Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saiful Mahdi
"Muslimin Indonesia (MI) adalah organisasi massa yang sudah mengalami penggabungan dan perubahan bentuk, dari fungsi partai politik independen hingga menjadi salah satu unsur dalam Partai Persatuan Pembangunan. Perubahan bentuk ini dilakukan karena adanya kebijakan politik dari Jenderal Soeharto pada tahun 1971 yang menginginkan agar diadakan pengelompokkan partai politik berdasarkan persamaan ideologi dan platform partai. Tujuan politik dari Orde Baru mengadakan pengelompokkan terutama terhadap kelompok politik Islam adalah untuk memudahkan pengawasan dan mudah memecah dari dalam. Dalam kondisi yang pro dan kontra terhadap ide fusi tersebut Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nahdhatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Tarbiyah Islamiyah sepakat mendeklarasikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di tahun 1973.
Sejak tahun 1973-1994, kepemimpinan di PPP dikuasai oleh elite-elite politik dari unsur Muslimin Indonesia.Di bawah pimpinan HMS Mintaredja kondisi partai dalam keadaan yang kompak walaupun terjadi konflik internal partai tetapi berkat adanya kedudukan beberapa ulama kharismatik seperti KH Bisri Syansuri berhasil diredam. Bagi seluruh anggota legislatif, Mintaredja memberikan kebebasan mengeluarkan pendapatnya tanpa khawatir akan dipecat dari keanggotaan DPR maupun partai. Kejatuhan Mintaredja di PPP karena ia telah tidak disukai lagi oleh Jenderal Soeharto terutama sejak keberaniannya menuntut kepada Soeharto agar PPP diberikan kursi kementrian di kabinet.
Mulai tahun 1978, pimpinan di PPP diambil alih oleh Djaelani Naro secara kontroversial tanpa melalui suatu forum Muktamar partai. Selama dipimpin oleh Djaelani Naro, keadaan PPP mulai diterpa oleh konflik internal yang luar biasa konflik tersebut tidak hanya melibatkan antara elite politik MI versus NU, tetapi juga antara elite politik ME versus MI. Djaelani Naro memiliki- kebijakan keras terhadap para anggota legislatif yang menyimpang dari kebijakan Orde Baru. Sosok Naro lebih terkesan sebagai perpanjangan-tangan kebijakan rezim Orde Baru di PPP. Keberanian Djaelani Naro untuk mencalonkan dirinya sebagai salah seorang wakil presiden RI di tahun 1988 pada saat sidang umum MPR, telah mengakibatkan kemarahan Soeharto terhadapnya.
Periode kepemimpinan Ismail Hasan Meutareum (1989-1994), mulai membenahi konflik internal partai melalui kebijakan rekonsiliasi terhadap tokoh-tokoh PPP baik dari unsur NU, MI,SI, dan Pena. Ismail Hasan melakukan kebijakan untuk mengurangi fanatisme berlebihan diantara empat unsur tersebut melalui bentuk pengajian bersama dan pendidikan-pendidikan kader bersama.Yang diinginkan olehnya adalah fanatisme terhadap PPP saja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T4274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Salam
"Sebagai sebuah organisasi yang sudah mengalami perkembangan dan pertumbuhan dalam rentang waktu yang cukup panjang, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) telah melahirkan begitu banyak alumni yang ber-diaspora ke berbagai sektor kehidupan sosial kemasyarakatan, banyak di antara mereka yang memegang posisi kunci dan strategis di tempat-tempat pengabdiannya.
Ketika bangsa Indonesia mengalami masa transisi revolusi dari Orde Lama ke Orde Baru, beberapa organisasi kemasyarakatan Islam terdorong untuk membenahi diri setelah memenangkan pergulatan ideologis yang sangat menentukan dengan PKI. Salah satu organisasi itu adalah HMI. Dalam proses pembenahan itu, bermula dari keinginan alumninya, HMI ikut menyambut rencana pembentukan lembaga alumni dan bahkan menyediakan kongres HMI ke-8 di Solo pada bulan September 1966 sebagai forum penyusunan dan pedeklarasian lembaga yang kemudian diberi nama KAHMI tersebut.
