Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Alkaf
"Latar Belakang: Terdapat beberapa instrumen model skor preoperatif yang dapat membantu menilai risiko komplikasi paru pasca operasi dan diperkirakan ARISCAT merupakan instrumen yang sederhana, memiliki performa yang baik, namun penggunaannya belum luas. Model skor ini belum divalidasi di Indonesia.
Tujuan: Menilai kemampuan diskriminasi dan kalibrasi skor ARISCAT dalam memprediksi komplikasi paru pasca operasi pada pasien di RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah kohort retrospektif yang bertujuan untuk menilai kemampuan prediksi skor ARISCAT pada populasi Indonesia. Penelitian ini melibatkan 428 subjek yang menjalani operasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2017. Variabel yang diteliti meliputi usia, saturasi oksigen, riwayat infeksi paru, anemia, jenis pembedahan, durasi operasi, pembedahan darurat, dan  kejadian PPC yang terjadi dalam 30 hari pasca operasi. Validasi eksternal skor ARISCAT dilakukan dengan menilai kemampuan diskriminasi dan kalibrasi. Diskriminasi dinilai dengan area under the curve dan kalibrasi dinilai dengan uji Hosmer Lemeshow dan plot kalibrasi.
Hasil: Kami dapatkan insidensi PPC sebesar 32%. Kemampuan diskriminasi menunjukkan nilai AUC sebesar 88,2% (IK 95%; 84,1-92,2%). Kemampuan kalibrasi pada uji Hosmer Lemeshow menunjukkan nilai  p=0,052 dan plot kalibrasi menunjukkan koefisien r=0,968.
Simpulan: Skor ARISCAT memiliki kemampuan diskriminasi dan kalibrasi yang baik pada pasien yang menjalani operasi di RSCM.

Background: There are several prediction model score instruments that can help assessing pulmonary preoperative evaluation  and it is believed that ARISCAT model score is very simple to do and have good performance, but not widely used. This score has not been yet validated in Indonesia.
Objective: To assess the performance of discrimination and calibration of ARISCAT score in  predicting postoperative pulmonary complication who underwent surgery in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: This was a retrospective cohort  aim to assess the external validation of ARISCAT scores in Indonesian population. This study involved 428 patients underwent surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2017. Several variables were collected such as age, oxygen saturation, history of pulmonary infection, anemia, type of surgery, duration of operation, emergency surgery, and PPC that observed within 30 days after surgery. Discrimination was assessed by the area under the curve (AUC). Calibration was assessed by the Hosmer Lemeshow test and calibration plot.
Results: We found that PPC was observed in 32% of patients. Discrimination of ARISCAT score was shown by AUC value of 88.2% (CI 95%; 84.1-92.2%). Hosmer Lemeshow test showed p=0.052 and calibration plot revealed coefficient r=0.968.
Conclusion: ARISCAT score has good discrimination and calibration performance in patient undergo surgery in Cipto Mangunkusumo Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Darmajaya
"Utilisasi pelayanan kamar operasi Instalasi Wing Amerta di Rumah Sakit Sanglah jauh lebih tinggi dari kamar operasi Intalasi Bedah Sentral. Belum pernah ada evaluasi faktor-faktor yang menjadi penyebab dokter spesialis lebih memilih Instalasi Wing Amerta dibandingkan kamar operasi Instalasi Bedah Sentral. Penelitian ini bertujuan mencari faktor-faktor penyebab dokter spesialis memilih kamar operasi Instalasi Wing Amerta sebagai pilihan untuk melakukan pembedahan di Rumah Sakit Sanglah. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pengumpulan data melalui kuesioner. Analisa data dilakukan dengan analisa univariat, bivariat dan multivariate. Hasil penelitian mendapatkan ada hubungan antara kepuasan dokter spesialis, keamanan kamar operasi, ketersediaan tempat parkir dan permintaan pasien terhadap pemilihan dokter spesialis untuk melakukan operasi di Instalasi Wing Amerta. Penelitian ini mendapatkan bahwa faktor yang hubungannya paling kuat adalah kepuasan dokter spesialis.

