Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwinanda Aidina Fitrani
"ABSTRAK
Latar belakang. Gangguan tidur merupakan gangguan penyerta pada anak gangguan spektrum autisme (GSA), yang memiliki prevalens tinggi serta dapat mengakibatkan perilaku negatif terhadap lingkungannya atau perilaku maladaptif eksternalisasi. Gangguan tidur pada anak GSA perlu dideteksi secara dini, karena bila tidak akan menyebabkan keterlambatan terapi dan menyebabkan anak makin berperilaku negatif serta menyebabkan stres pada keluarga.
Tujuan. Mengetahui pola gangguan tidur dan gambaran perilaku maladaptif eksternalisasi pada anak GSA, serta mengetahui perbedaan rerata nilai indeks perilaku maladaptif eksternalisasi (v-scale), pada anak GSA dengan gangguan tidur dan tanpa gangguan tidur.
Metode. Penelitian potong lintang analitik di klinik dan tempat terapi anak berkebutuhan khusus di Jakarta pada bulan Juni-Agustus 2014. Skrining gangguan tidur dengan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) dan penilaian perilaku maladaptif eksternallisasi dengan kuesioner Vineland-II dilakukan terhadap 40 anak GSA yang dipilih secara konsekutif. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok gangguan tidur (20 anak) dan kelompok tanpa gangguan tidur (20 anak).
Hasil. Rentang usia dalam penelitian ini adalah 3-18 tahun dengan median usia 3,5 tahun. Proporsi terbanyak gangguan tidur pada anak GSA terdapat pada kelompok usia 3-5 tahun (15 dari 20 subjek). Pola gangguan tidur terbanyak pada anak GSA adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur (17 dari 20 subjek) diikuti oleh gangguan somnolen berlebihan (8 dari 20 subjek). Nilai median v-scale perilaku maladaptif eksternalisasi pada anak GSA adalah 18 (rentang 12-22), dan terdapat kecenderungan peningkatan nilai median v-scale perilaku maladaptif eksternalisasi seiring dengan peningkatan usia pada kedua kelompok. Nilai rerata v-scale perilaku maladaptif eksternalisasi pada kelompok GSA dengan gangguan tidur lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa gangguan tidur (18,8 dan 17,6 secara berurutan, mean difference 1,2; p 0,35 (p ≥ 0,05)).
Simpulan. Proporsi terbanyak gangguan tidur pada anak GSA terdapat pada kelompok usia 3-5 tahun. Pola gangguan tidur terbanyak pada anak GSA adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur diikuti oleh gangguan somnolen berlebihan. Anak GSA dengan gangguan tidur memiliki nilai rerata indeks perilaku maladaptif eksternalisasi yang lebih tinggi dibandingkan tanpa gangguan tidur, namun tidak bermakna secara klinis dan statistik.

ABSTRACT
Background. Sleep disorders is a comorbidity in Autism Spectrum Disorders (ASD), which has high prevalence and can cause negative behavior toward his surrounding or externalizing maladaptive behavior. Sleep disorders in ASD needs to be early detected, otherwise it will delay the treatment and children will behave more negative and cause the stress in family.
Objectives. To identify sleep patterns and externalizing maladaptive behavior in children with ASD, and to identify the mean difference of index score of externalizing maladaptive behavior of (v-scale) in ASD children with or without sleep disorders.
Methods. This study was analytical cross-sectional performed in the clinic and a therapy for children with special needs in Jakarta, in Juni-August 2014. Sleep disorders were screened using Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) questionnaire and externalizing maladaptive behavior was assessed using Vineland-II questioinnaire in 40 ASD children consecutively. They were divided into two groups, one group of sleep disorders (20 children) and other without sleep disorders (20 children).
Results. Age range in this study was 3-18 years old, with median age of 3.5 years old. The majority of sleep disorders in ASD was in age range 3-5 years (15 of 20 subjetcs). The most frequent sleep disorders in ASD were difficulty in initiating and maintaning sleep (17 of 20 subjetcs), followed by disorder of excessive somnolence (8 of 20 subjetcs). The v-scale median score in ASD was 18 (range 12-22), and there was tendency of increased v-scale median score along with increased age. The mean of v-scale in externalizing maladaptive behavior in ASD with sleep disorders group was higher than without sleep disorders group (18.8 and 17.6 respectively, mean difference 1,2; p 0.35 ((p ≥ 0,05)).
