and studied further as an alternative for osteoinductive factors for posterolateral spinal fusion"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zecky Eko Triwahyudi
"Jumlah kasus tumor muskuloskeletal di Indonesia semakin meningkat. Di antara pilihan tata laksana yang ada, tindakan amputasi masih menjadi salah satu modalitas utama. Penelitian ini bertujuan untuk enilai hubungan antara faktor-faktor klinis dan demografis dengan kualitas hidup dan luaran fungsional pasien-pasien dengan tumor ekstremitas bawah yang menjalani amputasi Penelitian ini merupakan studi analitik observasional potong lintang dengan subjek seluruh pasien tumor ekstremitas bawah di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo selama 2014-2019. Kualitas hidup dan luaran fungsional diukur menggunakan instrumen SF-36 dan MSTS. Total 72 pasien memiliki rerata usia 31 tahun dan 65% pria, 33 di antaranya teridentifikasi hidup. Mayoritas subjek memiliki diagnosis osteosarkoma (58%), dilakukan amputasi transfemoral (50%) dan lokasi tumor di distal femur (44,4%). Rerata SF-36 adalah 61,63, sementara skor MSTS adalah 35%. Hanya 1 pasien yang menggunakan prosthesis, di mana skor SF-36 pasien tersebut paling baik (74) di antara subjek lain. Rerata SF-36 lebih baik pada pria dibandingkan wanita (p=0,011). Skor MSTS lebih baik pada tingkat pendapatan menengah ke atas (p=0,04). Kesintasan 3 tahun pasca amputasi sebesar 45,8%. Tidak ada perbedaan kesintasan antara osteosarkoma dan tumor lain. Kualitas hidup berkaitan dengan faktor jenis kelamin dan penggunaan alat bantu gerak, sementara luaran fungsional berkaitan dengan tingkat pendapatan.

The number of musculoskeletal tumors in Indonesia is increasing. Among all treatment options, amputation is still frequently performed. The purpose of this study is to identify demographical and clinical characteristics associated with quality of life and functional outcome of patients with lower extremity tumor who underwent amputation. This study was a cross-sectional study with subjects from all lower extremity tumor patients who underwent amputation in Cipto Mangunkusumo Hospital during the 2014-2019. Quality of life and functional outcome were measured using SF-36 and MSTS questionnaires.There were 72 subjects, consisted of 65% men and have average age of 31 years. Among the patients, 33 of whom were identified alive and interviewed. Mean SF-36 score is 61.63, while mean MSTS score is 35%. There was only 1 patient who wore prosthesis, scoring the best SF-36 of 74. Mean SF-36 of male is better than female (p=0.011). Better MSTS score was found in subjects with better education level (p=0.04). The 3-year survival rate of our patients was 45.8%. There was no difference of survival rate between patients with osteosarcoma and other diagnosis. Quality of life is associated with gender and use of walking aids, while functional outcome is associated with level of income."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Subawa
"Pendahuluan
En-blok reseksi femur distal dan dilakukan extracorporeal irradiation autograft dengan menyertakan kartilago sendi dalam rekontruksi limb salvage prosedur merupakan metoda pilihan dalam penanganan kasus keganasan tulang terutama pada negara miskin dan berkembang, dimana tehnik lain tidak tersedia karena alasan finansial atau tehnikal. Pajanan ECI dosis tinggi perfraksi tunggal yaitu 50 Gy, 150 Gy dan 300 Gy untuk sterilisasi allograf diprosedur ini juga mempengaruhi kartilago dari femur distal. Walaupun ada literatur yang menyatakan radiasi menyebabkan kerusakan terhadap kartilago dalam prosedur ini. Sesuai dengan kondisi di atas, kami berusaha melakukan penelitian eksperimental pada tulang femur distal sprague rats untuk membandingkan gambaran histopatologi efek pajanan ECI dosis tinggi perfraksi tunggal 50 Gy, 150 Gy dan 300 Gy serta resiko terjadinya osteoartritis sendi.
