Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasra Murni M.
"Dalam rangka good governance diperlukan pengembangan dan penerapan sistem akuntabilitas (pertanggungjawaban) yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Penetitian ini mengamati upaya penerapan good governance di Departemen Keuangan Republik Indonesia dengan studi kasus di Direktorat Jenderal Anggaran. Pokok Masalah yang dikemukakan adalah :
1.Apakah upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka implementasi penerapan good governance di Direktorat Jenderal Anggaran ?
2.Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi upaya penerapan good governance di Direktorat Jenderal Anggaran?
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi upaya penerapan good governance dan mendeskripsikan seberapa besar faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penerapan good governance di Direktorat Jenderal Anggaran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskritif kualitatif dan korelasional dengan populasi sebanyak 188 pejabat yang terdiri dari pejabat eselon I, II, III, dan IV.
Karena berbagai keterbatasan, penelitian tidak dilakukan terhadap seluruh populasi tetapi dengan cara mengambil sampel dari populasi sebanyak 58 responden dan teknik yang digunakan adalah proporsionate stratified sampling. Sedangkan metode analisisnya menggunakan metode rating-scale.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa variabel bebas (Kepemimpinan, Sumber Daya Manusia, Sumber Dana/Anggaran, Sarana/Prasarana, Metode Kerja, Kebijakan Pengendalian Manajemen) pengaruh positifnya terhadap upaya penerapan good governance tergolong kecil. Hal ini berarti kontribusi variabel bebas terhadap upaya penerapan good governance masih perlu ditingkatkan.
Sehubungan dengan itu guna mewujudkan good governance, maka disarankan Direktorat Jenderal Anggaran menerapkan kepemimpinan yang efektif. Sedangkan pengembangan sumber daya manusia dengan meningkatkan pendidikan dan pclatihan. Mengenai sarana/prasarana perlu pendataan terhadap alat-alat yang dibutuhkan sehingga dapat dialokasikan dana untuk pengadaannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4411
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Fuad
"Pertumbuhan perumahan dan kota-kota baru di wilayah Bogor, Tangerang Bekasi sangat pesat sejak dikeluarkannya kebijakan izin lokasi pada tahun 1993 sebagai bagian dari kebijakan PAKTO-23- yang memberi banyak kemudahan berupa penyederhanaan prosedur perolehan izin lokasi dan kemudahan dalam penguasaan tanah. Kemudahan ini mengakibatkan penguasaan lahan yang sangat luas sampai ke wilayah-wilayah pinggiran.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan mekanisme dan isi dari kebijakan izin lokasi dan dampaknya pada perilaku pengembang perumahan di wilayah Bogor, Tangerang dan Bekasi. Penelitian ini juga menggambarkan dampak ikutan dari perilaku pengembang perumahan di wilayah tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian disikriptif dengan menggunakan metode studi kasus. Wilayah studi kasus yang dipilih adalah Kabupaten Tangerang. Izin Lokasi yang dikeluarkan oleh pemerintah berisi tentang berbagai kewenangan yang menumpuk pada satu perangkat kebijakan. Kewenangan itu adalah hak monopoli dalam penguasaan tanah, pembatalan hak atas tanah yang ada dan kewenangan pemecahan hak atas tanah. Dengan demikian, izin lokasi dapat menjadi "surat sakti" bagi pengembang untuk menguasai lahan.
Begitu kuatnya kewenangan yang ada dalam Izin lokasi mempengaruhi perilaku pengembang dalam perolehan izin lokasi. Pengembang harus melakukan lobi untuk mendapatkan izin lokasi skala besar sehingga mendorong munculnya perilaku rent-seeking baik yang dilakukan oleh pengembang maupun pejabat administratif. Sementara itu, penetapan waktu dan biaya resmi dalam memperoleh izin lokasi tidak realistis sehingga dalam praktek dibutuhkan waktu lebih lama dan biaya yang cukup besar. Izin lokasi juga mempengaruhi perilaku pengembang dalam penentuan lokasi pengembangan. Faktor yang paling mempengaruhi penentuan lokasi pengembangan adalah harga tanah, permintaan pasar, kesesuaian dengan tata ruang dan aksesibilitas.
