Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dina Natalia Ekawari
"Latar Belakang: Kecemasan sering terjadi pada anak terutama masa pranestesia dan merupakan suatu kondisi dan komplikasi yang sering terabaikan oleh dokter spesialis anestesiologi dalam pelayanan anestesia. Pada studi ini dibandingkan keefektifan ketamin 4 mg/kgbb dosis intranasal dengan ketamin 5 dosis mg/kgbb per oral dalam efek sedasi dan mengurangi kecemasan.
Metode: 104 anak secara acak tersamar ganda dibagi dalam 2 kelompok sama banyak. Kelompok pertama mendapat ketamin intranasal (N=51) dan kelompok kedua mendapat ketamin per oral (N=50).
Hasil: Anak yang tersedasi baik pada kelompok ketamin intranasal sebesar 45,1% sedangkan pada kelompok ketamin per oral hanya 24% (p<0,05; 2,13E-0,2;0,52). Sebagai anti kecemasan, 68,6% anak pada kelompok ketamin intranasal mudah dipisahkan dari orangtua (efektif) dan hanya 48% anak yang mudah dipisahkan dari orangtua pada kelompok ketamin per oral (p<0,05; 1,03E-0,2;0,48). Hipersalivasi terjadi pada 3,9% anak pada kedua kelompok sedangkan muntah sebesar 4,9% juga pada kedua kelompok.
Kesimpulan: sebagai premedikasi pada pasien anak, ketamin dosis 4 mg/kgbb intranasal memberikan efek sedasi dan anti kecemasan yang lebih baik bila dibandingkan dengan ketamin dosis 5 mg/kgbb peroral.
Kata kunci: premedikasi, ketamin, intranasal, per oral, sedasi, anti kecemasan.

Background: Anxiety often accompanied children, especially during pre anesthesia and this condition and complication often overlooked by the anesthesiologist in practices. The purpose of our study was to investigate, whether premeditation with ketamine 4 mg/kgbb intranasal or ketamine 5 mg/kgbb orally is more effective to gives sedation and ant anxiety.
Method: Hundred and four pediatric patient, in randomized, divided into two equal groups. First group received ketamine intranasal (N=51) and the second group received ketamine orally (N=50).
Result: 45.1% children had good sedation in intranasal group, while in oral group is only 24% (p<0,05; 2,13E-0,2;0,52). As for anti anxiety, 68.6% children in intranasal group is easy to be separated from the parents (effective) and only 48% children in oral (p<0,05; 1,03E-0,2;0,48). Hyper salivation occurs in 3.9% children in both groups, while 4.9% children vomit in both groups.
Conclusion: 4 mg/kgbb intranasal ketamine gives better sedation effect and better anti anxiety effect compare to 5 mg/kgbb oral ketamine as premedication to pediatric patient.
Key words: premedication, ketamine, intranasal, orally, sedation, ant anxiety.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca Sidhapramudita Mangastuti
"Tujuan: Mengetahul efek induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dibandingkan etomidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus.
Metode : Uji Minis tersamar gander Penelilian dilakukan di ruang Instalasi Bedah Pusat dan Bedah Rawat Jalan RSCM, pada pasien yang akan menjalani operasi berencana dengan anestesi umum, ASA I-II, umur 16-65 tahun, tidak memiliki riwayat kelainan neurologis dan neuromuskular dan tidak memiliki riwayat alergi terhadap etomidat, midazolam dan fentanil. 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dan 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,3 mg/kgBB iv. Premedikasi yang digunakan pada kedua kelompok: midazolam 0,02 mgfkgBB iv dan fentanil 1 ugfkgBB iv. Dinilai kekerapan mioklonus serta derajat mioklonus pada kedua kelompok. Analisis siatistik dengan uji t bila mengikuti distribusi normal. Sedangkan perbedaan pada kedua kelompok data kategori diuji dengan uji chi-square. Nilai signifkansi p< 0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
Hasil: Kelompok etomidat 0,2 mg/kgBB iv, miokionus ringan a orang (1,8 %) mioklonus sedang dan berat tidak ada (0 %). Kelompok etomidat 0,3 mg/kgBB iv, mioklonus ringan 2 orang (3,6 %), mioklonus sedang 2 orang (3,6 %) dan mioklonus berat 1 orang (1,8 %).
Kesimpulan : Etomidat 0,2 mgfkgBB iv dibandingkan etornidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus serta perbandingan derajat mioklonus, secara statistik tidak bermakna, namun ada kecenderungan angka keberhasilan pada penggunaan etomidat 0,2 mglkgBB.

