Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indah Puspita Dewi
"

Latar Belakang : Osteoartritis lutut merupakan artritis tersering menyebabkan disabilitas. MagneticResonance Imaging (MRI) adalah modalitas pilihan untuk evaluasi struktur intraartikular terutama kartilago. Pengukuran nilai waktu relaksasi T2 pada sekuen T2 mapmendeteksi penurunan proteoglikan dan perubahan awal biokimia kartilago pada osteoartritis, namun pemeriksaan ini membutuhkan perangkat lunak. Sistem semi kuantitatif MagneticResonance Imaging Osteoartritis Knee Score (MOAKS) dapat mengevaluasi tujuh aspek lutut pada osteoartritis dengan menggunakan protokol rutin MRI. Terapi sel punca mesenkimal asal tali pusat meregenerasi kartilago dan menghambat proses inflamasi pada osteoartritis lutut.  Tujuan :  Mengetahui korelasi nilai waktu relaksasi T2 dan nilai skor MOAKS pada osteoartritis pra dan pasca terapi implantasi sel punca Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder pada osteoartritis lutut derajat Kellgren Lawrence satu hingga empat. Sampel penelitian adalah 63 lutut pra dan 47 lutut pasca implantasi sel punca. Menganalisis nilai MOAKS dengan sekuens proton density (PD), T2 fat saturated, T1W dan T1 fat saturated pada 14 subregio lutut Pengukuran nilai relaksasi T2 dengan sekuens T2 map pada 12 subregio lutut.  Hasil : Korelasi sedang antara nilai waktu relaksasi T2 dan nilai MOAKS pra sel punca (Ï? : 0,4, p: 0,001) dan korelasi lemah (Ï?: 0,22, p: 0,142) `pasca terapi sel punca. Korelasi kuat pada derajat osteoartritis Kellgren Lawrence dan nilai MOAKS pada pra (Ï?: 0,68, p: 0,000)  dan pasca terapi sel punca (Ï?: 0,71, p: 0,000).Simpulan: Sistem semi kuantitatifMOAKS dapat digunakan untuk diagnosis osteoartritis tapi tidak untuk evaluasi pasca terapi. Kellgren Lawrence berpotensi memprediksi lesi intraartikular.


Background : Knee osteoarthritis is the leading cause of dysability.  MRI is the modality of choice for evaluating intra- articular structure, specifically cartilage in osteoarthritis. T2 Relaxation time of T2 maps sequence can detect decrease of proteoglycan and early biochemical changes in osteoarthritic cartilage, but it needs special software. Magnetic Resonance Imaging Osteoartritis Knee Score (MOAKS), a semiquantitative system can evaluate seven aspects of osteoarthritic knee with routine protocol sequence. Mesenchymal stem cell from umbilical cord can  regenerate cartilage and inhibit inflammation process. Objective : ToDetermine the correlation between MOAKS and T2 relaxation time of knee osteoarthritis before and  after implantation of stem cell . Methods : This study used cross sectional design with secondary data on knee osteoartrthritis classified as Kellgren Lawrence grade one to four.  The study included 63 knees before and 47 knees after implantation of stem cell. MOAKS was analized  with proton density (PD), T2 fat saturated, T1W dan T1 fat saturated sequence on 14 sub-region and T2 relaxation time was calculated with T2 map sequens on 12 sub-region. Result : We foundModerate correlation between MOAKS and T2 relaxation time of knee osteoarthritis before implantation (Ï? :0,4, p :0,001). and weak corellation after implantation of stem cell (Ï?: 0,22, p: 0,142). We also found strong corellation between  Kellgren Lawrence grading of osteoarthritis and MOAKS before (Ï?: 0,68, p: 0,000)  and after implantation of stem cell (Ï?: 0,71, p: 0,000). Conclusion :MOAKS, asemiquantitative system can be used  to diaognose osteoarthritis but not reliable for post treatment evalution. Kellgren Lawrence grading has potential to predict intra articular lesion. 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmasari Chumairah