Conclusion. The majority of sleep disorders in ASD was in age range 3-5 years. The most frequent sleep disorders in ASD were difficulty in initiating and maintaning sleep, followed by disorder of excessive somnolence. Autism spectrum disorders children with sleep disorders has higher index externalizing maladaptive behavior mean than without sleep disorders, but was not meaningful clinically and statistically."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Dasraf
"Latar Belakang: Duktus arteriosus persisten (patent ductus arteiosus, PDA) merupakan penyakit jantung bawaan yang sering ditemukan pada bayi, terutama bayi prematur. Ekokardiografi menjadi baku emas untuk mendiagnosis PDA dengan gangguan hemodinamik signifikan (hs-PDA) pada bayi prematur. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa, pemeriksaan biomarker darah Amino-Terminal pro-Brain Natriuretic Peptide (NT-proBNP) bermanfaat untuk diagnosis dan penatalaksanaan hs-PDA. Namun, di Indonesia penelitian seperti ini belum pernah dilakukan; padahal akurasi diagnostik NT-proBNP untuk hs-PDA sangat dipengaruhi oleh karakteristik assay (assay kit dan nilai ambangnya), serta karakteristik pasien (gestational dan usia kronologis).
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara nilai NT-proBNP dan hs-PDA
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan di RSCM dari bulan Desember 2015? Febuari 2016 terhadap 49 neonatus prematur dengan usia gestasi <37 minggu dan berat lahir di bawah 2000 gram. Diagnosis PDA dipastikan dengan menggunakan ekokardiografi. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok tanpa PDA, non hs-PDA dan hs-PDA. Pemeriksaan NT-proBNP dikerjakan pada neonatus dengan PDA, kemudian dibandingkan nilai NT-proBNP pada kelompok non hs-PDA dan hs-PDA.
Hasil: Pada 49 subyek yang diteliti, terdapat 33 neonatus dengan PDA, 16 diantaranya dengan hs-PDA. Terdapat korelasi bermakna antara nilai NT-proBNP dengan hs-PDA (p<0,0001).
Kesimpulan: Peningkatan NT-proBNP berkorelasi dengan PDA hemodinamik signifikan.

Background: Persistent ductus arteriosus is one of the most frequently congenital heart disease found in infant mainly in preterm infant. Echocardiography is the gold standard for the diagnosis of hemodinamically significant patent ductus arteriosus (hs-PDA) in preterm neonates. There are few studies demonstrate that the examination of simple blood assay such as N Terminal-proBrain Natriuretic Peptide (NT- proBNP) may be useful in determining the diagnosis and management of hs-PDA. However in Indonesia there are no studies have been done before even though the level of NT-proBNP accuracy in determining hs-PDA is influenced by the assay kit, and the characteristic of the patient (gestational age and chronological age).
Objective: To determine the association between NT-proBNP level and the prevalence of hs-PDA.
Methods: Across sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from Desember 2015 to February 2016. Forty-nine preterm neonates with gestational age less than 37 weeks and birthweight of less than 2000 gram were performed echocardiography to determine PDA, subsequently these patients were divided into three groups: non PDA, non hs-PDA, and hs-PDA. Further, in the non hs-PDA and hs-PDA groups, blood NT pro-BNP was examined. We then compared the level of NT pro-BNP between these groups.
Results: Among 49 neonates, there were 33 patients with PDA, of those 16 patients were hs-PDA. There was an association between the level of NT pro-BNP and hs-PDA (p<0,0001).
Conclusion: This study found a significant association between the NT-proBNP level and hs-PDA"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Widowati Soebaryo
"ABSTRAK
TUJUAN (1) Menentukan peningkatan risiko terjadinya DK-T pada individu dengan DA-K; (2) Menetapkan gejala Minis DA-K tertentu yang berperan pada perkembangan DA-K menjadi DK-T dan dipengaruhi oleh faktor imunogenetik HLA kelas I; (3) Menetapkan efek imunitas selular disertai dengan peningkatan kadar IgE yang mempengaruhi perkembangan DA-K menjadi DK-T; (4) Menetapkan jenis HLA kelas I tertentu yang menentukan peningkatan derajat risiko terjadinya DK-T; (5) Menentukan derajat sakit DK-T pada individu dengan DA-K sebagai akibat pajanan oleh deterjen.
