Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aryani
"ABSTRACT
Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa hibah adalah perjanjian dengan mana pemberi hibah diwaktu hidupnya dengan cuma- cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan sesuatu barang guna keperluan penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Secara hukum, hibah dapat dilakukan oleh siapapun yang cakap menurut hukum. Skripsi ini membahas mengenai Putusan Mahkamah Agung Nomor 1745 K/Pdt/2014 yang mengangkat kasus penghibahan suatu harta bersama yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya tanpa adanya persetujuan dari si ibu atau mantan istri setelah terjadi perceraian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif guna menjawab permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini yaitu mengenai sah atau tidaknya penghibahan tersebut dengan memperhatikan pertimbangan Majelis Hakim. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penghibahan terhadap harta bersama harus mendapat persetujuan dari pihak suami dan pihak istri sepanjang tidak ada perjanjian pemisahan harta. Oleh karena itu, apabila terjadi suatu penghibahan terhadap harta bersama yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari salah satu pihak, maka hibah tersebut menjadi batal demi hukum karena telah bertentangan dengan Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan.

ABSTRACT
Article 1666 The Civil Code states that a grant is an agreement which the grantor with his own will in his life time handed over something to the grantee receiving the surrender purposely and irrevocably. By law, grants may be made by anyone who is proficient under the law. This thesis discusses the Supreme Court Decision Number 1745 K PDT 2014 which raises the case of granting by a father on joint property to his children which is done without the approval of the mother or ex wife. This research is conducted by using the normative juridical method to answer the issues raised in this writing that is whether or not the grant is valid by considering the consideration of the Panel of Judges. The result of this research concludes that grant to joint property must get approval from husband and wife side as long as there is no agreement of separation of property. Therefore, in the event of a grant to a joint property made without the consent of either party, the grant becomes null and void because it is contrary to Article 36 Paragraph 1 of the Marriage Law."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Margaretha Nova Tesalonika
"Tulisan ini menganalisis bagaimana para Majelis Hakim dalam Putusan PT Kupang Nomor 14/PDT/2023/PT KPG dan Putusan PN Subang Nomor 45/PDT.G/2019/PN SNG memutus gugatan ganti kerugian immateriil dalam perkara ingkar janji untuk mengawini sebagai perbuatan melawan hukum. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam KUHPerdata, janji untuk mengawini diatur dalam Pasal 58 yang mengatur bahwa tidak dapat dituntut untuk dilaksanakannya perkawinan maupun penggantian biaya, kerugian, atau bunga terhadap suatu janji untuk mengawini, kecuali jika janji untuk mengawini tersebut telah diikuti oleh suatu pengumuman. Janji untuk mengawini yang belum diikuti oleh pengumuman namun diingkari oleh pemberi janji dapat digugat sebagai perbuatan melawan hukum, dengan syarat telah terpenuhinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam perbuatan tersebut. Perbuatan ingkar janji untuk mengawini dapat menimbulkan kerugian materiil maupun kerugian immateriil. Dalam hukum positif Indonesia, landasan dan penghitungan gugatan ganti kerugian immateriil pada suatu perkara perbuatan melawan hukum diserahkan sepenuhnya pada subjektivitas hakim dengan prinsip ex aequo et bono. Pada Putusan PT Kupang Nomor 14/PDT/2023/PT KPG dan Putusan PN Subang Nomor 45/PDT.G/2019/PN SNG, para Majelis Hakim memiliki perbedaan pertimbangan mengenai gugatan ganti kerugian immateriil dalam perkara ingkar janji untuk mengawini yang dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Pada hasil penelitian penulisan ini, Penulis setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim PN Subang yang mengabulkan sebagian gugatan ganti kerugian immateriil meskipun belum terdapat pengaturannya yang jelas dalam hukum positif Indonesia. Majelis Hakim PN Subang mempertimbangkan yurisprudensi terkait dan fakta-fakta dalam persidangan untuk mewujudkan bentuk pertanggungjawaban Tergugat atas kerugian immateriil yang ditimbulkan dari perbuatannya. Berbeda dengan pertimbangan Majelis Hakim PT Kupang yang menolak gugatan ganti kerugian immateriil sepenuhnya tanpa mempertimbangkan yurisprudensi terkait dan fakta-fakta dalam persidangan, telah memperlihatkan bahwa Majelis Hakim PT Kupang belum menerapkan prinsip ex aequo et bono dengan baik guna mewujudkan keadilan.

This paper analyzes the decision of the Kupang High Court Decision Number 14/PDT/2023/PT KPG and the Subang District Court Decision Number 45/PDT.G/2019/PN SNG on the claim for immaterial compensation in cases of false promises upon marriage as acts of tort. The study is conducted using the doctrinal research method. In the Indonesian Civil Code, a promise to marry is regulated in Article 58 which states that no claim can be made for the performance of the marriage or compensation for costs, losses, or interest on a promise to marry unless the promise has been followed by an announcement. A promise to marry that has not been followed by an announcement but is denied by the promisee can be sued as an act of tort, provided that the elements of an act of tort in the act have been fulfilled. False promises upon marriage can result in material or immaterial losses. The basis and calculation of claims for immaterial compensation in acts of tort are left to the judge's subjectivity with the principle of ex aequo et bono. The author agrees with The Subang District Court Panel of Judges that granted some claims for immaterial compensation, considering the related jurisprudence and facts in the trial to realize the defendant's form of responsibility for immaterial losses arising from their actions. In contrast, the Kupang High Court Panel of Judges rejected the claim for immaterial compensation completely without considering the relevant jurisprudence and facts in the trial. The study demonstrates that the Kupang High Court Panel of Judges has not properly applied the ex aequo et bono principle to achieve justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library