Dalam perjalanannya kemudian, sebagai sebuah lembaga, KAHMI tentu ingin mengembangkan dan memaksimalkan peranannya di berbagai bidang. Namun keinginan itu susah untuk diwujudkan karena KAHMI hanyalah sebuah lembaga khusus yang menjadi sub-struktur dan kegiatannya tidak boleh melampaui garis yang ditetapkan oleh Anggaran Rumah Tangga HMI. Kondisi dilematis ini kemudian memunculkan hal-hal yang problematik dalam relasi KAHMI-HMI, ketegangan dan konflik mewarnai sepanjang hubungan keduanya.
Berbagai mekanisme digunakan untuk dijadikan solusi atas persoalan struktural yang pelik itu. Baik melalui negosiasi dalam forum kongres HMI maupun dalam Munas KAHMI itu sendiri. Namun ketegangan-ketegangan dalam hubungan keduanya tak juga dapat dicarikan penyelesaiannya. Kekukuhan HMI dalam berpegang pada konstitusi, di satu sisi, dengan keinginan KAHMI untuk mengembangkan dirinya, di sisi lain, menjadi fokus utama bagi munculnya penyebab ketegangan dan konflik tersebut.
Sebagai kelompok yang dekat dengan kekuasaan, KAHMI tentunya sangat berkepentingan agar HMI menjadi kekuatan pemuda yang maderat dan dapat diatur agar diperoleh keuntungan politik dan posisi tawar yang cukup kuat dalam ranah rezim yang tengah memerintah. Oleh karena itu ketika muncul keinginan pemerintah untuk melakukan unifikasi ideologi Parpol dan Ormas dengan Pancasila melalui UU Keormasan no.5/1985, KAHMI melakukan desakan dan tekanan yang sangat kuat agar HMI sesegera mungkin dapat mengakomodir keinginan tersebut. Alih-alih menundukkan HMI, desakan itu justru menjadi pemicu bagi terjadinya sebuah konflik dan perpecahan serta munculnya radikalisme yang sangat serius dalam tubuh Kelaurga Besar HMI.
Sekalipun medan konflik KAHMI - HMI akhirnya dapat diperkecil melalui sebuah solusi perubahan struktural dan konstitusi, namun implikasi yang ditimbulkan akibat masa ketegangan yang begitu panjang telah sangat banyak menguras tenaga kedua lembaga ini. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa persoalan yang terjadi antara keduanya ternyata tidak pula terlepas dari intervensi pihak eksternal, yaitu arogansi rezim penguasa yang selalu ingin menancapkan kuku-kukunya dimana saja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Ahmad
"Penelitian tentang Masyarakat Transmigrasi Swakarsa di Suli pada tahun 1972-1994 ini bertujuan untuk menjelaskan proses perubahan yang terjadi pada masyarakat transmigrasi swakarsa di Desa Suli Donggala akibat penerapan Subak dan Panca Usaha Tani. Secara khusus penelitian ini menjelaskan tentang penerapan sistem subak dan Panca Usaha Tani, di desa Suli oleh masyarakat transmigrasi swakarsa dan Bali yang kemudian secara perlahan-lahan diikuti oleh masyarakat asli setempat (To-Kai).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya penerapan sistem subak sangat membantu transmigrasi swakarsa Bali dalam meningkatkan produksi pertanian di desa Suli. Dengan sistem subak maka transmigran swakarsa asal Bali membuka lahan persawahan tanpa mengabaikan kegiatan-kegiatan seperti bercocok tanam dan berladang. Meskipun demikian pada masa awal pelaksanaan sistem subak pendapatan produksi panen petani belum memuaskan sebagai akibat terbatasnya penggunaan air, karena tidak memperoleh pembagian air yang cukup sesuai dengan kebutuhan tanaman padi.