Izin lokasi mempengaruhi perilaku pengembang dalam penguasaan lahan. Penguasaan lahan yang berlebihan tanpa didukung oleh sumber daya yang cukup, menyebabkan luasan tanah yang tercantum dalam izin lokasi tidak dapat dikuasai seluruhnya oleh pengembang dan kalaupun semua luasan tanah yang tercantum dalam izin lokasi dapat dikuasai, pengembang tidak mampu membangun seluruhnya. Hal ini mengakibatkan adanya blighted land dan idle land yang sangat besar di wilayah Bogor, Tangerang dan Bekasi. Perilaku pengembang dalam penguasaan tanah dalam skala luas berdampak pada terjadinya inefisiensi dan ketidakadilan dalam penggunaan tanah sehingga menyebabkan adanya biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat. Penguasaan lahan yang berlebihan juga memberikan sumbangan terhadap terjadinya krisis sektor properti pada awal 1998.
Rekomendasi bagi penyempurnaan kebijakan di masa yang akan datang adalah pertama, menyederhanakan proses perizinan dengan melaksanakan penggabungan izin prinsip dan izin lokasi menjadi satu "izin baru." guna mencegah ekonomi biaya tinggi dalam pengurusannya; kedua, memberikan kewenangan dan tanggungjawab kepada Pemerintah Daerah untuk sepenuhnya melaksanakan pengaturan di bidang pertanahan; ketiga, melaksanakan kebijakan pertanahan secara lebih terbuka untuk mendorong peran serta masyarakat dalam proses perencanaan rata ruang dan pengawasan pelaksanaan pembangunan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T1918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahju Satrio Utomo
"ABSTRAK
Menjelang Abad 21 dan milenium ke-3 mendatang, Bangsa Indonesia dihadapkan pada perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis, baik pada tatanan global maupun regional. Menjawab tantangan perubahan tersebut menjadi suatu tuntutan dan kebutuhan untuk menata ulang peran pemerintah guna mewujudkan pemerintahan yang demokratis, transparan dan akuntabel serta melakukan reformasi dibidang administrasi publik. Penetapan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu wujud dari pada upaya penataan kembali peran pemerintah. Dihadapkan pada kondisi saat ini, khususnya di bidang transportasi dimana kewenangan pemerintah pusat sangat dominan, maka dapat diperkirakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah dibidang transportasi akan menghadapi berbagai kendala yang cukup substansial, utamanya setelah dilakukan penataan kewenangan yang akan menimbulkan berbagai dampak di berbagai aspek seperti aspek kelembagaan, sumber daya manusia, dan aspek ketatalaksanaan. Dari berbagai fenomena yang diungkapkan, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
Bagaimana penataan otonomi di seluruh sektor transportasi agar sejalan dengan otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab, sebagaimana disyaratkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang pemerintahan daerah.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metodologi kualitatif dan didukung data primer serta data sekunder. Lokus penelitian di lingkungan kantor pusat Departemen Perhubungan dan sebagai responden adalah para pejabat yang berkompeten dengan obyek penelitian.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukenali adanya faktor-faktor yang mempengaruhi otonomi di sektor transportasi antara lain, Pertama : aspek penataan kewenangan, belum lengkapnya inventarisasi kewenangan dan kurang memadainya pedoman untuk penataan kewenangan, kedua : aspek penataan kelembagaan, belum dilakukannya analisa beban kerja terhadap hasil penataan kewenangan dan belum adanya pedoman penataan kelembagaan yang memadai. Ketiga : aspek penataan sumber daya manusia, belum jelasnya arah kebijakan penataan sumber daya manusia, belum dilakukan kajian mengenai penataan sumber daya manusia termasuk dampak dari mutasi pegawai ke daerah. Keempat : aspek ketatalaksanaan, belum lengkapnya standar pelayananlteknis untuk seluruh jenis pelayanan disektor transportasi, serta belum disusunnya pola hubungan kerja antara pemerintah pusat dengan daerah otonom;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas direkomendasikan untuk ditempuh langkah-langkah antara lain, Pertama : menyusun perencanaan dan skenario penataan kewenangan, kelembagaan, sumber daya manusia, dan ketatalaksanaan, dengan kejelasan target waktu, sasaran dan penanggung jawab, dan kedua : merumuskan mekanisme hubungan kerja antara pemerintah pusat dengan daerah otonom, menyusun berbagai standar yang diperlukan dan menyempurnakan sistem transportasi nasional dan sistem transportasi wilayah.