"Latar belakang: Infeksi COVID-19 pertama kali terjadi di Wuhan, China pada 19 Desember 2019 hingga ditetapkan sebagai pandemik global oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. Di Indonesia kasus pertama yang terkonfirmasi ditemukan pada tanggal 2 Maret 2020 dan sejak saat itu kasus COVID-19 semakin meningkat hingga mencapai 2.983.830 pada 21 Juli 2021. Pada kondisi melonjaknya kasus COVID-19 di dunia khususnya Indonesia telah menjadikan modalitas radiografi toraks sebagai salah satu penunjang diagnosis maupun sebagai parameter perkembangan kondisi klinis pasien. Negara Italia dan Inggris menggunakan radiografi toraks sebagai lini pertama di triage untuk penentuan tatalaksana awal, karena pemeriksaan RT-PCR memakan waktu cukup lama. Selain itu, pasien kritis yang tidak dapat dimobilisasi untuk pemeriksaan CT scan toraks dipilih untuk dilakukan pemeriksaan radiografi toraks menggunakan portable X-ray. Kondisi tersebut membuat negara Italia mengembangkan sistem skoring toraks Brixia untuk memantau perkembangan klinis pasien yang dirawat di rumah sakit. Karena sistem skoring toraks Brixia belum pernah digunakan sebagai prediktor untuk memperkirakan perjalanan penyakit pada pasien COVID-19, maka penelitian ini akan menilai skoring tersebut sebagai prediktor perkembangan klinis pasien COVID-19.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol menggunakan 48 data sekunder berupa sistem skoring toraks Brixia dari radiografi toraks yang diambil dari Picture archiving and communication system (PACS), serta data klinis dalam jangka waktu dua minggu pertama berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya pada pasien COVID-19 terkonfirmasi di RSCM periode Maret 2020 – Juli 2021.
Hasil: Rerata skoring toraks brixia antara kelompok klinis perburukan dan perbaikan tidak bermakna signifikan (p > 0,05), sehingga tidak dapat menilai titik potong skoring toraks Brixia. Namun didapatkan perbedaan rerata yang signifikan (p < 0,05) antara skoring toraks Brixia dengan kondisi akhir klinis hidup dan meninggal, yaitu didapatkan rentang skor di awal perawatan 7,8 – 16,6 dapat mengarah ke kondisi klinis kritis bahkan kematian di akhir perawatan. Selain itu juga didapatkan perbedaan rerata (p < 0,05) antara interval onset gejala dengan kelompok gejala klinis perburukan dan perbaikan pada pasien COVID-19.
Kesimpulan: Sistem skoring toraks Brixia tidak dapat dijadikan prediktor dalam menentukan perkembangan klinis perburukan atau perbaikan pada pasien COVID-19, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai parameter tunggal dalam tatalaksana pasien. Namun secara tidak langsung skoring ini dapat memprediksi kondisi akhir ke arah hidup atau meninggal dikaitkan juga dengan interval onset gejala. Hal ini terjadi karena kondisi klinis perburukan maupun perbaikan disebabkan oleh proses perjalanan penyakit yang masih berlangsung sesuai onset gejala, serta daya imunitas individu yang bervariasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Mahardhika
"Tujuan: Meningkatkan peranan ultrasonografi sebagai alternatif Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) dalam menilai persentase lemak tubuh total secara akurat.
Metode: Dari April hingga September 2020, terdapat 28 pasien dewasa (14 laki-laki, 14 perempuan) yang menjalankan pemeriksaan DXA untuk menilai persentase lemak tubuh total (%LT total) dan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengukur tebal lemak subkutis (TLS) pada beberapa lokasi tubuh. Dilakukan uji korelasi antara TLS pada beberapa lokasi tubuh menggunakan ultrasonografi serta data antropometri (IMT, lingkar pinggang, lingkar paha tengah) dengan %LT total berdasarkan DXA pada kedua jenis kelamin. Selanjutnya, variabel yang memiliki korelasi kuat dipilih untuk dimasukkan dalam analisis regresi multipel untuk mendapatkan formula regresi untuk memprediksi %LT total pada masing-masing jenis kelamin.
