Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riris Himawati
"Latar belakang. Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis kolitis adalah enema barium kontras ganda dan kolonoskopi. Beberapa kepustakaan menyatakan enema barium dan kolonoskopi merupakan dua modalitas pemeriksaan kolon yang saling melengkapi dengan keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Dengan adanya kolonoskopi, saat ini penderita dengan kecurigaan kolitis jarang dikirim ke bagian Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk pemeriksaan enema barium kontras ganda. Tujuan. Penelitian ini dilakukan untuk menilai tingkat keselarasan hasil pemeriksaan enema barium kontras ganda (EBKG) dengan kolonoskopi dan mengevaluasi apakah EBKG dapat menjadi modalitas diagnostik alternatif pada penderita dengan gejala kolitis. Bahan dan Cara kerja. Penelitian dilakukan pada kelompok penderita dengan diagnosis kecurigaan kolitis selama periode Juni 1998 sampai dengan Oktober 1998 diteruskan Februari 1999 sampai dengan April 1999. Sesuai dengan perhitungan jumlah sampel minimal didapatkan 20 penderita yang mendapat perlakuan pemeriksaan EBKG dan kolonoskopi masing-masing dibagian radiologi dan di sub bagian gastroenterologi penyakit dalam RSUPNCM. Hasil. Pada pemeriksaan EBKG didapatkan 40% penderita kolitis dan 60% bukan kolitis sedangkan dengan kolonoskopi didapatkan penderita kolitis dan bukan kolitis sama banyak. Hasil kedua pemeriksaan tersebut dibandingkan dengan menggunakan rumus Kappa, dan diperoleh nilai K 0,78. Kesimpulan. Terdapat keselarasan yang cukup baik antara EBKG dengan kolonoskopi. Sedangkan pada kasus kolitis lanjut yang lokasi kelainannya di caecum dan appendiks pemeriksaan EBKG lebih unggul."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Syaifuddin
"Latar belakang: Insidens pasien anak dengan kecurigaan refluks gastresofageal cukup tinggi. Distribusi alat skintigrafi di Indonesia lebih banyak dari alat pH metri, oleh karena itu kami melakukan penelitian ini untuk membandingkan hasil pemeriksaan skintigrafi refluks gastroesofageal dengan monitoring pH 24 jam dalam mendeteksi refluk gastroesofageal dan hubungannya dengan aspirasi para.
Metode dan material: dalam kurun waktu september 2003 - februari 2004 dilakukan pemeriksaan skintigrafi refluks gastroesofageal, skintigrafi aspirasi pare menggunakan radiofar maka 99D1Tc Sulfur Koloid dan monitoring pH 24 jam pada 9 anak dengan kecurigaan klinis penyakit refluks gastroesofageal.
Hasil Fenelitian: dari 9 anak yang diperiksa didapatkan 7 anak dengan hasil positif pada skintigrafi refluks dan 3 anak dengan hasil positif monitoring pH 24 jam, sehingga didapatkan sensitifitas 100% dan spesifisitas 33,33% tidak didapatkan hasil positif pada hasil skintigrafi aspirasi para.
Kesimpulan: monitoring pH 24 jam adalah baku emas dalam mendeteksi penyakit refluks gastroesofageal, tapi dalam keadaan tertentu dimana monitoring pH 24 jam sulit dilakukan maka skintigrafi refluks gasroesofageal dapat dipakai sebagai alternatif pemeriksaan.