Selain itu juga sistem subak bagi masyarakat transmigrasi swakarsa Bali dianggap merniliki etos sosial religius sehingga dapat memacu semangat kerja masyarakat transmigran swakarsa di desa Suli dalam melakukan kegiatan di bidang pertanian. Sehubungan dengan hal tersebut pelaksanaan sistem subak yang berkaitan dengan aspek sosial religius didasarkan pada keyakinan menurut kepercayaan agarna yang dianut oleh masyarakat transmigrasi swakarsa Bali yaitu agama Hindu yang berlandaskan Tri Hita Karama (Tiga Penyebab Kebaikan) dalam lembaga subak di gambarkan dalam tiga unsur yakni : Pertama, unsure parhyangan dengan membangun para subak di desa Suli sebagai perwujudan bhakti ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ike Hyang Widhi Wasa). Kedua, unsur Pawongan merupakan perwujudan hubungan harmonis di antara para anggota subak yang diikat dengan .susunan organisasi dan peraturan yang dibuat lewat musyawarah mufakat Ketiga, unsur Palimahan yang berwujud lahan persawahan serta prasarana dan sarana irigasi dari subak tersebut yang di kelola dengan penuh tanggung jawab.
Keberadaan subak sebagai organisasi tradisional masyarakat transmigrasi swakarsa Bali di Suli dapat membantu pelaksanaan panca usaha tani di wilayah tersebut Dalam periode 1985 - 1988 desa Suli terdapat perubahan dari sebuah desa swadaya menjadi desa swasembada di Kabupaten Donggala. Kemudian tingkat produksi panen petani pada periode ini mencapai rata-rata 4,16 ton gabah kering panen (gkp) per hektar. Hal ini menunjukkan terdapat perubahan tingkat produksi panen petani pada masa sebelumnya yaitu periode subak 1972 - 1985 dimana hasil produk panen petani rata-rata 2,1 ton gabah kering panen (gkp) per hektar. Kemudian pada tahun 1989 - 1990 mulai meningkat lagi dengan produksi panen rata-rata di perkirakan 7,28 ton gabah kering panen (gkp) per hektar. Selanjutnya tahun 1990-1994 produksi panen menurun lagi menjadi rata-rata 7,05 ton gabah kering panen (gkp) per hektar antara lain disebabkan faktor persediaan air untuk keperluan tanaman padi tidak terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tanaman tersebut karena bendungan induk mengalarni kerusakan. Dan juga faktor penggunaan sarana produksi pertanian untuk tanaman padi tidak memenuhi ketentuan yang semestinya. Selain itu pelaksanaan panca usaha tani dan sistem subak sangat ditunjang dengan adanya kebijakan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah tentang program Gerakan Terobosan Pernbangunan Desa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T11492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dasfordate, Aksilas
"Tanimbar dalam kajian ini adalah suatu wilayah kepulauan yang terletak di bagian tenggara kepulauan Maluku. Kepulauan ini pada awalnya tidak berpenghuni, oleh sebab itu penyebutan Tanimbar didasarkan pada pertimbangan yang berkaitan dengan asal-usul masyarakat yang mendiami pulau tersebut. Kata Tanimbar berasal dari kata Tanempar (bahasa nistimur) Tanebar (bahasa weslyeta) dan Tnebar (bahasa fordata) yang memiliki arti sama yaitu 'terdampar'. Kata terdampar ini ditujukan kepada masyarakat yang datang dari berbagai pulau atau wilayah Indonesia khususnya Indonesia Timur, seperti ada yang datang dari Halmahera, Ambon, Seram, Banda, Kai, Aru, Sulawesi (Bugis Makassar dan Buton), bahkan ada yang datang dari pulau Timor. Atas dasar inilah, maka suku asli di kepulauan Tanimbar sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Jadi kata Tanimbar bisa digunakan untuk menunjukkan orang (orang Tanimbar), juga digunakan untuk menunjukkan wilayah (kepulauan Tanimbar).