Purpose: To know comparison induction elect of etomidate 0,2 mglkg iv and etomidate 0,3 mglkg iv to decrease frequently of myoclonus.
Methods: Double-blind randomized controlled trial. Trial had done at Centre Surgery Unit (IBP) and One Day Care RSCM. Patient were undergoing elective surgery with general anesthesia, ASA I-II 16-65 years old, didn't have history of neurologic and neuromuscular diseases, didn't have hypersensitive with etomidate, midazolam and fentanyl. 56 patients had etomidate 0,2 mg/kg iv and 56 patient had 0,3 mg/kg. Premedication with midazolam 0,2 mglkg iv and fentanyl 1 ug/kg iv. Measured myoclonus and grade of myoclonus. Analysis with t test for normal distribution and chi-square test for categorial. Significancy if p value < 0,05 with confidence interval 95%.
Result: Group of etomidate 0,2 mg/kg iv, one patient had mild myoclonus (1,8%), no patient had moderate and severe myoclonus (0%). Group of etomidate 0,3 mg/kg iv, two patients had mild myoclonus (3:.6%), two patients had moderate myoclonus (3,6%) and one patient had severe myoclonus.
Conclution: Comparison etomidate 0,2 mg/kg iv and etomidate 0,3 mg/kg iv to decrease frequently of myoclonus and the grade of myoclonus, no significantly in statistic analysis, but had disposed successful in etomidate 0,2 mg/kg iv.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Irawaty
"Pendahuluan:
Peningkatan kadar laktat pada saat masuk UPI secara independent berhubungan dengan outcome yang buruk. Kadar laktat sebagai parameter prognostik di UPI RSCM belum pemah diteliti sebelumnya. Pada penelitian pendahulu, skor SAPS II menunjukkan kemampuan yang baik dalam memprediksi mortalitas di UPI. Penelitian ini bertujuan membandingkan kadar laktat arteri inisial dengan SAPS II sebagai prediktor mortalitas di UPI RSCM.
Pasien & Metode:
Suatu studi observasi yang prospektif selama periode bulan April sampai Juni 2006 yang dilakukan di UPI bedah-medik. Data dikumpulkan dari 153 pasien yang memenuhi kriteria penerimaan. Data dasar: kadar laktat arteri inisial pada sate jam pertama masuk UPI dan 24 jam pertama untuk skor SAPS II. Mortalitas UPI pun dicatat. Analisis statistik menggunakan Uji Student t and chi-square. Kurva ROC (Receiver Operating Curve) dibuat dan titik potong optimal ditetapkan serta luas daerah di bawah kurva dihitung, untuk menilai untuk nilai prognostik kadar laktat arteri inisial dan SAPS II. Koefisien Pearson digunakan un tuk menganalisa hubungan antara kadar laktat inisial dan skor SAPS II.
Hasil:
Dari 153 pasien yang memenuhi kriteria, 16 pasien (10,5%) mengalami kematian di UPI. Kelompok survivor memiliki rerata kadar laktat arteri inisial dan skor SAPS II yang lebih rendah dibandingkan kelompok nonsurvivor. Terdapat perbedaan yang berrnakna antara kadar laktat dan mortalitas UPI (p=0,001). Titik potong ditetapkan 3 mmolll. Analisis ROC menunjukkan bahwa kadar laktat arteri inisial (leas daerah di bawah kurva=0,732) tidak lebih baik bila dibandingkan dengan skor SAPS II (luas daerah di bawah kurva=0,915) sebagai prediktor mortalitas di UPI. Terdapat hubungan yang lemah antara kadar laktat arteri inisial dan SAPS II (p=0,002).
Kesimpulan:
Kadar laktat arteri inisial dan skor SAPS H yang tinggi secara independent berhubungan dengan peningkatan mortalitas UPI di UPI RSCM.

Introduction:
Elevated lactate levels on ICU admission have been independently associated with poor outcome. The prognostic values of this value have not been investigated in Cipto Mangunkusumo Hospital's ICU
Patients & Methods:
A prospective observational study over a periode from April to June 2006 was conducted in a medical-surgical ICU. Data were extracted from ICU data base: arterial blood lactate at the first hour on admission and the worst clinical & laboratory findings in the first 24 hours for SAPS II scoring. ICU mortality are also recorded. Statistical analyses were performed using Student t-test and chi-square tests_ Receiver Operating Curve were constructed, the optimal cut off point have been obtained and area under curve was used to assess the prognostic value of initial arterial lactate and SAPS H. The coefficient of Pearson were analyzed to assess the relation between initial lactate levels and SAPS II score.