Metode
Desain penelitian adalah studi post test control group design. Sampel yang digunakan adalah lima puluh enam tikus putih Sprague Dawley yang telah mengalami maturasi skeletal (8-12 minggu), dibagi menjadi dua kelompok dan tujuh subkelompok, tiap tikus akan dilakukan tindakan en-blok reseksi di bagian femur distal, kemudian kelompok kontrol langsung diperiksa histopatologi kartilagonya, kelompok perlakuan diberikan pajanan ECI 50 Gy, 150 Gy, 300 Gy. Semua kelompok juga dilakukan pemeriksaan tingkat kerusakan kartilago berupa terjadinya osteoarthritis.
Hasil
Efek pajanan ECI terhadap kerusakan kartilago dianalisis dengan menggunakan uji non parametik Kruskal Walis, menunjukkan hasil analisis didapatkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) skor di masing-masing kelompok perlakuan yaitu kelompok pasca pajanan ECI, baik untuk permukaan kartilago (p = 0,13), matriks (p = 1,0), distribusi sel (p=0,25), viabilitas sel (p=0,40) dan tulang subkondral (p=0,35). Untuk melihat perbedaan antara kelompok kontrol dengan 50 Gy, kelompok kontrol dengan 150 Gy, dan kelompok kontrol dengan 300 Gy, dilakukan analisis non-paramterik mann-Whitney, juga menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna skor untuk permukaan, matriks, distribusi sel, viabilitas sel, dan tulang subkondral baik di kelompok kontrol dengan kelompok ECI (p>0,05). Sedangkan untuk terjadinya osteoartritis perbedaan skor grade osteoartritis di tulang rawan antara yang segera pasca pajanan ECI dan pasca reimplantasi digunakan analisis statistik nonparameterik kruskal walis. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan bermakna skor grade osteoartritis di tulang rawan segera pasca pajanan ECI di tiap-tiap kelompok perlakuan, yaitu ECI 50 Gy (p=0,001), 150 Gy (p=0,001), 300 Gy (p=0,001)
Simpulan
Pajanan radiasi dosis tinggi perfraksi tunggal tidak menyebabkan terjadinya kerusakan kartilago baik segera setelah pajanan radiasi dan tidak bermakna secara statistik. Pajanan radiasi dosis tinggi perfraksi tunggal menyebabkan terjadinya osteoartritis dan bermakna secara statistik

Introduction
Distal femur en-blok resection and extracorporeal irradiation autograft with the articulation cartilage enclose is one of many methods in limb salvage surgery or recontruction for the bone malignancies, especially in developing countries where other methods are not feasible due to financial and tehnical. The procedur is usually done single fraction high dose 50 Gy, 150 Gy and 300 Gy to allograft sterilization, also affected distal femur cartilages. Althought some studies claim radiation causes cartilages damage in this procedur. Bases on those facts, we decided to do an experimental studies in distal femur of sprague rat to compare the difference histopatologycally finding between bone subjected 50 Gy, 150 Gy, 300 Gy doses irradiation and the risk of articular osteoarthritis.
Material and Methods
The research design is post test control group using fivety six skeletally matured Sprague Dawley rats, divided into two groups and sevens sub group and en-block resection of distal femur in al samples. eight rats were randomly assigned to each irradiation sub group, which directly in control group check the histopathologic, after irradiation group and after reimplatation group maitenence 8 week and check the histopathologic. Check of osteoarthritis occurences in all groups.
Results
Analysis of cartilages damage after irradiation usually with Kruskal Walis non parametric test is no statistically significant (p>0,05) in all group to cartilage surface (p = 0,13), matrix (p = 1,0), cells distribution (p=0,25), cell viablel (p=0,40), and subchondral bone (p=0,35). Mann-Whitney non parametric test no statistically significant (p>0,05) between group comparation. Kruskal walis non parametric analysis test is statistically significant (p<0,005) to osteoarthritis in all groups after irradiation 50 Gy (p=0,001), 150 Gy (p=0,001), 300 Gy (p=0,001)
Conclusion
The cartilage damages have not occurs after irradiation in all groups 50 Gy. 150 Gy and 300 Gy . Single fraction high dose irradiation causes osteoarthritis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Doli Mauliate
"Pendahuluan: Lesi muskuloskeletal pelvis merupakan kasus langka dengan prognosis buruk. Prosedur diagnostik yang cepat, akurat dan resiko komplikasi minimal sangat dibutuhkan pada kondisi tersebut. CT guided biopsy menjadi salah satu pilihan utama. Untuk itu dilakukan studi demografi terhadap pasien dengan lesi muskuloskeletal pelvis di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo serta evaluasi ketepatan diagnosis yang diperoleh melalui prosedur CT guided biopsy.