Hasil: Formula prediksi terbaik untuk menentukan %LT total pada laki-laki adalah %LT total = 13,7 + 5,5(TLS triceps) + 10,0(TLS paha depan); R2 0,91, sedangkan pada perempuan adalah %LT total = - 1,73 + 1,07(IMT) + 10,30(TLS paha depan); R2 0,88
Kesimpulan: Pemeriksaan TLS menggunakan ultrasonografi dikombinasikan dengan pengukuran antropometri dapat direkomendasikan untuk memperkirakan %LT total secara akurat dengan formula yang berbeda pada kelompok laki-laki dan kelompok perempuan.

Objective: To improve the use of ultrasonography as an alternative way to Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) in assesing total body fat percentage (%BF) accurately.
Methods: From April to September 2020, there were 28 adult patients (14 male, 14 female) underwent DXA examination to assess %BF and ultrasonography examination to measure subcutaneous fat thickness (SFT) at multiple sites. Correlation test was conducted between SFT sites using ultrasonography and anthropometric data (BMI, waist circumference, mid-thigh circumference) with %BF based on DXA in both genders. Furthermore, variables that had strong correlation were selected to be included in the multiple regression analysis in order to obtain a regression formula to predict the %BF for each gender.
Results: The best predictive formula to determine %BF for male is %BF = 13,7 + 5,5(SFT triceps) + 10,0(SFT quads); R2 0,91, while for female is %BF = - 1,73 + 1,07(BMI) + 10,30(SFT quads); R2 0,88. Conclusions: SFT examination using ultrasonography that is combined with anthropometric measurements can be recommended to estimate %BF accurately with different formulas in the male and female group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliyya Rifki
"Latar belakang: Penentuan derajat degenerasi diskus intervertebralis (DDI) dan pemantauan progresivitasnya sangat penting untuk menentukan tatalaksana dan memantau efektivitas terapi. Penilaian T2 map menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mengevaluasi derajat DDI secara kuantitatif namun dengan hasil yang bervariasi, tergantung pada mesin, coil, protokol, dan perangkat lunak MRI yang digunakan.
Metode: MRI sekuens T2 – weighted image potongan sagital digunakan untuk menilai dan mengelompokkan derajat DDI lumbal berdasarkan skala Modifikasi Pfirrmann. Derajat DDI lumbal yang termasuk dalam kriteria penelitian adalah derajat 2 – 4. Pasien yang tidak memiliki diskus normal (derajat 1) dieksklusi. MRI sekuens T2 mapping potongan mid – sagital digunakan untuk memperoleh rerata nilai T2 map dengan meletakkan Regio of Interest (ROI) di seluruh penampang diskus normal dan diskus yang berdegenerasi. Rerata nilai T2 map diskus yang berdegenerasi dibandingkan dengan diskus normal pada pasien yang sama, sehingga didapatkan nilai rasio (T2 map index).
Hasil: Didapatkan perbedaan signifikan rerata nilai T2 map index pada tiap derajat skala Modifikasi Pfirrmann (p < 0,001), dimana semakin berat derajat DDI lumbal, maka rerata nilai T2 map index semakin rendah (derajat 1: 0,97 ± 0,05 ms; derajat 2: 0,93 ± 0,07 ms; derajat 3: 0,60 ± 0,11 ms; derajat 4: 0,48 ± 0,04 ms).
Kesimpulan: Penghitungan nilai T2 map index dapat digunakan untuk mengevaluasi progresivitas DDI lumbal secara kuantitatif dan dapat mengeliminasi variabilitas nilai T2 map.

Background: Severity and progression of intervertebral disc degeneration in early stages should be evaluated not only for an adequate treatment planning, but also for monitoring the effectiveness of therapies. Obtaining T2 map value using MR T2 mapping was beneficial for the assessment of disc degeneration albeit different MR machine, coil, software, and protocol used could affect its value.
Methods: Sagittal T2 – weighted image were used to evaluate lumbal disc degeneration by Modified Pfirrmann grading system. Grade 2 – 4 were included, while patients without grade 1 disc (normal disc) were excluded. Using mid – sagittal MR T2 mapping, range of interest (ROI) were placed in whole disc. Mean T2 map value in degenerated disc was compared to mean T2 map value in normal disc with resultant of a ratio (T2 map index).
