Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sahroni
"ABSTRAK
Tindak pidana perikanan (illegal fishing) merupakan permasalahan serius untuk Indonesia. Kerugian yang dialami Indonesia akibat illegal fishing mencapai Rp. 300 triliun pertahun. Pemulihan aset (asset recovery) merupakan sarana yang dapat digunakan untuk memulihkan kerugian ekonomi yang terjadi akibat illegal fishing. Permasalahan penelitian ini adalah: bagaimana penegakan hukum perkara illegal fishing dihubungkan dengan kebijakan pemerintah yang ingin mengoptimalkan ganti rugi dari tindak pidana perikanan dan apa upaya-upaya yang pemerintah dapat lakukan dalam melakukan pemulihan aset akibat illegal fishing bersama dengan aparat penegak hukum. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat Preskriptif, peneliti menganalisa penegakan hukum terhadap perkara illegal fishing (dengan studi kasus kapal MV. Hai Fa) dan kemudian memberikan masukan (rekomendasi) cara pemulihan aset (asset recovery) yang dapat dilakukan. Hasil penelitian menyarankan perlunya diambil langkah-langkah upaya pemulihan aset dengan menggunakan pendekatan multi-door, mengajukan tuntutan pidana kepada korporasi dan mengajukan gugatan perdata dalam penanganan dan penyelesaian perkara illegal fishing, serta memanfaatkan Pusat Pemulihan Aset pada Kejaksaan Repubik Indonesia dengan melakukan penguatan struktur pemulihan aset dan hukum substantif terkait penanganan dan penyelesaian tindak pidana dibidang perikanan.

ABSTRACT
Fisheries crime (illegal fishing) is a serious problem for Indonesia. Indonesia?s losses due to illegal fishing reached IDR 300 trillion per year. Asset recovery is a tool that can be used to recover economical damages caused by illegal fishing. The research problem is: how does the law enforcement of illegal fishing cases link to government policies to optimize the compensation of fisheries crime and what efforts can the government do in conducting asset recovery due to illegal fishing together with law enforcement officers. By using the method of normative and prescriptive legal research, researcher analyzed law enforcement against illegal fishing (with a case study of MV. Hai Fa vessel) and then provides feedback (recommendation) on ways of asset recovery that can be done. The results of the study suggest the need to take necessary steps of asset recovery by using multi-door approach, file criminal charges against the corporation and file a lawsuit in the handling and settlement of illegal fishing cases, as well as utilize Asset Recovery Centre on the Attorney General Office of the Republic Indonesia by strengthening the structure of asset recovery and the substantive law related to the handling and settlement of fisheries crime"
2016
T45880
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Arbiati Resminingpuri
"ABSTRAK

Tesis ini membahas mengenai ketentuan tanggung jawab renteng yang ada dalam sistem perpajakan Indonesia khususnya Pajak Pertambahan Nilai. Penerapan sistem Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak konsumsi yang berbasis pada penjualan.

Salah satu karakter PPN yaitu sebagai pajak tidak langsung berarti menempatkan kedudukan pemikul beban pajak berada pada kedudukan pembeli sebagai pihak yang memanfaatkan atau mengkonsumsi barang atau jasa dan penanggung jawab pembayaran pajak ke kas negara berada pada kedudukan penjual sebagai pihak yang memungut pembayaran PPN dari pembeli. Namun dengan diberlakukannya ketentuan tanggung jawab renteng maka memungkinkan untuk pembeli selain sebagai pihak pemikul beban pajak akan tetapi juga sebagai pihak penanggung jawab pembayaran. Hal ini terlihat tidak sesuai dengan karakter PPN yang dianut.

Kegunaan penelitian ini memberikan gambaran mengenai keberadaan ketentuan tanggung jawab renteng dalam peraturan Pajak Pertambahan Nilai sehingga dalam penerapannya dapat menjamin kepastian hukum.

