Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Slamet Agus Waluyo Jati
"Latar Belakang: Anemia atau kadar hemoglobin yang menurun dari nilai normalnya merupakan permasalahan yang biasa terjadi pada pasien kritis di Intensive Care Unit (ICU) dan 61% pasien anemia membutuhkan ventilasi mekanik. Anemia dapat mengganggu kemampuan ventilasi selama proses penyapihan dan ekstubasi. Namun pengaruh dari kadar hemoglobin yang menurun ini masih belum jelas dan diperdebatkan oleh karena itu telaah sistematis ini dibuat untuk mengambil kesimpulan apakah kadar hemoglobin berpengaruh terhadap proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik berdasarkan penelitian-penelitian yang tersedia.
Tujuan: Mengetahui efek kadar hemoglobin terhadap proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik.
Metode: Dengan menggunakan kata kunci spesifik, dilakukan pencarian artikel potensial secara komprehensif pada PubMed, EMBASE, Scopus dan Cochrane database dengan pembatasan waktu 2013 sampai dengan 2022. Protokol studi ini telah di registrasi di PROSPERO (CRD42022336646) pada tanggal 7 Agustus 2022.
Hasil: Total 7 penelitian dengan 2.054 pasien dengan ventilasi mekanik memenuhi kriteria untuk penelitian ini dan dimasukkan dalam tinjauan sistematis. Setelah pemeriksaan database menyeluruh, dilaposkan satu studi tidak menemukan korelasi antara hemoglobin dan keberhasilan proses penyapihan dan ekstubasi. Enam penelitian menyatakan bahwa kadar hemoglobin berhubungan dengan keberhasilan proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien sakit kritis dengan ventilasi mekanik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kadar hemoglobin mempengaruhi proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien sakit kritis dengan ventilasi mekanik. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengkonfirmasi hasil tinjauan sistematis ini.
Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan kadar hemoglobin mempengaruhi proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik. Namun dibutuhkan penelitian yang lebih banyak untuk mengkonfirmasi hasil telaah sistematis ini.

Background: Anemia or hemoglobin levels that decrease from average values ​​is a common problem in critical Intensive Care Unit (ICU) patients, and 61% of anemic patients require mechanical ventilation. Anemia can impair ventilation ability during weaning and extubation. However, the effect of decreased hemoglobin levels is still unclear and debated; therefore, this systematic review was made to conclude whether hemoglobin levels affect weaning and extubation processes in critically ill patients with mechanical ventilation based on available studies.
Objective: To determine the effect of hemoglobin levels on the process of weaning and extubation in critically ill patients with mechanical ventilation.
Methods: Using specific keywords, a comprehensive search of potential articles was carried out on PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane databases with a time limit of 2013 to 2022. This study protocol was registered at PROSPERO (CRD42022336646) ) on August 7th, 2022.
Result: A total of 7 studies with 2,054 patients with mechanical ventilation met the criteria for this study and were included in a systematic review after a thorough database check. One study found no correlation between hemoglobin and the successful weaning and extubation process. Six studies stated that hemoglobin levels were associated with the success of the weaning and extubation process in critically ill patients with mechanical ventilation.
Conclusion: This study concludes that hemoglobin levels influence the weaning and extubation processes in critically ill patients with mechanical ventilation. However, more research is needed to confirm the results of this systematic review.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hajriya Brahmi
"Latar Belakang: Penggunaan heparin inhalasi pada beberapa penelitian COVID-19
memberikan hasil dalam perbaikan klinis pasien, baik dalam menurunkan lama rawat,
perbaikan oksigenasi paru, dan mortalitas. Dosis harian total heparin inhalasi yang
bervariasi terutama bila diberikan bersamaan dengan antikoagulan sistemik, memiliki
resiko komplikasi perdarahan yang memerlukan kajian terhadap keefektifan dan
keamanannya.
Tujuan: Meneliti keefektifan dan keamanan inhalasi heparin dosis 150,000 IU/hari
dengan dosis 100.000 IU/hari dinilai dari AaDO2, aPTT dan d-Dimer dalam 7 hari
pengamatan pada pasien ICU COVID-19.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan studi kohort
retrospektif menggunakan data sekunder rekam medis pasien ICU COVID-19 bulan
September 2020 – September 2021. Terdapat 300 sampel menggunakan consecutive
sampling. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok heparin dosis 150.000 IU/hari dan
100.000 IU/hari. Pencatatan dilakukan dalam 7 hari pengamatan. Uji Statistik
menggunakan uji Mann Whitney untuk menilai tingkat keparahan, Uji Wilcoxon rank test
untuk melihat perbedaan variabel dependen hari pertama dengan hari ketujuh pada
masing-masing dosis.