Background: Gastroesopliageal refluks (GER) disease in children is quite high. But distribution of pH metri apparatus is not widely distributed than nuclear scintigraphy, therefore we perform this study to compare nuclear scintigraphy examination with 24 hours pH monitoring and the relationship with pulmonary aspiration in children.
Method and materials: Between September 2003 until February 2004 we performed GER and pulmonary aspiration nuclear scintigraphy with 9 Tc sulfur coloid and 24 hours pH monitoring in 9 patient with clinical suspicious of GER.
Result: From 9 patients, there are 7 patients have positive diagnosis on refluks scintigraphy and 3 patients positive on 24 hours pH monitoring. Sensitivity is 100% and spesificity is 33,33% respectively. No positive result on aspiration scintigraphy.
Conclusion: 24 hours pH monitoring is a golden standard to detect GER disease, but in a few case where this examination difficult to performed, GER nuclear scintigraphy is an alternative examination that should be considered.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T20864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa P. Surbakti
"Latar belakang dan tujuan : Dispepsia merupakan keluhan yang diperkirakan
mencapai lebih dari sepertiga penderita yang berobat ke dokter umum dan lebih
dari setengah penderita yang datang ke klinik gastroenterologi. Penyebab
terjadinya keluhan pada dispepsia non ulkus khususnya sampai sekarang belum
jelas, tapi dikatakan 30 - 80% diantaranya ditemukan perlambatan waktu
pengosongan lambung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau
tidaknya gangguan motilitas dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga
pengobatan yang diberikan dapat lebih tepat. Bahan dan Cara : Dilakukan
pemeriksaan waktu pengosongan lambung dengan makanan padat pada 21 orang
penderita dispepsia dengan menggunakan skintigrafi dan ditentukan derajat
dispepsia pada kelompok ini dengan menggunakan skor Talley. Pemeriksaan
kelompok kontrol dilakukan pada 10 ~rang normal yang sudah dilakukan peneliti
sebelumnya dengan cara yang sarna. Hasil : Waktu pengosongan lambung pada
kelompok kontrol adalah 75,34 K 25,87 sedang pada kelompok dispepsia 77,80 K
39,42 waktu pengosongan lambung pad a laki-Iaki adalah 69,29 K 21,88 dan
perempuan 86,38 K 45,78. Waktu pengosongan lambung pada dispepsia derajat
ringan 67,44 K 29,85 dan pada derajat sedang 84,18 K 44,21. Usia rata-rata adalah
37,03 K 7,08 tahun, berat badan rata-rata 56,90 K 8,48 kg. Secara statistik tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok dispepsia dan kontrol (p >
0,05) dan tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara waktu pengosongan
lambung dengan usia, jenis kelamin, berat badan, dan derajat dispepsia (p > 0,05).
Kesimpulan : Tidak ditemukan perlambatan waktu pengosongan lambung pada kelompok dispepsia dibanding kontrol. Tidak terdapat korelasi antara waktu pengosongan lambung dengan usia, jenis kelamin, berat badan, dan derajat dispepsia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T58997
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin M. Hilman
"Tujuan; membandingkan pemeriksaan trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT) pada tungkai antara venografi 99m Tc Red Blood Cell (RBC) dengan venografi konvensional. Bahan dan Metoda: Empat belas orang diperiksa dengan venografi 99m Tc RBC dan venografi konvensional pada tungkai dengan kecurigaan DVT. Hasil : hasil pemeriksaan venografi 99m Tc RBC didapatkan 7 tungkai (38,6%) positif DVT dan yang negatif sebanyak 12 tungkai (61,4%), sedangkan hasil pemeriksaan venografi konvensional didapat 15 tungkai (78,9%) positif dan 4 tungkai (21,1 %) negatif. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa venografi 99m Tc RBC mampu meningkatkan kepekaan venografi konvensional sebesar 53,3%. Kesimpulan : Venografi 99m Tc-RBC mempunyai kepekaan lebih tinggi dibandingkan venografi konvensional mendiagnosa DVT tungkai.

Purpose: To compare diagnosis deep vein thrombosis (DVT) of lower extremities between convemional venography with 99"'Tc RBC venography. Materials and methods : Fourteen patients with suspected DVT of their lower extremities underwent 99mTc-RBC venography followed by conventional venography. Results : There are 7 legs (38,6%) positive DVT and 12 legs (61,4%) negative by 99"'Tc RBC venography and there are 15 legs (78,9%) positive DVT and 4 legs (21,1%) negative by conventional venography. From experimental analytic found 9 9t"Tc-RBC venography could be increased 53,3% sensivity of conventional venography. Conclusion: Comparing conventional venography, 99"'Tc-RBC venography has more sensitiv to make diagnosis DVT of lower extremity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Utami Purbasari
"Penelitian ini bertujuan untuk menilai peranan Skintimammografi menggunakan Tc-99m sestamibi dalam mendeteksi lesi residif lokoregional pada karsinoma payudara. Terdapat 29 pasien dengan keeurigaaan residif kanker payudara pasca terapi yang mengikuti penelitian ini. Pemeriksaan skintimammografi dengan tehnik planar dilakukan dalam posisi pasien supine, lateral prone dan lateral pada meja pemeriksaan khusus dekat gamma camera. Dilakukan analisa secara kualitatif terhadap setiap lesi di payudara dan kelenjar getah bening lokoregional dan selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus (FNAB).

The aim of this study was to evaluate the possible role of Scintimammography (SMM) with technetium 99m sestamibi in locoregional recurrency of breast cancer. Twenty-nine patients with suspected have a recurrent breast cancer after therapy were included in this study. Planar scintigraphic image were done with supine anterior, prone lateral and lateral views, with patient in the table near the gamma camera. A qualitative analysis evaluating breast and lymph nodes was performed. All suspected breast lesions were confirmed by fine needle aspiration biopsy examination. In 15 of the 29 patients, Scintimammography was true positive with fine needle aspiration biopsy (FNAB) confirmed breast carcinoma, 11 pts were negative with scintimammography and FNAB, 2 pts were positive with scintimmography but negative in FNAB, and 1 pt was negative with scintimammography but positive in FNAB."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library