ABSTRACT
Factors Affecting Autonomy In Transportation SectorPrior to the 21st century and the next 3rd millenium, Indonesians are challenged by a very dynamic change of strategic environment, both from regional and world - wide sphere. This includes transferring the challenge into demand or needs to rearrange the role of government, in order to create a democratic, transparent and accountable government as well as to carry-on public administration reform. The establishment of the Law number 22 year 1999 on Local Government, known as The Law of autonomy is one effort to restructuring the role of government.
It could be predicted that the implementation of autonomy, in general and in transportation sector, in particular, the central government will face various substantial handicaps. They will emerge especially after the restructuring of government role has been done, and this will in turn, cause some effects on various aspects such as institution aspect, human resources aspect, and management management aspect. Based on aforementioned phenomena, this research focuses on: " How to manage autonomy in transportation sector which get into a line with the whole autonomy, down to earth, and fully liable, as required by the Law number 22 Year 1999 on Local Government ".
This research relies on a descriptive observation using qualitative methodology and supported by primary and secondary data. The locus of this observation is the office of the Ministry of Communications, with the relevant officers as respondents.
According to the observation, there are some factors affecting autonomy in transportation sector, among others are: First, authority management aspect; incomplete authority stock - taking, lack of guidelines to manage the authority. Second, institutional arrangement aspect; the absence of work load analysis and lack of appropriate guidance for authority. Third, human resource management aspect; vague direction of human resource management policy, and absence of human resource management study, including impacts of employee's mutation to regional offices, and Fourth, management aspects; lack of technical service standard for all kind of services in transport sector, and obscure pattern of work relationship between central and local government.
Based on the above reasons, it is recommended to take the following measure: First, to set up a plan and scenario for the arrangement of authority, institution, human resources, management with clear target of time, objectives and responsible persons; and second, to formulate work relationship mechanism between central and local government, to set up various standards needed and to improve national and regional transportation system.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hidyawati
"Dalam tesis ini, penulis memfokuskan penelitian pada usaha pertambangan di Kabupaten Lebak melalui kajian terhadap implementasi kebijakannya. Dalam penelitian ini juga dibahas berbagai aspek terkait yakni peran serta masyarakat / lembaga swadaya masyarakat dan tingkat peran serta lembaga keuangan dan investasi dalam usaha pertambangan di Kabupaten Lebak.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan normatif dan empirik terhadap usaha pertambangan di Kabupaten Lebak yang hingga sekarang masih mengacu pada UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan yang juga dterapkan pada masa sebelum era otonomi daerah. Kajian terhadap kebijakan tersebut dilakukan dengan metode analisis kualitatif dengan studi kasus di Kabupaten Lebak. Sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan pengantar usaha pertambangan di Kabupaten Lebak Serta wawancara kepada Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lebak dan pejabat dan Dinas Pertambangan Kabupaten Lebak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha pertambangan di Kabupaten Lebak belum dilakukan secara maksimal sehingga belum mampu memberikan kontribusi yang optimal terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Sementara potensi sektor ini di Kabupaten tersebut cukup besar dan dapat dikelola melalui peran serta lembaga keuangan dan kegiatan investasi sehingga usaha pertambangan dapat dilakukan secara professional.
Berdasarkan potensi pertambangan di daerah Kabupaten Lebak, sektor ini seharusnya dapat menjadi potensi unggulan wilayah yang dapat memberi kontribusi besar terhadap penerimaan PAD. Namun karena beberapa faktor kelemahan, sektor ini belum dapat diberdayakan secara maksimal.
Adanya kebijakan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah membuka mata perangkat daerah dan stakeholder lainnya di Kabupaten Lebak untuk memberdayakan potensi pertambangannya secara maksimal. Upaya tersebut tergambar dari rencana kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Lebak untuk memacu peran lembaga keuangan dan investasi bagi usaha pertambangan di samping peran Serta masyarakatnya.
