Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Albertus Raditya Danendra
"Latar belakang: Hipoksia hipobarik seringkali terjadi pada orang yang terbiasa berada di tempat berketinggian rendah dan tiba-tiba berpindah ke tempat yang tinggi, seperti penerbang pesawat militer dan pendaki gunung. Kondisi hipoksia menginduksi stress oksidatif. Salah satu molekul yang dapat terdampak oleh stress oksidatif adalah protein, menyebabkan peningkatan kadar karbonil melalui proses karbonilasi protein. Otot rangka adalah jaringan yang sangat rentan mengalami stress oksidatif pada kondisi hipoksia, terutama yang melibatkan karbonilasi protein, mengingat kandungan protein dan kebutuhan oksigen yang tinggi pada jaringan tersebut. Peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh induksi hipoksia hipobarik intermiten terhadap kadar karbonil pada hewan coba tikus.
Metode: Sebuah penelitian eksperimental in vivo dilakukan dengan mengkondisikan empat kelompok tikus pada keadaan hipoksia hipobarik di dalam hypobaric chamber sebanyak satu kali (I), dua kali (II), tiga kali (III), dan empat kali (IV). Satu kelompok berperan sebagai kontrol. Musculus gastrocnemius semua tikus diambil untuk diukur kadar karbonilnya. Karbonil dimodifikasi oleh 2,4-dinitrofenilhidrazin (DNPH) sebelum diukur kadarnya dengan spektrofotometri. One-Way ANOVA digunakan untuk analisis data.
Hasil: Rata-rata kadar karbonil pada kelompok kontrol, I, II, III, dan IV secara berturut-turut adalah 2.801±0.1198, 3.909±0.3172, 5.577±0.3132, 3.823±0.3038, dan 3.731±0.2703 nmol/ml. Rata-rata kadar karbonil masing-masing kelompok I, II, III, dan IV berbeda signifikan (p < 0,05) dengan kelompok kontrol (kelompok yang tidak memperoleh paparan hipoksia hipobarik intermiten).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kadar karbonil yang signifikan antara musculus gastrocnemius tikus Sprague-Dawley yang diberi perlakuan hipoksia hipobarik intermiten dan yang tidak diberi perlakuan hipoksia hipobarik intermiten.

Introduction: Hypobaric hypoxia often occurs in people who are used to low altitudes and suddenly move to high places, such as military airplane pilots and mountain climbers. Hypoxic conditions induce oxidative stress. Oxidative stress can affect proteins, causing increased carbonyl levels through protein carbonylation. Skeletal muscle is susceptible to oxidative stress under hypoxic conditions, especially those involving protein carbonylation, given the high protein content and oxygen demand. We are interested in examining the effect of intermittent hypobaric hypoxia induction on carbonyl levels in rats.
Method: An in vivo experimental study was carried out by conditioning four groups of rats in a hypobaric hypoxic state in a hypobaric chamber once (I), twice (II), three times (III), and four times (IV). One group acted as control. Carbonyl content of gastrocnemius muscle of all rats was measured. The carbonyl is modified by 2,4-dinitrophenylhydrazine (DNPH) before its concentration is measured by spectrophotometry. One-Way ANOVA was used for data analysis.
Result: The average carbonyl content in the control group, I, II, III, and IV were 2.801±0.1198, 3.909±0.3172, 5.577±0.3132, 3.823±0.3038, and 3.731±0.2703 nmol/ml, respectively. The average carbonyl levels of each group I, II, III, and IV were significantly different (p < 0.05) with the control group (the group that did not receive intermittent hypobaric hypoxia exposure).
Conclusion: There was a significant difference in carbonyl levels between the gastrocnemius muscle of Sprague-Dawley rats treated with intermittent hypobaric hypoxia and those not treated with intermittent hypobaric hypoxia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Zakiah Syahsah
"Latar belakang: Dikarenakan fungsinya, hati merupakan organ yang rentan mengalami hepatotoksisitas. Oleh karena itu, senyawa yang diduga memiliki efek hepatoprotektif banyak diteliti. Salah satu bahan tersebut berupa minyak bekatul, yakni ekstrak minyak dari lapisan luar beras. Kandungan bahan aktifnya banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan termasuk pada penyakit hati sehingga diduga minyak bekatul memiliki efek hepatoprotektif yang melindungi dan menyembuhkan hati dari hepatotoksisitas.
Tujuan: Membuktikan bahwa minyak bekatul memiliki sifat hepatoprotektif terhadap hepatotoksisitas.