Hasil: Heparin inhalasi baik dosis 150.000 IU/hari dan 100.000 IU /hari bermakna
menurunkan AaDO2 pada 7 hari pengamatan (p 0.001). Nilai aPTT tidak memanjang
pada kedua kelompok, dan kedua dosis heparin sama- sama menurunkan nilai d-Dimer
pada 7 hari pengamatan (p 0.001).
Simpulan: Heparin Inhalasi dosis 150.000 IU/hari sama efektif dinilai dari AaDO2, dan
sama amannya terhadap aPTT dan d-Dimer dibandingkan heparin inhalasi dosis 100.000
IU/hari.

Rationale: The use of inhaled heparin in several COVID-19 studies has resulted in
clinical improvements in patients, both in reducing length of treatment, improving
pulmonary oxygenation, and reducing mortality. The varying total daily dose of inhaled
heparin, especially when given together with systemic anticoagulants, poses a risk of
bleeding complications that require review of its effectiveness and safety.
Objective: To analyze effectiveness and safety of heparin inhalation dosage 150,000
IU/day compare to 100,000 IU/day assessed from AaDO2, aPTT and d-Dimer from 7
days observation in ICU COVID-19 patients with invasive and non-invasive ventilator
patterns.
Methods: An observational cohort retrospective study used secondary data from medical
records ICU COVID-19 patients with invasive and noninvasive ventilator patterns from
September 2020 – September 2021. There were 300 samples using consecutive sampling.
Patients divided into 2 groups, one received dosage 150,000 IU / day heparin inhalation,
the other received heparin inhalation dosage 100,000 IU / day. Recording of the research
from medical records is carried out at 7 days of ICU treatment. Statistical tests were
carried out using Mann Whitney to assess severity, Wilcoxon rank test to see the
difference in dependent variables day 1 and day 7 to dose.
Measurements and Main Results: Heparin inhalation at dose of 150,000 IU/day and
100,000 IU/day both significantly decreased AaDO2 at 7 days of observation (p 0.001).
The aPTT on both groups at 7 days of observation are within normal limits. Both doses
of heparin inhalation decreased d-dimer at 7 days of observation (p 0.001).
Conclusion: Inhaled heparin doses of 150,000 IU/day as effective and as safe as inhaled
heparin doses of 100,000 IU/day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Chrisnata
"Latar Belakang: Peningkatan konsumsi oksigen selama tindakan bedah risiko tinggi dapat menyebabkan gangguan oksigenasi organ vital, sehingga tubuh akan mengambil kompensasi, misalnya melalui vasokonstriksi splanknik. Saluran cerna akan rentan terhadap kerusakan yang akan mengakibatkan disfungsi gastrointestinal. Lama perawatan ICU dan penggunaan ventilasi mekanik lebih panjang pada pasien-pasien yang mengalami disfungsi gastrointestinal. Oleh karena itu pada pasien yang berisiko perlu mendapat perhatian dan tatalaksana lebih awal.
Metode: Penelitian ini adalah kohort prospektif yang dilakukan di RSCM selama bulan Februari sampai Juni 2023 yang bertujuan untuk mengetahui peran kadar I-FABP plasma, skor SOFA, balans cairan, dan dosis vasopresor dalam memprediksi terjadinya disfungsi gastrointestinal pada pasien pascabedah risiko tinggi yang dirawat di ICU. Sebanyak 66 subyek diambil dengan metode consecutive sampling. Pengambilan data skor SOFA, balans cairan dan dosis vasopresor dilakukan pada saat pasien admisi di ICU, sedangkan kadar I-FABP diukur pada saat admisi dan 24 jam kemudian. Analisis data dilakukan dengan SPSS.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna kadar I-FABP hari ke-0 (p=0,001) dan hari ke-1 (p=0,001), serta skor SOFA (p=0,03) pada subjek yang mengalami disfungsi gastrointestinal dengan yang tidak mengalami disfungsi gastrointestinal. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada balans cairan dan rerata dosis vasopresor pada subjek yang mengalami disfungsi gastrointestinal dengan yang tidak mengalami disfungsi gastrointestinal. Kadar I-FABP plasma, dengan titik potong ≥2.890,27 pg/ml pada hari ke-0 dan ≥1.501,2 pg/ml pada hari ke-1 dapat menjadi prediktor disfungsi gastrointestinal pada pasien pascabedah risiko tinggi yang dirawat di ICU.
