Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurachmat
"Instrumen peraturan perundang-undangan merupakan salah satu faktor dalam mempengaruhi penegakan hukum, di samping faktor lainnya seperti aparat penegak hukum, sarana dan prasarana yang mendukung penegakan hukum serta kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Peraturan perundang-undangan kaitannya yang mengatur tindak pidana korupsi telah mengalami perubahan beberapa kali, baik itu mengenai ketentuan formil maupun materilnya. Perubahan itu tentu saja bertujuan meningkatkan efektivitas guna tercapainya penegakan hukum dalam menangani kejahatan korupsi sesuai dengan apa yang diharapkan melalui saluran hukum positif yang ada. Salah satu perubahan yang ada yaitu pengaturan stelsel ancaman pidana pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Seperti diketahui bahwa dalam UU No. 3 Tahun 1971 memberlakukan stelsel ancaman pidana maksimum umum, sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 memberlakukan stelsel ancaman pidana minimum dan maksimum khusus. Dampak dari perubahan tersebut dapat dilihat dari disparitas tuntutan oleh jaksa penuntut umum maupun disparitas pemidanaan oleh hakim. Disparitas tersebut diukur dari pidana penjara dan denda baik yang dituntut oleh jaksa penuntut umum maupun yang dijatuhkan oleh hakim dengan memperbandingkan nilai kerugian antara perkara korupsi yang satu dengan perkara korupsi lainnya (pada studi kasus di Daerah Istimmewa Yogyakarta). Dengan memperbandingkan tingkat disparitas antara perkara yang didakwa dengan UU No. 3 tahun 1971 dengan perkara yang didakwa dengan UU No. 31 Tahun 1999, maka dapat dinilai apakah perubahan stelsel ancaman pidana pada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi efektif dalam mengurangi disparitas yang ada. Yang kemudian hal ini tentu saja akan menimbulkan dampak terhadap rasa keadilan dan efektivitas terhadap pencegahan korupsi secara umum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22152
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Raden Dodo Kusmoro
"Undang-Undang No.5/1999 tidak mengatur secara jelas
mengenai hukum acara bagi KPPU sehingga KPPU membuat dan
menentukan hukum acaranya sendiri dengan menerbitkan SK
KPPU No.05/Kep/IX/2000 tentang Tata Cara Penyampaian
Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran terhadap Undang-
Undang No.5/1999. Untuk memperjelas hukum acara persaingan
usaha, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
No. 3/2005 yang mengatur mengenai keberatan atas keputusan
KPPU. Kedua pengaturan proses beracara tersebut berbeda
dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Selain
itu, Undang-Undang No.5/1999 tidak mengatur secara rinci
mengenai alat bukti sehingga tidak ada kejelasan dalam
proses pembuktian perkara persaingan usaha. Malalui metode
penelitian yuridis-normatif, yaitu suatu cara mengumpulkan
data sekunder dengan melakukan studi kepustakaan (library
research) yang terkait dengan hukum, dan kualitatif, yaitu
suatu metode yang menghasilkan penelitian yang bersifat
analitis deskriptif, tulisan ini akan mencoba menjawab
beberapa permasalahan, antara lain hukum acara apakah yang
digunakan dalam setiap proses penanganan perkara persaingan
usaha dan bagaimanakah beban pembuktian, alat bukti dan
sistem pembuktian yang digunakan dalam perkara persaingan
usaha. Secara implisit, proses di KPPU menggunakan Hukum
Acara Pidana yang terlihat pada dasar mengingat angka 1 SK
KPPU No.5/2000, sedangkan pada proses keberatan di
Pengadilan Negeri dan kasasi di Mahkamah Agung menggunakan
Hukum Acara Perdata. Dalam proses pemeriksaan di KPPU
menganut beban pembuktian biasa, dimana KPPU wajib untuk
membuktikan dugaan terhadap pelanggaran Undang-Undang
No.5/1999. KPPU menggunakan alat-alat bukti, yakni
keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen,
petunjuk, dan keterangan pelaku usaha. Hukum persaingan
usaha menganut teori pembuktian berdasarkan undang-undang
secara negatif, dimana Majelis Komisi dapat menjatuhkan
putusan, jika paling tidak terdapat 2 (dua) alat bukti dan
keyakinan dari Majelis Komisi atas terjadinya pelanggaran
terhadap Undang-Undang No.5/1999. Majelis Komisi memperoleh
keyakinan tersebut dengan cara-cara, yakni penjabaran unsur
pasal dan pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason"
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2006
S22089
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Tri Wahyuni
"Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dikenal dengan KUHAP menentukan bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali dapat diajukan atas dasar ditemukannya keadaan baru (novum), pertentangan putusan pengadilan dan kekhilafan atau kekeliruan hakim. Permohonan Peninjauan Kembali sebagian besar diajukan atas dasar novum, bahkan timbul opini publik yang mempersepsikan novum sebagai syarat Peninjauan Kembali. Kualifikasi novum yang menjadi dasar Peninjauan Kembali belum diatur secara jelas di dalam KUHAP. Hal tersebut menimbulkan interpretasi tentang kualifikasi novum yang beragam di dalam masyarakat.