Main Outcome:
Of the 153 evaluable patients, 16 patients (10.5%) were died in ICU Survivor had a lower mean of arterial lactate levels and SAPS II score than nonsurvivor). The mean of initial arterial lactate in survivor group is low than the nonsurvivor. There are a sign{flcant differences between initial lactate level and ICU mortality (p=0,001). The cut off point was obtained at 3.0 mmolll. ROC analysis demonstrated that initial arterial lactate level (AUC=0.732) is worsen than SAPS II Score (AUC=0,915) as a predictor of ICU mortality. There is a weak correlation between initial lactate and SAPS II score.
Conclusion:
An high initial arterial lactate and SAP II score are independently associated with increased ICU mortality in Cipto Mangunkusumo Central Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Harry Pahala
"Introduksi:
Untuk menilai apakah kadar defisit basa inisial dapat menjadi prediktor mortalitas di UPI
Pasien dan metode:
Studi retrospektif selama periode November 2004 sampai Oktober 2005 yang dilakukan di UPI medis-bedah. Data diarnbil dari rekam medik: defisit basa dan variabel untuk skor SAPS II serta dinilai keluaran pasien (mati atau hidup). Kurva Receiver Operating dibuat, titik potong optimal ditentukan dan dinilai prognostik dari defisit basa inisial dan SAPS II. Koefisien Pearson digunakan untuk menilai hubungan antara defisit basa inisial dan skor SAPS U.
Hasil:
Dui 456 pasien yang dievaluasi, 40 pasien (9,4%) meninggal di UPI. Kelompok survivor memiliki rerata defisit basa inisial yang lebih rendah dibandingkan kelompok nonsurvivor. Terdapat perbedaan yang bermakna antara defisit basa inisial dengan mortalitas UPI (p=0,000). Titik potong ditetapkan pada -4,2 mmolll. Analisa ROC menunjukkan defisit basa inisial (AUC=0,711) lebih buruk dibandingkan skor SAPS II (AUC=0,98) sebagai prediktor mortalitas_ Terdapat hubungan yang lemah antara defisit basa inisial dan skor SAPS II.
Kesimpulan:
Defisit basa inisial dan skor SAPS II yang tinggi secara independen berhubungan dengan peningkatan mortalitas di UPI RSCM.

Introduction :
To examine initial base deficit could be used as a predictor of mortality in ICU
Patients & methods:
A retrospective study over a period from November 2004 until Oktober2005 was conducted in a medical-surgical ICU. Data were extracted from ICU medical records: the base deficits and variables for SAPS II score and also the outcome of those patients (survivor or nonsurvivor). Receiver Operating Curve were constructed, the optimal cut offpoint have been obtained and area under curve was used to asses the prognostic value of initial base deficit and SAPS IL The coefficient of Pearson were analyzed to asses the relation between initial base deficit and SAPS II score.
Main outcome:
Of the 456 evaluable patients, 40 patients (9,4%),were died in ICU Survivor had lower mean of initial base deficit than nonsurvivor. There are a significant differences between initial base deficit and ICU mortality (p= 0, 000). The cut off point was obtained at -4,2 mmol II. ROC analysis demonstrated that initial base deficit (AUC=O, 711) is worsen than SAPS II Score (A UC=0, 98) as predictor mortality. There is a weak correlation between initial base deficit and SAPS II score.
Conclusion:
A high initial base deficit and SAPS II score are independently associated with increased ICU mortality in Cipto Mangunkusumo Central Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Dwi Pantja Wibowo
"Telah dilakukan penyusunan sistim skoring APACHE II dan SAPS II, serta pengujian terhadap kedua sistim skoring tersebut pada pasien-pasien di UPI RSCM pada periode November 2004 sampai dengan Oktober 2005. Penelitian dilakukan secara kohort prospektif terhadap 524 pasien yang masuk UPI RSCM. Pasien berumur kurang dari 18 tahun, dengan infark miokard akut, dan pasien luka bakar ditolak sebagai sampel, sedangkan pasien yang masuk berulang ke UPI, perawatan lebih dari 28 hari di UPI, pasien pulang paksa, pasien titipan (tanpa indikasi), dan pasien dengan data untuk APACHE II atau SAPS II yang tidak Iengkap dikeluarkan dari populasi penelitian. Secara acak populasi dibagi menjadi dua kelompok yaitu populasi penyusunan APACHE II (296 pasien) dan SAPS II (295 pasien), serta populasi untuk uji kesahihan APACHE II (160 pasien) dan SAPS II (159 pasien).
