Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Yuda Herdanto
"Prevalensi aritmia ventrikel maligna pasca koreksi Tetralogi Fallot (TOF) masih tinggi. Deteksi dini aritmia pasca operasi dilakukan dengan perekaman holter EKG. Modalitas ini tidak tersedia luas di seluruh pelayanan kesehatan. Perlu adanya studi yang menilai hubungan antara fragmentasi QRS berat yang dinilai dengan menggunakan EKG 12 sadapan dengan kejadian aritmia ventrikel pasca koreksi TOF. Studi observasional (potong lintang) pada 59 pasien pasca koreksi TOF >1 tahun dari waktu operasi. Dilakukan pemeriksaan EKG  12 sadapan untuk menilai derajat fragmentasi QRS dan dinilai hubungannya dengan temuan aritmia ventrikel berpotensi maligna dari holter EKG 24 jam. Fragmentasi QRS pada penelitian ini diklasifikasikan sebagai berat (fragmentasi >5 sadapan) dan tanpa fragmentasi berat (0–5 sadapan).  Sebesar  37,3% pasien menjalani operasi koreksi TOF  pada usia >3 tahun. Terdapat 89,8% subyek dengan fragmentasi QRS, dan 57,6% diantaranya dengan fragmentasi QRS berat. Kejadian aritmia ventrikel berpotensi maligna ditemukan pada 40,7% subyek, dan 45,8% diantaranya tidak mempunyai keluhan. Berdasarkan analisis multivariat, fragmentasi QRS derajat berat (OR 8,6[95% IK1,9 – 39,5]) dan interval operasi >7 tahun (OR 8,9[95% IK2,2 – 35,9]) merupakan faktor independen aritmia ventrikel (p<0,05). Terdapat hubungan antara derajat fragmentasi QRS berat dengan kejadian aritmia ventrikel berpotensi maligna, dengan besar risiko delapan kali dibanding pasien tanpa fragmentasi QRS berat.

The prevalence of malignant ventricular arrhythmias after Tetralogy of Fallot (TOF) repair is high. Through ECG holter monitoring, early detection for post-operative arrhythmia can be achieved. Unfortunately, this modality is not widely available. Further study is necessary to evaluate the association between severe QRS fragmentation from 12-leads ECG and incidence of ventricular arrhythmias after TOF repair. This cross-sectional study was done in 59 repaired TOF patients >1 year from time of surgery. QRS fragmentation was defined as notches in QRS complex and classified as severe QRS fragmentation (>5 leads) and none-to-moderate QRS fragmentation (0 – 5 leads). Mean age of 193 + 151 months, 37.3% of patients underwent surgery > 3 years of age. QRS fragmentation was found in 89.8% of subjects, and 57.6% presented with severe QRS fragmentation. The incidence of potentially malignant ventricular arrhythmias was 40.7%, but 45.8% were asymptomatic. On multivariate analysis, severe QRS fragmentation (OR 8,6[95% CI1,9 – 39,5]) and over than 7 years of operating intervals (OR 8,9[95% CI2,2 – 35,9]) were found as independent factors for ventricular arrhythmia occurrence (p <0.05). There is an association between severe QRS fragmentation and incidence of potentially malignant ventricular arrhythmias, with eight times greater risk in patients with none-to-moderate QRS fragmentation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhestiro Harnindyo Putro
"Latar Belakang : Telah banyak dipublikasikan berbagai macam algoritme untukmenentukan lokasi jaras tambahan pada pasien dengan sindroma Wolff-ParkinsonWhite.Algoritme-algoritme tersebut memiliki akurasi yang baik meskipunmemiliki alur yang komplek dan sulit untuk diingat. Berbagai macam algoritmeyang berkembang menggunakan morfologi delta wave dan polaritas komplek QRSdalam penyusunannya. Dengan adanya teknologi kateter ablasi yang ada saat inialgoritme yang komplek tidak diperlukan lagi. Diperlukan suatu algoritme yangsederhana, memiliki akurasi yang baik dan mudah diingat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai akurasi algoritme sederhana untuk memprediksi lokasi jarastambahan.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan diDepartemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI/ Pusat Jantung NasionalHarapan Kita PJNHK. Data yang diambil berupa elektrokardiografi EKG pada67 pasien dengan sindroma Wolff-Parkinson-White yang menjalani tindakan ablasiperiode Januari 2014 - Oktober 2016. Data EKG yang terkumpul dibacaberdasarkan algoritme baru oleh dua orang penilai independen kemudiandibandingkan dengan hasil ablasi pada tabel 2x2.
Hasil Penelitian : sampel akhir sebanyak 47 data hasil bacaan EKG observerterpercaya dihitung berdasarkan tabel 2x2 dengan hasil ablasi. Hasil menunjukkanalgoritme ini memiliki sensitivitas left free wall 45, septal 80, right free wall92, spesifisitas left free wall 96, septal 69, right free wall 85. Nilai dugapositif NDP left free wall 90, septal 55, dan right free wall 67. Nilai duganegatif NDN left free wall 70, septal 88, dan right free wall 97. Akurasialgoritme bervariasi dari 73 -87. Didapatkan perhitungan kesepahaman antarpenilai dengan nilai kappa 0,74-0,93. Perhitungan likelihood ratio menunjukkanlikelihood ratio positif left free wall 11,23, septal 2,23, dan right free wall 6,57.Likelihood ratio negatif left free wall 0,57, septa 0,28, dan right free wall 0,09.