Metode: Uji eksperimental pada 6 kelompok tikus Sprague dawley. Hepatotoksisitas diinduksi oleh CCl4 dengan dosis 0,55 g/KgBB sebanyak 1 kali secara oral. Minyak bekatul diberikan dalam 2 dosis untuk kelompok tikus yang berbeda, yakni 500 μL dan 1,5 mL. Pemberian minyak bekatul dilakukan setiap hari selama 8 minggu sebelum (preventif) atau setelah (kuratif) induksi hepatotoksisitas. Jarak antara induksi hepatotoksisitas dan pemberian minyak bekatul adalah 48 jam. Marker hepatotoksisitas yang diukur berupa serum ALT.
Hasil: Kelompok yang diberikan minyak bekatul, baik sebagai agen preventif dan agen kuratif serta baik dalam dosis 500 μL dan 1,5 mL memiliki level serum ALT yang lebih rendah dibandingkan kelompok yang hanya diberikan CCl4 (p < 0,05).
Simpulan: Minyak bekatul memiliki sifat hepatoprotektif baik sebagai agen preventif maupun kuratif terhadap hepatotoksisitas diinduksi CCl4.

Background: Liver is prone to hepatotoxicity because of its function. For this reason, compounds that may have hepatoprotective attribute are searched extensively. One of those compounds is rice bran oil, an extract from the rice’s outer layer. Rice bran oil has many active components that are found to be beneficial in medical treatment, including liver disease. Therefore oil rice brain is thought to have hepatoprotective properties that may protect and cure liver from hepatotoxivity.
Aim: Evaluate rice bran oil’s hepatoprotective properties against hepatotoxicity.
Methods: This experimental study used six different groups of Sprague dawley. Hepatotoxicity in mouse is induced using 0,5g/KgBW of single-dose CCl4 orally. Rice bran oil was given in 2 separate doses, 500 μL dan 1,5 mL. Rice bran oil was administered for 8 weeks before (in preventive group) and after (in curative group) hepatotoxicity induction with 48 hours interval separating those two interventions. Serum ALT was investigated to evaluate hepatotoxicity.
Results: Group administered with rice bran oil as a preventive agent and curative agent with either 500 μL or 1,5 mL dose have low levels of serum ALT compared to CCl4 control group (p < 0,05).
Conclusion: Rice bran oil has hepatoprotective properties, both as a preventive agent and a curative agent against CCl4 induced hepatotoxicity.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Qurrota A`yun
"Latar Belakang: Defisiensi seng menyebabkan sekitar setengah juta kematian balita setiap tahun di seluruh dunia. Angka mortalitas penyakit yang diakibatkan oleh defisiensi seng juga sangat tinggi seperti diare yang menyebabkan 176.000 kematian, pneumonia 406.000, dan malaria 207.000. Kadar seng dalam urin merupakan salah satu nilai yang dapat dijadikan acuan dalam mendeteksi dini defisiensi seng. Kadar seng yang rendah dalam tubuh dapat menurunkan kadar seng dalam urin hingga 96%. Data mengenai nilai rerata kadar seng dalam urin balita normal belum diketahui.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai rerata kadar seng dalam urin balita normal.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional Urin pasien diambil saat diadakan pengabdian masyarakat dengan subjek sebanyak 30 orang. Pengambilan data konsentrasi seng urin dilakukan di dalam laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI pada bulan November 2019. Kadar seng diukur dengan penambahan reagen pyrildilazo naphtol (PAN) dan larutan buffer basa amonium klorida pH 10. Penambahan PAN kepada larutan yang mengandung pada kondisi basa akan membentuk kompleks warna. Larutan kemudian ditambahkan Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) untuk melarutkan kompleks warna yang telah terbentuk. Banyaknya kompleks warna yang terbentuk dihitung dengan metode kuantitatif menggunakan spektrofotometer. Data diolah dalam SPSS untuk ditentukan nilai reratanya. Kriteria inklusi adalah balita berusia 2-5 tahun. Kriteria eksklusi adalah balita yang memiliki penyakit khususnya demam, diare, dan muntah.
Hasil: Data kadar seng dalam urin balita normal menunjukkan nilai yang tidak terdistribusi secara normal. Nilai median dari data tersebut adalah sebesar 1, 6969 mmol/L, nilai maksimal 11, 2424 mmol/L, dan nilai minimal 0,1818 mmol/L.
Kesimpulan: Rerata kadar seng urin pada balita normal adalah 2,6767 mmol/L

Background: Zinc deficiency causes approximately half a million infants deaths every year worldwide. Disease mortality caused by zinc deficiency in children is high, including diarrhea accounts for 176,000 deaths, pneumonia 406,000, and malaria 207,000. Zinc concentration in urine is one of important values to early detect zinc deficiency. Low zinc concentration in the body could decrease urinary zinc concentration until 96%. Data abaout mean of zinc concentration value in normal infants urine is not established.