Results: Mean T2 map index value between each Modified Pfirrmann grading differed significantly (p < 0,001). Higher Modified Pfirrmann grade correlates with lower mean T2 map index value (grade 1: 0,97 ± 0,05 ms; grade 2: 0,93 ± 0,07 ms; grade 3: 0,60 ± 0,11 ms; grade 4: 0,48 ± 0,04 ms).
Conclusion: T2 map index is reliable in evaluating the progressivity of lumbal disc degeneration quantitatively and in eliminating T2 map value variabilities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Deborah Anasthasia
"Latar belakang: Subepidermal low echogenic band (SLEB) adalah gambaran USG berupa area hipoekhoik pada lapisan dermis, tepatnya subepidermal, yang merupakan suatu proses elastosis sebagai penanda dari photoaging.
Tujuan: Menilai perbedaan rasio ketebalan SLEB dengan dermis antara kelompok perempuan pra dan pascamenopause dengan menggunakan USG general purpose frekuensi 18 MHz.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang komparatif menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengukuran langsung di pipi kanan dan kiri dengan menggunakan USG general purpose frekuensi 18 MHz. Data sekunder diperoleh dari penelitian sebelumnya.
Hasil: Rerata usia subjek pramenopause sebesar 29,6 tahun dan rerata usia subjek pascamenopause sebesar 55,7 tahun. Rerata tebal dermis dan rerata tebal SLEB didapatkan lebih tebal pada kelompok pramenopause dibandingkan kelompok pascamenopause. Rasio SLEB – dermis pada kelompok pramenopause didapatkan lebih tebal dibandingkan kelompok pascamenopause.
Kesimpulan: Rasio tebal SLEB terhadap tebal dermis pada kelompok pramenopause didapatkan lebih tebal dibandingkan pada kelompok pascamenopause. USG general purpose dapat digunakan dalam menilai tebal dermis dan tebal SLEB, namun diperlukan studi lebih lanjut dalam menilai faktor – faktor lain yang mempengaruhi rasio tebal SLEB terhadap tebal dermis.

Background: Subepidermal low echogenic band (SLEB) is an ultrasound image in the form of a hypoechoic area in the dermis layer – subepidermal, to be precise, which is an 2 elastotic process as a marker of photoaging. Objective: Assessing difference in ratio of SLEB to dermis thickness between the premenopausal and postmenopausal groups using the 18 MHz general-purpose ultrasound frequency.
Method: This research is a comparative cross-sectional stuy using primary data and secondary data. Primary data were obtained through direct measurements on the right and left cheeks using general purpose ultrasound with a frequency of 18 MHz. Secondary data was obtained from previous studies.
Result: The mean age of premenopausal subjects was 29.6 years and the average age of postmenopausal subjects was 55.7 years. The mean dermis thickness and mean SLEB thickness were found to be thicker in the premenopausal group than the postmenopausal group. The SLEB – dermis ratio in the premenopausal group was found to be thicker than the postmenopausal group.
Conclusion: The ratio of SLEB thickness to dermis thickness in the premenopausal group was found to be thicker than in the postmenopausal group. General purpose ultrasound can be used in assessing dermis thickness and SLEB thickness, but further studies are needed in assessing other factors that affect the ratio of SLEB thickness to dermal thickness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Oktaviani
"Latar belakang: Penyakit ginjal kronik sendiri dapat menjadi faktor risiko penyakit serebrovaskular karena ginjal dan parenkim otak memiliki kemiripan pembuluh distal (pada nefron dan arteriole di otak). Pembuktian korelasi antara penyakit ginjal kronik terhadap CSVD dapat dilakukan melalui evaluasi penurunan nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) dan evaluasi temuan MRI kepala.
Metode: Studi ini merupakan studi korelasi potong lintang dengan evaluasi MRI kepala dan penilaian sesuai acuan STRIVE, kemudian ditentukan korelasi terhadap rerata nilai estimasi laju filtrasi glomerulus penderita.