TEMPAT PENELITIAN Berbagai lokasi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo; Makmal Terpadu RSCM-FKUI; Labotratorium Transplantasi Makmal Terpadu RSCM-FKUI.
SUBJEK PENELITIAN Pekerja kebersihan lantai (PKL)
RANCANGAN PENELITIAN Merupakan penelitian analitik dengan (A) membandingkan pengaruh faktor intrinsik yang terdiri atas faktor individu, faktor imunogenetis, dan faktor imunologis pada responden dengan (DA-K(+)) terhadap responden (DA-K(-)) yang terpajan deterjen untuk terjadinya DK-T. Desain yang diterapkan ialah studi kasus kontrol; (B) melakukan pengamatan selama 5 bulan terhadap sejumlah responden (yang bekerja kurang dari 2 bulan) terhadap perkembangan patogenesis DA-K menjadi DK-T akibat pajanan dengan deterjen. Desain yang diterapkan ialah studi longitudinal prospektif (terbatas).
HASIL Diantara 220 PKL yang memenuhi syarat, sebanyak 136 menderita DK-T. (1)
Pada lingkup gejala klinis didapatkan DA-K merupakan faktor risiko intrinsik terjadinya DK-T, peningkatan skor DA-K diikuti oleh peningkatan skor DK-T dengan korelasi cenderung linear. Ditemukannya riwayat atopi pada diri maupun keluarga berupa asma bronkial dan rinitis alergik merupakan faktor proteksi untuk terjadinya DK-T, sedangkan adanya riwayat dermatitis atopik meningkatkan risiko terjadinya DK-T. Keratosis pilaris, hiperlinearitas palmaris, dan xerosis merupakan gejala Minis primer DA-K yang meningkatkan risiko terjadinya DK-T. (2) Pada lingkup faktor imunologis didapatkan peningkatan kadar IgE dalam serum pada kadar yang lebih rendah sebagai akibat pajanan dengan antigen lingkungan pada kelompok kasus. Sel Th CD3+CD4+ dan rasio sel Th : Ts (CD3+CD4+ CD3+CD8+), serta sel NK (CDI6+CD56+) berperan pada derajat sakit DK-T. Se! MC (CD 16+CD56+) teraktivasi oleh sitokin yang dikeluarkan keratinosit sebagai akibat kerusakan sawar kulit oleh deterjen, (3) Pada lingkup faktor imunogenetis didapatkan temuan HLA-B15 lebih banyak pada kontrol dengan nilai p < 0.05 dan RR < 1; terlihat kecenderungan bersifat protektif dengan fraksi etiologik sebesar 60 %. HLAB53 didapatkan pada derajat sakit berat sehingga diperkirakan merupakan petanda untuk derajat sakit berat pada DK-T.
(4) Lingkup faktor risiko ekstrinsik mendapatkan waktu pajanan ? 2jam/hari meningkatkan risiko terjadinya DK-T. Perbedaan derajat sakit DK-T lebih terlihat pada pH < 10, dan peningkatan pH menaikkan risiko terjadinya DK-T. (5) Analisis studi diagnostik menggunakan uji McNemar menunjukkan xerosis merupakan prediksi Minis terjadinya DK-T dengan sensitivitas 40 % dan spesifisitas 70 %, dan HLA-B15 berperan sebagai faktor proteksi. (6) Pengamatan longitudinal prospektif terbatas yang dilaksanakan selama 5 bulan terhadap responden baru yang bekerja < 2 bulan menemukan bahwa seluruh responden menderita DK-T pada akhir pengamatan. Responden DA-K(+) mempunyai kecendrungan menderita DK-T lebih awal dibandingkan dengan responden DA-K(-).
KESIMPULAN (I) Sesuai dengan peningkatan skor atopi yang diikuti dengan peningkatan skor DK-T, maka dapat disimpulkan bahwa DA-K merupakan risiko intrinsik untuk terjadinya DK-T (2) beberapa gejala klinis primer meningkatkan risiko terjadinya DK-T, terutama riwayat pemah menderita dermatitis atopik pada diri atau keluarga dan ditemukannya xerosis kutis karena xerosis akan menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga mempermudah masuknya bahan iritan ke dalam kulit (3) sel Th CD4+, rasio sel Th : Ts (CD3+CD4+ 1 CD3+CD8+), dan sel NK (CD16+CD56+) meningkatkan risiko terjadinya DK-T derajat berat. Kerusakan sawar kulit akan mengaktifkan sel NK(CD16+CD56+) sebagai respons terhadap sitokin yang diproduksi akibat kerusakan keratinosit (4) HLA-B15 merupakan faktor proteksi untuk terjadinya DK-T dan HLA-B53 cenderung merupakan petanda untuk menderita DK-T berat (5) xerosis kutis dapat berperan sebagai prediktor Minis untuk terjadinya DK-T pada individu dengan DA-K (6) pajanan deterjen bersifat basa yang terjadi ? 2 jam/hari dalam waktu 5 bulan menyebabkan DK-T pada seluruh responden yang bekerja tanpa alat pelindung dengan kecenderungan menderita DK-T lebih awal pada responden DA-K(+) dibandinglcan dengan responden DA-K(-).