Data yang diperlukan untuk penyusunan sistim skoring APACHE Il dan SAPS II dicatat dari rekam medis pasien pada 24 jam pertama pasien masuk UPI selanjutnya kondisi pasien setelah 28 hari di RS didata. Persamaan regresi logistik dengan niiai koefisien yang baru telah didapatkan setelah melakukan analisis secara univariat, bivariat, dan multivariat. Evaluasi terhadap uji kesahihan APACHE II dan SAPS II dilakukan dengan mengukur kemampuan kedua sistim skoring ini dalam membedakan pasien mana yang akan bertahan hidup dan pasien mana yang akan meninggal, dengan menghitung iuas daerah di bawah ROC, serta perbedaan antara estimasi probabilitas mortalitas berdasarkan kedua sistim skoring tersebut dengan mortalitas aktual yang dilakukan dengan uji goodness offit oleh Hosmer dan Lemeshow.
APACHE II memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membedakan pasien mana yang akan bertahan hidup dan pasien mana yang akan meninggal pada pasien uji kesahihan di UPI RSCM (Was daerah di bawah kurva ROC 0,993). Estimasi probabilitas mortalitas berdasarkan APACHE II juga tidak berbeda bermakna dengan mortalitas aktualnya (uji goodness of fit, p = 0,702) . SAPS II memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membedakan pasien mana yang akan bertahan hidup dan pasien mana yang akan meninggal pada pasien uji kesahihan di UPI RSCM (luas daerah di bawah kurva ROC 0,988). Estimasi probabilitas mortalitas berdasarkan SAPS II juga tidak berbeda bermakna dengan mortalitas aktualnya (uji goodness offit, p = 0,299). APACHE II dan SAPS II cukup sahib dalam memprediksi mortalitas pasie di UPI RSCM.

We had developed customized version of Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) and Simplified Acute Physiology Score II (SAPS II), and validated it in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM)'s Intensive Care Unit, Jakarta during November 2004 until October 2005 period. This study was prospective cohort study involving 524 patients in ICU of RSCM. We exclude patients who were under 18 years old, with miokard infark, burn, and readmission, more than 28 days in ICU, reject to treat, with no indication to enter ICU, and who data was not complete for APACHE II and SAPS II. From all the population, we randomized into two sub-groups, the population to developed APACHE II (296 patients) and SAPS II (295 patients), and the validation population subgroup for APACHE II (160 patients) and SAPS II (159 patients).
Data which was necessary for the calculation of APACHE II and SAPS II were recorded from patient's medical record on the first 24 hour in ICU and we followed up until 28 days for the mortality outcome. A new multiple logistic regression equation with customized estimation coefficient had been developed with univariate, bivariate, and multivariate statistical analysis from the development sub-group of each scoring systems. Validation for bath models was performed by measuring the ability of both models to distinguish patients who die from patients who live based on the estimates probabilities of mortality (the area under receiver operating curve/ROC) and the degree of correspondence between a model's estimated probabilities of mortality and the actual mortality experience of patients (goodness of fit by Hosmer and Lemeshow).
APACHE II had a good ability to distinguish patients who die from patients who live based on its estimated probabilities of mortality (area under the ROC was 0,993). APACHE II estimated probabilities of mortality was not significantly different with the actual mortality (goodness of fit test with p= 0,702). SAPS also had a good ability to distinguish patients who die from patients who live based on its estimated probabilities of mortality (area under the ROC was 0,988). SAPS II estimated probabilities of mortality was not significantly different with the actual mortality (goodness of fit test with p=0,299). APACHE II and SAPS II scoring system has a good validation in ICU of RSCM, Jakarta."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21362
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Rahmawati
"Latar belakang : Penelitian ini membandingkan efek ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg dengan ropivakain hiperbarik 12 mg + morfin 0,15 mg untuk bedah sesar dengan analgesia spinal.
Metode : Dilakukan secara acak tersamar Banda. Hipotesis yang dibuat adalah Ropivakain hiperbarik 12 mg dengan morfin 0,15 mg intratekal, mempunyai mula kerja hambatan sensorik dan motorik yang sama dengan ropivakain hiperbarik 15 mg ditambah morfin 0,15 mg intratekal, namun dengan masa kerja hambatan sensorik dan motorik lebih singkat, dan dapat digunakan untuk anestesia spinal pada bedah sesar. Sebanyak 66 wanita hamil yang akan menjalani beddah sesar, ASA I -- II diberikan ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg (n=33) atau ropivakain hiperbarik 12 mg + morfin 0,15 mg (n-33) dengan teknik blok subaraknoid. Perubahan blok sensorik diukur dengan tes pinprick, dan perubahan hambatan motorik diukur dengan modifikasi skala bomage, VAS diukur 3 kali.