Metode: Penelitian ini merupakan studi demografi dan uji diagnostik prosedur CT guided biopsy pada lesi muskuloskeletal pelvis di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, yang dilaksanakan secara cross sectional. Data dikumpulkan menggunakan rekam medis pasien selama periode Juni 2007-Juni 2017. Analisis uji diagnostik menggunakan Fischer exact test, dengan standar baku pembanding berupa hasil histopatologi dari biopsi terbuka berupa prosedur eksisi terhadap lesi.
Hasil: Didapatkan 101 penderita lesi muskuloskeletal pelvis menjalani pengobatan selama periode 2007-2017. Ketepatan diagnosis CT guided biopsy dibanding hasil biopsi terbuka pada lesi muskuloskeletal pelvis adalah 86,36% dalam membedakan jenis, 90,9% dalam membedakan sifat keganasan, 85% dalam membedakan lesi primer muskuloskeletal maupun metastasis, dan 90% dalam membedakan lesi tulang maupun jaringan lunak. Berdasarkan lokasi lesi pada pelvis, ketepatan diagnosis CT guided biopsy tertinggi pada Zona I (83,3%), sedangkan berdasarkan ukuran, lesi berukuran >250ml memberikan ketepatan diagnosis 88,89-100%.
Pembahasan: Data demografi menunjukkan gambaran mirip dengan literatur dan dapat digunakan sebagai data dasar dalam menegakkan diagnosis lesi muskuloskeletal pelvis. Dalam evaluasi ketepatan diagnosis, CT guided biopsy dibanding biopsi terbuka pada lesi muskuloskeletal pelvis memiliki ketepatan yang tinggi secara statistik sehingga menunjukkan reliabilitas kuat dan dapat diterapkan sebagai prosedur baku dalam menegakkan diagnosis.

Introduction: Pelvic musculoskeletal lesion is rare, mostly malignant with bad prognosis. Since early diagnosis of these cases require rapid, accurate, and safe diagnostic procedure, CT guided biopsy are common choice of treatment option. Since no data registered on pelvic musculoskeletal lession yet assembled, we performed demographic study on pelvic musculoskeletal lesion in Cipto Mangunkusumo hospital combined with diagnostic test of CT guided biopsy on pelvic musculoskeletal cases.
Methods: This is a demographic study and diagnostic test on CT guided biopsy performed on pelvic musculoskeletal lesion, performed cross sectionally, using medical record from June 2007-June 2017. Sampling procedure performed based on inclusion and exclusion criteria, and evaluated with Fischer exact test, p value <0,05. Histopathologic result after open biopsy described as gold standard.
Results: During present decade, 101 patients with pelvic musculoskeletal lesion treated in Cipto Mangunkusumo hospital. Compared to open biopsy, the accuracy of CT guided biopsy were 86,36% on determining type of lesion, 90,9% on determining type of malignancy, 85% on determining primary lesion to a metastasis lesion, and 90% on determining bone to a soft tissue lesion. Based on location of lesion, Zone I provide best accuracy (83,3%) while based on size, lesion sized >250% has best accuracy (88,89-100%).