Hasil dari penelitian ini adalah pengusaha kena pajak diharapkan menyadari dan mengetahui hak dan kewajiban dalam melaksanakan pemenuhan kewajibannya dan fiskus selaku administrator pajak dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dalam penerapan ketentuan tanggung jawab renteng yang dilaksanakan oleh fiskus tidak salah sasaran sehingga menjamin kepastian hukum.


ABSTRACT

This study discusses about joint and several liability provisions that have been included in the Indonesia Tax Law, especially in Value Added Tax. Application of Value Added Tax system is a consumption tax based on sales. One of the VAT characters is an indirect tax means placing the position tax burden bearers is a buyer who uses or consumes the goods or services and the position responsible of the payment of taxes to the state treasury is a seller that charge VAT payment from the buyer. However, with the implementation of the joint and several liability provisions allow for the buyer than as a bearer of the tax burden but also as the party responsible for payment taxes to the state treasury. This can be seen not in accordance with the character of VAT which adopted.

The usefulness of this study will provide an overview of the existence of joint and several liability provisions in the regulations of Value Added Tax so that the application can ensure legal certainty.

The result of this study are improving of taxable person awareness and knowledge in fulfillment their rights and obligations and the tax authorities as tax administrators which can perform their duties in accordance with the laws and regulations in application of the joint and several liability provisions are implemented by the tax authorities not misplaced in order to ensure legal certainty.

"
2014
T41754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fatha Permana
"ABSTRAK
Tingginya persaingan usaha di dalam era globalisasi telah mendorong perusahaan-perusahaan yang berkembang untuk mengambil langkah yang dapat mengamankan posisinya antara lain melalui efisiensi, peningkatan daya saing dan produktivitas. Peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan dapat dilakukan melalui merger. Dalam kaitan ini, melalui kebijakan perpajakan, pemerintah telah memberikan kemudahan (fasilitas) perpajakan bagi Wajib Pajak dalam melakukan kegiatan merger dengan nilai buku yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan. Syarat-syarat yang diberikan dalam PMK memiliki kendala bagi pelaku usaha karena secara bisnis tidak efisien bahkan menimbulkan ketidakadilan untuk diterapkan. Selain itu Peraturan Menteri Keuangan tersebut bukan termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia sehingga isi pengaturan PMK tersebut dapat dibatalkan oleh Hakim khususnya Hakim Pengadilan Pajak ketika terjadi banding antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakpastian hukum. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, Pemerintah harus membuat Peraturan Perundang-undangan setidaknya Peraturan Pemerintah khusus mengenai fasilitas perpajakan bagi Wajib Pajak dalam melakukan kegiatan merger.