Hasil: Terdapat korelasi negatif antara penyakit ginjal kronik terhadap CSVD (r = - 0,39 dan p = 0,029). Nilai median total skor CSVD adalah 2,5 dengan rerata nilai estimasi LFG pada penelitian ini 40 ml/menit per 1,73 m2.
Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif antara penyakit ginjal kronik terhadap CSVD. Diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel lebih besar untuk menentukan nilai estimasi LFG yang menjadi cut-off point bagi pasien untuk menjalani MRI kepala, serta untuk mengetahui kaitan total skor CSVD dengan faktor risiko lainnya.

Background: Cerebral Small Vessel Disease (CSVD) and chronic kidney disease (CKD) have similar and overlapping risk factors. CKD itself can be a risk factor for cerebrovascular diseases because of the similarities between small vessels in the brain and kidneys (nephrons). Correlation between CKD and CSVD can be proven by evaluating estimated GFR values and head MRI quantitatively.
Method: This study was a cross sectional study to determine the correlation between mean estimated GFR values in CKD and quantitative head MRI evaluation of CSVD. Result: There was a weak negative correlation between mean estimated GFR values with CSVD. Median of total score CSVD from all subjects were 2,5 with mean estimated GFR values was 40 ml/minutes per 1,73 m2 (range 4,6 – 59 ml/minutes per 1,73 m2). Conclusion: There was negative correlation between CKD and CSVD. Further studies are needed with larger sample to determine cut off point for estimated GFR values to perform head MRI in CSVD, also to determine relationship of CSVD total score with other risk factors.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Budi Irawati
"Latar Belakang : Kanker ovarium adalah kanker ketiga terbanyak yang ditemukan pada perempuan di Indonesia. Pada saat diagnosis ditegakkan, sebagian besar pasien mencapai stadium III atau IV dengan penyebaran tumor ke rongga peritoneum dan organ-organnya. Perluasan peritoneal karsinomatosis dapat dinilai melalui Peritoneal Carcinomatosis Index (PCI). Perluasan peritoneal karsinomatosis pada lokasi kritikal seperti mesenterium usus halus atau lapisan serosa usus halus dapat menjadi faktor penyebab pasien mendapatkan tatalaksana optimal maupun suboptimal debulking. Sehingga, nilai PCI dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi resektabilitas tumor. MRI sebagai modalitas non- invasif dapat menjadi alternatif dalam menentukan tatalaksana debulking.
Tujuan : meningkatkan peranan MRI dalam menilai perbedaan antara nilai PCI, nilai ADC tumor dan nilai ADC peritoneal karsinomatosis pasien kanker ovarium dengan asites untuk memprediksi tatalaksana optimal maupun suboptimal debulking.
Metode : Penelitian dilaksanakan dengan desain penelitian perbandingan potong lintang. Didapatkan 23 sampel MRI abdomen dalam rentang waktu bulan September 2020 hingga Juni 2023.
Hasil : Pada uji Mann Whitney didapatkan nilai P 0,688 pada hubungan antara nilai ADC tumor dengan tatalaksana debulking, sementara pada hubungan antara nilai ADC peritoneal karsinomatosis dengan tatalaksana debulking didapatkan nilai P 0,450. Didapatkan nilai P 0,000 pada analisisi hubungan antara nilai PCI dengan tatalaksana debulking, dengan titik potong nilai PCI yang optimal sebesar 9 dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 100% untuk menentukan luaran tatalaksana suboptimal debulking.
Kesimpulan : Didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai PCI dengan tatalaksana debulking, namun tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai ADC tumor dan nilai ADC peritoneal karsinomatosis dengan tatalaksana debulking.

Background: Ovarian cancer is the third most common cancer found in women in Indonesia. At the time of diagnosis, most patients reach stage III or IV with the spread of tumors to the peritoneal cavity and its organs. The extent of peritoneal carcinomatosis can be assessed using the Peritoneal Carcinomatosis Index (PCI). The expansion of peritoneal carcinomatosis in critical locations such as the mesentery of the small intestine or the serosal layer of the small intestine can be a factor in predicting debulking management. Therefore, PCI value can be one of the factors influencing tumor resectability. MRI, as a non-invasive modality, can be an alternative in determining debulking management.