Kesimpulan : Algoritme baru yang lebih sederhana ini memiliki akurasi yang baikdengan angka kesepahaman antar penilai yang baik sehingga dapat digunakansecara umum.

Background : A lot of algorithms in localizing accessory pathway AP in patientswith Wolff Parkinson White Syndrome have been published. Although many ofthose methods have high accuracy, they are complicated and difficult to memorize.Most of the established algorithm use delta wave morphology and QRS polarity todetermine the location. With the technology of catheter ablation nowadays suchcomplex algorithms are not really needed. This study aim to investigate theaccuracy of a simple algorithm to predict the location of accessory pathways.
Methods : This was a cross sectional study conducted in the NationalCardiovascular Center Harapan Kita RSJPDHK Department Cardiology andVascular Medicine, FMUI. The electrocardiography ECG findings of 67 patientswith Wolff Parkinson White syndrome underwent ablations from January 2014until October 2016 were used in the current study. Those ECGs were analyzed usingthe new algorithm and were evaluated by two independent observers and comparedwith ablation results in a 2x2 table.
Results : The final number of samples was 47 ECGs. The algorithm showed it hada sensitivity of 45 on left free wall, 80 on septal, 92 on right free wall APs inaddition to the specificity of 96 on left free wall, 69 on septal, 85 on right freewall APs. Positive predictive value PPV were 90 on left free wall, 55 on septaland 67 on right free wall APs. Negative predictive value NPV were 70 on leftfree wall, 88 on septal and 97 on right free wall APs. Algorithm accuracy variedfrom 73 to 87. Inter observer agreement calculation was a kappa of 0.74 mdash 0.93.Likelihood ratio calculation identified the positive likelihood ratio of 11.23 on leftfree wall, 2.23 on septal and 6.57 on right free wall APs and negative likelihoodratio of 0.57 on left free wall, 0.28 on septal and 0.09 on right free wall APs.
Conclusion : This new and simple algorithm provide a remarkable accuracy with agood inter observer agreements. Therefore this algorithm is potential to beimplemented in general practice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55653
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Chandra
"ABSTRAK
Latar Belakang. Sindrom Brugada diketahui menjadi penyebab dari setidaknya 4 dari seluruh kematian mendadak dan 20 dari kematian mendadak pada struktur jantung normal. Saat ini, hanya pola EKG Sindrom Brugada tipe 1 yang bersifat diagnostik sedangkan pola tipe 2 dan 3 tidak diagnostik. Sudut > 580 memiliki nilai diagnosis yang baik pada populasi dengan EKG pola Brugada tipe 2 dan 3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah parameter tersebut mempunyai hubungan dengan kejadian aritmia pada pasien Sindrom Brugada tipe 2 dan 3.Metode. Studi kasus kontrol ini dilakukan terhadap 29 subjek dengan EKG pola Brugada tipe 2 dan 3 di RS Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSPJDHK dari periode November 2013 - 2017. Tiga belas subjek dengan riwayat kejadian aritmia menjadi kelompok kasus dan 16 subjek tanpa kejadian aritmia menjadi kelompok kontrol. Data primer yang diambil antara lain riwayat henti jantung mendadak, TV/FV yang terdokumentasi, riwayat sinkop dengan kecurigaan etiologi aritmia dan riwayat pada keluarga serta interogasi data defibrillator kardioverter implan DKI pada subjek yang terpasang DKI. Data sekunder berupa data EKG yang kemudian dilakukan pengukuran sudut pada sadapan prekordial kanan oleh 2 penilai lalu dilakukan analisis statistik.Hasil. Pengukuran sudut oleh 2 penilai tidak terdapat perbedaan bermakna dengan nilai Cronbach rsquo;s Alpha 0,93. Analisa statistik menunjukkan tidak didapatkan perbedaan proporsi yang bermakna antara sudut > 58o terhadap kejadian aritmia pada kedua kelompok kasus dan kontrol. Dilakukan analisis korelasi, terlihat korelasi positif antara sudut r=0,50, p 58o dengan kejadian aritmia pada Sindrom Brugada. Terlihat korelasi positif antara sudut dengan kejadian aritmia namun hal ini masih diperlukan studi lebih lanjut.Kata kunci : sudut , sindrom Brugada.