Objective: This study aims to know the value of zinc concentration value in normal infants urine.
Methods: This study is a descriptive study with cross-sectional design. Urine of the subjects were taken by themselves and then collected in community development program with total 30 subjects. Data collection of urinary zinc concentration was conducted in laboratory of Departement of Biochemistry and Molecular Biology FKUI on November 2019. Zinc concentration is measured by adding reagent 1-(2-pyrildilazo)1-maphtol (PAN) and base buffer solution ammonium chloride pH 10. PAN addition to zinc-containing solution under base condition will form color complex. The solution then added with Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) to dissolve the formed color complex. Data analysis was done using SPSS to determine the mean value. The inclusion criteria was children aged 2-5 years. The exclusion criteria was children with disease, particularly fever, diarrhea and vomiting.
Results: Urinary zinc concentration data are not distributed normally. The median of the data is 1.6969 mmol/L, the maximum value is 11.2424 mmol/L, and the minimum value is 0.1818 mmol/L.
Conclusion: Mean value of urinary zinc concentration in normal under-five children is 2.6767 mmol/L
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Rafael Satyadharma
"Latar belakang: Tekanan udara rendah pada dataran tinggi berdampak buruk bagi tubuh pendaki gunung dan pilot. Salah satu dampaknya adalah terjadi hipoksia jaringan yang dapat mencetuskan stres oksidatif. Kondisi tersebut dapat merusak struktur penting sel seperti protein, lipid, dan asam nukleat. Di otot, stres oksidatif dapat menyebabkan atrofi dan gangguan kontraktilitas. Di sisi lain, pajanan hipoksia hipobarik berulang diketahui mampu memicu proses adaptasi di berbagai organ. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri pengaruh paparan hipoksia hipobarik intermiten terhadap kadar malondialdehid, yang merupakan marker stres oksidatif, di otot gastrocnemius tikus Sprague-Dawley. Metode: Sebanyak 25 tikus Sprague-Dawley dibagi ke dalam kelompok kontrol dan empat kelompok uji. Kelompok uji mendapat perlakuan berupa dimasukkan ke dalam hypobaric chamber yang mensimulasikan ketinggian 25.000 kaki selama 5 menit. Kelompok uji 1 mendapat 1x perlakuan, kelompok uji 2 mendapat 2x perlakuan, kelompok uji 3 mendapat 3x perlakuan, dan kelompok uji 4 mendapat 4x perlakuan. Pada kelompok uji 2,3, dan 4, terdapat jeda 1 minggu antarperlakuan. Setelah mendapat perlakuan, jaringan otot gastrocnemius diambil dari tikus. Kadar malondialdehid pada otot gastrocnemius selanjutnya diukur menggunakan metode Wills. Hasil: Pada uji one-way ANOVA, rata-rata kadar malondialdehid meningkat secara bermakna (p = 0.008) pada kelompok yang mendapat paparan hipoksia hipobarik satu kali dibandingkan kelompok kontrol. Rata-rata kadar malondialdehid pada kelompok yang mendapat tiga paparan dan empat paparan mengalami penurunan yang bermakna secara statistik (p < 0,05) dibandingkan kelompok yang terpapar satu kali dan dua kali. Kesimpulan: Paparan hipoksia hipobarik sebanyak satu kali meningkatkan kadar malondialdehid pada otot gastrocnemius tikus yang menandakan terjadinya kondisi stres oksidatif. Paparan hipoksia hipobarik yang dilakukan berulang secara intermiten (tiga kali dan empat kali) mampu menciptakan adaptasi jaringan otot gastrocnemius terhadap stres oksidatif sehingga kadar malondialdehid lebih rendah dibandingkan kelompok yang lebih sedikit mendapat perlakuan hipoksia hipobarik

Introduction: Low barometric pressure in high altitude has detrimental effects on hikers and pilots. One of which is inducing tissue hypoxia that can instigate oxidative stress. Oxidative stress can damage important cellular structures such as protein, lipid, and nucleic acid. Oxidative stress can cause muscle atrophy and contractile dysfunction in skeletal muscle. On the other hand, repeated hypobaric hypoxia exposure is known for its effect to induce adaptation in various organs. This study aims to assess intermittent hypobaric hypoxia effects on malondialdehyde level, a marker of oxidative stress, in gastrocnemius muscle of Sprague-Dawley rat. Method: Twenty-five Sprague-Dawley rats were divided to a control group and four experimental group. The experimental group were then exposed to hypobaric environment by being placed on hypobaric chamber that simulated altitude of 25,000 ft for 5 minutes. Experimental group 1 got one exposure, experimental group 2 got two exposures, experimental group 3 got three exposures, and experimental group 4 got four exposures. There was a week interval between each exposure for experimental group that got more than one exposure (experimental group 2, 3, and 4). After getting the treatment, gastrocnemius muscle was taken from each rat as sample. Malondialdehyde level in the tissue was then measured by Wills method. Result: Mean malondialdehyde level in the group of rats subject to one hypobaric hypoxia exposure was significantly higher than that of control group (p = 0.008). Mean malondialdehyde level in the group of rats subject to three and four hypobaric hypoxia exposures were significantly (p < 0,05) lower than that of groups of rats subject to one and two exposures. Conclusion: One-time hypobaric hypoxia exposure increased malondialdehyde level in rat gastrocnemius muscle, implying stress oxidative had occurred. Three and four times of intermittent hypobaric hypoxia exposures induced adaptive response against oxidative stress in gastrocnemius muscle tissue, as seen by lower level of malondialdehyde in those groups compared to the groups exposed to fewer intermittent hypobaric hypoxia."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Garry Soloan