ABSTRACT
The high competition in era of globalization has encouraged developing companies to take actions to secure a business among others through efficiency, increased competitiveness and productivity. Increased efficiency and productivity of the company can be done through mergers. In this regard, through tax policy, the government has made it easier (facilities) taxation for Taxpayers in merger activity with the book value that is regulated by the Minister of Finance. The requirements given in the Minister of Finance regulation (PMK) has a constraint for businesses because it is not efficient for business even cause injustice to be applied. In addition, the Minister of Finance regulation is not included in the hierarchy of legislation in Indonesia so that the contents of the PMK settings can be canceled by the Judge at the Tax Court Level especially when there is an appeal between the taxpayer and the Directorate General of Taxation. This can be lead to inefficiency and legal uncertainty. To anticipate these problems, the Government should make a Legislation atleast Government Regulation on tax privileges for Taxpayers in merger activity."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43373
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arina Novizas Shebubakar
"Industri migas merupakan industri yang beresiko, mahal dan rumit. Industri migas yang mempunyai karakteristik high cost dan high risk technology, harus dikelola oleh tenaga-tenaga ahli dibidang minyak dan gas bumi. Sesuai dengan Undang-undang no. 44 Tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi dan Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang PERTAMINA, pengusahaan minyak dan gas bumi dapat dikerjasamakan dengan kontraktor dalam bentuk kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). Masalah utama dalam kontrak bagi hasil ditinjau dari kepentingan Nasional adalah bagaimana mengoptimalkan sumbangan pengusahaan sumber daya minyak dan gas bumi bagi perekonomian Negara, pemerataan kesempatan kerja, menciptakan peluang bagi perusahaan Swasta Nasional untuk berpartisipasi serta terjaminnya suplai BBM dan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri. Sementara itu, kepentingan Investor Asing dan pengusaha Swasta Nasional untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Berkenaan dengan pengelolaan migas dalam Production Sharing Contract, terdapat masalah tentang pengaturan perpajakan pada sektor migas khususnya kebijakan uplift berkaitan dengan pengenaan pajak penghasilan dalam sumber penerimaan Negara. Permasalahan ini menjadi kontroversi berkaitan dengan pengembalian biaya operasional yang diakui oleh kontraktor (cost recovery claim). Pajak uplift yang berbuntut kontroversi ini hanya dipungut atas mitra BUMN migas yang berkontrak dalam skema Joint Operation Body (JOB) terutama yang mengelola lapangan tua dengan teknologi lanjutan (Enhanced Oil Recovery/EOR). Kontroversi yang berkembang sejalan dengan menurunnya jumlah produksi dan meningkatnya biaya produksi yang diakui oleh kontraktor sehubungan dengan kewajaran dari biaya-biaya operasional yang dibebankan oleh kontraktor, baik dari segi jumlah maupun klasifikasi biaya.

Oil and gas industry is an industry that is risky, expensive and complicated. Oil and gas industry which has the characteristics of high cost and high risk technology should be managed by experts in the field of oil and gas. In accordance with Law No.44 Year 1960 regarding oil and gas mining and Law No.8 year 1971 regarding Pertamina, exploitation of oil and gas can be cooperated with the contractor in the form of a Production Sharing Contract. The main problem in terms of the production sharing contracts viewed from national interest is how to optimize resource utilization contribution of oil and gas for the State's economy, employment opportunities, creating opportunities for national private companies to participate and ensuring the supply of fuel and gas for domestic needs. Meanwhile, the interest of foreign investors and national private entrepreneurs are to gain the profit as much as possible. With regard to the management of oil and gas in the Production Sharing Contract, there is problem of setting the tax on oil and gas sector particularly uplift policy relating to the taxation of income in the state revenue sources. This issue is related to the return of controversy of operational costs recognized by the contractor (cost recovery claim). Uplift tax culminated by this controversy is only levied at state-owned enterprises as partners in the oil and gas with contracting scheme of Joint Operation Body (JOB), especially the old fields with advanced technology (Enhanced Oil Recovery/EOR). The controversy that developed in line with the declining number of production and increased production costs are recognized by the contractor with respect to the reasonableness of operational expenses charged by contractors, both in terms of quantity and cost classification.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
D2215
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cerah Bangun
"Conflict of interest importir dengan pemerintah dalam penentuan nilai pabean sebagai dasar perhitungan bea masuk menjadi persoalan internasional. Importir cenderung membayar bea masuk sekecil-kecilnya, sedangkan pemerintah cenderung memungut bea masuk sebesar-besarnya. Karena telah menjadi persoalan dunia dan memengaruhi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan perdagangan internasional, the General Agreement on Tariffs and Trade GATT telah membuat Article VII GATT sebagai acuan menghitung nilai pabean dengan tarif advalorem. Di Indonesia, Direktorat Jenderal Bea Cukai DJBC menemukan dan menganggap relatif banyak perhitungan nilai pabean oleh importir secara self assessment tidak tepat sehingga dilakukan koreksi atau penetapan. Sebaliknya, importir menganggap justru DJBC yang tidak tepat dalam menghitung nilai pabean sehingga importir mengajukan keberatan dan/atau banding ke Pengadilan Pajak. Sekitar 90 permohonan keberatan nilai pabean ditolak oleh lembaga keberatan DJBC dan sebaliknya lebih banyak permohonan banding nilai pabean dikabulkan oleh Pengadilan Pajak. Fakta itu menunjukkan kontradiksi perspektif perhitungan nilai pabean antara importir, DJBC, dan Hakim Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, perlu diteliti faktor penyebabnya dan dicari solusinya melalui pertanyaan penelitian apakah penetapan nilai pabean di Indonesia telah sesuai dengan ketentuan Article VII GATT, bagaimana eksistensi lembaga keberatan beroep sebagai peradilan semu quasi rechtspraak , dan apakah Pengadilan Pajak dalam menyelesaikan sengketa nilai pabean memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa implementasi perhitungan nilai pabean belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan GATT, lembaga keberatan belum berfungsi dengan baik, dan lembaga Pengadilan Pajak belum berperan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, disarankan agar dilakukan transformasi ketentuan nilai pabean, lembaga keberatan, dan lembaga banding. Di samping itu, perlu dilakukan perbaikan budaya hukum melalui internalisasi ketentuan nilai pabean terhadap importir, pejabat DJBC, dan Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, seyogianya kelembagaan Pengadilan Pajak sepenuhnya di bawah Mahkamah Agung namun hakimnya harus mempunyai keahlian hukum dan perpajakan. Sebagaimana ruang lingkup perpajakan lebih luas daripada ruang lingkup pajak maka nama Pengadilan Pajak disarankan diganti menjadi Pengadilan Perpajakan. Secara filosofis, perpajakan bukan lagi sebuah kewajiban warga negara, tetapi sebuah hak warga negara berpartisipasi untuk membangun negaranya.