Tanimbar yang merupakan wilayah kepulauan. Hal ini memungkinkan kebanyakan masyarakatnya mendiami daerah-daerah pesisir pantai. Berdasarkan tempat pemukiman ini, maka aktivitas rnereka-pun lebih cenderung ke laut, sehingga peralatan yang digunakan berkaitan dengan aktivitas mereka, sampai-sampai dijadikan simbol dalam setiap masyarakat di Tanimbar. Misalnya; sebuah bangunan perahu di Tanimbar, dianalogikan dengan struktur masyarakat setiap kampung di Tanimbar. Atas dasar inilah maka 'pamaru muka pamaru belakang yang merupakan dua bagian dari sebuah bangunan perahu digunakan sebagai judul tesis ini.
Sejauh ini 'Tanimbar hanya dilihat dari perspektif sejarah Maluku, khususnya Maluku Tenggara. Oleh sebab itu, jika perpegang pada pandangan tersebut, maka sejarah Tanimbar sangat terabaikan dari peter penyelidikan sejarah Indonesia. Memang diakui bahwa secara garis politik Tanimbar merupakan salah satu wilayah yang sangat terpencil dan tidak menarik perhatian para peneliti sejarah untuk meneliti daerah tersebut. Akan tetapi dimanakah sejarah dari bagian-bagian atau pulau-pulau yang juga memiliki riwayatnya sendiri-sendiri ? Apakah Tanimbar merupakan embel-embel dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ?
Oleh sebab itu, kajian ini bertujuan; pertama, mengisi celah yang terjadi dalam penulisan sejarah Maluku, terutama mengenai pembukaan jaringan pelayaran antar-pulau di Maluku; kedua, mengungkapkan problematik interaksi masyarakat Tanimbar dalam menerima para pedagang asing (dalam hal ini Bugis Makassar dan Belanda); ketiga, mengukapkan posisi masyarakat Tanimbar dalam jaringan pelayaran di Indonesia Timur abad XIX.
Berkaitan dengan itu, ruang lingkup kajian ini terdiri atas beberapa hal yaitu; (1) tentang kondisi ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat Tanimbar sebelum adanya kontak dengan daerah lain di Indonesia Timur melalui jaringan pelayaran dan perdagangan abad XIX; (2) Tujuan jaringan pelayaran tersebut, yang ternyata tidak semata-mata adalah kegiatan perdagangan, tetapi juga ada kegiatan lain; seperti upaya penyebaran agama, (Islam oleh para pedagang Bugis Makassar, Kristen Protestan dan Katolik oleh para pedagang Belanda); (3) Reaksi masyarakat Tanimbar terhadap berbagai macam hal baru yang dihadapinya dan (4) beberapa faktor yang menyebabkan Belanda meninggalkan. Tanimbar akhir abad XVIII dan kembali menguasai serta menempatkan Tanimbar dalam daerah kekuasaan Belanda secara tetap pada abad XIX.
Keterlibatan Masyarakat Tanimbar dalam jaringan pelayaran di Indonesia Timur abad XIX tidak terlepas dari suatu kategori utama dalam mengkaji Asia Tenggara, yaitu port polity. Pemusatan pelabhuan dan pintu gerbang (entrepot) serta penyelenggaraan negara (polity) merupakan gejala yang hampir menyeluruh di Asia Tenggara kepulauan. Di dalam kerangka itu pula kajian Tanimbar dapat dilakukan.
Kajian ini menggunakan pendekatan kelautan yang melihat wilayah perairan laut sebagai satu kesatuan dari berbagai macam satuan bahari yang pada perkembangannya menjadi satuan yang lebih besar. Dalam kerangka itu, wilayah perairan Tanimbar terbentuk yang dapat mengintegrasikan bagian-bagiannya menjadi satu kesatuan laut. Dalam proses lebih jauh, satuan laut tersebut juga berintegrasi ke dalam jaringan pelayaran di Indonesia Timur.