Amerta Wing Central Operating Theatre had a higher utilization rate compared to the regular central operating theatre in Sanglah General Hospital. Factors which contribute to specialists preference in choosing Amerta Wing Central Operating Theatre have not been identified. The purpose of this study was to identify factors contributing for specialist preference in choosing Amerta Wing Central Operating Theatre in Sanglah General Hospital. This was an analytical quantitative study using questionnaire for data quantification. Data analysis was performed using univariate, bivariate, and multivariate analysis. Results showed that there were significant correlation between specialist's satisfaction, operating theatre security, parking space availability, and patient's demand with Amerta Wing Central Operating Theatre preference. Multivariate analysis showed that specialist's satisfaction had the most significant correlation in Amerta Wing Central Operating Theatre preference."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T39273
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardini Tri Indarti
"ABSTRAK
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang
mengakibatkan peradangan di banyak organ. Prevalensi LES terus meningkat dan
angka mortalitasnya pun tinggi. Etiologi LES sampai saat ini belum diketahui
secara pasti. Namun, beberapa faktor risiko yang diduga dapat mempengaruhi
kejadian LES. Salah satunya adalah riwayat alergi obat, terutama antibiotik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan riwayat alergi antibiotik
dengan kejadian LES setelah dikontrol oleh variabel kovariat berupa riwayat
keluarga menderita LES, riwayat menderita penyakit autoimun lain, usia
menarche, dan perilaku merokok di RSUP Dr. Hasan Sadikin Kota Bandung.
Penelitian ini dilakukan bulan April-Juli 2014 dengan menggunakan desain kasus
kontrol. Kasus adalah pasien LES wanita yang berobat ke Poli Rematologi RSUP
Dr. Hasan Sadikin Kota Bandung. Kontrol merupakan pasien wanita yang berobat
ke Poli Penyakit Dalam dengan dilakukan individual matching dengan kasus pada
usia (rentang 3 tahun), dan asal daerah. Data dianalisis dengan analisis univariat,
bivariat, dan multivariat dengan uji regresi logistik conditional. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa riwayat alergi antibiotik cenderung meningkatkan risiko
kejadian LES sebesar 2,34 kali (OR=2,34, 95% CI 0,66-8,22) setelah dikontrol
oleh riwayat keluarga LES, riwayat autoimun, dan perilaku merokok. Untuk kelas
antibiotik penisilin/sefalosporin, risiko meningkat menjadi 2,75 kali (OR=2,75,
95% CI 0,65-11,59).

ABSTRACT
Systemic Lupus Erythematosus ( SLE ) is an autoimmune disease that results in
inflammation in many organs. The prevalenceof SLE is increasing and the
mortality rate was high. Etiology of SLE has not known. However , several risk
factors could be expected to affect the incidence of SLE . One of them is a history
of drug allergies, especially antibiotics. This study aimed to determine the
relationship between antibiotic allergy history and SLE after controlled by family
history,other autoimmune disease, age of menarche, and smoking behavior in Dr.
Hasan Sadikin Hospital Bandung. This study was conducted from April to July
2014 using case-control design. Cases were women SLE patients who went to
Rheumatology Department Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung. Control were a
female patient who went to Internist Department with individually matched at the
age ( 3 years range ), and region. Data were analyzed with univariate, bivariate ,
and multivariate conditional logistic regression. The results showed that a history
of antibiotic allergy tends to increase the incidence of SLE for 2.34 times ( OR =
2.34 , 95 % CI 0.66 to 8.22 ) after controlled by SLE family history, history of
autoimmune, and smoking behavior. For the class of penicillin/cephalosporin, the
risk increased to 2.75 times ( OR = 2.75 , 95 % CI 0.65 to 11.59) ."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T43364
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Dyah Noviani
"ABSTRAK