"Latar Belakang: Hipoksia hipobarik intermiten (IHH) merupakan kondisi penurunan tekanan barometric yang juga menurunkan tekanan parsial oksigen, sehingga mengurangi kadar oksigen yang dapat digunakan oleh sel-sel tubuh. Dalam kondisi ini, sel sel tubuh akan mengaktifkan hypoxia-inducible factors (HIFs), sebuah keluarga faktor transkripsi yang diketahui meregulasi respon sel terhadap kondisi hipoksia. Salah satu isoform adalah hypoxia-inducible factor-2α (HIF-2α) yang diketahui teraktivasi dalam kondisi hipoksia, dan merupakan basis molekuler untuk mencetuskan respon fisiologis terhadap hipoksia dan memberikan kemampuan bagi sel-sel untuk beradaptasi. Namun, aktivasi HIF-2α juga diimplikasikan dalam patogenesis kondisi patologik seperti kanker dan perlemakan hati. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola ekspresi HIF-2α pada jaringan hati saat dipaparkan pada kondisi hipoksia hipobarik intermiten. Metode: 25 tikus Wistar dikelompokkan menjadi satu grup kontrol dan empat grup perlakuan yang dipaparkan terhadap hipoksia hipobarik secara episodik. RNA yang diproduksi di jaringan hati kemudian diekstraksi dan dianalisis menggunakan quantitative real time reverse transcriptase polymerase chain reaction (qRT-PCR). Ekspresi relatif HIF-2α dihitung menggunakan Livak method. Hasil: Keempat grup perlakuan menunjukkan peningkatan rata-rata ekspresi relatif HIF- 2α ketika dibandingkan dengan grup kontrol. Terdapat peningkatan ekspresi relatif HIF- 2α pada kelompok tikus yang dipaparkan terhadap 4-episode hipoksia hipobarik. Kesimpulan: Hipoksia hipobarik intermiten adalah stimulus poten dalam ekspresi HIF- 2α. Hasil studi ini menunjukkan bahwa ada peningkatan ekspresi HIF-2α pada semua jaringan hati tikus yang dipaparkan hipoksia hipobarik intermiten. Terdapat peningkatan ekspresi HIF-2α yang signifikan pada jaringan hati tikus yang dipaparkan kepada 4 episode hipoksia hipobarik. Peningkatan ekspresi HIF-2α tersebut memberikan kemampuan bagi sel hepatosit untuk melakukan adaptasi terhadap kondisi hipoksia.

Introduction: Intermittent hypobaric hypoxia (IHH) is the condition where there is low barometric pressure leading to decrease in partial pressure of oxygen to support cellular processes, that alternates with conditions of normoxia. This condition forces the body to activate the hypoxia-inducible factors (HIFs) system, a family of transcription factors which regulates cellular responses towards hypoxic insults. One of the isoforms of HIFs is hypoxia-inducible factor-2α (HIF-2α) is known to be activated under hypoxic conditions and acts as the molecular basis for physiologic response toward hypoxia but is also implicated in certain pathologic process such as tumorigenesis and hepatic steatosis. Therefore, this research aims to investigate the pattern of HIF-2α expression after intermittent hypobaric hypoxia exposures. Methods: 25 Wistar rats are divided into 5 different groups, with one control group and 4 other groups exposed to different frequencies of hypobaric hypoxia episodes. Isolated RNA was then extracted from the liver tissue of rats and analyzed via quantitative real time reverse transcriptase polymerase chain reaction (qRT-PCR). Relative mRNA expression is calculated via the Livak method. Results: In comparison to the control group, all treatment groups showed an increase in mean relative expression of HIF-2α mRNA. there is a statistically significant increase in relative expression of HIF-2α mRNA in rat liver exposed to four episodes of hypobaric hypoxia. Conclusion: Intermittent hypobaric hypoxia is a potent stimulus that triggers the expression of HIF-2α. Results of this research showed that across all treatment groups exposed to hypobaric hypoxia episodes, there is an increase in the relative expression of HIF-2α. There is a statistically significant increase in HIF-2α expression among rats exposed to 4 episodes of hypobaric hypoxia. This increase in HIF-2α expression allow hepatocytes to adapt to the hypoxic insults."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Visabella Rizky Triatmono
"Pendahuluan: Laktat Dehidrogenase (LDH) merupakan sebuah enzim yang terdapat pada
glikolisis anaerob yang berfungsi untuk mengubah piruvat menjadi laktat. Dalam hal
kehamilan, terdapat kondisi anaerob pada jaringan plasenta dimana glukosa dirubah
menjadi laktat. Namun, data mengenai aktivitas spesifik LDH pada jaringan plasenta
kehamilan normal serta terkait dengan karakteristik maternal masih kurang memadai.