Dalam konstalasi tersebut, posisi Tanimbar memainkan peranan dalam lalu lintas perdagangan di Indonesia Timur, di mana dari Tanimbar para pedagang asing (Bugis Makassar, Belanda dan Cina) memperoleh komiditi dagang seperti; tripang, mutiara, kerang mutiara, kulit penyu, sirip ikan hiu, agar-agar (rumput laut) dan sebagainya untuk dikirim ke Makassar, Batavia, Banten, Malaka, untuk dijual atau ditukarkan dengan bahan pakaian (tekstil) dan barang kebutuhan lainnnya untuk dibawa kembali ke Tanimbar. Dalam kegiatan tersebut, masyarakat Tanimbar bertintak sebagai pihak yang khusus menyediakan barang-barang dagang yang dijual kepada para pedagang asing.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa melalui jaringan pelayaran tersebut, masyarakat Tanimbar bisa mengenal dan menerima hal-hal baru yang pada awalnya belum dikenal atau sudah dikenal tetapi lain daripada yang baru masuk. Misalnya, salah satu hal nyata yang sampai sekarang masih ada di Tanimbar, yakni model dan cara pembuatan perahu, yang ternyata model dan ketrampilan pembuatan perahu diperoleh dari para pelaut dan pedagang Butun."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T1606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusdiansyah
"Penulisan mengenai sejarah Kota Samarinda selama, kurun waktu 30 tahun (1950-1980) lebih diarahkan untuk menguraikan tentang kajian sejarah lokal yang membahas masalah pertumbuhan dan perkembangan penduduk. pemerintahan, perekonomian, sosial, dan pendidikan Kota Samarinda. Rentang waktu yang dikaji dalam tinjauan dan studi ini sejak tahun 1950 yang sejak berniula Kota Samarinda menjadi Ibukota Daerah Istimewa Kutai untuk menjalankan pemerintahan administrasi pemerintahan yang baru, yang semula pusat pemerintahannya berada di Tenggarong. Oleh sebab itu pemerintah menetapkan Samarinda sebagai Ibukota Daerah Istimewa Kutai. Demikian pula pada tahun 1957, berdasarkan Undang-Undang no. 5 tahun 1956 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 12 Desember 1956 No. Des-52/10/56 terhitung inulai tanggal 1 Januari 1957 Samarinda ditetapkan sebagai Ibukota Propinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Darurat no.3 tahun 1953 Lembaran Negara no. 47 tahun 1953 dan undang-undang nomor 27 tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Kalimantan Timur, maka pada tanggal 21 Januari 1960 dalam suatu sidang khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. telah melaksankan upacara penandatanganan naskah serah terima wilayah daerah tingkat 11 di Kalimantan Timur, dan penghapusan Daerah Istimewa Kutai serta penetapan Samarinda menjadi Kotapraja dan Samarinda Sebagai ibukotanya pada tanggal 21 Januari 1960 kemudian pada tahun 1969 Kotapraja Samarinda berubah menjadi Kotamadya Samarinda, hingga tahun 1980 masih berstatus sebagai kotamadya.
Adapun kajian gambaran umum Kota Samarinda lebih diarahkan pada geografi kota Samarinda dan perkembangan fisik Kota Samarinda. Sedangkan masalah pemerintahan untuk melihat kehidupan pemerintahan baik sebagai kotamadya maupun pemerintahan tingkat Provinsi Kalimantan timur, masalah pertumbuhan penduduk, lebih diarahkan untuk mengetahui peningkatan jumlah penduduk dan sebab bertambahnya jumlah penduduk. Sedangkan kajian perekonomian Kota Samarinda untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Kemudian kajian sosial untuk mengetahui kehidupan sosial masyarakat Samarinda yang majemuk dan multikultural. Kajian masalah pendidikan di Kota Samarinda lebih diarahkan pada perkembangan jumlah lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini sebagai usaha pemerintah kola Samarinda untuk mendorong masyarakat supaya menyekolahkan putra-putrinya di Kota Samarinda. Dengan demikian perubahan pertumbuhan dan perkembangan Kota Samarinda merupakan suatu interaksi antara peran pemerintah dan struktur sosial masyarakat baik secara individu-individu maupun secara kolektif, untuk membentuk wujud nyata tentang pertumbuhan dan perkembangan Kota Samarinda.