Simpulan: Kadar I-FABP plasma dapat memprediksi kejadian disfungsi gastro- intestinal pada pasien pascabedah risiko tinggi yang dirawat di ICU.

Background: Increased oxygen demand during high-risk surgery can lead to impaired oxygenation of vital organs so that the body will compensate, for example, through splanchnic vasoconstriction. The gastrointestinal tract will be prone to injury, resulting in gastrointestinal dysfunction. ICU length of stay and use of mechanical ventilation are longer in patients with gastrointestinal dysfunction. Therefore, patients who are at risk need to receive early consideration and management.
Methods: This is a prospective cohort study conducted at RSCM from February to June 2023, which aims to determine the role of plasma I-FABP levels, SOFA scores, fluid balance, and vasopressor doses in predicting the incidence of postoperative gastrointestinal dysfunction in high-risk surgery patients admitted to the ICU. A total of 66 subjects were taken by consecutive sampling method. SOFA score data, fluid balance, and vasopressor doses were collected at admission to the ICU, while I-FABP levels were measured at admission and 24 hours later. Data analysis was performed with SPSS.
Results: There was a significant difference in I-FABP levels on day 0 (p=0.001) and day 1 (p=0.001) and the SOFA score (p=0.03) in subjects with gastrointestinal dysfunction and those without gastrointestinal dysfunction. There were no significant differences in fluid balance and the average dose of vasopressors in subjects with gastrointestinal dysfunction and those without gastrointestinal dysfunction. Plasma I- FABP levels, with cut points of ≥2,890.27 pg/ml on day 0 and ≥1,501.2 pg/ml on day 1, can be a predictor of postoperative gastrointestinal dysfunction in high-risk surgery patients admitted to the ICU.
Conclusions: Plasma I-FABP levels can predict the incidence of postoperative gastrointestinal dysfunction in high-risk surgery patients admitted to the ICU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Kusuma Manggala
"Pembedahan abdomen atas berkaitan disfungsi diafragma. Disfungsi diafragma merupakan penyebab PPC (postoperative pulmonary complication). Terapi oksigen konvensional (TOK) merupakan terapi standar pada pasien pasca pembedahan abdomen atas. Terapi HFNC (high-flow nasal cannula) memiliki berbagai mekanisme yang berbeda dengan TOK dan dipikirkan dapat membantu fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan HFNC terhadap TOK dalam mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari November 2018 – September 2019. Tujuh puluh satu pasien dibagi secara acak menjadi dua kelompok: kelompok TOK dan HFNC. Enam puluh enam pasien mendapat intervensi setelah ekstubasi di ICU (intensive care unit). Seluruh subjek dilakukan pencatatan nilai DTF (diaphragm thickening fraction) menggunakan ultrasonografi, ΔTIV (perubahan tidal impedance variance), ΔEELI-G dan ΔEELI-ROI (perubahan end expiratory lung impedance global dan region of interest) menggunakan EIT (electrical impedance tomography), PaO2 dan PaCO2 (tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida arteri) secara berkala pada dua seri. Efek samping dan keluhan yang muncul dicatat dan ditatalaksana. Total 66 subjek disertakan dalam bivariat menggunakan t-test dan mann whitney, sedangkan analisis tren menggunakan general linear model atau generalized estimating equation. Durasi ventilasi mekanik di ICU, persentase prediksi mortalitas dan skor P-POSSUM antara kedua kelompok berbeda signifikan (p=0,003; 0,001; dan 0,019, secara berurutan). Tidak ada perbedaan tren yang ditemukan antarkelompok pada seri pertama parameter DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI dan PaCO2 (p=0,951; 0,100; 0,935; 0,446; dan 0,705, secara berurutan) maupun pada seri kedua (p=0,556; 0,091; 0,429; 0,423; dan 0,687, secara berurutan). Tren PaO2 pada seri pertama dan kedua berbeda sangat signifikan (p<0,001) karena protokol pengaturan fraksi oksigen yang lebih tinggi pada kelompok TOK. Penggunaan HFNC tidak lebih baik daripada TOK dalam membantu mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas.