Agar dapat mempercepat pemberdayaan sektor pertambangan di Kabupaten Lebak maka perlu dilakukan berbagai kegiatan promosi potensi sektor pertambangan untuk dikembangkan investasinya. Upaya tersebut harus didukung dengan produk kebijakan daerah di sektor pertambangan yang mampu menciptakan iklim usaha dan investasi yang kondusif. Pembentukan kebijakan tersebut harus dilakukan dengan melibatkan stake holder di Kabupaten Lebak (good governance) serta memperhatikan prinsip organisasi pembelajaran sehingga dapat berdampak pada peningkatan kualitas SDM setempat.
Berbagai upaya dan kebijakan tersebut dilakukan atas dasar ketetapan pasal 10 (1), Bab IV, UU No. 22 / 1999 yang memberi kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya nasional (sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia) yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarìannya. Sejalan dengan amanat ini, diperlukan political will pemerintah pusat untuk merubah dan menyesuaikan kebijakan pertambangan yang termaktub dalam UU No. 11/1967."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
"Penetapan 26 dari sekitar 300 Daerah Tingkat II sebagai Percontohan Otonomi Daerah merupakan tahapan awal dari serangkaian tahapan dalam melaksanakan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II di Indonesia. Namun, karena pertimbangan tertentu, tidak semua Daerah Tingkat II dapat melaksanakannya. Dengan demikian, Daerah-daerah Tingkat II di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: yang sudah dan yang belum melaksanakan oonomi daerah.
Perbedaan Daerah Tingkat II dalam melaksanakan oonomi daerah tersebut akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas Camat sebagai bawahan langsung dari Bupati kepala Daerah Tingkat II. Oleh karena itu, bobot tugas Camat akan berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan bobot tugas Camat secara empires pada Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah, dalam hal ini Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung.
Penelitian dilakukan tidak hanya melalui studi kepustakaan, tetapi juga melalui studi lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk memahami perbedaan bobot tugas Camat yang sesungguhnya terjadi di Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan bobot tugas Camat di kedua Daerah Tingkat II signifikan, khususnya dalam hal pelaksanaan asas desentralisasi. Bobot tugas desentralisasi Camat di Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung lebih banyak dibandingkan dengan bobot tugas Camat di Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung. Berkenaan dengan pelaksanakan asas dekonsentrasi, bobot tugas Camat relatif sama, sekalipun volume dan jenis kegiatannya agak berbeda. Namun, pertambahan urusan di tingkat kecamatan tidak diimbangi oleh perubahan kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan yang diperlukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang telah melaksanakan otonomi daerah lebih besar daripada bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang belum melaksanakan otonomi daerah. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pertambahan bobot tugas tersebut, perlu perubahan dalam kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan di tingkat Kecamatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumpena
"Terdapatnya kotribusi PAD yang kecil terhadap APBD, padahal PAD memiliki arti yang strategis yaitu sebagai wujud nyata dari otonomi daerah. Kecepatan tuntutan masyarakat dalam pembangunan dan pelayanan, belum bisa diimbangi dengan kemampuan Pemerintah Daerah karena biaya banyak menguntungkan kepada Pemerintah Pusat sebagia akibat kecilnya PAD yang dapat dipungut dan dibelanjakan sendiri. Permasalahan selanjutnya faktor-faktor apakah yang bisa mempengaruhi PAD serta upaya-upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan PAD.
Penelitian ini bertujuan menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PAD serta upaya-upaya apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan PAD di Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang.
Data yang digunakan, yaitu data sekunder dengan mengumpulkannya dari Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA). Bagian Perekonomian Kabupaten. Bagian Hukum Kabupaten dan dinas-dinas yang menghasilkan PAD. Data ini ditarik dari data Tahun 1992 sanipai dengan 1997. Teknik analisa adalah deskriptif.
Dari penelitian ini diperoleh basil sebagai berikut :
  1. Faktor-faktor yang berpengaruh terrhadap PAD yaitu Kewenangan Daerah.
  2. Potensi Ekonomi Daerah, Efektivitas dan Efisiensi Pengelola PAD.
  3. Kinerja PAD Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang cukup baik, tetapi masih ada kesempatan untuk di tingkatkan.