ABSTRACT
Brugada syndrome is known to be the cause of at least 4 of all sudden deaths and 20 of sudden deaths in structurally normal hearts. To this day, only type 1 Brugada Syndrome ECG pattern is diagnostic, while type 2 and 3 are not. A angle ge 58o has a good diagnostic value in population with Brugada ECG pattern type 2 and 3. This study aims to evaluate whether this parameter is associated with arrhythmic events in patients with Brugada Syndrome type 2 and 3.Methods. This case control study is carried out towards 29 subjects with Brugada ECG pattern type 2 and 3 in National Cardiovascular Center Harapan Kita NCCHK from November 2013 until November 2017. Thirteen subjects with history of arrhythmic events make up the case group while 16 subjects without arrhythmic events make up the control group. Primary data acquired was history of sudden cardiac arrest, documented VT VF, history of syncope suspected of arrhythmic origin and family history, and also interrogation data from implantable cardioverter defibrillator ICD in subjects with ICD. Secondary data were ECG data, from which angle was measured in the right precordial leads by two observers, and then statistical analysis was carried out.Results. From angle measurement by two observers, there was not a significant difference with Cronbach rsquo s Alpha of 0,93. Statistical analysis showed no significant association between a angle ge 58o and arrhythmic events. Correlation analysis was carried out, and a positive correlation was shown r 0,50, p"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Syarif
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manuver vagal merupakan usaha lini pertama yang dilakukan pada pasien takikardia supraventrikel untuk mendapatkan konversi irama. Studi sebelumnya menunjukkan pemanjangan interval AH pada manuver Valsava. Mekanisme elektrofisiologi yang mendasari peningkatan efektifitas keberhasilan manuver Valsava termodifikasi belum diketahui dengan pasti. Tujuan: Mengetahui mekanisme elektrofisiologis yang mendasari keberhasilan peningkatan efektifitas manuver Valsava termodifikasi pada praktek klinis dibandingkan manuver Valsava standar. Metode: pasien takikarida supraventrikular TSV yang menjalani studi elektrofisiologi dan/atau ablasi radiofrekuensi di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dengan irama sinus. Pasien dilakukan induksi TSV sebelum dimulai prosedur, kemudian dilakukan manuver Valsava standar dan manuver Valsava termodifikasi secara crossover dan dievaluasi data elektrofisiologi termasuk interval AH selama 1 menit Hasil: Dari 16 pasien TSV didapatkan rerata Dinterval AH fase 4 manuver Valsava standar sebesar 10,6 28,6 ms dan Dinterval AH fase 4 manuver Valsava termodifikasi sebesar 35 27,6 ms dibandingkan kondisi pre-manuver sehingga terdapat peningkatan yang bermakna pada Dinterval AH sebesar 24,4 27,6 ms p=0,003 pada manuver Valsava termodifikasi dibanding manuver Valsava standar. Kesimpulan : Terdapat peningkatan respon vagal pada manuver Valsava termodifikasi yang digambarkan oleh pemanjangan interval AH yang lebih besar pada manuver Valsava termodifikasi dibandingkan manuver Valsava standar.

ABSTRACT<>br>
Background Vagal maneuver is a first line treatment for patient with stable supraventrikular tachycardia. Previous study showed prolongation of AH interval in Valsava maneuver. The electrophysiological mechanism of modified Valsava manuerver is not well understood. Objective To understand the electrophysiological mechanism of modified Valsava maneuver in SVT patient. Method Patient with supraventricular tachycardia SVT scheduled for electrophysiological study and or ablation procedure in National Cardiovascular Centre Harapan Kita NCCHK . SVT was induced in these patient and pre manuever data was collected, then standard Valsava and modified Valsava was performed with crossover design. Electrophysiological and hemodynamic data was then analyzed up to 1 minute after the maneuvers. Result From 16 SVT patients, DAH interval in phase 4 of standard Valsava maneuver was 10,6 28,6 ms dan DAH interval in phase 4 of modified Valsava maneuver was 35 27,6 ms compared to pre manuever data. Significant increase of 24,4 27,6 ms p 0,003 in DAH interval in phase 4 for modified Valsava maneuver was achieved compared to standar Valsava maneuver. Conclusion Increase vagal response in modified Valsava was shown by prolongation of AH interval compared to standar vaslsava maneuver."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Tritansa Faizal
"Aritmia jalur keluar ventrikel (AJKV) sering didapatkan pada populasi umum. Ablasi radiofrekuensi modalitas terapi dengan tingkat keberhasilan tinggi pada AJKV. Menentukan sumber aritmia penting dilakukan karena membantu dalam memilih tehnik ablasi, menghindari komplikasi, serta menghemat waktu fluoroskopi. Algoritma EKG adalah metode yang telah luas dipergunakan untuk memprediksi sumber AJKV, namun membutuhkan keterampilan dalam analisis dan interpretasi EKG. Studi sebelumnya menduga bahwa terjadinya AJKV kiri disebabkan adanya perubahan anatomi aorta. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara sudut aortoseptal yang dinilai secara ekokardiografi dengan sumber AJKV. Studi potong lintang pada 60 pasien pascaablasi AJKV. Sudut aortoseptal diukur pada gambar parasternal long axis (PLAX) secara ekokardiografi, sumber AJKV ditentukan berdasarkan pemetaan saat tindakan radiofrekuensi ablasi. Mayoritas subyek merupakan pasien dengan AJKV kanan (n=40, 66.7%). Analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada variabel usia, tebal septum interventrikular dan sudut aortoseptal antara pasien dengan AJKV kanan dan kiri (p<0,05). Analisis receiver operating characteristic (ROC) dan analisis multivariat menunjukkan bahwa sudut aortoseptal <129.2o merupakan variabel yang secara independen berhubungan dengan sumber AJKV kiri (OR 8.98; IK 2.39-33.75; p=0.001). Terdapat hubungan antara sudut aortoseptal yang diukur secara ekokardiografi dengan sumber AJKV.