Basil : Tidak ada perbedaan bermakna pada data demografi kedua kelompok. Kelompok ropivakain 15 mg mempunyai penyebaran hambatan sensorik maksimal lebih tinggi (median [min-max]) : Th 4 (th 1 - 6) vs Th 5 (Th 2 -- 6), tidak ada perbedaan bermakna pada mula kerja hambatan sensorik (median [min-max]) : 3,2 mnt (2 - 5 mnt) vs 3,0 (1- 5 mnt), tidak ada perbedaan bermakna pada mula keija hambatan motorik (median [min-max]) : 3,3 mnt (1-10 mnt) vs 3 mnt (1-7 mnt), masa kerja hambatan sensorik lebih lama pada kelompok ropivakain 15 mg (median [min-max]) : 60 mnt (45 -120mnt) vs 52 mnt (30 - 103 mnt), masa kerja hambatan motorik lebih lama pada kelompok ropivakain 15 mg (median[min-max]) : 60 mnt (35-118 mnt) vs 57 mnt (32 -102 mnt), dan basil yang sama pada pengukuran VAS sebanyak 3 kali.
Simpulan : Ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg dan ropivakain hiperbarik 12 mg + mofin 0,15 mg dapat digunakan untuk analgesia spinal untuk operasi bedah sesar.

Background This study was designed to evaluate the effects of intrathecal hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morln 0,15 mg and hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg in women undergoing cesarean section.
Methods : This was a prospective, randomized, doubleblinded study. We hypothesized that hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphin 0,15 mg has the same onset of sensory and motoric block, with longer duration of sensory and motoric block with hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg. Sixtysix parturients, physical status ASA I - II were given either hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg (n=33) or hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg (n=33), for cesarean section with spinal analgesia. Changing of sensory block was assessed by pinprick test and motoric block was assessed by bromage score (modification). Visual analogue score was measured three times.
Results : There were no significant differences in demographic variable between groups. Higher cephalic spread (median [range]) maximum block height to pinprick hyperbaric ropivacaine 15 mg compare hyperbaric ropivacaine 12 mg : Th 4 (th 1 - 6) vs Th 5 (Th 2 - 6), no significant difference of sensory block onset (median [range]) : 3,2 min (2 - 5 minutes) vs 3,0 (1 - 5 min), no significant difference of motoric block onset (median [range]) : 3,3 min (1-10 min) vs 3 min ( 1-7 min), longer sensoric block duration hyperbaric ropivacaine 15 mg compare to hyperbaric ropivacaine 12 mg (median [range]) : 60 min (45 -120min) vs 52 min (30 -- 103 min), longer motoric block duration in hyperbaric ropivacaine 15 mg compare hyperbaric ropivacaine 12 mg (median[range]) : 60 min (35-118 min) vs 57 min (32 - 102 min), and no significant difference in visual analogue score in three times measurements.
Conclusion : Hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg and hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg are sufficient for spinal analgesia in patients undergoing cesarean section."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Deni Hamdani
"Latar Belakang: Ansietas sering terjadi pada anak terutama dalam masa prabedah dan merupakan suatu kondisi dan komplikasi yang sering terabaikan oleh dokter anestesi dalam pelayanan rutin.
Tujuan: Menelaah efek sedasi dan anti ansietas dari premedikasi midazolam oral dan ketamin oral dalam memfasilitasi pemisahan dari orang tua pada pasien pediatrik, Metode: 96 orang anak secara acak dibagi dalam 2 kelompok sama banyak. Kelompok pertama mendapat midazolam 0,25 mg/kg BB peroral dan kelompok kedua mendapat ketamin 5 mg/kg BB peroral.