Hasil analisis dari temuan penelitian ini memberikan saran, agar Pemerintah Pusat Daerah dalam menetapkan kebijakannya memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja PAD secara serasi dan seimbang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosniaty Syamsidar
"Sesuai Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 92 Tahun 1992, tugas Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri adalah menyelenggarakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas semua unsur dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dan jalannya Pemerintahan Daerah. Secara operasional penyelenggaraan pengawasan tersebut mencakup semua IPOLEKSOSBUD di Daerah Tingkat I dan II ditambah sepuluh komponen di lingkungan Kantor Pusat Departemen Dalam Negeri.
Secara umum ada dua faktor yang dapat mempengaruhi organisasi dalam mencapai sasaran atau tujuannya yaitu secara internal dan eksternal. Dalam tesis ini penelitiannya lebih difokuskan dari faktor internal, organisasi Itjen Depdagri, khususnya menyangkut koordinasi, sumberdaya manusia (Skills) dan kepemimpinan dengan tujuan agar lebih mudah menyusun instrumen penelitian dan pembatasan masalah yang relevan.
Untuk mengamati bagaimana efektivitas pengawasan Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri dilakukan, digunakaui metode penelitian korelasional (Corelational Research), yang penelitiannya dilakukan terhadap 60 responder terdiri dari empat strata : Strata I eselon II, Strata II eselon III, Strata 111 eselon IV Strata IV non eselon.
Berdasarkan hasil penelitian dengan perhitungan rumus Chi kuadrat (X2) disimpulkan, ketiga subvariabel bebas yaitu : Koordinasi, Sumberdaya manusia dan Kepemimpinan, secara faktual tidak mempunyai- korelasi (hubungan) dengan efektivitas pengawasan, atau sangat kurang signifikan.
Sesuai dengan identifikasi permasalahannya, maka disarankan ketiga sub variabel diatas dapat diperbaiki, yaitu :
1. Untuk aspek koordinasi perlu dilakukan :
a. Penyusunan jadwal pemeriksaan setelah PKPT ditentukan.
b. Mengkaji ulang sistem tindak lanjut. Melakukan konfirmasi atas obyek yang diperiksa.
c. Temuan disajikan dengan data yang faktual, sehingga mudah di tindak lanj uti sesuai rekomendasi.
2. Untuk aspek Sumberdaya Manusia perlu dilakukan :
a. Temu Wicara dengan Badan Diktat Depdagri, BPKP dan BPK guna pengikatanl kualitas Pengawasan,
b. Penugasan lebih difokuskan berdasarkan disiplin ilmu dan pengalaman.
3. Untuk aspek Kepemimpinan perlu dilakukan:
a. Evaluasi LHP, menerapkan standar audit.
b. Pemberian motivasi kepada pengawas meningkatkan daya saing (Competitiveness) serta menerapkan reward dan punishmen."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Razak Manan
"Kinerja instansi pemerintah terkait dengan banyak faktor seperti struktur organisasi, sistem dan prosedur, SDM, gaya kepemimpinan, strategi, dan nilai/budaya organisasi, serta banyak faktor lingkungan seperti sistem politik, sistem hukum, globalisasi dan sebagainya. Proses perbaikan kinerja instansi pemerintah merupakan proses pembelajaran (baik cognitive, behavioral, maupun emotional learning process) bagi semua kelompok yang berkepentingan dalam suatu Negara.
Evaluasi Prokasih belum menyeluruh karena keterbatasan-keterbatasan baik dari segi anggaran maupun tersedianya tenaga-tenaga pelaksana yang profesional. Penulis melihat perlu ditingkatkannya laporan Prokasih tersebut untuk masa mendatang dengan memperhatikan aspek kinerja pelaksana Prokasih ditinjau secara administratif maupun substantif. Yang dimaksud dengan aspek administratif di sini ialah dimulai dari tugas-tugas administrasi seperti ketatausahaan, kesekretariatan, laporan-laporan pemantauan, bentuk-bentuk rapat internal pokja, antar pokja ataupun koordinasi Tim Prokasih dengan instansi diluar Tim Prokasih yang keseluruhannya menggambarkan kegiatan administrasi Tim Prokasih. Begitu pula halnya dengan substansi, yang dihubungkan dengan substansi permasalahan yang dihadapi menyangkut pelaksanaan teknis seperti tersedianya tenaga-tenaga yang trampil, peralatan, peraturan-peraturan yang dapat mengantisipasi perkembangan Prokasih kedepan dan lain-lain.
Penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa "masalah Prokasih" diumpamakan sebagai sebuah sistem yang keseluruhan unsur (variable) yang interaktif dalam suatu domain. Unit analisis dalam sebuah sistem adalah unsur. Sebagaimana diketahui keseluruhan interaksi dari unsure-unsur menyusun dan memfungsikan sistem mencapai tujuan. Kinerja masing-masing unsur pada suatu keadaan (state) tertentu dinyatakan dengan level. Ciri yang melekat pada unsur ini adalah variabel yang ukurannya berbeda-beda. Dalam domain ini telah terjadi interaksi antara unsur-unsur (variable), yaitu Administrasi Publik, Kinerja Birokrasi dan Kepemerintahan yang baik. Ketiga unsur tersebut bekerja dalam satu lingkungan untuk mencapai tujuan tertentu. Unsur-unsur tersebut mempunyai sub unsur-sub unsur lagi yaitu, kinerja pelaksana (administratif dan subtantif), pengendalian (administrant dan substantif), manajemen publik (efisiensi dan efektivitas), akuntabilitas kinerja pelaksana, penilaian kinerja pelaksana, dan kinerja pelaksana program. interaksi didalam domain yang terjadi dibingkai dalam suatu kerangka yang penulis namakan ?Kerangka analitik" Temuan yang penting itu penulis namakan ?Interaksi unsur-unsur sistem kinerja pelaksana Prokasih".
Bangunan model empiris dinamika kinerja pelaksana program kali bersih (Prokasih), khususnya tentang interaksi konsep, variable, indikator, ukuran dalam model, dimulai dengan menggunakan fondasi Bangunan model teoritis yaitu ?kerangka analitik" interaksi unsur-unsur sistem kinerja pelaksana Prokasih ( Bab II, Gambar IL.I ). Bangunan model empiris terdiri dari ?Model Diagram sebab akibat". Model ini berisi konsep-konsep yang relevan dengan mempertimbangkan tujuan penelitian untuk kepertuan analisis. Konsep model tersebut berfungsi sebagai titik tolak untuk menguraikan dan mengerti interaksi antar variable dalam model. Model diuraikan secara verbal untuk kemudian diturunkan secara formal kedalam persamaan model simulasi komputer.
Informasi dasar untuk konstruksi model bersumber dari pengetahuan dan keterlibatan penulis dalam proses pelaksanaan Prokasih. Kinerja pelaksana Prokasih sebagai sebuah sistem penulis uraikan dalam 4 (empat) buah sub sistem. Pertama, sub sistem limits to success (batas keberhasilan) Kedua, sub sistem Goal Seeking (pencapaian sasaran). Ketiga, sub sistem Drifting Goals (sasaran yang berubah). Keempat, sub sistem Growth and underinvestment (pertumbuhan dan Kekurangan modal). Komponen-Komponen yang membangun sistem tersebut adalah: Kinerja pelaksana, Kinerja pelaksana administratif, Kinerja pelaksana substantif, Batas kinerja pelaksana substantif, Pengendalian administratif, Standar kinerja pelaksana, Komitmen, Akuntabilitas kinerja pelaksana, Penyesuaian kinerja pelaksana administratif, Efektifitas pelaksanaan program, Efisiensi program, Sistem informasi manajemen, Kebutuhan penegakkan aturan, dan standar aturan.