Conflict of interest between importers and the government in the determination of customs value as a basis for the calculation of import duty has become an international issue. Importers tend to pay the lowest import duties, while the government tends to collect the maximum import duties. Since it has become a global issue and affects the fairness, certainty, and usefulness of international trade, the General Agreement on Tariffs and Trade GATT has set out Article VII GATT as reference in calculating customs value by ad valorem rates. In Indonesia, the Directorate General of Customs DJBC finds and considers relatively large quantities of customs value reported by importers to be incorrect thus requiring correction or determination. On the other hand, importers consider that DJBC is not appropriate in determining the customs value as a result of which they file objection and/or appeal. Approximately ninety per cent of customs value objection applications are rejected by DGCE objection agencies while on the other hand the Tax Court tends to accept a greater number of customs value appeals. Such fact demonstrates the contradictory perspective in customs value calculation between importers, DJBC, and Tax Court Judges. Therefore, there is a need to examine the causal factors and seek solutions by answering the research questions, namely whether the determination of customs value in Indonesia has been in accordance with the provisions of Article VII GATT; the position of the objection agency beroep as quasi judiciary rechtspraak ; and whether in resolving customs value disputes the Tax Court provides justice, certainty, and expediency. Based on the research results, it has been found that the implementation of customs value calculation is not fully in accordance with the GATT provisions, the objection agencies are yet to be functioning properly, and the Tax Court is yet to fulfill its function properly. Therefore, it is advisable to transform customs value provisions, the objection body, as well as the appeals agency. In addition, it is necessary to improve the legal culture through internalization of customs value provisions among importers, DGCE officials, and Tax Court Judges. As part of its judicial powers, the institution of the Tax Court should be fully under the Supreme Court; however, judges need to possess legal and taxation skills. Considering that the scope of Taxation Perpajakan is broader than that of Taxes Pajak , it is recommended that the name Pengadilan Pajak Tax Court be changed to Pengadilan Perpajakan Taxation Court . Viewed from a philosophical perspective, taxation is no longer a citizen's duty, but rather a citizen's right to participate in developing his/her country.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
D2525
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library