ABSTRACT
TITLE Clinical prediction of hand dermatitis in person with atopic skin diathesis
PURPOSE To identify the role of intrinsic and extrinsic risk factors of the pathogenesis of hand dermatitis
SETTING Several different parts of Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Makmal and Tranplantation Laboratory, Faculty of Medicine of the University of Indonesia, Jakarta.
STUDY SUBJECTS Cleaning service workers
METHODS An analytical study comprises of two parts have been conducted as follows : (1) Case-control study to identify the role of intrinsic and extrinsic risk factors in the pathogenesis of hand dermatitis (2) Limited longitudinal (prospective) study was performed among workers who have done the work less than 2 month, to find out the immunopathogenesis of hand dermatitis in persons with atopic skin diathesis.
The clinical sign of atopic skin diathesis consisted of the history of atopic diseases in oneself or history in the family, pityriasis alba, Dennie-Morgan line, Hertoghe sign, kheilitis, keratosis pilaris, food intolerance, palmar hyperlinearity, white dermographism, xerosis, and reduce itch threshold were evaluated to found out the clinical risk factors.
Immunological factors such as IgE in the blood was examined by Micro particle Enzyme Immunoassay (META) and cellular immunity by flow-cytometry was preformed at the Makmal Laboratory, Faculty of Medicine of the University of Indonesia, Jakarta. Immunogenetic factors such as HLA type I was examined by microlymphocytotoxicity at the Makmal Transplantation Laboratory, Medical Faculty of the University of Indonesia, Jakarta. Statistical analysis was performed mostly with the chi-square method.
RESULTS Two hundred twenty out of 241 cleaning service workers were involved in this study. Ninety four out of 136 who suffered from hand dermatitis were recruited as the case and 84 workers who were normal (without hand dermatitis) served as the control group. (1) Atopic skin diathesis was proved as an intrinsic risk factor for hand dermatitis in the case-control study conducted. Keratosis pilaris, kheilitis, hiperkeratosis palmaris, and xerosis were found significantly as the intrinsic risk factors for hand dermatitis by using the multivariate analysis. (2) Statistical analysis of the immunological factors stated that T lymphocyte CD3+ and Natural Killer cell were proven to be the immunological risk factors for hand dermatitis. Keratinosit, after exposed to irritant, produced and released different kinds of cytokine, - included epidermal derived natural killer cell activating factor, which could activate Natural Killer cells. Increasing value of the blood IgE was observed with the mean value higher in the case group than in the control group (by using the one-sided t test) with the p value < 0.05 after the logarithmic transformation. (3) Statistical analysis of the immunogenetic factor revealed HLA-B 15 was found higher in the control group than in the case group with p value 0.022 assuming a protective factor (OR < 1) for hand dermatitis with a high (60%) etiologic fraction.
(4) Exposure time ? 2 hours/day was statistically significant as an extrinsic risk factor for hand dermatitis. Low pH (< 10) clearly showed the difference between the severe and the mild form of hand dermatitis. (5) Longitudinal study with 5 month observation period consisted of 18 cleaning service workers entering the job less than 2 month, resulted in hand dermatitis for all workers by the end of the observation period. (6) Xerosis cutis could be considered as the clinical predictor for hand dermatitis in person suffering from atopic skin diathesis.