Untuk menambah data, penelitian ini bertujuan untuk mengukur aktivitas spesifik LDH
pada plasenta normal.
Metode: Jaringan plasenta diperoleh dari wanita dengan kehamilan normal dan cukup
bulan. Pengukuran aktivitas spesifik LDH dilakukan dengan menggunakan
spectrophotometer. Formula untuk pengukuran beserta reagen diperoleh dari
Elabscienceâ Lactate Dehydrogenase (LDH) assay kit. Analisis statistik dilakukan
dengan menggunakan IBM SPSS versi 20.
Hasil: Hasil menunjukkan bahwa nilai median (min – max) dari aktivitas spesifik LDH
adalah 0,31 (0,06 – 1,19) U/mgprot. Berdasarkan karakteristik subjek, wanita < 35 tahun
menunjukkan aktivitas spesifik LDH yang lebih tinggi dibandingkan wanita ≥ 35 tahun,
dengan nilai 0,38 (0,06 – 1,19) U/mgprot dan 0,17 (0,1 – 0,4) U/mgprot, secara berurutan.
Berdasarkan usia gestasional, aktivitas spesifik LDH tertinggi terdapat pada early term
pregnancy pada 0,46 (0,17 – 1,19) U/mgprot, dengan nilai terendah pada late term
pregnancy pada 0,25 (0,16 – 0,46) U/mgprot. Riwayat graviditas menunjukan bahwa
wanita primigravida menunjukan aktivitas spesifik LDH yang lebih tinggi dibanding
dengan wanita multigravida, dengan nilai 0,35 (0,06 – 1,19) U/mgprot dan 0,30 (0,09 -
0,99) U/mgprot, secara berurutan. Bayi dengan berat <3 kg menunjukan nilai yang lebih
tinggi yaitu pada 0,51 (0,06 – 0,99) U/mgprot. Sebaliknya, bayi dengan berat > 3,5 kg
menunjukan nilai yang lebih rendah yaitu 0,27 (0,06 – 0,51) U/mgprot.
Kesimpulan: Secara singkat, penelitian ini menemukan bahwa nilai median (min – max)
dari aktivitas spesifik LDH adalah 0,31 (0,06 – 1,19) U/mgprot. Perolehan nilai aktivitas
spesifik LDH yang lebih tinggi ditemukan pada wanita < 35 tahun, early term pregnancy,
wanita primigravida, dan bayi dengan berat <3 kg saat lahir.

Introduction: Lactate Dehydrogenase (LDH) is an enzyme that is usually present under
anaerobic glycolysis, which functions to convert pyruvate into lactate. In correlation to
pregnancy, there is an anaerobic state on placental tissue in which glucose is metabolized
into lactate. However, data regarding specific activity of LDH in placental tissue from
normal pregnancy as well as according to maternal characteristic is lacking. To provide
more data, this research aims to study the specific activity of LDH on normal placenta.
Methods: Placenta tissue were taken from women who undergone normal term
pregnancy. Measurement of LDH specific activity was done using spectrophotometer.
The formula and reagents were obtained from Elabscienceâ Lactate Dehydrogenase
(LDH) assay kit. Statistical analysis was done through IBM SPSS version 20.
Results: Result shows that the median (min – max) value of LDH specific activity is 0,31
(0,06 – 1,19) U/mgprot. Based on subject characteristic, women who aged < 35 years old
have higher specific activity of LDH compared to ≥ 35 years old mother, the values are
0,38 (0,06 – 1,19) U/mgprot and 0,17 (0,1 – 0,4) U/mgprot, respectively. According to
gestational age, highest LDH specific activity is shown on early term pregnancy at 0,46
(0,17 – 1,19) U/mgprot, with the lowest on late term pregnancy at 0,25 (0,16 – 0,46)
U/mgprot. History of gravidity result shows, primigravida women shows higher LDH
specific activity compared to multigravida, the values are 0,35 (0,06 – 1,19) U/mgprot
and 0,30 (0,09 – 0,99) U/mgprot, respectively. Newborn weigh <3 kg has highest value
on 0,51 (0,06 – 0,99) U/mgprot. In contrary, those born with > 3,5 kg shows lowest value
on 0,27 (0,06 – 0,51) U/mgprot.