Outflow tract ventricular arrhythmias (OTVA) often found in general population. Radiofrequency ablation has become therapeutic modality with high success rate for OTVA. Determining origin of OTVA before ablation is important because will help in choosing approach, avoiding complications, and saving time. ECG-based criteria is method has been widely used to predict origin OTVA, but requires skills in analysis and interpretation. Previous studies suspected that occurrence of left OTVA due to aortic root anatomical changes. This study aim to assess association between aortoseptal angulation and OTVA origin. Cross-sectional study in 60 patients after OTVA ablation, aortoseptal angulation measured on parasternal long axis (PLAX) view by echocardiographic examinations, origin OTVA determined based on mapping during radiofrequency ablation. Majority subjects were right OTVA (n = 40, 66.7%). Bivariate analysis showed there were significant differences in age, interventricular septum thickness and aortoseptal angulation between right and left OTVA (p <0.05). Receiver operating characteristic (ROC) analysis and multivariate analysis showed that aortoseptal angulation <129.2˚ was variable that independently related to left OTVA origin (OR 8.98; IK 2.39-33.75; p= 0.001). There is association between aortoseptal angulation measurement by echocardiography with OTVA origin. Angle below 129.2˚ have 75% specificity and sensitivity to predict a LVOT origin OTVA"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fridyan Ratnasari
"Latar Belakang: FA merupakan salah satu masalah aritmia yang paling umum terjadi dengan prevalensi yang terus meningkat seiring dengan penuaan populasi dan peningkatan angka kejadian penyakit kardiovaskular. Manajemen FA dengan ablasi mampu mengurangi gejala pasien, namun angka rekurensi FA yang masih tinggi (10- 30%) pasca ablasi terus menjadi bahan penelitian dengan mekanisme yang masih belum dipahami. Remodelling atrial memiliki peran penting dalam progresi FA. Ketebalan dinding atrium kiri yang bervariasi menyebabkan adanya perbedaan propagasi dan penetrasi dari tindakan ablasi, sehingga penilaian ketebalan dinding atrium kiri penting dalam proses tindakan ablasi FA.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara ketebalan atrium kiri dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi FA.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan menggunakan data pasien ablasi fibrilasi atrium di RSJPD Harapan Kita pada periode Januari 2018- Januari 2023. Evaluasi rekurensi aritmia atrial dilakukan dengan EKG 12 sadapan, pemeriksaan Holter monitoring 24 jam. Penilaian ketebalan dinding atrium kiri dilakukan dengan pemeriksaan CT scan kardiak. Dilakukan analisis bivariat dan multivariat antara ketebalan dinding atrium kiri dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi.
Hasil: Dari 127 pasien pasca ablasi FA, didapatkan rata-rata pasien berusia 55 tahun dengan jenis kelamin laki-laki 64%. Berdasarkan tipe FA didapatkan 65% merupakan FA paroksismal. Ketebalan dinding atrium kiri (OR 1,56; IK 95% 1,20-2,03; p value < 0,001) dan diameter atrium kiri berdasarkan ekokardiografi (OR 1,07; IK 95% 1,00- 1,14; p value 0,0038) berhubungan secara signifikan dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi.

Background: Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia and its prevalence increases with age. Management of catheter ablation is effective in reducing symptom burden but its recurrence rate is still considered high (10-30%) with unclear mechanism. Atrial remodeling plays important role in AF progression. The left atrial wall thickness (LAWT) is heterogenous which cause different propagation and penetration of ablation power. Recurrence of arrhythmia atrial after catheter ablation for atrial fibrillation (AF) has been considered as a common phenomenon but its mechanism and implication in long-term outcome has not been fully understood.
Objective: We aimed to clarify the relation between left atrial wall thickness and arrhythmia atrial recurences after ablation
Metode: A total of 127 patients with history of catheter ablation for AF were consecutively recruited from period of January 2018- January 2023. Recurrences was defined as recurrence of atrial tachyarrhythmia using surface electrocardiogram and Holter monitoring. LAWT was assessed using cardiac CT scan. The statistical analysis was performed to find the relationship between the left atrial wall thickness and arrhythmia atrial recurrences.
Results: From 127 patients post catheter ablation for AF, patients included mean age of 55 years old and 64% patients are male. Based on type of AF, most of patients (65%) are paroxysmal AF. The mean left atrial wall thickness (OR 1,56; IK 95% 1,20- 2,03; p value < 0,001) and diameter of left atrium from echocardiography (OR 1,07; IK 95% 1,00-1,14; p value 0,0038) were significantly associated with arrhythmia atrial post catheter ablation.