Penerapan Lean Manajemen Pada Pelayanan Rawat JalanPasien BPJS Rumah Sakit Hermina Depok Tahun 2017Lamanya waktu tunggu dalam pelayanan rawat jalan akan menghambat pelayanan,dan berdampak pada penumpukan antrean dan inefisiensi pelayanan. Penelitian inibertujuan menganalisis penerapan metode lean pada pelayanan rawat jalan pasienBPJS di rumah sakit Hermina Depok tahun 2017. Penelitian dengan metodekualitatif ini mengobservasi waktu pelayanan pasien rawat jalan BPJS untukmelihat dan memotret kondisi alur pelayanan pasien rawat jalan BPJS. Pada valuestream mapping pasien tanpa pemeriksaan penunjang, waktu proses cycle time tercepat adalah pada saat pasien di kasir yaitu 2,2 menit dan paling lama adalahpada saat pasien mendapat pemeriksaan dokter yaitu 12,6 menit. Waktu tunggu waiting time paling lama pada saat pasien menunggu obat di farmasi yaitu 96,2menit 1 jam 36 menit dan paling cepat adalah pada saat pasien menunggu di kasiryaitu 4,4 menit. Pada value stream mapping pasien dengan pemeriksaan penunjanglaboratorium, waktu proses cycle time tercepat adalah pada saat proses pasiendikasir 4,2 menit, dan paling lama pada saat pasien mendapat pemeriksaan dokteryaitu 12,6 menit. Waktu tunggu waiting time terlama pada saat pasien menunggudokter yaitu 126,2 menit 2 jam 6 menit dan paling cepat pada saat pasienmenunggu proses di kasir 2,2 menit. Pada value stream mapping pasien denganpemeriksaan penunjang radiologis, waktu proses cycle time tercepat pada saatproses pasien dikasir yaitu 4,8 menit, paling lama pada saat proses pemeriksaanradiologi yaitu 67,2 menit 1 jam 7 menit . Waktu tunggu waiting time terlamapada saat pasien menunggu dokter 95,6 menit 1 jam 35 menit , paling cepat padasaat proses pasien di kasir 4,4 menit. Hasil penelitian menunjukkan 90 waktupelayanan merupakan kegiatan non value added dan hanya 10 kegiatan yangvalue added, dengan jenis-jenis waste nya adalah defect, over production, waiting,transportation, inventory, motion, dan over processing. Analisis future state denganusulan perbaikan metode lean secara simulatif yaitu 5S, Kanban Inventory, visualmanagement menurunkan kegiatan non value added menjadi 78,30 danmeningkatkan kegiatan value added menjadi 21,70 .Rekomendasi dengan melakukan perbaikan jangka pendek, jangka menengah danjangka panjang melalui program pelaksanaan metode lean berkelanjutan.Kata kunci : Metode lean, rawat jalan, waktu tunggu, kegiatan value added,kegiatan non value added.

ABSTRACT
The Aplication of Lean Method on Outpatient BPJSServices at Hermina Depok Hospital in 2017.The length of waiting time in the hospital outpatient service is important forefficient hospital service. Long waiting time leads to accumulating queue andinefficient service. This study was aimed to analyze the application of lean methodon outpatient BPJS services at Hermina Depok Hospital in 2017. This qualitativeresearch method investigated the time spent by BPJS outpatient patient by applyinglean method and observing the outpatient service flow condition. The first result,the value stream mapping VSM of patients without any adjunctive examinations i.e., laboratory or radiology , the fastest cycle time was observed at the receptiondesk 2.2 minutes and the longest at the doctor examination room 12.6 minutes .The longest waiting time was at drug prescription process at pharmaceutical unit 96.2 minutes or 1 hour,36 minutes and checkout was the fastest 4.4 minutes .Second result, the VSM with laboratory examination, the fastest time cycle was atthe reception desk 4.2 minutes , and the longest was observed at the doctorexamination 12.6 minutes . The longest waiting time at the doctor waiting room 2hours 6 minutes and checkout was the fastest 2.2 minutes . Third result, the VSMwith radiologic examination, the fastest cycle time was observed at the receptiondesk 4.8 minutes , the longest cycle time was at the radiology examination process 67.2 minutes or 1 hour, 7 minutes . The longest waiting time was observed at thedoctor examination room 95.6 minutes or 1 hour, 35 minutes and checkout wasthe fastest 4.4 minutes . The results showed that 90 service time was non valueadded activity and only 10 of value added activity. The wastes were defect, overproduction, waiting, transportation, inventory, motion, and over processing. Afterconducting future state analysis with the proposed improvement with simulativelean method 5S, Kanban Inventory, visual management , it was found that nonvalue added activity became 78,30 and value added activity became 21,70 .Future recommendation is important to organize short , medium and long termimprovements through implementation of sustainable lean method program.Keywords Lean method, outpatient waiting time, value added activity, non valueadded activity"
2017
T47631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shela Rachmayanti
"Latar Belakang: SARS-CoV-2 variant of concern, Delta, menyebabkan lonjakan kasus dan mortalitas yang sangat tinggi di Indonesia pada pertengahan tahun 2021. Hal ini berdampak pada tingginya beban fasilitas kesehatan sehingga banyak pasien yang melakukan isolasi mandiri. Studi ini bertujuan untuk mempelajari dampak komorbiditas terhadap mortalitas pasien COVID-19 yang menjalani isolasi mandiri pada periode tersebut.