Penelitian ini telah berhasil menunjukkan bahwa ?masalah Prokasih" dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang keseluruhan unsur (variabel) berinteraktif dalam suatu domain. Oleh karena itu didalam pelaksanaan pembangunan dewasa ini diperlukan ?terobosan-terobosan" baru. Analisis dengan memakai sistem dinamis perlu dikembangkan untuk membuka opini-opini baru."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
D474
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Wirjatmi Tri Lestari
"ABSTRAK
Pelayanan publik merupakan suatu proses kegiatan yang diemban oleh suatu pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Proses kegiatannya melibatkan dua pihak yaitu penerima dan pemberi layanan. Keduanya saling berinteraksi secara dinamis dan kompleks. Para pakar mengakui adanya perbedaan nilai diantara keduanya, baik yang menyangkut kualitas maupun kinerja pelayanan. Disatu sisi tuntutan masyarakat seringkali berlebihan, sementara pada sisi lain pemerintah mempunyai kemampuan yang terbatas. Untuk meminimalkan perbedaan tersebut diperlukan suatu pengukuran kinerja yang baik dan dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Pengukuran kinerja pelayanan publik yang selama ini banyak dilakukan di Indonesia misalnya model LAKIP melalui Inpres 7/1999 dan IPM dari UNDP masih berorientasi pada paradigms government bersifat internal dan parsial. Sementara itu pengukuran kinerja yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dan menggunakan paradigma good governance masih langka. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah model pengukuran kinerja pelayanan publik dengan pendekatan systems thinking dan system dynamics. Dengan demikian judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah "Model Kinerja Pelayanan Publik Dengan Pendekatan Systems Thinking Dan System Dynamic (Studi Kasus Pelayanan Pendidikan Di Kota Bandung)".
Penelitian ini menggunakan disain studi kasus. Data diungkap dengan teknik pengukuran secara komprehensif. Peneliti berperan sebagai instrumen utama. Kelebihan pendekatan systems thinking dan system dynamics adalah (1) model yang dihasilkan dapat menampung secara rinci semua variabel penting baik dari perseptif pemerintah maupun masyarakat, dan dapat digunakan untuk mengatasi persoalan detail complexity. (2) dapat menjelaskan keterkaitan antar variabel penting tersebut secara dinamis, untuk mengatasi persoalan dynamic complexity. (3) Variabel yang dihasilkan dapat menggambarkan kegiatan yang diamati melalui variabel lunak, variabel nyata, maupun variabel dari hasil suatu perhitungan ke dalam suatu model secara bersamaan.
Model yang dihasilkan merupakan model pengukuran kinerja yang komprehensif, dengan aplikasi systems thinking dan system dynamics dalam penelitian pelayanan publik. Pendekatan ini selalu mempertimbangkan hubungan kausalitas dan proses balikan secara dinamis antar variabel dalam bentuk simpal balikan. Proses balikan secara dinamis dalam pelayanan, seperti juga fenomena masyarakat yang lain, terjadi dalam tiga kemungkinan perilaku (systems building blocks), yaitu (1) perilaku saling memperkuat (reinforcing), (2) perilaku penyeimbang (balancing), dan (3) perilaku yang menggambarkan adanya ketertundaan (delay). Perilaku seperti tersebut dapat diamati secara dinamis sepanjang waktu.
Pendekatan system dynamics selain digunakan untuk menguji keterkaitan antar variabel dalam systems thinking secara kompleks dan dinamis, juga digunakan untuk melakukan simulasi terhadap suatu kebijakan sebelum dilaksanakan, dengan bantuan perangkat lunak yaitu powersim dan vensim. Pendekatan ini dapat meminimalkan kesalahan suatu kebijakan.