Writing concerning Town history of Samarinda during range of time 30 year ( 195U-1980) more instruct to elaborate concerning local history study the studying the problem of growth and growth of resident of governance of economics, social, and education of Town of Samarinda. Span time which studied in this study and evaluation since year 1950 which since beginning Town of Samarinda become Capital of Special Region of Kutai to run governance of new public administration, which initially center the governance of residing in Tenggarong. On that account government specify Samarinda as Capital of Special Region of Kutai. That way also in the year 1957, pursuant to Law of no. 5 year 1956 and Domestic ministerial decree is December 12, 1956 No. Des52/10/56 counted on the January 1, 1957 Samarinda specified as Capital of East Kalimantan province. Of him pursuant to Emergency Decree of no.3 year 1953 statute book of no. 47 year 1953 and number code 27, year 1959 concerning forming of Areas mount 11 in Kalimantan East, hence on January 21, 1960 in a special conference of DPRD Special Region of Kutai have executed ceremony signing of regional taking over copy of area mount II in East Kalimantan , and abolition of Special Region of Kutai and also stipulating of Samarinda become and municipality of Samarinda As capital of him on January, 21, 1960 later;then in the year 1969 Municipal of Samarinda turn into Municipality of Samarinda, till year 1980 still have status to as municipality.
As for study is image of town public of Samarinda more aimat at town geografi of Samarinda and growth of town physical of Samarinda, while governance problem to see life of good governance as municipality and governance of store level of East Kalimantan Province, problem of growth of resident, more instruct to know the make-up of residents amount and .cause increase him of is amount of residents. While study economics of Town of Samarinda to know growth of economics in life of society. Later;Then study of social to know life of society social of Samarinda which is and majemuk of multicultural. Study is problem of education in Town of Samarinda more aim at growth of amount institute educations of elementary school store;level till college. This matter as governmental effort of town in Samarinda to push society so that send to school the him in Town of Samarinda. Thereby change of growth and growth of Town of Samarinda is a interaction among role of and government of structure society social, either through individual and collectively, for real configuration concerning growth and growth of Town in Samarinda.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17226
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Anggarani
"Skripsi ini menjelaskan mengenai perjuangan AFPFL dalam mencapai kemerdekaan di Burma. Tema yang menceritakan mengenai sejarah pergerakan nasional di Burma, khususnya mengenai perjuangan AFPFL belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penulisan mengenai perjuangan AFPFL menarik untuk diteliti.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah. Adapun metode tersebut yaitu pertama heuristik atau penelusuran sumber-sumber yang berkaitan dengan penulisan skripsi. Kedua, kritik sumber yang dilakukan untuk menelaah sumber bacaan yang didapat sehingga menghasilkan fakta yang dapat diuji kebenarannya. Ketiga yaitu intepretasi yang dilakukan untuk menafsirkan fakta-fakta yang didapat melalui kritik. Tahap yang keempat yaitu historiografi yaitu rekonstruksi terhadap fakta-fakta yang telah diintepretasi.