Objective: To enhance the role of MRI in assessing the differences between PCI values, tumor ADC values, and peritoneal carcinomatosis ADC values in ovarian cancer patients with ascites to predict optimal or suboptimal debulking management.
Method: The study was conducted using a cross-sectional comparative research design. A total of 23 abdominal MRI samples were obtained between September 2020 and June 2023.
Results: The Mann-Whitney test showed a P value of 0.000 was obtained in the analysis of the relationship between the PCI value and debulking management, with an optimal PCI cutoff value of 9, showing 100% sensitivity and 100% specificity in determining the outcome of suboptimal debulking management.
Conclusion: There is a significant relationship found between PCI value and debulking management. However, no significant relationship was found between the tumor ADC value and the peritoneal carcinomatosis ADC value with debulking management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Paramitha Adriyati
"Latar belakang: Karsinoma sel hati (KSH) merupakan salah satu kanker dan penyebab kematian akibat kanker tersering. Magnetic resonance imaging (MRI) abdomen multifase adalah modalitas pilihan untuk diagnosis KSH, karena dapat menggambarkan perubahan patofisiologi selama hepatokarsinogenesis melalui sekuens dynamic contrast enhanced (DCE), T1-weighted imaging (T1WI) dengan chemical shift imaging, T2- weighted imaging (T2WI), diffusion-weighted imaging (DWI), peta apparent diffusion coefficient (ADC), serta fase hepatobilier. Alpha fetoprotein (AFP) sebagai penanda serologis KSH terkait surveilans, diagnostik, dan prognostik, juga berperan dalam hepatokarsinogenesis dengan menunjukkan perbedaan agresivitas tumor. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara temuan morfologi dan karakteristik KSH pada MRI dengan kadar serum AFP.
Metode: Studi retrospektif ini dilakukan pada pasien KSH yang menjalani MRI abdomen multifase kontras spesifik hepatobilier dan kadar serum AFP di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, serta belum menjalani prosedur pengobatan apapun. Dilakukan analisis menggunakan uji Chi Square atau uji Mutlak Fisher antara temuan morfologis dan karakteristik KSH pada MRI, serta menggunakan uji Mann-Whitney antara nilai rerata apparent diffusion coefficient (ADC) dengan kadar serum AFP.
Hasil: Diperoleh 82 subyek dengan usia rerata subyek 58 tahun, diameter tumor >5cm (58,5%) dan tumor multipel (59,8%) paling banyak ditemukan, serta memiliki perbedaan proporsi yang bermakna dengan kadar serum AFP (nilai p = 0,030 dan p = 0,000). Vaskularisasi tumor, kapsul tumor, lemak intratumoral, tumor hiperintens T2, restriksi difusi, dan tumor hipointens fase hepatobilier lebih banyak ditemukan pada kadar serum AFP ≥ 100ng/mL, namun tidak ditemukan perbedaan proporsi bermakna. Terdapat perbedaan bermakna nilai rerata ADC antara 39 subyek dengan kadar serum AFP < 100ng/mL dan 43 subyek dengan AFP ³ 100ng/mL. Median nilai rerata ADC 1,19 (0,71 – 2,20) pada subyek dengan kadar serum AFP < 100ng/mL, median 0,97 (0,72 – 1,77) pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL, dan nilai p = 0,003.
Simpulan: Proporsi tumor berdiameter > 5cm dan tumor multipel pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL secara bermakna lebih tinggi dibandingkan pada subyek dengan AFP < 100ng/mL. Nilai rerata ADC pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL secara bermakna lebih rendah dibandingkan AFP < 100ng/mL. Sehingga nilai rerata ADC dapat membantu memprediksi kadar serum AFP pada pasien KSH.

Background: Hepatocellular carcinoma (HCC) is one of the most common cancers and cancer-related death. Multiphase contrast-enhanced abdominal magnetic resonance imaging (MRI) is the modality of choice for the diagnosis of KSH, as it can depict pathophysiologic changes during hepatocarcinogenesis through sequences: dynamic contrast enhanced (DCE), T1-weighted imaging (T1WI) with chemical shift imaging, T2-weighted imaging (T2WI), diffusion-weighted imaging (DWI), apparent diffusion coefficient (ADC) maps, and hepatobiliary phase. Alpha fetoprotein (AFP) as a serological marker of HCC related to surveillance, diagnostics, and prognostics, also plays a role in hepatocarcinogenesis by showing differences in tumor aggressiveness. This study aims to analyze the relationship between morphological findings and characteristics of HCC on MRI with serum AFP levels.