Metode: Studi kohort retrospektif ini dilakukan dengan menggunakan data surveilans Dinas Kesehatan DKI Jakarta dari bulan Mei–September 2022. Population eligible adalah mereka yang berusia ≥18 tahun, terkonfirmasi positif Covid-19 dengan PCR dan melakukan isolasi mandiri, serta merupakan warga tetap DKI Jakarta. Probabilitas kesintasan dihitung dalam pengamatan 30 hari dengan menggunakan metoda Kaplan Meier. Analisis multivariat untuk mengestimasi risiko terjadinya kematian karena adanya komorbiditas dilakukan dengan menggunakan Regresi Cox multiple dan Cox-Extended jika ditemukan pelanggaran terhadap asumsi proportional hazard (adjusted Hazard Ratio dan IK95%).
Hasil: Terdapat 15.088 kasus Covid-19 terkonfirmasi dan melakukan isolasi mandiri. Kesintasan selama 30 hari pengamatan secara keseluruhan adalah 96,31%. Kesintasan lebih rendah terjadi pada kelompok dengan komorbiditas, berusia ≥60 tahun, laki laki dan memiliki gejala (p<0.00). Cox-extended multivariat menunjukan risiko kematian pada kelompok yang memiliki komorbiditas pada pengamatan <7hari adalah sebesar aHR3,78(IK95%: 2,94-4,87) dan pada pengamatan 7 hari atau lebih sebesar aHR1,78(IK95%: 1,41-2,95). Analisa multivariat lebih lanjut mendapatkan bahwa pasien dengan hipertensi dan DM mempunyai risiko untuk kematian sebesar aHR 3,20 (IK95%: 2,25-4,57) dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai keduanya (hipertensi dan DM). Gangguan imunologi merupakan komorbid yang paling berperan meningkatkan mortalitas [aHR13,14 (IK95%: 2,79-91,71)]
Kesimpulan: Besarnya risiko mortalitas karena morbiditas selama masa pengamatan 30 hari ternyata berbeda pada pengamatan <7 hari (lebih tinggi) dibandingkan dengan 7-30 hari. Gangguan imunologi, adanya hipertensi dan DM Bersama merupakan komorbiditas yang paling berperan terhadap kesintasan, disamping variable lain, yaitu usia lanjut, laki laki dan bergejala.

Background: SARS-CoV-2 variant of concern, Delta, caused a surge in both the number of cases and deaths in Indonesia in mid-2021. This led to an increased burden to health facilities which caused patients to self-isolate at home. This study aims to investigate the impact of comorbidities to COVID-19 mortality among patients who self-isolated during that period.
Methods: This retrospective cohort study was conducted using surveillance data from May-September 2022, provided by DKI Jakarta District Health Office. The eligible population comprised of patients ≥18 years of age, COVID-19 confirmed by PCR, underwent self-isolation, and DKI Jakarta residents. The 30-day cumulative survival probability was calculated using Kaplan-Meier methods. Multivariable analysis was conducted to estimate mortality risk due to comorbidities using multiple Cox regression or Cox-extended if the proportional hazard assumption was violated (adjusted Hazard Ratio and 95%CI).
Results: A total of 15.088 patients with confirmed COVID-19 infection who underwent self-isolation were analysed. Overall 30-day survival was 96.31%. Survival was lower among those with comorbidities, age ≥60 years, male and symptomatic patients (p<0.00). Multivariable Cox-extended analysis revealed that the risk of mortality in patients observed <7 days was aHR3,78 (95%CI: 2,94-4,87) and those in patients observed ≥7 days was aHR1,78 (95%CI: 1,41-2,95). Further multivariable analysis showed that the risk of mortality of patients with both hypertension and diabetes was aHR 3,20 (95%CI: 2,25-4,57) compared to patients with neither condition. Immunological dysfunction was identified to pose the highest risk for mortality with aHR13,14 (95CI%: 2,79-91,71).