Hasil penulisan menunjukkan bahwa AFPFL mempunyai peran yang penting dalam perjuangan kemerdekaan Burma. Peran ini terlihat dari upaya AFPFL untuk melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi terhadap etnis-etnis minoritas seperti Karen, Shan, dan Kachin. AFPFL itu sendiri merupakan satu-satunya organisasi pada anggotakan banyak unsur dalam masyarakat Burma. Anggota-anggota AFPFL melakukan serangkaian perundingan dengan Inggris guna memperjuangkan kemerdekaan Burma. Akhinya melalui proses perundingan yang panjang, Burma memperoleh kemerdekaan pada tanggal 4 Januari 1948. Kemerdekaan Burma dapat tercapai dengan cara damai dengan Inggris tanpa melalui peperangan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S12453
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Yulianty
"Khmer Merah berhasil meraih kekuasaan di Kamboja dengan menggulingkan pemerintahan Lon Nol pada 17 April 1975. Pemerintahan Khmer Merah dipimpin oleh Pol Pot, seorang pemimpin yang bersikap diktaktor. Di bawah pimpinannya, kebijakan yang ekstrim diberlakukan dengan berdasar pada prinsip sosialisme, egalitarianisme, dan self¬sufficient. Kebijakan tersebut tidak membuat Kamboja menjadi lebih baik Banyak yang menentang kebijakan yang dibuat Pol Pot. Untuk mempertahankan kekuasaannya Khmer Merah tidak segan untuk membunuh orang yang menentangnya, termasuk kader dan tokoh Khmer Merah. Pol Pot juga merasa terancam oleh negara¬negara tetangga Kamboja. Vietnam adalah ancaman terbesar bagi Pol Pot. Keinginan Vietnam untuk mewujudkan terbentuknya Federasi Indocina dan memperluas wilayah perairan di Pulau Phu Quoc menjadi ancaman bagi kekuasaan Khmer Merah dan kedaulatan Kamboja. Sikap melawan Khmer Merah kepada Vietnam membuat Vietnam berupaya untuk menjatuhkan Khmer Merah dari pemerintahan Kamboja. Invasi yang dilakukan Khmer Merah ke wilayah Vietnam menciptakan kesempatan bagi Vietnam untuk menyerang Kamboja secara besar¬besaran untuk menjatuhkan Khmer Merah. Serangan tersebut melibatkan kader¬kader Khmer Merah yang bertentangan dengan Pol Pot yang berada di Vietnam. Serangan tersebut berhasil menjatuhkan pemerintahan Khmer Merah pada 7 Januari 1979. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S12177
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela M. Mahodim
"Penelitian ini menjelaskan mengenai berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk mendapatkan keutuhan wilayah laut Indonesia. Setelah memproklamasikan kemerdekaan negaranya, Indonesia masih harus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berbagai serangan yang dilakukan oleh Belanda, akhirnya memunculkan kesadaran Negara Indonesia bahwa wilayah laut Indonesia terpisah-pisah dan terbuka untuk mendapat serangan dari luar. Kesadaran itu membawa pemerintah Republik Indonesia melakukan berbagai perjuangan?baik di dalam maupun di luar Indonesia?untuk dapat menjaga wilayah lautnya yang besar agar tidak dengan bebas dimasuki oleh negara-negara lain. Metode dalam penelitian ini menggunakan beberapa tahap. Berawal dari tahap pengumpulan sumber mengenai hal terkait. Setelah sumber-sumber terkumpul, tahap selanjutnya adalah melakukan kritik dengan cara memisahmisahkan sumber ke dalam sumber primer atau sekunder untuk kemudian membandingkannya. Setelah itu dilakukanlah tahap interpretasi untuk memaknai setiap sumber berdasarkan sudut pandang penulis. Langkah terakhir dalam penelitian ini adalah menuliskan hasil penelitian mengenai pokok permasalahan yang ingin diangkat dari sumber-sumber yang telah melalui proses sebelumnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S12335
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zaenal Abidin