Kualifikasi novum yang belum dipertegas merupakan penyebab terjadinya penumpukan perkara Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP dinilai belum cukup memuaskan untuk menjawab persepsi publik mengenai batasan novum. Dasar yang dapat digunakan dalam menilai novum adalah penafsiran para Hakim Mahkamah Agung yang tercantum di dalam putusan-putusan Peninjauan Kembali. Hakim Mahkamah Agung bebas memutuskan untuk menerima novum yang diajukan sebagai dasar Peninjauan Kembali atau tidak.
Penjelasan atas novum sebagai dasar Peninjauan Kembali diperlukan untuk menjawab ketidaktegasan perihal keterangan waktu serta kualitas novum sebagai dasar Peninjauan Kembali, agar tercipta kepastian hukum dan penumpukan perkara di Mahkamah Agung berkurang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualifikasi novum sebagai dasar pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali yang sebagian besar didasarkan atas pendapat dan pemikiran para ahli maupun praktisi hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22425
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Angga Bastian
"Salah satu asas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah Pengadilan mengadili menurut hukum dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Asas yang juga dikenal sebagai asas presumption of innocence ini adalah paham yang menyatakan bahwa seorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan memutus bahwa terdakwa tersebut memang bersalah.
Berkaitan dengan asas tersebut; KUHAP juga menjamin adanya asas perlindungan terhadap tersangka dari tindakan penyidik yang sewenang-wenang dalam menjalankan upaya paksa; secara khusus masalah penangkapan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka dibentuklah suatu lembaga yang dinamakan PRAPERADILAN. Praperadilan harus memastikan bahwa penangkapan yang dilakukan sudah sesuai dengan syarat dan tata cara penangkapan yang diatur didalam KUHAP. Ketentuan Pasal 1 butir 20 dan Pasal 17 KUHAP memberikan gambaran bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka suatu tindak pidana tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang oleh penyidik. Skripsi ini akan membahas mengenai ketentuan syarat dan tata cara penangkapan, proses pemeriksaan praperadilan terhadap syarat dan tata cara penangkapan tersebut, serta penerapannya di dalam sebuah putusan praperadilan.
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridis normatif yakni penelitian kepustakaan yang mengaitkan permasalahan dengan norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia. Setelah dilakukan penelitian dapat diketahui bahwa ketentuan mengenai syarat penangkapan belum dirumuskan secara tegas oleh KUHAP dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Proses pemeriksaan praperadilan cenderung menggunakan mekanisme keperdataan yang sangat rigid secara formil namun kurang dalam mencari kebenaran materiil. Implikasi proses pemeriksaan yang demikian terlihat juga pada putusan praperadilan yang lebih banyak menekankan pertimbangannya pada ketentuan-ketentuan yang bersifat formil."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22412
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Noptra
"Perlindungan terhadap saksi dan korban merupakan sesuatu yang harus diberikan karena keberadaan saksi dan korban yang sangat krusial dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana, terutama terhadap kasus pidana yang melibatkan pihak-pihak yang berkuasa dan/atau mempunyai kedudukan di dalam sistem pemerintahan negara. Sadar akan pentingnya perlindungan terhadap saksi dan korban tersebut, maka pada tanggal 18 Juli 2006, Pemerintah meresmikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan diresmikannya undang-undang tersebut maka perlindungan terhadap saksi dan korban tidak lagi ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, karena akan ditangani sepenuhnya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pada dasarnya, perlindungan saksi dan korban di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan seperti dari segi kualifikasi saksi dan korban yang berhak atas perlindungan, lembaga yang memberikan perlindungan, penjaminan pelaksanaan hak saksi dan korban, serta dari segi bentuk dan tata cara perlindungan. Beberapa kelemahan ini bisa diatasi dengan melakukan perbaikan terhadap rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta penting bagi LPSK dan lembaga lainnya berkoordinasi dengan baik. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran aktif dari masyarakat dalam menjamin suksesnya pemberian bantuan perlindungan terhadap saksi dan korban.