Conclusion: The risk of mortality posed by comorbidities during the 30-day follow-up was higher during <7-day observation compared to those with follow-up during 7–30 days. Survival was affected the most by immunological dysfunction, followed by the presence of both hypertension and diabetes, aside from other variables: old age, male and presence of symptoms.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Elita
"Latar belakang : Pandemi COVID-19 mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Pasien LES juga rentan mengalami gangguan psikosomatik yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien LES. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan psikosomatik pada pasien LES pada masa pandemi COVID-19. Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien LES wanita dewasa di poliklinik Alergi Imunologi dan poliklinik Reumatologi RS Cipto Mangunkusumo pada bulan September hingga Oktober 2021. Data mengenai gangguan psikosomatik menggunakan kuesioner SCL-90, kemudian dilanjutkan pengumpulan data mengenai faktor demografis (usia, tingkat pendidikan, persepsi kondisi COVID-19, persepsi stres dengan PSS, dan stresor psikososial dengan skor Holmes dan Rahe) serta faktor klinis (derajat aktivitas penyakit dengan MEX-SLEDAI, terapi kortikosteroid, dan riwayat terinfeksi COVID-19 pada pasien dan keluarga). Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square. Variabel dengan nilai p < 0,25 dianalisis lebih lanjut dengan regresi logistik, dengan nilai p < 0,05 dianggap signifikan. Hasil : 200 pasien wanita dewasa dengan SLE direkrut dalam penelitian. Lebih dari separuh subjek penelitian (54%) mengalami gangguan psikosomatik. Dari analisis multivariat diperoleh tingkat pendidikan tinggi, stresor psikososial risiko sedang-tinggi, serta derajat aktivitas penyakit sedang-sangat berat berhubungan secara signifikan dengan gangguan psikosomatik pada pasien LES di masa pandemi COVID-19 Kesimpulan : Tingkat pendidikan, stresor psikososial, dan derajat aktivitas penyakit berhubungan secara signifikan dengan terjadinya gangguan psikosomatik pada pasien LES di masa pandemi COVID-19.

Background : The COVID-19 pandemic affects physical and mental health. SLE patients are also prone to psychosomatic disorders which could decrease quality of life. This study aimed to find out the factors that were associated with psychosomatic disorders among SLE patients during the COVID-19 pandemic. Method : This was a cross sectional study of adult female SLE patients from outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, from September to October 2021. Data regarding psychosomatic disorders using SCL-90 questionnaires, then demographic factors (age, education level, perception of COVID-19 conditions, perception of stress using PSS, psychosocial stressors using Holmes and Rahe scores) and clinical factors (disease activity using MEX-SLEDAI, corticosteroid, and history of being infected with COVID-19 in patients or their family) were collected. Bivariate analysis was conducted with Chi-square test. Variables with a p-value <0.25 were further analyzed with logistic regression, a p-value <0.05 was considered significant. Results : There were 200 female SLE patients recruited. More than half of the subjects (54%) experienced psychosomatic disorders. From multivariate analysis, high education level, moderate to high psychosocial stressors, and moderate to very severe disease activity level were significantly associated with the occurrence of psychosomatic disorders in SLE patients during the COVID-19 pandemic. Conclusion : Education level, psychosocial stressors, and disease activity level were significantly associated with the occurrence of psychosomatic disorders in SLE patients during the COVID-19 pandemic."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Purnamawati
"Latar Belakang: Sepsis merupakan masalah kesehatan global dan memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Rasio neutrofil-limfosit merupakan pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan di fasilitas terbatas dan tidak memerlukan biaya besar, tetapi belum ada studi yang meneliti perannya dalam memprediksi mortalitas 28 hari pada pasien sepsis, menggunakan kriteria sepsis-3 yang lebih spesifik.
Tujuan: Mengetahui peran rasio neutrofil-limfosit dalam memprediksi mortalitas 28 hari pada pasien sepsis.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif terhadap pasien sepsis yang dirawat di RSCM pada tahun 2017. Data diambil dari rekam medis pada bulan Maret-Mei 2018. Nilai rasio neutrofil-limfosit yang optimal didapatkan menggunakan kurva ROC. Subjek kemudian dibagi menjadi dua kelompok yang di bawah dan di atas titik potong. Kedua kelompok kemudian dianalisis menggunakan analisis kesintasan dengan program SPSS.
Hasil: Dari 326 subjek, terdapat 12 subjek loss to follow-up. Rerata usia sampel 56,4 + 14,9 tahun, dengan fokus infeksi terbanyak di saluran napas (59,8%), dan penyakit komorbid terbanyak adalah keganasan padat (29,1%). Nilai titik potong rasio neutrofil-limfosit yang optimal adalah 13,3 (AUC 0,650, p < 0,05, sensitivitas 63%, spesifisitas 63%). Pada analisis bivariat menggunakan cox regression didapatkan kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit> 13,3 memiliki crude HR sebesar 1,84 (IK 95% 1,39-2,43) dibandingkan dengan kelompok yang nilai rasio neutrofil-limfosit < 13,3. Setelah menyingkirkan kemungkinan faktor perancu, didapatkan adjusted HR untuk kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit tinggi adalah 1,60 (IK 95% 1,21-2,12).