Hasil: Anak-anak yang mendapatkan premedikasi midazolam oral efektif tersedasi sebesar 81% sedangkan anak-anak yang mendapatkan premedikasi ketamin oral hanya 32% (p<0,05) dengan 1K (0,32 ; 0,66). Sebagai anti ansietas anak-anak yang mendapat premedikasi midazolam oral efektif sebesar 89% sedangkan pada anak-anak yang mendapatkan premedikasi ketamin oral hanya 54% (p<0,05) dengan IK (0,18 ; 0,52).Hipersalivasi terjadi pada 25% anak yang mendapatkan premedikasi ketamin oral (p
Kesimpulan: Midazolam 0,25 mg/kg BB lebih baik dalam memberikan efek sedasi dan sebagai anti ansietas bila dibandingkan dengan ketamin 5 mg/kg BB peroral.

Background: Anxiety often accompanied children during preoperative. This is a condition and complication often overlooked by anesthesiologists in routine practices. Aim: To asses sedation and anti anxiety effect of midazolam and ketamine as premedication given orally in order to facilitate separation from the parents. Method: Ninety six pediatric patients, in a randomized, double blind manner divided in two groups equally, received orally midazolam 0.25mg/kg or ketamine 5 mg/kg.
Result: Children who received midazolam were sedated 81%, while children with ketamine only 32% (CI: 4.32;0.66). As for antianxiety effect, patients who received midazolam were effective 89%, those who received ketamine only 54% (p<0.05) with CI (0.18:0.52). Hypersalivation was found in 25% patients with premedication oral ketamine (p<0.05)
Conclusion: Oral midazolam 0.25mglkg gives better sedation and antianxiety effect compared to oral ketamine 5 mg/kg.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harlyjoy
"Penelitian ini merupakan penelitian prospektif dan dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara pemberian 1000 cc larutan Ringer laktat (RL) dengan 500 cc larutan Starch (HAES) 6% terhadap perubahan tekanan darah maternal dan nilai Apgar neonatus pada anestesia bedah sesar. Pada penelitian ini dipilih dengan cara random 40 wanita hamil aterm dengan status fisik ASA kelas I - II yang akan menjalani bedah sesar berencana dengan anestesia subarakhnoid. Ke 40 pasien ini terbagi dalam dua kelompok. Kelompok I akan menerima 1000 cc larutan RL dan kelompok II akan menerima 500 cc larutan HAES 6% sebagai larutan pengisian awal sebelum tindakan anestesia subarakhnoid. Perubahan tekanan darah maternal dalam penelitian ini adalah terjadinya hipotensi yang didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik dibawah 100 mmHg Hipotensi terjadi 50% pada kelompok yang mendapat 1000 cc larutan RL sementara pada kelompok II yang menerima 500 cc larutan HAES 6% hipotensi terjadi 25% penderita. Namun pada uji statistik ternyata perbedaan tersebut tidak bermakna (p>0,05). Sementara itu nilai apgar menit 1 dan 5 pada ke 40 neonatus tidak menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa penurunan tekanan darah maternal dan nilai Apgar neonatus menit pertama dan ke lima pada penggunanaan 1000 cc larutan RL sebagai larutan pengisian awal sebelum anestesia subarakhnoid pada bedah sesar tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p>0,05) di bandingkan dengan 500 cc larutan HAES 6%. Hal ini berarti penggunaan 1000 cc larutan RL sebagai larutan pengisian awal sebelum tindakan anestesia subarakhnoid masih dapat digunakan untuk mencegah penurunan tekanan darah maternal.

This study was a prospective study and was conducted to determine whether there was a difference between administering 1000 cc of Ringer's lactate (RL) solution and 500 cc of 6% Starch solution (HAES) on changes in maternal blood pressure and neonatal Apgar scores during cesarean section anesthesia. In this study, 40 term pregnant women with ASA class I - II physical status were randomly selected who would undergo planned caesarean section with subarachnoid anesthesia. These 40 patients were divided into two groups. Group I will receive 1000 cc of RL solution and group II will receive 500 cc of 6% HAES solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia. The change in maternal blood pressure in this study was hypotension which was defined as a decrease in systolic blood pressure below 100 mmHg. Hypotension occurred in 50% of the group that received 1000 cc of RL solution, while in group II which received 500 cc of 6% HAES solution, hypotension occurred in 25% of patients. However, in statistical tests it turned out that the difference was not significant (p>0.05). Meanwhile, Apgar scores at 1 and 5 minutes in the 40 neonates did not show a statistically significant difference (p>0.05). It can be concluded that the reduction in maternal blood pressure and the first and fifth minute Apgar scores of neonates when using 1000 cc of RL solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia for caesarean section does not show a statistically significant difference (p>0.05) compared with 500 cc of 6% HAES solution. This means that the use of 1000 cc of RL solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia can still be used to prevent a decrease in maternal blood pressure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library