Protection for witness and victims of crime is something that needs to be given because their existence is crucial in the process of criminal act, especially in criminal cases that involve predominate parties and/or has position in the country’s governmental system. Realizing the importance of the protection for witness and victims of crime, on July 18th 2006 the Government established Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victims of Crime. By the establishment of such Law then the protection of witness and crime victims are no longer handled by the police and public prosecutors’ office, but will be fully handled by the Institution of Protection of Witness and Victims of Crime (LPSK). Basically, the protection of witness and victims of crime in Indonesia still has numerous weaknesses such as the qualification of witness and victims of crime that needs protection, the institutions that gives protection, the guarantee of execution of the protection of witness and victims of crime, and the form and procedures of protection. Some of this weakness could be overcomes by doing repair on the formulation that contained in the Law for the protection of witness and victims of crime, and it is important by LPSK and other institutions to coordinate with each other. Other thing that is also important is the active participation of the community in guarantying the success of the protection of witness and victims of crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22383
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Elon Ari Kusdantoko
"Hal terpenting dalam memberikan keseimbangan terhadap kedudukan tersangka atau terdakwa dalam suatu proses peradilan pidana adalah diberikannya hak bagi tersangka atau terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum berdasarkan Pasal 54 jo Pasal 56 KUHAP. Kedua pasal ini guna mendukung perlindungan atas hak-hak tersangka atau terdakwa lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68, bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam praktek terkadang sulit melaksanakannya dengan berbagai kendala-kendala yang dihadapi, diantaranya ketiadaan akibat hukum yang jelas terhadap proses persidangan, ketidakjelasan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat yang berwenang jika tidak dilaksanakan Pasal 56 KUHAP dan adanya penolakan pendampingan penasehat hukum oleh tersangka atau terdakwa sendiri, serta kendala lainnya. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan dari Pasal 56 KUHAP dalam prakteknya digantungkan pada kebijaksanaan para aparat penegak hukum yang bersangkutan. Contoh kasus yang menjadi obyek penelitian ini adalah kasus peradilan pidana pada kasus Risman Lakoro dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Tilamuta di Kabupaten Gorontalo. Dalam perkara pidana ini tersangka atau terdakwa tidak didampingi oleh penasehat hukum baik pada tahap penyidikan maupun pada tahap pemeriksaan di persidangan. Ketidakhadiran penasehat hukum, membuat putusan pengadilan ini jauh dari rasa keadilan tersangka atau terdakwa karena setelah ia menjalani masa hukuman selama kurang lebih 3 tahun, terungkap fakta bahwa bukan ia pelaku sebenarnya. Salah satu sebab yang penting mengapa Pengadilan Negeri salah dalam mengadili terdakwa dikarenakan tersangka atau terdakwa tidak didampingi oleh penasehat hukum mulai dari tahap penyidikan, sehingga hak-hak tersangka atau terdakwa dengan mudahnya dimanipulasi dan diabaikan pemenuhannya. Disayangkan kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 56 KUHAP, masih dirasakan kurang memberikan kesungguhan dalam memberikan perlindungan bagi tersangka atau terdakwa, sehingga dalam penerapannya tidak mampu memberikan kesamaan arti bagi aparat penegak hukum sendiri dalam menerapkan ketentuan dari Pasal 56 KUHAP.

The most important thing in giving the equal balance for suspect or defendant in a criminal judicial process is by giving the right for suspect or defendant to receive legal aid based on provision 54 jo provision 56 KUHAP. Both of these provisions use to support the protection of right for the other suspect or defendant, as in provision 50 untill provision 68, chapter VI about Suspect and Defendant, Act No.8 year 1981 about code of criminal process. In practice, it’s difficult to apply it with many obstacles, among those are the lack of clear legal consequences in the trial process, the lack of clear sanction to the legal authority, if provision 56 not being done and the refusal of legal counsell presence by suspect or defendant himself, an other obstacles. This resulted on the application of provision 56 KUHAP in practice depends on the wisdom of the legal enforcement officer. The case study for this research is the criminal case of Risman Lakoro in the jurisdiction of state court Tilamuta in Gorontalo. In this criminal case the suspect or defendant is not being accompany by advocate or legal counsell whether in investigation process or in the trial process. The absence of legal counsellor made the judicial verdict is far from sense of justice of the suspect or defendant because after they did the sentences for at least three years, revealed the fact that he’s not the real criminal. One of the important factors why the state court made a mistake on processing the defendant because the suspect or defendant is not being accompany by legal counsellor from the investigation process, that made the rights of suspect or defendant easily manipulated and abandoned. Unfortunately the obligation on provision 56 KUHAP, still lack of assurance in giving the protection for the suspect or defendant, that made in application doesn’t give the same perception to the law enforcement officer in applying the rules on provision 56 KUHAP."