Upper abdominal surgery is related to diaphragmatic dysfunction. Diaphragmatic dysfunction is the main factors causing postoperative pulmonary complication (PPC). Conventional oxygen therapy (TOK) in the form of nasal cannula, is a standard therapy in post upper abdominal surgery patients. High-flow nasal cannula (HFNC) therapy has a variety of mechanisms that differ from TOK and is thought to be able to maintain diaphragm function in post upper abdominal surgery patients. This study aims to compare the ability of HFNC vs TOK in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients. This study was conducted at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from November 2018 - September 2019. Seventy-one patients were randomly divided into two groups: TOK and HFNC groups. Sixty-six patients received intervention after extubation in the intensive care unit (ICU). This given data were all collected periodically in 2 series; diaphragm thickening fraction (DTF) values using ultrasonography, changes in tidal impedance variance (ΔTIV), changes in global end expiratory lung impedance and region of interest (ΔEELI-G and ΔEELI-ROI) using electrical impedance tomography, arterial oxygen and carbon dioxide partial pressure (PaO2 and PaCO2). Side effects and complaints that arise were collected and managed. A total of 66 subjects were included in the bivariate using t-test and mann whitney test, while trends were analyzed by general linear models or generalized estimating equations. The baseline characteristics of mechanical ventilation duration in the ICU, the predicted mortality rate and P-POSSUM score between the two groups were significantly different (p = 0.003; 0.001; and 0.019, respectively). No trend differences were found between groups in the first series of DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI and PaCO2 parameters (p = 0.951; 0.100; 0.935; 0.446; and 0.705, respectively) and in the second series (p = 0.556, 0.091, 0.429, 0.423 and 0.687, respectively). The PaO2 trends in the first and second series differed very significantly (p<0.001) due to the higher oxygen fraction regulation protocol in the COT group. The use of HFNC is no better than COT in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Darma Putra
"Penggunaan ventilasi mekanis pada pasien kritis tidak dapat dihindarkan namun dapat menyebabkan ventilator-induced lung injury (VILI) dan ventilator-induced diaphragm dysfunction (VIDD). Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara volume tidal rendah (6 ml/kgBB) dan tinggi (10 ml/kgBB) terhadap disfungsi diafragma. Penelitian ini merupakan sebuah randomized controlled trial yang dilakukan di ruang perawatan intensif, RS Cipto Mangunkusumo. Pasien secara random masuk ke kelompok volume tidal 6 ml/kgBB dan 10 ml/kgBB, dan diikuti selama 72 jam (3 hari) untuk dinilai adanya disfungsi diafragma. Disfungsi diafragma dinilai menggunakan alat ultrasonografi, menggunakan kriteria ekskursi dan fraksi ketebalan diafragma. Variabel lain yang dinilai dalam penelitian ini ialah kadar interleukin-6.Sebanyak 52 pasien dilakukan randomisasi. Sebanyak total 45 pasien menyelesaikan studi. Tidak terdapat perbedaan karakteristik dasar sampel pasien pada kedua kelompok volume tidal. Sebanyak 37.8% pasien mengalami disfungsi diafragma pada hari ketiga. Tidak terdapat perbedaan proporsi disfungsi diafragma pada kedua kelompok volume tidal baik menggunakan kriteria ekskursi, fraksi ketebalan, maupun salah satunya. Terdapat perbedaan rerata interleukin-6 hari nol antara kelompok dengan dan tanpa disfungsi diafragma hari ketiga sebesar 332.29 pg/mL (p=0.024). Sebagai kesimpulan, volume tidal 6 ml/kgbb dan 10 ml/kgbb tidak berbeda dalam mencegah disfungsi diafragma pada pasien kritis. Interleukin-6 memiliki pengaruh terhadap disfungsi diafragma.