Discussion: Demographic data of this study found similar to literature. These distribution data help diagnostic procedure especially in Cipto Mangunkusumo hospital. High diagnostic accuracy of CT guided biopsy, support that the procedure is strongly reliable, and reasonably considered as a standard operational procedure on diagnostic of pelvic musculoskeletal lesion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Anshori
"Pendahuluan: Cedera yang disebabkan oleh gempa bumi seringkali memiliki pola kompleks dan bervariasi, dan maka dari itu menyebabkan krisis situasional dan serius untuk pusat layanan kesehatan. Dalam konteks terjadinya gempa, seringkali terjadi ketidakkeseimbangan antara kepadatan yang berlebihan dalam rumah sakit dan sumber daya inadekuat; hal ini menyebabkan penurunan standar pelayanan kesehatan. Sampai saat ini, di Indonesia, masih belum terdapat pedoman terkait tatalaksana cedera musculoskeletal setelah terjadinya gempa. Studi ini bertujuan untuk mengetahui analisa faktor-faktor resiko yang mempengaruhi profil luaran klinis, dan luaran radiologis pada pasien gempa Lombok 2018 dengan fraktur ekstremitas atas, ekstremitas bawah dan tulang belakang pasca tindakan orthopaedi.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2019 di 2 Rumah Sakit dan 9 puskesmas di Lombok dan beberapa kecamatan paling terdampak di Lombok Utara. Korban bencana gempa Lombok Agustus 2018 dengan fraktur esktremitas bawah, esktremitas atas dan tulang belakang yang mendapat tindakan Orthopaedi dilibatkan dalam penelitian ini. Data diperoleh secara langsung dari pasien dan dari data kasus dan tindakan Orthoapedi tim bencana PABOI dan tim bantuan medis Orthopaedi lainnya.
Hasil: Data hasil penelitian ini menunjukan bahwa mayoritas pasien berjenis kelamin perempuan 62,2% dan mayoritas berusia dewasa 75,7%. Distribusi diagnosis terbanyak adalah fraktur tertutup ekstremitas bawah 52,7%. Diagnosis jenis cedera dan tindakan ORIF memiliki hubungan yang signifikan dengan union rate (p=0,038 dan p=0,021). Faktor resiko diagnosis dan tindakan ORIF memiliki hubungan yang bermakna terhadap Infeksi (p=0,001 dan p=0,011). Faktor resiko diagnosis dan lokasi cedera memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai SF 36 physical function (P=0,001 dan P=0,002)
Diskusi: Tata laksana definitif ORID tidak realistis dilakukan sesaat setelah gempa. Damage control orthopaedic adalah tindakan pilihan penanganan kasus orthopaedi untuk patah tulang terbuka. Usia, diagnosis dan lokasi cedera dan tindakan ORIF memiliki pengaruh terhadap union rate, infeksi, dan skor fungsional SF-36 korban bencana gempa bumi.
Kesimpulan: Usia, diagnosis dan lokasi cedera dan tindakan ORIF memiliki pengaruh terhadap union rate, infeksi, dan skor fungsional SF-36 korban bencana gempa bumi.

Introduction: Injuries caused by earthquakes often have a complex and varied pattern, and therefore cause serious situational crises for health care centres. In the context of an earthquake, there is often an imbalance between overcrowding in hospitals and inadequate resources; this causes a decrease in the standard of health services. Until now, in Indonesia, there are still no guidelines regarding the management of musculoskeletal injuries after an earthquake. This study aims to determine the analysis of risk factors that affect the clinical outcome profile, and radiological outcomes in Lombok earthquake patients 2018 with fractures of the upper extremities, lower extremities and spine after orthopedic procedures.
Method: This research is a cross-sectional study. This research was conducted in September 2019 in 2 hospitals and 9 health centers in Lombok and some of the most affected sub-districts in North Lombok. Victims of the Lombok earthquake in August 2018 with fractures of the lower extremities, upper extremities and spine who received orthopedic procedures were included in this study. Data were obtained directly from patients and from data on cases and actions of the Orthopedic PABOI disaster team and other Orthopedic medical assistance teams.
Results: The data from this study showed that the majority of patients were female 62.2% and the majority were adults 75.7%. The most distribution of diagnoses were closed fractures of the lower extremities 52.7%. The diagnosis of the type of injury and the ORIF procedure had a significant relationship with the union rate (p=0.038 and p=0.021). Risk factors for diagnosis and ORIF treatment had a significant relationship to infection (p=0.001 and p=0.011). Risk factors for diagnosis and location of injury had a significant relationship with the SF 36 physical function value (P=0.001 and P=0.002)
Discussion: Definitive management of ORID is not realistic to be carried out immediately after the earthquake. Orthopedic damage control is the treatment of choice for orthopedic cases for open fractures. Age, diagnosis and location of injury and ORIF action have an influence on union rate, infection, and functional score of SF-36 earthquake victims.
Conclusion: Age, diagnosis and location of injury and ORIF action have an influence on union rate, infection, and functional score of SF-36 earthquake victims
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library