Conclusion: Left atrial wall thickness assessed with CT cardiac increased 4.4 times arrhythmia atrial recurrences post catheter ablation of AF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Paskariatne Probo Dewi Yamin
"[ABSTRAK
Latar Belakang. Malnutrisi merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang banyak dijumpai terutama di negara berkembang. Malnutrisi pada pasien gagal jantung diketahui berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk, meliputi peningkatan lama perawatan, readmisi dan mortalitas. Pada pasien gagal jantung dekompensasi akut (GJDA), perburukan fungsi ginjal (PFG) selama perawatan diduga merupakan komorbid yang memberikan dampak luaran klinis yang lebih buruk tersebut. Namun sampai saat ini belum diketahui bagaimana hubungan antara status malnutrisi dengan terjadinya PFG pada pasien GJDA. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status malnutrisi dengan terjadinya PFG pada pasien GJDA, sekaligus untuk menilai besarnya pengaruh malnutrisi terhadap luaran klinis tersebut.
Metode. Studi kohort prospektif dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK). Kejadian PFG didefinisikan sebagai peningkatan nilai kreatinin > 0,3 mg/dL atau > 25% dibandingkan kreatinin saat masuk rawat. Karakteristik dasar, pemeriksaan klinis awal, status antropometri dan data laboratorium diambil pada saat admisi. Pasien dibagi berdasarkan nilai NRI menjadi kelompok malnutrisi (NRI < 97,5) dan tidak malnutrisi (NRI > 97,5). Kemudian pemeriksaan serial kreatinin dilakukan dengan interval setiap 3 hari selama pasien menjalani perawatan di RS. Data kemudian diolah dengan analisis bivariat dan multivariat untuk mengetahui hubungan antara malnutrisi dengan PFG, lama perawatan, dan mortalitas.
Hasil Penelitian. Sebanyak 265 pasien GJDA diikutsertakan dalam penelitian ini, dengan proporsi kelompok malnutrisi sebesar 50,2%. Pada kelompok malnutrisi PFG terjadi pada 31,6% pasien, sedangkan pada kelompok tidak malnutrisi sebesar 26,5% pasien. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara malnutrisi dengan kejadian PFG, namun terdapat kecenderungan peningkatan risiko PFG pada pasien GJDA yang disertai malnutrisi (OR 1,279; 95%IK 0,751-2,178; p=0,364). Malnutrisi ditemukan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingginya lama rawat (HR 6,254; 95%IK 4,614-8,477; p<0,001) serta kematian pada pasien GJDA.
Kesimpulan. Penelitian prospektif ini tidak menemukan hubungan yang bermakna antara malnutrisi dengan PFG, namun didapatkan kecenderungan bahwa malnutrisi akan semakin meningkatkan risiko terjadinya PFG pada pasien GJDA. Pada pasien GJDA di RSJPDHK ditemukan proporsi malnutrisi yang sangat besar, dan malnutrisi pada kelompok ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap tingginya lama perawatan serta kematian.

ABSTRACT
Background. Malnutrition is the leading cause of disease burden especially in developing countries. Malnutrition in heart failure patients is associated with longer length of stay (LOS), higher readmission and mortality rates. Worsening renal function (WRF) has also been shown to contribute to the worsened outcomes in patients with acute decompensated heart failure (ADHF) patients. It is not known, however, whether malnutrition contributed to the worse outcomes in ADHF patient through the WRF. Accordingly, this study sought to investigate the association between malnutrition and WRF in ADHF patients.
Methods. A prospective cohort study was conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) to all patients admitted with ADHF. WRF was defined as the occurrence, at any time during the hospitalization, of > 0,3 mg/dL or > 25% increase in serum creatinine from admission. Baseline and clinical characteristics, anthropometry status, and laboratory data were collected during hospital admission. Subjects were divided based on NRI into malnutrition (NRI < 97,5) and no malnutrition group (NRI > 97,5). Serial serum creatinine was evaluated within 3 days interval during hospitalization. Statistical analysis was done using bivariate and multivariate analysis to determine the association between malnutrition with WRF, LOS and mortality rates.
Results. Two hundred and sixty-five ADHF patients were included in this cohort study. Of those subjects, 50,2% were on malnutrition group. WRF occured in 31,6% patients of malnutrition group and 26,5% patients of no malnutrition group. Although there was an increased probability of WRF occurence in ADHF patients with malnutrition (OR 1,279; 95%CI 0,751-2,178; p=0,364), but this increased probability was not statistically significant. Malnutrition was found significantly prolonged the LOS (HR 6,254; 95%CI 4,614-8,477; p<0,001) and increased mortality rates in ADHF patients.
Conclusion. This prospective study demonstrated there was no significant association between malnutrition and WRF, but there was an increased probability of WRF occurrences in ADHF patients with malnutrition. Nevertheless, we found high burden of malnutrition in ADHF patients in NCCHK, and this burden contributed significantly to longer LOS and higher mortality rates in this population., Background. Malnutrition is the leading cause of disease burden especially in developing countries. Malnutrition in heart failure patients is associated with longer length of stay (LOS), higher readmission and mortality rates. Worsening renal function (WRF) has also been shown to contribute to the worsened outcomes in patients with acute decompensated heart failure (ADHF) patients. It is not known, however, whether malnutrition contributed to the worse outcomes in ADHF patient through the WRF. Accordingly, this study sought to investigate the association between malnutrition and WRF in ADHF patients.