Penelitan ini menghasilkan empat temuan penting. Pertama, kinerja layanan pendidikan di kota Bandung periode tahun 1996-2002 yang dilakukan dengan menggunakan model IPM, menurut klasifikasi UNDP berhasil mencapai kategori tinggi, dan berada pada peringkat pertama di antara daerah lainnya di Jawa Barat. Temuan kedua adalah hasil pengukuran kinerja berdasarkan LAKIP, menunjukkan kinerja dengan kategori baik. Namun masih belum optimal untuk dapat mencapai 100%. Kedua pengukuran ini tidak menggambarkan adanya keterkaitan dan mekanisme pengukuran yang seimbang. Ketiga, dengan pendekatan systems thinking, proses ini menghasilkan keterkaitan antar variabel yang dikelompokkan ke dalam dua strategi, yaitu internal dan eksternal serta dibagi ke dalam empat dimensi, meliputi masyarakat, proses internal dan keuangan, serta pertumbuhan dan pembelajaran. Strategi dan dimensi yang dihasilkan digambarkan dalam hubungan kausalitas berikut proses balikan dinamisnya, melalui kajian teoritik dan praktik, sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah. Secara konseptual kinerja pelayanan pendidikan di Kota Bandung dapat dikonstruksikan dalam dua pola perilaku generik yaitu pola batas pertumbuhan (limit to growth) serta pola pertumbuhan dan kekurangan modal (growth and underinvestment). Pola pertama mempunyai pembatas utama yaitu dana untuk membiayai dan meningkatkan kualitas pendidikan. Pola kedua, ditandai oleh kecenderungan peningkatan kualitas pendidikan dengan dana dad pemerintah yang terbatas. Pola ini mempunyai kecenderungan terus menerus terjadi dari waktu ke waktu, sehingga sangat penting untuk diketahui pengungkit yang mempunyai karakter pengaruh yang paling besar dalam menanggulangi keterbatasan tersebut. Keempat, berdasarkan temuan ketiga, disusun tiga skenario untuk mengatasi keterbatasan peningkatan kualitas pelayanan pendidikan. Skenario pertama adalah untuk mengatasi permasalahan keterbatasan pertumbuhan biaya pendidikan di Bandung, dapat dilakukan dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk mendanai kegiatan operasional pendidikan. Skenario kedua adalah peran pemerintah diarahkan untuk membangun kualitas pelayanan secara terus menerus dan menetapkan standar pelayanan. Skenario ketiga, diperkirakan bahwa meningkatnya kualitas pelayanan pendidikan mempunyai efek adanya daya tarik untuk bersekolah, maka skenario pertama dan kedua akan meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pelayanan pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan hasil penelitian di atas disarankan, pertama agar menggunakan pendekatan systems thinking untuk pengukuran kinerja pelayanan publik pada umumnya, dan pelayanan pendidikan pada khususnya. Konsekuensinya penggunaan model IPM dan LAKIP perlu disesuaikan, terutama dalam keterkaitan antar variabel yang dibangun. Kadua, pengukuran kinerja tidak dapat diamati hanya pada suatu saat dan berdiri sendiri, maka system dynamics dapat menjadi solusi yang teramati secara terus menerus secara dinamis. Ketiga, pengukuran dapat dikatakan obyektif dan dapat diterima oleh pemberi dan penerima layanan, maka perlu mengikut sertakan masyarakat dengan mekanisme yang transparan. Keempat, keterbatasan pertumbuhan kinerja pelayanan pendidikan yang diuji melalui simulasi, maka dibuat tiga skenario untuk mengambil kebijakan. Pertama, untuk mengatasi permasalahan keterbatasan pertumbuhan biaya pendidikan, dapat dilakukan dengan meningkatkan peran serta masyarakat guna mendanai kegiatan operasional pendidikan. Kedua, pemerintah propinsi memprioritaskan pembangunan pendidikan kabupaten/kota disekitar Kota Bandung sehingga memiliki kualitas yang sama. Dengan demikian, Kota Bandung tidak menjadi satu-satunya tujuan sekolah di sekitar Kota Bandung. Ketiga, menggabungkan skenario petama dan kedua yaitu meningkatnya kualitas pendidikan akan meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pelayanan pendidikan. Dalam rangka mencapai Indeks Pembangunan Manusia dengan score 80 pada tahun 2010, Dinas Pendidikan Kota dan Pemerintah Kota Bandung perlu terus meningkatkan mutu pelayanan karena pendidikan merupakan pengungkit terkuat bagi pembangunan manusia.
Implikasi akademik dalam penelitian ini adalah menghadapi perkembangan manajemen modern yang semakin kompleks dan adanya keterbatasan rasionalitas, maka pendekatan systems thinking dan system dynamics menjadi alternatif yang paling baik. Pendekatan ini dapat digunakan dalam proses manajemen sejak proses perencanaan hingga evaluasi hasil suatu kegiatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D488
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library