Conclusion: In summary, our study found that the median (min – max) value of LDH
specific activity is 0,31 (0,06 – 1,19) U/mgprot. With higher value of LDH specific
activity observed on < 35 years old mother, early term pregnancy, primigravida women,
and <3 kg newborn.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Raykhan Rasyada Ralas
"Latar Belakang: Preeklamsia (PE) merupakan kelainan multisistem yang berkontribusi terhadap mortalitas dan morbiditas ibu. Diusulkan bahwa preeklamsia awitan dini/earlyonset preeclampsia (EOPE) menyebabkan lebih banyak komplikasi dan hasil yang lebih buruk dibandingkan preeklamsia awitan terlambat/late-onset preeclampsia (LOPE). Diagnosis dini dan tepat dari kelainan ini dapat memberikan hasil yang lebih baik bagi ibu dan janin. Salah satu patofisiologi EOPE adalah perubahan bentuk arteri spiral yang tidak memadai akibat invasi tropoblas yang abnormal, yang kemudian mengakibatkan hipoksia pada plasenta. Dalam kondisi hipoksia, metabolisme glukosa melalui glikolisis anaerobik sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas enzim laktat dehydrogenase (LDH). Penelitian ini bertujuan untuk mengamati aktivitas LDH spesifik pada jaringan plasenta wanita dengan preeklamsia awitan dini.
Metode: Studi deskriptif cross-sectional ini menggunakan 26 sampel jaringan plasenta dengan preeklampsia awitan dini. Aktivitas spesifik LDH diukur dengan mengamati nilai OD masing-masing sampel melalui spektrofotometer pada 440 nm serta konsentrasi protein yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Karakteristik subjek dari setiap sampel juga diamati, termasuk usia ibu, kehamilan, tekanan darah sistolik (SBP), tekanan darah diastolik (DBP), proteinuria dan berat badan lahir. Analisis data dilakukan melalui aplikasi IBM SPSS versi 27.0.
Hasil: Median aktivitas spesifik LDH dari 26 pasien preeklamsia dini pada penelitian ini adalah 2,08 Unit/mg protein. Dari jumlah tersebut, nilai minimum aktivitas spesifik LDH adalah 0,02 Unit/mg protein dan nilai maksimum adalah 5,68 Unit / mg protein.
Kesimpulan: Studi ini menemukan bahwa setengah dari aktivitas spesifik LDH sampel adalah 2,08 Unit / mg protein atau lebih. Aktivitas spesifik LDH ditemukan lebih tinggi pada pasien dengan usia ≥ 35 tahun, multigravida, tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg, tekanan darah diastolic < 100 mmHg, proteinuria < +3, dan berat badan lahir ≥ 1500 g.

Introduction: Preeclampsia (PE) is a multisystem disorder that contributes to maternal mortality and morbidity. Early-onset preeclampsia (EOPE) is suggested to lead to more complications and worse outcomes compared to late-onset preeclampsia (LOPE). Early and prompt diagnosis of this disorder can lead to better outcomes for both the mother and fetus. One of the pathophysiology of EOPE is the inadequate spiral artery remodelling due to incomplete trophoblast invasion, which results in placental hypoxia. In hypoxic conditions, glucose is metabolised through anaerobic glycolysis, leading to an increase in lactate dehydrogenase (LDH) enzyme activity. This study aims to observe the specific LDH activity on the placental tissue of women with early-onset preeclampsia.
Method: 26 samples were used in this descriptive cross-sectional study. The specific LDH activity was measured by observing the OD value of each sample through a spectrophotometer at 440 nm as well as its protein concentration obtained from a previous study. Subject characteristics of each sample were observed as well, including maternal age, gravidity, systolic blood pressure (SBP), diastolic blood pressure (DBP), proteinuria, and birth weight. Finally, data analysis was done through IBM SPSS software version 27.0.
Results: Median specific LDH activity of 26 early preeclamptic patients in this study was 2.08 Unit/mg protein. Of these, the minimum value of specific LDH activity was 0.02 Unit/mg protein and the maximum value was 5.68 Unit/mg protein.