CONCLUSION: (1) Atopic skin diathesis was found to be an intrinsic risk factor for hand dermatitis (2) Kheilitis, keratosis pilaris, hiperlinearis palmans, and xerosis were clinical risk factors for hand dermatitis (3) T cell CD3+ and NK cell CD16+CD56+ were the immunological risk factors for hand dermatitis (4) the immunogenetic risk factors showed that HLA-B 15 was considered having a protective role and HLA-B53 was considered as the sign of the severe from of hand dermatitis (5) Xerosis cutis could be considered as the clinical predictor for hand dermatitis in person suffering from atopic skin diathesis (6) longitudinal prospective study revealed that all the newly-working workers (less then 2 month starting the work) by the end of 5 month observation period suffered from hand dermatitis with the tendency that hand dermatitis appeared earlier in person with atopic skin diathesis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D382
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Wahyudi
"Strktur uretra adalah kelainan berupa penyempitan lumen uretra akibat terbentuknya jaringan parut (scar) yang melibatkan epitel dan jaringan erektil korpus spongiosum. Proses patofisiologi terjadinya kelainan ini belum sepenuhnya diketahui. Di antara berbagai faktor yang terlibat, diferensiasi miofibroblas merupakan salah satu faktor kunci.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui diferensiasi miofibroblas pada proses terjadinya striktur uretra di tingkat selular dan melihat hubungan antara growth factor dan komposisi kolagen dengan diferensiasi miofibroblas.
Penelitian ini adalah studi eksperimental pada kelinci New Zealand jantan dewasa yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok model penyembuhan uretra normal dan model striktur uretra.Dua kelinci pada masing-masing kelompok dilakukan eutanasia pada hari ke-2, 7, 14, 21, 30, 60, dan 90. Dilakukan pemeriksaan adanya sumbatan uretra dengan sondase bougie 8 F, pemeriksaan CRP serum darah, pemeriksaan hematoksilin-eosin, trichrome Masson, picrosirius red, TUNEL, dan RT PCR untuk melihat ekspresi gen α-SMA, TGF β, dan b-FGF. Dari hasil penelitian dijumpai adanya perbedaan dalam apoptosis miofibroblas, komposisi kolagen I/total, kadar TGF β dan b-FGF antara kedua kelompok. Terdapat korelasi positif sedang antara apoptosis miofibroblas dengan ekspresi gen TGF β dan korelasi positif lemah antara apoptosis miofibroblas dan komposisi kolagen tipe I/ kolagen total.

Urethral stricture is a narrowing urethral lumen due to scar formation involving epithel and corpus spongiosum erectile tissue. Pathophysiology process of this abnormality is not fully understood. Among various factors involved, myofibroblast differentiation is a key factor. The purpose of this study is to investigate the process of myofibroblast differentiation on urethral stricture formation process at cellular level and observe the correlation between growth factors and collagen composition with myofibroblast.
The study was an experimental study in adult male New Zealand rabbits, divided into two groups, namely the normal urethral healing model and urethral stricture model. Euthanasia was performed in two rabbits of each group on days 2, 7, 14, 30, 60, and 90. Urethral stricture was confirmed by bougie. Several laboratory examination were done, including CRP blood serum, haematoxylin eosin, trichrome Masson, picrosirius red, TUNEL and RT PCR to look at gene expression of α- SMA, TGF β, b-FGF, dan EGF. The study found a difference in apoptosis myofibroblast, composition of collagen type I/total, TGF β and b-FGF levels between the two groups. There was also a positive moderate correlation between TGF β gene expression and myofibroblast apoptosis proportion and a positive weak correlation collagen type I/ total composition and myofibroblast apoptosis proportion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Pramita Gayatri Dwipoerwantoro
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
D1745
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Liku Satriani
"Latar Belakang. Terapi baku emas dalam penutupan defek septum ventrikel (DSV) adalah pembedahan. Prosedur pembedahan mempunyai morbiditas yang terkait dengan torakotomi, pintasan jantung paru, komplikasi prosedur, jaringan parut bekas operasi, dan trauma psikologis. Oleh karena itu, timbul usaha pendekatan transkateter untuk menutup DSV yang bersifat relatif kurang invasif.
Tujuan. Mengetahui perbandingan hasil penutupan DSV perimembran, komplikasi prosedur, lama rawat di rumah sakit, dan total biaya prosedur antara prosedur transkateter dengan prosedur pembedahan.
Metode. Penelitian retrospektif analitik dengan data berupa rekam medis pasien anak dengan DSV perimembran yang datang ke Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo dan dilakukan penutupan defek dengan salah satu prosedur dalam periode Januari 2010-Desember 2013.