Simpulan: Nilai rasio neutrofil-limfosit memiliki akurasi lemah dalam memprediksi mortalitas 28 hari pasien sepsis dengan nilai titik potong optimal 13,33. Kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit > 13,3 memiliki risiko mortalitas 28 hari yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok nilai rasio neutrofil-limfosit < 13,3.

Background: Sepsis is a global health problem with high morbidity and mortality. Neutrophil to lymphocyte ratio is a simple test which can be done in limited facility, but there is no study conducted to know its potential in predicting 28-day-mortality in septic patients, using the more specific sepsis-3 criteria.
Objectives: To investigate neutrophil to lymphocyte ratio as a predictor of 28-day-mortality in septic patients.
Methods: A retrospective cohort study was conducted using medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital for septic patients who were admitted in 2017. Neutrophil to lymphocyte ratio cut off was determined using ROC curve, then subjects were divided into two groups according to its neutrophil to lymphocyte ratio value. The groups were analyzed using survival analysis with SPSS.
Result: From 326 subjects, 12 subjects were loss to follow-up. Age mean was 56.4 + 14.9 years. Lung infection (59.8%) was the most frequent source of infections and solid tumor (29.1%) was the most frequent comorbidities. The optimal cut off value for neutrophil to lymphocyte ratio was 13.3 (AUC 0.650, p < 0.05, sensitivity 63%, specificity 63%). Bivariate analysis using cox regression showed that group with neutrophil to lymphocyte ratio > 13.3 had greater risk for 28-day-mortality than group with neutrophil to lymphocyte ratio < 13.3 with crude HR 1.84 (95% CI 1.39-2.43). After adjustment for possible confounding, adjusted HR for group with higher neutrophil to lymphocyte ratio was 1.60 (95% CI 1.21-2.12).
Conclusion: Neutrophil to lymphocyte ratio had poor accuracy in predicting 28-day-mortality in septic patients with 13.3 as the optimal cut off value. Group with neutrophil to lymphocyte ratio > 13.3 had greater significant risk for mortality in 28 days than group with neutrophil to lymphocyte ratio < 13.3.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58572
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Edison Yantje Parulian
"Latar Belakang: Pencapaian target transfusi darah pada pasien thalassemia beta bergantung transfusi dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah genotip, hipersplenisme, kompatibilitas darah, kecukupan darah donor dan interval transfusi. Ukuran limpa dapat dijadikan salah satu indikator keberhasilan pencapaian target transfusi darah selain kadar hemoglobin.
Tujuan: Mengetahui proporsi pasien yang mencapai target optimal kadar hemoglobin pra dan pascatransfusi, menentukan faktor-faktor yang terkait dengan pencapaian target kadar hemoglobin pra dan pascatransfusi dan menilai hubungan antara pencapaian target kadar hemoglobin pra dan pascatransfusi dengan ukuran limpa pada pasien dewasa thalassemia beta bergantung transfusi.
Metode: Penelitian cohort retrospective dengan pengambilan 200 subjek secara total sampling pada pasien dewasa rawat jalan Poliklinik thalassemia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Data dianalisis dari 110 subjek berupa anamnesis, pemeriksaan fisis dan laboratorium.
Hasil: Sebanyak 200 pasien thalassemia beta bergantung transfusi yang rutin kontrol ke poliklinik thalassemia Kiara RSCM, diikuti secara kohort sejak bulan Juni 2017 sampai Juni 2018. 110 subjek penelitian memenuhi kriteria inklusi diantaranya subjek thalassemia beta mayor 53 (48,2%) dan beta HbE bergantung transfusi 57 (51,8%). Proporsi subjek yang mencapai target kadar Hb pratransfusi yaitu 18 (16,4%) dan 22 (20,0%) subjek yang mencapai target Hb pasca. Sebanyak 8 (7,3%) subjek mencapai target kadar Hb pra dan pascatransfusi darah. Faktor kecukupan darah donor berhubungan dengan pencapaian target kadar Hb pra dan pascatransfusi (p=0,008) yaitu subjek yang hanya memiliki selisih permintaan darah < 30ml/KgBB/tahun. Pada 93 subjek penelitian tahap 2, didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok yang tercapai kadar Hb pra dan pascatransfusi darah dengan yang tidak tercapai terhadap delta ukuran limpa (p <0,001).