Methods. A prospective cohort study was conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) to all patients admitted with ADHF. WRF was defined as the occurrence, at any time during the hospitalization, of > 0,3 mg/dL or > 25% increase in serum creatinine from admission. Baseline and clinical characteristics, anthropometry status, and laboratory data were collected during hospital admission. Subjects were divided based on NRI into malnutrition (NRI < 97,5) and no malnutrition group (NRI > 97,5). Serial serum creatinine was evaluated within 3 days interval during hospitalization. Statistical analysis was done using bivariate and multivariate analysis to determine the association between malnutrition with WRF, LOS and mortality rates.
Results. Two hundred and sixty-five ADHF patients were included in this cohort study. Of those subjects, 50,2% were on malnutrition group. WRF occured in 31,6% patients of malnutrition group and 26,5% patients of no malnutrition group. Although there was an increased probability of WRF occurence in ADHF patients with malnutrition (OR 1,279; 95%CI 0,751-2,178; p=0,364), but this increased probability was not statistically significant. Malnutrition was found significantly prolonged the LOS (HR 6,254; 95%CI 4,614-8,477; p<0,001) and increased mortality rates in ADHF patients.
Conclusion. This prospective study demonstrated there was no significant association between malnutrition and WRF, but there was an increased probability of WRF occurrences in ADHF patients with malnutrition. Nevertheless, we found high burden of malnutrition in ADHF patients in NCCHK, and this burden contributed significantly to longer LOS and higher mortality rates in this population.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irnizarifka
"ABSTRAK
Latar Belakang : Meskipun manajemen gagal jantung (GJ) semakin maju, prognosis pasien tetap belum membaik. Hal ini disebabkan karena adanya komorbid, terutama perburukan fungsi ginjal yang juga memainkan peran utama dalam patofisiologi GJ. Pada tahun 2015, Putri dkk
telah mengembangkan sistim skor VKPP untuk memprediksi perburukan fungsi ginjal pada pasien dengan Gagal Jantung Dekompensasi Akut (GJDA), yang variabelnya terdiri atas jenis kelamin perempuan, Hb < 12,5 mg/dl, kreatinin awal > 2,5 mg/dl, riwayat hipertensi, dan usia > 75 tahun. Nilai diskriminasi sistim skor tersebut 0,682 (95% IK; 0,630 - 0,734). Sampai saat ini, belum ada validasi eksternal pada sistim skor VKPP tersebut, sehingga perlu dilakukan agar dapat diimplementasikan secara klinis.
Tujuan : Melakukan validasi eksternal sistim skor Kardio-Renal VKPP pada pasien dengan GJDA yang menjalani rawat inap.
Metode : Penelitian merupakan studi kohort retrospektif dengan metode validasi eksternal temporal yang dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Universitas Indonesia/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, menggunakan data sekunder September 2015 hingga April 2016, yang diambil secara consecutive sampling. Analisis data ditujukan untuk mendapatkan nilai kalibrasi dan diskriminasi.
Hasil : Sampel akhir berjumlah 418, dengan kejadian perburukan fungsi ginjal sebesar 20,3%. Odds Ratio (OR) semua variabel sesuai dengan OR pada studi VKPP, kecuali variabel jenis kelamin perempuan yang justru tidak menjadi faktor risiko (OR 0,78; 95% IK 0,43-1,45).
Setelah dilakukan penghitungan skor VKPP pada semua sampel studi, didapatkan nilai kalibrasi 0,594 dan diskriminasi/AUC sebesar 0,568 (95% IK; 0,502 - 0,634). Pada studi Validasi, kejadian perburukan fungsi ginjal pada kelompok risiko rendah, sedang, dan tinggi yang dihitung menggunakan skor VKPP berurutan sebesar 18,6%, 21,9%, dan 29,6%. Dengan demikian, hanya kelompok risiko rendah yang berada pada rentang probabilitas prediksi perburukan fungsi ginjal yakni 11-26% (pada risiko sedang dan tinggi sebesar 27-49,5% dan 50-80%).
Kesimpulan : Sistim skor VKPP secara eksternal valid untuk memprediksi kelompok risiko rendah, namun masih perlu kajian lebih lanjut pada kelompok risiko sedang dan tinggi.

ABSTRACT
Background : Although the management of Heart Failure (HF) has developed, prognosis of patients still not significantly improved. It is due to comorbidities, especially worsening kidney function, which also plays a major role in the pathophysiology of HF. In 2015, Putri et al have developed a scoring system (VKPP score) to predict worsening of renal function in patients with
Acute Decompensated Heart Failure (ADHF), in which predictors are female, Hb < 12.5 mg/dl, admission creatinine > 2.5 mg/dl, history of hypertension, and age > 75 years . This scoring system yields discrimination value of 0.682 (95% CI; 0.630 to 0.734). Until now, there has been no external validation on the VKPP scoring system, therefore it is needed in order to implement
them clinically.
Objective : To validate externally the VKPP Cardio-Renal scoring system in patients who are hospitalized with ADHF.
Methods : This is a retrospective cohort study with temporal external validation method that performed at the Department of Cardiology and Vascular Medicine, Universitas
Indonesia/National Cardiovascular Center Harapan Kita, using secondary data from September 2015 until April 2016, which taken by consecutive sampling method. The data analysis is intended to develop the value of calibration and discrimination.