Conclusion: This study found that half of the sample’s specific LDH activity was 2.08 Unit/mg protein or more. Specific LDH activity are found higher in patients with maternal age ≥ 35 years old, multigravid, SBP ≥ 160 mmHg, DBP < 100 mmHg, proteinuria < +3, as well as birth weight ≥ 1500 g.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irvan Muhammad Alfian
"Salah satu organ yang paling penting selama kehamilan adalah plasenta yang berfungsi sebagai paru-paru, hati, dan ginjal bagi janin. Seperti yang diketahui, plasenta mampu menghasilkan glukosa dengan menggunakan salah satu enzim glukoneogenensis yaitu enzim Fosphoenolpyruvate Karboksikinase (PEPCK). Kehadiran enzim PEPCK dikaitkan dengan hipoksia yang merupakan indikasi suatu kondisi patologis dan komplikasi pada kehamilan. Dikarenakan masih kurangnya penelitian yang membahas PEPCK dan plasenta, penelitian ini bertujuan untuk mengukur konsentrasi PEPCK pada plasenta normal. Ada 27 sampel plasenta yang dianalisis pada penelitian ini dengan menggunakan sandwich ELISA, untuk mengukur konsentrasi PEPCK. Prinsip sandwich ELISA adalah dengan menggunakan dua antibodi untuk mengidentifikasi antigen PEPCK. Hasil akhir dari percobaan sandwich ELISA diukur menggunakan microplate reader pada 450 nm untuk menentukan konsentrasi protein dan dibagi dengan total konsentrasi protein untuk mendapatkan hasil konsentrasi PEPCK dalam ng/mg protein. Nilai median konsentrasi PEPCK dari 27 sampel plasenta adalah 1.552 ng/mg protein (p<0.05) dengan nilai minimal 0.741 dan nilai maksimum 8.832 ng/mg protein. Hasil dari masing-masing sampel juga diklasifikasikan ke dalam empat kelompok berdasarkan karakteristik mereka yang merupakan berat lahir bayi, graviditas ibu, usia kehamilan, dan usia ibu. Konsentrasi PEPCK yang diukur memiliki median sebesar 1.552 ng/mg protein. Konsentrasi PEPCK ditemukan lebih tinggi pada kelompok usia ibu ≥35 tahun, berat lahir bayi <3000 gram, post-term kelahiran, dan primigravida. Nilai PEPCK dari plasenta bisa digunakan sebagai rujukan untuk kondisi patologis pada kehamilan.

he placenta, one of the most vital organs in pregnancy, is found to be able to produce glucose by using Phosphoenolpyruvate Carboxykinase(PEPCK) enzyme, one of the gluconeogenesis enzymes. The presence of PEPCK is associated with hypoxia, an indication of pregnancy complications. Due to the limited data discussing PEPCK and placenta, this research aims to measure the concentration of PEPCK in the normal placenta. This research uses sandwich ELISA to measure PEPCK concentration of 27 samples. Its principle is by using two antibodies to identify PEPCK antigen. The end result of the experiment is measured using microplate reader at 450 nm to determine the protein concentration and divided by the total protein concentration to get a result in ng/mg protein. The median of measured PEPCK concentration is 1.552 (p<0.05) with a minimum of 0.741 and a maximum of 8.832 ng/mg protein. The results are also classified into four groups based on their characteristics which are the birth weight of the baby, gravidity of the mother, term of pregnancy (gestational age), and maternal age. PEPCK concentration has a median of 1.552 ng/mg protein. PEPCK concentration is found to be higher in ≥35 years old maternal age, <3000 gram birth weight, post term delivery, and primigravida samples. This result can be used as a comparable data for pathological conditions in pregnancies."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
LP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khoiriyyah Amalia Az-Zahra
"Latar belakang: Kondisi hipoksia hipobarik intermiten sering digunakan pada pelatihan, sehingga menyebabkan tubuh kekurangan oksigen pada saat tertentu atau disebut sebagai kondisi hipoksia. Hal ini dapat memengaruhi jaringan otot karena otot merupakan salah satu organ yang bergantung pada ketersediaan oksigen untuk menghasilkan ATP. Tubuh akan melakukan berbagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan keadaan homeostasis melalui pengaturan HIF-1α. HIF-1α akan meregulasi banyak ekspresi gen, salah satunya adalah enzim glikolitik yang mengatur metabolisme jaringan. Laktat dehidrogenase merupakan salah satu enzim glikolitik yang diatur oleh HIF-1α dan banyak ditemukan di otot sehingga diduga aktivitas enzim laktat dehidrogenase meningkat dalam kondisi hipoksia.
Tujuan: Menganalisis aktivitas enzim laktat dehidrogenase pada otot tikus yang diinduksi hipoksia hipobarik intermiten
Metode: Menggunakan uji eksperimental pada 5 kelompok tikus Wistar, yaitu normoksia, hipoksia 1 kali, hipoksia 2 kali, hipoksia 3 kali, dan hipoksia 4 kali. Hipoksia dilakukan selama 5 menit dalam hypobaric chamber dengan interval 7 hari. Biomarker hipoksia yang diukur adalah aktivitas enzim laktat dehidrogenase menggunakan LDH activity assay kit Elabscience.