Simpulan: Faktor kecukupan darah donor berhubungan dengan pencapaian target kadar hemoglobin pra dan pascatransfusi. Pencapaian target kadar hemoglobin pra dan pascatransfusi berhubungan dengan ukuran limpa.

Background: Achieving the target of blood transfusion in transfusion-dependent beta thalassemia patients is influenced by various factors including genotype, hypersplenism, blood compatibility, donor blood adequacy and transfusion interval. The size of the spleen can be one indicator of the success of achieving blood transfusion targets in addition to hemoglobin levels.
Objective: Determine the proportion of patients who achieve the optimal target hemoglobin level pre and post transfusion, determine the factors that are related to achieving pre and post transfusion hemoglobin levels and assess the relationship between achieving pre and post transfusion hemoglobin levels with spleen size in adult beta thalassemia transfusion dependent patients.
Methods: A cohort retrospective study, with total sampling of 200 adult thalassemia transfusion dependent patient at Cipto Mangunkusumo Hospital. Data taken from 110 eligible subject in the form of medical history, physical examination and laboratory.
Result: 200 transfusion-dependent beta thalassemia patients who routinely visit the RSCM thalassemia Kiara polyclinic, followed in cohort from June 2017 to June 2018. 110 study subjects fulfilled the inclusion criteria including 53 (48.2%) major beta thalassemia subjects and transfusion-dependent HbE beta 57 (51.8%). The proportion of subjects who achieved pre-transfusion Hb target levels was 18 (16.4%) and 22 (20.0%) subjects who achieved the post Hb target. A total of 8 (7.3%) subjects achieved pre and post transfusion Hb levels. The donor blood adequacy factor is related to the achievement of pre and post transfusion Hb target levels (p = 0.008), namely subjects who only have a blood demand difference of <30ml/KgBB/year. In 93 research subjects, there was a significant difference between groups who achieved pre and post-transfusion Hb levels with those that were not reached against the delta of spleen size (p <0.001).
Conclusion: Adequacy factor of donors blood is related to achieving target pre and post transfusion hemoglobin levels. The achievement of the target pre and post transfusion hemoglobin levels is related to the size of the spleen.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paramita Khairan
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pneumonia menimbulkan mortalitas yang cukup tinggi, karenanya diperlukan model prediksi yang akurat untuk membantu prediksi kematian pasien pneumonia. Sistem skor CURB-65 mudah digunakan namun beberapa penelitian mengindikasikan performa skor CURB-65 kurang baik sehingga diperlukan penambahan faktor prognostik baru. Faktor prognostik yang diperkirakan dapat meningkatkan performa skor CURB-65 adalah kadar albumin darah. Tujuan: Menilai kemampuan kadar albumin serta nilai tambahnya pada skor CURB-65 dalam memprediksi mortalitas pasien penumonia dengan komorbid yang masuk rawat inap. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif dengan subjek penelitian pasien pneumonia dengan komorbid yang masuk rawat inap melalui IGD di RSCM. Outcome penelitian ini yaitu mortalitas selama perawatan. Performa skor CURB-65 dinilai sebelum dan sesudah ditambahkan albumin. Performa kalibrasi dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow sedangkan performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve AUC . Hasil: 250 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini dengan angka mortalitas 42,6 . Performa kalibrasi skor CURB-65 dengan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p = 0,990 . Performa diskriminasi skor CURB-65 ditunjukkan dengan nilai AUC0,677 IK 95 0,61-0,74 . Setelah ditambahkan kadar albumin dengan titik potong 3,125, didapatkan peningkatan nilai AUC skor CURB-65 menjadi 0,727 IK95 0,66-0,79 . Simpulan: Kadar albumin darah memiliki nilai tambah pada skor CURB-65 sebagai prediktor mortalitas pada pasien pneumonia yang masuk rawat inap. Kata Kunci: pasien pneumonia, mortalitas, CURB-65, kadar albumin darah

ABSTRACT