Results : The final samples are 418, with 20.3 % incidence of kidney function deterioration. Odds Ratio of all predictors is similar with the result in VKPP study, except female variable which is not a risk factor (OR 0.78; 95% CI; 0,43-1,45). As final, the calibration and
discrimination values are 0.594 and 0.568 (95% CI; 0.502-0.634). In the validation study, the incidence of worsening renal function in the low, moderate, and high risk group which are calculated using VKPP consecutively valued 18.6 % , 21.9 % and 29.6 %. However, only the
low-risk group who were in the range of probability predictions of worsening renal functions, which is 11-26 % (moderate and high risk valued 27 to 49.5 % and 50-80 %).
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fandi Ahmad
"Latar Belakang : Penyakit jantung katup khususnya katup mitral dengan etiologirematik sering berakhir dengan fibrilasi atrium FA. Stenosis mitral SM maupun regurgitasi mitral RM, ditambah dengan fibrosis atrium pada prosesrematik menyebabkan terjadinya remodeling struktural dan remodeling elektrisyang diduga berperan dalam timbulnya FA. Bedah reduksi atrium kiri pada pasienFA yang menjalani operasi katup mitral, merupakan prosedur yang relatifsederhana, tidak memakan waktu operasi yang lama, dan relatif murah yangdiduga memiliki pengaruh terhadap konversi irama.
Tujuan : Menilai pengaruh bedah reduksi atrium kiri terhadap konversi iramajangka pendek dan jangka panjang pada pasien fibrilasi atrium dengan penyakitkatup mitral rematik yang menjalani pembedahan.
Metode : Telah dilakukan studi kohort retrospektif pada pasien fibrilasi atriumdengan penyakit katup mitral rematik yang menjalani operasi katup mitral selamaperiode Mei 2012 sampai dengan Mei 2016 di RS Jantung dan Pembuluh DarahHarapan Kita. Tindakan bedah reduksi atrium kiri dalam hal ini menjadi variabelindependen yang diperkirakan memiliki pengaruh terhadap konversi irama padapasien fibrilasi atrium dengan penyakit katup mitral rematik. Variabel dependenpada penelitian ini adalah konversi irama, yang dinilai melalui pengamatan jangkapendek dan jangka panjang.
Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 257 sampel, terdiri dari 131 orang yangmenjalani bedah reduksi dan 126 orang tanpa bedah reduksi. Pada kelompokbedah reduksi, didapatkan 42 subjek 32,1 yang mengalami konversi iramajangka pendek dan 37 subjek 28,2 yang mengalami konversi irama jangkapanjang. Dari hasil analisis multivariat, variabel yang bermakna terhadap konversiirama jangka pendek yaitu bedah reduksi atrium kiri dengan OR 0,56 IK 95 0,31 ndash; 0,98 dan nilai p=0,044 serta penggunaan penyekat beta dengan OR 0,56 IK 95 0,31 ndash; 0,99 dan nilai p=0,047. Sementara variabel yang bermaknaterhadap konversi irama jangka panjang yaitu bedah reduksi atrium kiri denganOR 0,51 IK 95 0,28 ndash; 0,94 dan nilai p=0,031, penggunaan penyekat betadengan OR 0,53 IK 95 0,28 ndash; 0,98 dan nilai p=0,042, dan indeks volumeatrium kiri prabedah le;146 ml/m2 dengan OR 0,47 IK 95 0,26 ndash; 0,87 dan nilaip=0,017.
Kesimpulan : Bedah reduksi atrium kiri memiliki pengaruh terhadap konversiirama jangka pendek maupun jangka panjang pada pasien fibrilasi atrium denganpenyakit katup mitral rematik yang menjalani pembedahan.

Background : Valvular heart disease, especially rheumatic mitral valve diseaseoften coexists with atrial fibrillation AF. Mitral stenosis MS and mitralregurgitation MR with atrial fibrosis because of rheumatic process, resulting instructural remodeling and electrical remodeling of left atrium which contribute foroccurence of AF. Left atrial reduction surgery with mitral valve correction issimple procedure, takes relatively short operation time, and quite inexpensive asan alternative treatment for AF in rheumatic mitral valve disease.
Objective : Assessing the effect of left atrial reduction for short term and longterm rhythm conversion of AF in rheumatic mitral valve disease.
Method : We conducted a retrospective cohort study in atrial fibrillation patientswith rheumatic mitral valve disease who underwent mitral valve surgery duringthe period of May 2012 until May 2016 in the National Cardiovascular Center Harapan Kita. Left atrial reduction surgery became an independent variable whichexpected to have an influence on the rhythm conversion. The dependent variablewas the conversion of rhythm which was assessed through the observation in ashort term and long term.
Result : There were 257 subjects in this study, consisting of 131 subjects in theleft atrial reduction group and 126 subjects in the non left atrial reduction group.In left atrial reduction group, there were 42 subjects 32,1 with sinus rhythm inshort term observation and 37 subjects 28,2 with sinus rhythm during longterm observation. From multivariat analysis, the significant variable for the shortterm rhythm conversion were left atrial reduction with OR 0,56 CI 95 0,31 ndash 0,98 and p 0,044 and also beta blocker therapy with OR 0,56 CI 95 0,31 ndash 0,99 and p 0,047. While the significant variable for rhythm conversion in longterm were left atrial reduction with OR 0,51 CI 95 0,28 ndash 0,94 and p 0,031,beta blocker therapy with OR 0,53 CI 95 0,28 ndash 0,98 and p 0,042, and alsopre operation left atrial volume index le 146 ml m2 with OR 0,47 CI 95 0,26 ndash 0,87 and p 0,017.