Hasil: Aktivitas spesifik enzim LDH dalam keadaan normoksia (1167,625±120,769 U/gprot), hipoksia 1 kali (1364,17±176,538 U/gprot), hipoksia 2 kali (911,218±130,305 U/gprot), hipoksia 3 kali (1069,153±121,685 U/gprot), dan hipoksia 4 kali (1085,814±52,314 U/gprot). Hasil ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antar kelompok (p>0,05).
Simpulan: Tidak ditemukan adanya perbedaan aktivitas enzim laktat dehidrogenase antara kondisi normoksia dan hipoksia hipobarik intermiten

Background: Condition of intermittent hypobaric hypoxia is often used in training, this condition can cause lack of oxygen at certain times or is known as a hypoxic condition. This can affect the muscle, because muscle is one of the organs that needs oxygen to produce ATP. The body will perform various compensatory mechanisms to maintain the homeostatic state through HIF-1α regulation. HIF-1α will regulate many gene expression, one of which is a glycolytic enzyme that regulates tissue metabolism. Lactate dehydrogenase is one of the glycolytic enzymes that is regulated by HIF-1α and is found in many muscles so that it is suspected that the lactate dehydrogenase enzyme activity increases in hypoxic conditions.
Aim: to analyzed the activity of the enzyme lactate dehydrogenase in rat muscle induced by intermittent hypobaric hypoxia
Methods: Using experimental tests on 5 groups of Wistar rats, divided to normoxic group, one-time hypoxia group, two-times hypoxia group, three-times hypoxia group, and four-times hypoxia group. Hypoxia was performed for 5 minutes in a hypobaric chamber with 7 days interval. Hypoxic biomarker measured was the activity of the lactate dehydrogenase enzyme using the LDH activity assay kit Elabscience.
Results: Specific activity of the LDH enzyme in normoxic group (1167,625±120,769 U / gprot), one-time hypoxia group (1364,17±176,538 U / gprot), two-time hypoxia group(911,218±130,305 U / gprot), three-times hypoxia group (1069,153±121,685 U / gprot), and four-time hypoxia groyp (1085,814±52,314 U / gprot). These results indicate that there is no significant difference between groups (p> 0.05).
Conclusion: There was no difference in the activity of the enzyme lactate dehydrogenase between normoxia and intermittent hypobaric hypoxia
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiba Nur Ashri Ramadhani
"Latar belakang: Respon tubuh terhadap Hipoksia hipobarik intermitten sering dimanfaatkan dalam proses pre-conditioning hipoksia. Hati sebagai penghasil energi utama dan tempat metabolisme tubuh sangat terdampak dari kondisi hipoksia.
Tujuan: Menganalisa perubahan enzim metabolisme pada hati tikus yang mengalami hipoksia hipobarik intermitten.
Metode: Tikus Wistar dibagi menjadi 5 kelompok (n=5 perkelompok). Kelompok kontrol diberikan perlakuan normoksia. Kelompok perlakuan diberikan induksi hipoksia hipobarik intermitten menggunakan hypobaric chamber pada ketinggian 25000 kaki selama 1,2,3 dan 4 kali. Tikus kemudian dikorbankan pada ketinggian 5000 kaki dan diukur aktivitas spesifik enzim LDH pada 450 nm.
Hasil: Aktivitas spesifik enzim LDH pada jaringan hati yang mengalami hipoksia hipobarik intermitten meningkat secara signifikan (p<0,05), dengan peningkatan tertinggi pada 3 kali pajanan.
Simpulan: Hipoksia hipobarik intermitten menyebabkan peningkatan aktivitas spesifik enzim LDH.

Backgrounds: Body response to intermittent hypoxia hypobaric frequently used as pre-conditioning hypoxia. This condition affected the liver as an energy supplier and body metabolism location.
Aim: Compare metabolism enzyme response in the liver that affected by intermittent hypoxia hypobaric.
Methods: Mice were divided into five groups (n=5 per group). Control group was given normoxia condition. Meanwhile exposed groups were given 1, 2, 3, and 4 times hypoxia hypobaric intermittent exposure. The exposure was using a hypobaric chamber at 25,000 feet. All of the LDH specific activities in the liver were measured at 450 nm.
Results: LDH specific activities in the liver increased significantly (p<0,05). The peak activity was found at 3 times hypoxia hypobaric intermittent exposure.
Conclusion: LDH specific activities in the liver that affected by hypoxia hypobaric intermittent increased significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>