Background Pneumonia is an infection disease with high mortality. An accurate prediction rule is needed to help clinician in predicting mortality of pneumonia patients. CURB 65 score is a simple and well known scoring system to asses the severity of community pneumonia, but several research indicated that the performance is not really good. Added value of albumin serum in CURB 65 score should be evaluated. Aim To evaluate added value of albumin serum in CURB 65 score as mortality predictor in pneumonia patients. Methode This is a prospective cohort study of pneumonia with commorbidity patients who admitted to emergency instalation of Cipto Mangunkusumo Hospital. Mortality is the outcome that assessed during hospitalization. Performance of CURB 65 score was evaluated before and after addition of albumin in scoring system. Calibration was evaluated with Hosmer Lemeshow test. Discrimination was evaluated with area under the curve AUC . Prediction performance of CURB 65 score and albumin were evaluated with ROC curve. Results 250 patients was submitted to this study with mortality rate 42,6 . Calibration plot of CURB 65 score of Hosmer Lemeshow test showed p 0,990. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0,677 IK 95 0,61 0,74 . AUC of CURB 65 score added by albumin improved to 0,727 IK95 0,66 0,79 . Conclusion Serum albumin has added value to CURB 65 score in predicting mortality of pneumonia patients. Key Words pneumonia patients, mortality, CURB 65 score, serum albumin"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58716
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patriotika Ismail
"Latar belakang: Sarkopenia menjadi masalah kesehatan yang penting dan banyak di jumpai di negara maju dan berkembang. Faktor risiko sarkopenia bersifat multifaktor. Data prevalensi dan faktor risiko sarkopenia di Indonesia masih terbatas, khususnya dimasa pandemi COVID-19 yang sudah dihadapi Indonesia selama dua tahun. 
Tujuan: Mengetahui proporsi dan faktor risiko sarkopenia pada populasi usia lanjut di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumopada masa pandemi COVID-19.
Metode: Penelitian ini menggunakan data primer dengan desain uji potong lintang di poliklinik geriatri dan penyakit dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo mulai dari bulan November hingga Desember 2021. Subjek dengan kriteria usia >60 tahun, tidak terdapat gangguan penyakit akut saat pemeriksaan, serta tidak mengalami depresi atau gangguan kognitif berat yang tidak didampingi caregiver/keluarga diambil sebagai subjek penelitian. Pemeriksaan menggunakan kuesioner SARC-F, dan pasien dengan nilai 4 dianggap sarkopenia. Karakteristik pasien dengan sarkopenia dibandingkan untuk menilai faktor risiko sarkopenia. 
Hasil:  Terdapat 253 subjek penelitian dengan proporsi sarkopenia 41,5% (IK 95% 35,45-47,55%). Faktor risiko yang berhubungan dengan sarkopenia pada penelitian ini adalah jenis kelamin perempuan, aktivitas menurun (sedentary-aktifitas kurang), status fungsional ketergantungan, penyakit hipertensi, dan penyakit jantung (p < 0.05)
Kesimpulan: Proporsi sarkopenia pada penelitian adalah 41,5% dengan faktor risiko yang berhubungan adalah jenis kelamin, hipertensi, penyakit jantung, status fungsional ketergantungan dan aktivitas yang menurun (sedentary-aktifitas kurang). Oleh sebab itu perlu menjadi perhatian dan pencegahan pada subjek dengan karakteristik tersebut. 

Introduction: Sarcopenia is a prevalent and increasing problem in elderly worldwide. It is also related to various debilitating conditions and poor prognosis. Etiology of sarcopenia is multifactorial. However, the data in Indonesia is still limited. Moreover, not much has been discussed about the prevalence and risk factors for sarcopenia, especially during the COVID-19 pandemic.
Aim: To determine the prevalence and risk factors of sarcopenia in elderly patients in Indonesia during the COVID-19 pandemic.
Methods: An observational study with cross-sectional design was performed in Geriatric and internal medicine Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia, on November 2021 to December 2021. Patients 60 years old and suspected to have sarcopenia were included in the study, while patients with conditions making them unable to undergo examination or in acute conditions were excluded. Patients were defined as having sarcopenia if SARC-F showed a total value of 4. Clinical characteristics of patients were compared to predict sarcopenia.
Results: There were 253 subjects included in this study. A total of 105 (41.5%) subjects were diagnosed to suffer from sarcopenia. Predicting factors of sarcopenia in subjects were woman gender, sedentary physical activity, dependent on activities of daily living, hypertension, and heart disease (p < 0.05).
Conclusion: The prevalence of sarcopenia in elderly at Cipto Mangunkusumo was 41.5%. Indonesian elderly with female gender, sedentary-low physical activity, dependent on activities of daily living, hypertension, and heart disease are more prone to suffer from sarcopenia. Therefore, extra attention and prevention are needed for individuals with the characteristics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>