Methods: This retrospective study was conducted on HCC patients who underwent hepatobiliary-specific contrast-enhanced multiphase abdominal MRI and serum AFP levels at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, had not undergone any treatment procedures. Chi Square or Fisher's exact test between morphological findings and characteristics of HCC on MRI, and Mann-Whitney test between mean apparent diffusion coefficient (ADC) values and serum AFP levels were analyzed.
Results: There were 82 subjects with a mean age of 58 years, tumor size >5cm (58.5%) and multiple tumors (59.8%) were more common, had a significant difference in proportion with AFP serum levels (p value = 0.030 and p = 0.000). Tumor vascularization, tumor capsule, intratumoral fat, T2 hyperintense tumor, diffusion restriction, and hepatobiliary phase hypointense tumor were more common in serum AFP level ≥ 100ng/mL, but there was no significant difference in proportion. There was a significant difference in mean ADC between 39 subjects with serum AFP level < 100ng/mL and 43 subjects with AFP 100ng/mL. The median ADC score was 1.19 (0.71 – 2.20) in subjects with serum AFP level < 100ng/mL, median 0.97 (0.72 – 1.77) in subjects with AFP ≥ 100ng/mL, and p value is 0.003.
Conclusion: The proportion of tumors > 5cm in diameter and multiple tumors in subjects with AFP ≥ 100ng/mL was significantly higher than that in subjects with AFP < 100ng/mL. The mean value of ADC in subjects with AFP ≥ 100ng/mL was significantly lower than AFP < 100ng/mL. So that the mean value of ADC can help predict serum AFP levels in patients with HCC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Afrita
"Latar belakang: Pasien dengan tumor muskuloskeletal (MSK) ganas menunjukkan insidens deep vein thrombosis (DVT) bervariasi. USG Doppler berwarna merupakan modalitas terpilih untuk evaluasi DVT.
Tujuan: Menilai hubungan trombus, kecepatan aliran, dan ketebalan dinding vena pada USG Doppler berwarna vena profunda ekstremitas bawah pada pasien dengan tumor primer MSK ganas.
Metode: Penelitian ini menggunakan data primer dari pemeriksaan USG Doppler berwarna vena profunda ekstremitas bawah, yaitu trombus, ketebalan dinding vena, dan kecepatan aliran vena, serta data sekunder, yaitu ukuran tumor dari magnetic resonance imaging (MRI) atau computed tomography >(CT) scan dan durasi gejala tumor dari rekam medis. Penelitian dilakukan di Departemen Radiologi dan Poliklinik Orthopaedi dan Traumatologi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) bulan Agustus 2020 hingga Maret 2022.
Hasil: Terdapat 10% insidens trombus pada sistem vena profunda ekstremitas bawah pada 30 subyek dengan tumor primer MSK ganas. Subyek dengan trombus cenderung memiliki volume tumor lebih besar dibandingkan tanpa trombus, namun secara statistik tidak bermakna.
Kesimpulan: Dimensi dan volume tumor pada subyek dengan trombus cenderung lebih besar dibandingkan tanpa trombus. Pada penderita tumor MSK ganas, dapat ditemukan gambaran klinis dan laboratoris yang menyerupai DVT namun belum tentu didapatkan trombus, sehingga USG Doppler berwarna penting untuk membedakan ada tidaknya DVT.

Background: Patients with malignant musculoskeletal (MSK) tumors show variable incidence of deep vein thrombosis (DVT). Color Doppler ultrasound (CDUS) is the modality of choice for DVT evaluation.
Objective: To assess the relationship of thrombus, flow velocity, and venous wall thickness on CDUS of lower extremities deep veins in patients with primary malignant MSK tumors.