Universitas Indonesia, 2008
S22449
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Paul Sabar Hamonangan
"Maraknya trend melarikan diri ke luar negeri yang dilakukan oleh para tersangka pelaku kejahatan, termasuk diantaranya Hendra Rahardja tersangka korupsi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang melarikan diri pada tahun 1997, tidak dapat dipungkiri semakin mempersulit aparat penegak hukum untuk melakukan proses penegakan hukum. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia meminta bantuan untuk dilakukan penangkapan terhadap mereka kepada kepolisian negara lain melalui International Criminal Police Organization (ICPO)-Interpol) atau yang lebih dikenal dengan Interpol. Permintaan penangkapan terhadap mereka memerlukan persyaratan agar penangkapan tersebut sah menurut peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi mereka. Hendra Rahardja yang ditangkap oleh Kepolisian negara Federal Australia atas dasar permintaan Kepolisian Republik Indonesia mengajukan gugatan praperadilan bahwa penangkapannya tidak sah dan gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim Praperadilan dalam Putusan No.07/Pid/Prap/2000/PN.JAK.SEL. Keabsahan suatu penangkapan terhadap seorang tersangka yang dilakukan oleh kepolisian negara lain atas dasar permintaan Kepolisian Republik Indonesia mensyaratkan adanya Surat Perintah Penangkapan yang sah berdasarkan Pasal 17 KUHAP jo Pasal 18 ayat (1) KUHAP jo Penjelasan Pasal 18 ayat (1) yang menjadi dasar diterbitkannya Interpol Red Notice. Persyaratan ini telah dipenuhi oleh Kepolisian Republik Indonesia sehingga Putusan No.07/Pid/Prap/2000/PN.JAK.SEL. adalah tidak tepat menurut peraturan perundang-undangan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S22075
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Natasya Ridzikita
"Pada 1997 di Indonesia terjadi krisis moneter yang dilanjutkan dengan krisis perbankan yang akhirnya menjadi krisis ekonomi. Pada saat itu banyak bank yang menghadapi kredit bermasalah dan kredit macet akibat krisis tersebut. Oleh karena itu disalurkanlah dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk mengatasi krisis ekonomi dan moneter. Tetapi, sebagaimana diungkap dalam laporan audit investigasi BPK terhadap laporan keuangan Bank Indonesia, ternyata dana BLBI tersebut banyak diberikan kepada bank-bank yang tidak memenuhi syarat. Hal ini kemudian menyebabkan tiga orang Direktur Bank Indonesia saat itu menjadi terdakwa dengan tuduhan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, audit investigasi BPK yang menjadi titik awal terungkapnya permasalahan ini menjadi suatu kajian yang menarik, dengan mempertanyakan bagaimana proses pelaksanaan audit tersebut dan apakah, dalam hukum acara pidana, hasil audit investigasi tergolong ke dalam bahan untuk menjadi bukti permulaan yang cukup sehingga dapat dilakukan penyelidikan dan penyidikan.
Berdasarkan pokok permasalahan tersebut kemudian ditemukan bahwa audit investigasi yang dilakukan BPK mencakup tiga tahapan, antara lain persiapan pemeriksaan investigatif, pelaksanaan pemeriksaan investigatif, dan pelaporan pemeriksaan investigatif. Persiapan pemeriksaan terdiri dari mengembangkan hipotesis, menyusun program pemeriksaan, menetapkan kebutuhan sumber daya, dan menyusun surat tugas. Sedangkan pelaksanaan pemeriksaan terdiri dari pembicaraan pendahuluan, mengumpulkan bukti, menganalisis dan mengevaluasi bukti, pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK, dan pembicaraan akhir. Pelaporan pemeriksaan dilakukan kepada entitas yang diperiksa, dan jika ada penyimpangan dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Berdasarkan pendapat yang berlaku dalam praktek, hasil audit invstigasi BPK merupakan bahan penyelidikan dan penyidikan, yaitu untuk menemukan bukti permulaan yang cukup sebagai bahan yang digunakan untuk mengusut atau meneliti adanya unsur tindak pidana."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22357
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Girsang, Renita M. A.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S22007
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>