Hasil. Sebanyak 69 kasus anak dengan DSV perimembran masuk dalam penelitian, terdiri dari 39 kasus dengan prosedur pembedahan dan 30 kasus dengan prosedur transkateter. Prosedur pembedahan dan prosedur transkateter mempunyai tingkat keberhasilan yang serupa (89,7% vs 96,7%, p=0,271). Prosedur pembedahan mempunyai komplikasi yang lebih banyak dibandingkan prosedur transkateter (46,7% vs 7,7%, p < 0,001). Prosedur pembedahan juga mempunyai lama rawat di rumah sakit yang lebih panjang dibandingkan prosedur transkateter (8 hari vs 3 hari, p<0,0001), dan semua prosedur pembedahan membutuhkan perawatan di ruang rawat intensif. Tidak ada perbedaan total biaya antara prosedur transkateter dengan prosedur pembedahan (Rp. 55.032.636 vs Rp. 58.593.320 p = 0,923).
Simpulan. Prosedur penutupan DSV perimembran secara transkateter mempunyai efektivitas dan biaya yang sama dengan prosedur pembedahan dan mempunyai komplikasi yang lebih sedikit serta lama rawat di rumah sakit yang lebih pendek.

Background. Surgery has become standard therapy for ventricular septal defect (VSD) closure, but it has significant morbidity related to sternotomy, cardiopulmonary bypass, complication, residual scar, and trauma. Non-surgical and less invasive approaches with transcatheter device were developed to occlude VSD.
Objectives. To compare efficacy, complication, length of hospital stay, and total cost of perimembran VSD closure procedure between transcatheter closure and surgery.
Methods. A retrospective analysis was performed on children with perimembran VSD admitted to Cardiology Center of Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2010-December 2031. The patients received transcatheter closure or surgical closure. Data were obtained from medical record.
Results. A total of 69 perimembran VSD cases were included in study, consisted of 39 cases underwent transcatheter closure and 30 cases underwent surgical closure. The efficacy of both procedur were not statistically different (89.7% vs 96.7%, p=0.271). However, surgery procedure had more complication than transcatheter closure (46.7% vs 7.7%, p < 0.001). Hospital stay were also significantly longer for surgery procedure than transcatheter closure (8 days vs 3 days, p<0.0001), and all surgical subjects requiring intensive care. Transcatheter closure had median total cost Rp. 55.032.636 as compared with Rp. 58.593.320 for surgery procedure (p =0.923).
Conclusion. Perimembran VSD transcatheter closure had similar efficacy and costs with surgical closure. Complication rate was lower, and the length of hospital stay was shorter.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Adriansyah
"ABSTRAK
Latar Belakang. Indometasin dan ibuprofen merupakan standar obat yang digunakan untuk menutup duktus arteriosus persisten dengan gangguan hemodinamik signifikan (hemodinamically significant patent ductus arteriosus, hs-PDA). Sediaan injeksi intravena dari kedua obat tersebut belum tersedia di Indonesia. Beberapa laporan kasus serial sebelumnya menunjukkan parasetamol intravena dapat menjadi alternatif pengobatan hs-PDA pada bayi prematur.
Tujuan. Untuk mengevaluasi efek parasetamol intravena dalam penutupan PDA pada bayi prematur.
Metode. Desain kuasi-eksperimental dilakukan mulai 15 Mei sampai 31 Agustus 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria diagnosis hs-PDA berdasarkan ekokardiografi dan diameter duktus diukur dari pandangan parasternal sumbu pendek atau pandangan suprasternal sumbu panjang. Bayi prematur usia 2-7 hari diberikan parasetamol intravena dosis 15 mg/kg tiap 6 jam diberikan selama 3-6 hari dan dipantau sampai usia kronologis 14 hari. Uji Fischer exact digunakan untuk menilai hubungan antara kelompok bayi dengan penutupan PDA. Uji t berpasangan digunakan untuk menilai perubahan diameter duktus antara sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian dinyatakan bermakna jika P<0,05.
Hasil. Sebanyak 29 bayi diikutsertakan dalam penelitian. Rerata usia gestasi 30,8 minggu dan berat lahir 1347 gram. Sembilan belas berhasil menutup, 1 reopening, 9 gagal menutup, dan tidak ditemukan intoksikasi hati. Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok bayi berdasarkan usia gestasi dan berat lahir dalam penutupan PDA. Rerata diameter duktus sebelum intervensi 3,0 mm dan saat pemantauan usia empatbelas hari 0,6 mm. Diameter duktus berkurang sebelum dan sesudah intervensi (P<0,0001).