Methods: Primary data from CDUS of lower extremities deep vein, including thrombus, venous wall thickness, and venous flow velocity. Tumor size was taken from magnetic resonance imaging (MRI) or computed tomography (CT) scans. Duration of tumor symptoms was taken from medical records. The study was conducted at the Department of Radiology and the Orthopaedi and Traumatology Polyclinic of the Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSUPNCM) from August 2020 to March 2022.
Results: There was 10% incidence of thrombus in 30 subjects. Subjects with thrombus tended to have larger tumor volume but it was not statistically significant.
Conclusion: Tumor dimensions and volume in subjects with thrombus tend to be larger than those without thrombus. In patients with malignant MSK tumors, clinical and laboratory features that resemble DVT can be found, but not necessarily a thrombus, therefore CDUS is important for distinguishing the presence or absence of DVT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Pelangi Wulan
"Latar belakang: Identifikasi forensik dengan parameter sinus sfenoidalis dapat berguna pada bencana massal di mana tubuh korban tidak lengkap, namun di Indonesia belum terdapat data parameter sinus sfenoidalis dan hubungannya dengan dismorfisme seksual pada populasi dewasa.
Tujuan: Menilai peran parameter sinus sfenoidalis dengan pemeriksaan MSCT untuk penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa, dengan membandingkan diameter anteroposterior, laterolateral, kraniokaudal, dan volume sinus sfenoidalis antara laki- laki dan perempuan dewasa lalu menentukan titik potong dan akurasinya dalam menentukan jenis kelamin.
Metode: Penelitian ini dilaksanakan dengan desain potong lintang perbandingan. Terdapat 140 subjek penelitian (70 laki-laki dan 70 perempuan) berusia 20–45 tahun yang menjalani MSCT kepala, sinus, nasofaring, dan wajah pada periode April–Juni 2023. Analisis bivariat dilakukan pada setiap parameter sinus sfenoidalis untuk menentukan hubungannya dengan jenis kelamin.
Hasil: Perbedaan rerata dari seluruh parameter bermakna secara signifikan (p=0,000) antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dengan rerata laki-laki lebih besar dari perempuan. Titik potong untuk menentukan jenis kelamin laki-laki pada diameter anteroposterior adalah ≥2,94 cm (akurasi 67,9%), diameter laterolateral ≥3,595 cm (akurasi 62,9%), diameter kraniokaudal ≥2,235 cm (akurasi 73,6%), volume ≥12,265 cm3 (akurasi 69,3%). Kombinasi diameter anteroposterior dan kraniokaudal dapat memprediksi jenis kelamin laki-laki dengan probabilitas hingga 80,38%.
Kesimpulan: parameter sinus sfenoidalis dapat digunakan untuk menentukan luaran jenis kelamin.

Background: Forensic identification using sphenoidal sinus parameters can be helpful in mass disasters where the victim's body is incomplete. However, there is a lack of data regarding sphenoidal sinus parameters and their relationship with sexual dimorphism in the adult population in Indonesia.
Objective: To assess the role of sphenoidal sinus parameters in determining gender within the adult population using MSCT examination. This includes comparing the anteroposterior, laterolateral, craniocaudal diameters, and sphenoidal sinus volume between adult males and females. Additionally, it aims to establish cutoff points and accuracy in determining gender.
Method: A cross-sectional comparative design was employed in the study. The research involved 140 subjects (70 males and 70 females) aged 20–45 years who underwent head, sinus, nasopharynx, and facial MSCT scans between April and June 2023. Bivariate analysis was conducted for each sphenoidal sinus parameter to determine its association with gender.
Results: The mean differences in all parameters were significantly higher in males than in females (p=0.000). The cutoff points to determine male gender were as follows: anteroposterior diameter ≥2.94 cm (accuracy 67.9%), laterolateral diameter ≥3.595 cm (accuracy 62.9%), craniocaudal diameter ≥2.235 cm (accuracy 73.6%), and volume ≥12.265 cm3 (accuracy 69.3%). The combination of anteroposterior and craniocaudal diameters could predict male gender with a probability of up to 80.38%.
Conclusion: Sphenoidal sinus parameters can be utilized to determine gender.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>