"KPH (Koninklijke Paketvaart-Maatschappij) adalah perusahaan pelayaran Belanda yang memegang hak monopoli atas pelayaran antarpulau di Indonesia sejak 1890. Dalam mempertahankan monopolinya KPM mempergunakan berbagai cara yang sifatnya menghambat, seperti tidak memberikan fasilitas baik itu pelabuhan maupun pinjaman bank terhadap para pesaingnya. Akibatnya perusahaan-perusahaan pelayaran yang dikelola oleh pribumi sulit berkembang. Tahun 1942-1945, KPM menghentikan sementara usaha pelayarannya karena pendudukan Jepang terhadap Indonesia. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, bersamaan dengan datangnya kembali Belanda di Indonesia, KPM kembali menjalankan usaha pelayarannya di Indonesia. Sementara itu Pemerintah Indonesia yang telah merdeka menganggap bahwa kembalinya KPM di Indonesia menimbulkan kecurigaan terhadap kembalinya dominasi modal asing di Indonesia. Untuk itulah Pemerintah berkeinginan untuk menggantikan peranan KPM di Indonesia, maka baru pada tahun 1952 Pemerintah Indonesia membentuk PELNI (Perlayaran Nasional Indonesia). Dalam perkembangannya sejak berdirinya PELNI mengalami berbagai hambatan dalam usaha perkembangannya salah satunya adalah masih beroperasinya KPM di Indonesia. Sejak tahun 1957, ketika KPM dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia, maka PELNI sebagai perusahaan dalam negeri yang paling dominan menggantikan peranan KPM. PELNI mengalami berbagai kemajuan yang menyolok baik itu jumlah armada, pangsa muatan barang dan penumpang, serta luasnya pengoperasian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peristiwa nasionalisasi KPM tahun 1957 merupakan titik tolak berkembangnya pelayaran nasional Indonesia..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12635
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartadi Hamim
"Skripsi ini berupaya melihat perkembangan kekuatan-kekuatan yang saling bertikai pada saat setelah naskah Persetujuan Linggarjati diparaf pada pertengahan Nopember 1945 sampai ketika naskah tersebut diratifikasi oleh KNIP pada 5 Maret 1947 yang bersidang di Malang. Soekarno dan Hatta yang lebih memilih jalan berunding dalam mencapai kemerdekaan dari pada bertempur berusaha mempengaruhi ialannya perdebatan pro-kontra di sekitar naskah persetujuan tersebut melalui PP No. 6/1946. Akibat perbedaan pendapat tentang naskah lahir dua koalisi yang bertentangan yaitu Sajap Kiri yang mendukung naskah dan Benteng Repoeblik Indonesia yang menentang naskah persetujuan. PP No. 6/1946 yang berisi ketentuan presiden tentang penambahan anggota KNIP (yang akan meratifikasi naskah persetujuan) segera menjadi bahan perdebatan. Mari isi PP No. 6/1946 terlihat jelas bahwa presiden berusaha merubah KNIP yang ketika itu dikuasai oleh penentang naskah persetujuan, koalisi Benteng Repoeblik Indonesia. Ketika BP KNIP kemudian menolak PP No.6/1946, krisis pemerintahan terjadi. Konflik antara BP KNIP dengan Soekarno-Hatta terjadi, karena BP KNIP merupakan miniatur KNIP maka suara KNIP bisa dipastikan akan sama dengan suara BP KNIP. Dalam sidang KNIP di Malang akhir Februari 1947, Hatta akhirnya menawarkan pengunduran diri presiden dan wakil presiden jika PP No. 6/1946 tetap ditolak. Koalisi Benteng Repoeblik yang terdapat dalam KNIP akhirnya menyerah. PP No. 6/1946 diterima dan kemudian segera disusul oleh ratifikasi naskah Persetujuan Linggarjati. Pertikaian antara pihak Benteng Repoeblik dengan pemerintah Sjahrir yang didukung oleh sajap Kiri adalah kelanjutan dari pertikaian yang terjadi sebelumnnya. Sementara PP No. 6/1946 merupakan intervensi presiden dalam pertikaian yang juga menunjukkan konsistensi sikap Soekarno-Hatta yang pro-diplomasi. Kemenangan Soekarno-Hatta atas pihak oposisi telah semakin membuktikan kenya-taannya bahwa Soekarno-Hatta adalah penentu akhir bagi jaiarrnya revolusi Indonesa ketika itu..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12342
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>