The use of mechanical ventilation is inevitable for critically ill patients yet it causes tremendous side effect of ventilator-induced lung injury (VILI) and ventilator-induced diaphragm dysfunction (VIDD). This study is aimed to examine the effect of low tidal volume (6 ml/kgBW) and high tidal volume (10 ml/kgBW) to diaphragm dysfunction. This is a randomized controlled trial conducted at intensive care unit (ICU) of Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients were randomly allocated to tidal volume of 6 ml/kgBW or 10 ml/kgBW and were followed for 72 hours (3 days). At the end of the 72 hours, patients were assessed for diaphragm dysfunction. Diaphragm dysfunction is assessed by ultrasonography with excursion and thickness fraction criteria. Interleukin-6 was also examined. Of 52 patients who were randomized, 25 were on 6 ml/kgBW group and 27 were on the other. There were 45 patients finishing the study. The baseline characteristics of the sample was not different among the two groups. We found 37.8% patients with diaphragm dysfunction on day-3 but no significant proportion difference among the two groups. Diaphragm dysfunction was assessed with excursion, fraction of thickness criteria. We found 332.29 pg/mL mean difference between interleukin-6 on patients with and without diaphragm dysfunction on day-3 (p=0.024). In conclusion, tidal volume of 6 ml/kgBW and 10 ml/kgBW is not different in preventing diaphragm dysfunction on critically ill."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Susanti
"Latar Belakang: Pasien pascabedah abdomen mayor seringkali berhubungan dengan terjadinya general increase permeability sindrom akibat kelebihan cairan selama selama durante operasi dan pada saat perawatan pascabedah. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin membuktikan apakah keseimbangan cairan kumulatif, tekanan vena sentral dan rasio albumin-kreatinin urin dapat digunakan sebagai prediktor kebocoran kapiler.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif dengan subjek penelitian adalah pasien dewasa yang menjalani tindakan bedah abdomen mayor. Dilakukan pemeriksaan keseimbangan cairan kumulatif, tekanan vena sentral, rasio albumin-kreatinin urin dan indeks kebocoran kapiler, pada saat sebelum induksi anestesi, 48 jam dan 72 jam pasca bedah.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan nilai titik potong dari indeks kebocoran kapiler 155 (AUC 0,013, sensitifitas 100% dan spesifisitas 74,50%. Analisis dengan Generalized Estimating Equations didapatkan tekanan vena sentral menujukan hubungan tidak bermakna dengan indeks kebocoran kapiler (OR 1,62 ; CI 95% = 0,92 – 2,83), sedangkan keseimbangan cairan kumulatif dan rasio albumin kreatinin urin menunjukkan hubungan yang bermakna dengan indeks kebocoran kapiler (OR = 2,561 ; CI 95% = 1,352-4,850 dan OR = 2,017 ; CI 95% = 1,086-3,749). Faktor skor SOFA terkategori sepsis juga mempunyai hubungan dengan indeks kebocoran kapiler (OR = 2,764 ; CI 95% = 1,244-6,140).
Kesimpulan: Kelebihan cairan kumulatif, rasio albumin kreatinin urin dan skor SOFA terbukti dapat digunakan untuk memprediksi kebocoran kapiler.

Background: Patients after major abdominal surgery are often associated with the occurrence of general increase in permeability syndrome due to excess fluid during surgery and during postoperative care. The purpose of this study was to prove whether cumulative fluid balance, central venous pressure and urine albumin-creatinine ratio of urine can be used as predictors of capillary leakage.
Method: This study is a prospective cohort study with research subjects as adult patients undergoing major abdominal surgery. Cumulative fluid balance, central venous pressure, urine albumin-creatinine ratio and capillary leak index were examined, before anesthesia induction, 48 hours and 72 hours postoperatively.
Result: In this study, a cut-off point from the capillary leak index ≥155 (AUC 0.013, sensitivity 100% and specificity 74.50%) was obtained. Generalized Estimating Equations analysis showed that the central venous pressure showed no significant relationship with the capillary leak index (OR 1.62; 95% CI = 0.92 - 2.83), while cumulative fluid balance and urine albumin : creatinin ratio showed a significant association with capillary leak index (OR = 2.561; 95% CI = 1.352-4.850 and OR = 2.017; 95% CI = 1,086-3,749) Sepsis categorized SOFA score factors also have a relationship with capillary leak index (OR = 2.764; 95% CI = 1,244-6,140).
Conclusion: Cumulative fluid overload, urine creatinine albumin ratio and SOFA score have been shown to predict capillary leakage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library