Conclusion : Left atrial reduction has an effect for short term and long termrhythm conversion of AF in rheumatic mitral valve disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55635
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wibisono Firmanda
"Latar belakang: Penyakit katup mitral rematik akan menyebabkan remodeling struktural dan remodeling elektris pada atrium kiri, yang mengakibatkan perubahan irama sinus menjadi fibrilasi atrium (FA). Intervensi atrium kiri (IAK) berupa reduksi dinding posterior atrium kiri dan/atau isolasi apendiks atrium kiri pada bedah katup mitral rematik untuk mengurangi faktor substrat dan faktor pencetus FA dipikirkan mempunyai pengaruh terhadap konversi FA kembali ke irama sinus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh jangka pendek prosedur bedah mitral rematik dan IAK terhadap konversi irama sinus pada pasien FA valvular.
Metode: Subjek penelitian adalah pasien FA dengan penyakit katup mitral rematik yang menjalani prosedur bedah mitral dan/atau IAK pada bulan Januari 2012-Maret 2018. Karakteristik dasar, parameter ekokardiografi prabedah dan pascabedah, jenis tindakan operasi, dan irama elektrokardiogram (EKG) pasca operasi dikumpulk melalui data rekam medis pasien. Analisa statistik dilakukan dengan perangkat lunak SPSS.
Hasil: Terdapat 307 subjek yang terjaring dalam penelitian. Sebanyak 127 subjek masuk kedalam grup kontrol (bedah mitral) dan 180 subjek masuk kedalam grup intervensi (bedah mitral dengan IAK). Pada kelompok kontrol, 25 subjek (19,7%) mengalami konversi irama sinus sesaat pascabedah namun tidak terdapat subjek yang mengalami konversi irama sinus pada periode pengamatan selanjutnya. Pada kelompok intervensi terdapat 74 (41,1%), 10 (5,6%), 6 (3,3%), dan 4 (0,02%) subjek yang mengalami konversi irama sinus dalam periode segera pascabedah (p<0,001 dibandingkan grup kontrol), 1 minggu (p<0,01), 2 minggu (p<0,05) dan 4 minggu (p=0,142) pascabedah secara berurutan. Analisa multivariat menunjukkan bahwa IAK merupakan variabel yang secara independen berpengaruh terhadap konversi irama sinus sesaat pascabedah (RR 2,84; IK95% 1,68-4,83; p<0,001), namun tidak mempunyai pengaruh pada periode pengamatan selanjutnya.
Kesimpulan: Pengaruh bedah mitral rematik dan IAK terhadap konversi irama sinus tampak pada periode sesaat pascabedah, namun tidak mempunyai pengaruh dalam periode pengamatan 1 minggu, 2 minggu dan 4 minggu pascabedah.

Background: Rheumatic mitral valve diseases caused structural and electrical remodeling in the left atrium, resulting rhythm change from sinus to atrial fibrillation (AF). Left atrial surgical interventions (LASI) which consist of reduction of LA posterior wall to modify AF substrate and/or left atrial appendage (LAA) exclusion to isolate AF triggers may have beneficial effects on rhythm conversion during rheumatic mitral valve surgery. This study aimed to evaluate the short term effects of combined rheumatic mitral valve surgery and LASI for sinus rhythm conversion in patients with valvular AF.
Methods: The subjects are AF patients with rheumatic mitral valve diseases undergoing mitral valve surgery from the period of January 2012-March 2018. Basic characteristics, preoperative and postoperative echocardiography parameters, surgical types, and ECG post-surgery were collected retrospectively from the patient's medical record. Statistical analysis were done using SPSS software.
Results: There were 307 subjects who met the inclusion and exclusion criteria. They were divided into two groups: treatment group (combined mitral valve surgery plus LASI) consist of 180 patients, while control group (isolated mitral valve surgery) consist of 127 patients. In the control group, 25 (19.7%) subjects experienced sinus rhythm conversion immediately post-surgery, but no subjects maintained sinus rhythm conversion in the subsequent observation period (1-, 2-and 4-weeks post-surgery). While in the treatment group, there were 74 (41.1%), 10 (5.6%), 6 (3.3%), 4 (0.02%) subjects who experienced sinus rhythm conversion in the immediate (p<0.001 vs. control group), 1-week (p<0.01), 2-weeks (p<0.05) and 4-weeks (p=0.142) postoperative period, respectively. Multivariate analysis showed that LASI was an independent predictor of sinus rhythm conversion immediately post-surgery (RR: 2.84 95%CI 1.68-4.83; p<0.001), but not during the subsequent observations.
Conclusions: The effects of combined rheumatic mitral valve surgery with LASI on rhythm conversion of valvular AF was observed during immediate postoperative period, but it had no significant effects during 1-week, 2-weeks and 4-weeks postoperative observations."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>