Kesimpulan. Parasetamol intravena efektif dalam penutupan PDA pada bayi prematur.

ABSTRACT
Introduction. Indomethacin and ibuprofen are standard drugs for closing hemodynamically significant patent ductus arteriosus (hs-PDA) in premature babies. Intravenous injection for both drugs is not yet available in Indonesia. Some previous case series shown intravenous paracetamol can be used as an alternative treatment of hs-PDA in premature babies.
Objective. To evaluate intravenous paracetamol effect on closure of PDA in premature babies.
Methods. Quasi-experimental design was conducted from May 15th to August 31th 2014 in the Dr. Ciptomangunkusumo General Hospital. Echocardiographic diagnosis of PDA was measured from parasternal-short-axis-view or suprasternal-long-axis-view. The premature babies aged 2 to 7 days were administered intravenous paracetamol of 15 mg/kg every six hours for a-3 day cycle and followed up to chronological age of 14 days. Fischer exact test was used to assess the association between babies group and closure of PDA. Pair t test was used to evaluate duct diameter between before, after intervention, and a-14 day follow up. P<0.05 was considered as statistically significant.
Results. Twenty-nine babies were included. Mean of gestational age was 30.8 weeks and birth weight was 1347 gram. Nineteen (65.5%) cases were successfully closed, 1 case reopening, 8 cases failed, and no hepatic intoxication seen. No significant differences between babies group on closure of PDA. The mean of duct diameter before, after intervention, and a-14 day follow up were 3.0 mm, 0.9 mm, and 0.6 mm, respectively (P<0.0001).
Conclusion. Intravenous paracetamol is quite effective on closure of PDA in premature babies."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rismala Dewi
"Latar belakang. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan salah satu komplikasi fatal sepsis berat. Penggunaan cairan koloid sebagai cairan resusitasi dapat menurunkan kejadian ARDS lebih banyak karena memiliki berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan cairan kristaloid. Peningkatan extravascular lung water (EVLW), kadar interleukin-8 (IL-8) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) telah diteliti sebagai indikator penting yang berperan dalam patogenesis ARDS. Penelitian pada hewan coba diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai patofisiologi ARDS yang kompleks dan sulit dimengerti.
Tujuan. Mengungkap pengaruh cairan koloid atau kristaloid terhadap kejadian ARDS pada model hewan coba babi dengan sepsis berat, serta menganalisis pengaruh cairan kristaloid atau koloid terhadap peningkatan EVLW, IL-8, dan VCAM-1.
Metode. Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda, dilakukan di Laboratorium Bedah Eksperimental, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dengan menggunakan babi (Sus scrofa) yang sehat berusia 2-3 bulan, berat badan 8-12 kg. Subjek dialokasikan secara acak menjadi dua kelompok, yaitu yang mendapatkan cairan resusitasi koloid atau kristaloid. Setelah pemberian endotoksin 50 μg/kg, tanda klinis ARDS, EVLW, IL-8, dan VCAM-1 dipantau saat sepsis, sepsis berat, 1 jam, dan 3 jam pasca-resusitasi cairan. Tiga jam pasca-resusitasi, dilakukan eutanasia pada babi, kemudian spesimen jaringan paru diambil untuk pemeriksaan histopatologi.
Hasil Utama. ARDS kategori ringan lebih banyak terdapat pada kelompok koloid, sedangkan ARDS kategori sedang lebih banyak pada kelompok kristaloid. Rerata skor cedera paru pada kelompok koloid lebih rendah dibandingkan dengan kristaloid (0,4 vs. 0,7; p=0,001). Peningkatan EVLW lebih sedikit terjadi pada kelompok koloid dibandingkan dengan kristaloid pada 1 jam (1,0 vs. 3,0 mL/kgbb; p=0,030) dan 3 jam pasca-resusitasi (2,7 vs. 6,3 mL/kgbb; p=0,034). Pada kedua kelompok, kadar IL-8 meningkat secara bermakna setelah pemberian endotoksin (103,1 vs. 3854,5 pg/mL; p=0,012 pada kelompok koloid dan 125,0 vs. 4419,3 pg/mL; p=0,003 pada kelompok kristaloid). Nilai kadar IL-8 dan VCAM-1 tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.
Simpulan. Penggunaan cairan koloid sebagai cairan resusitasi tidak menurunkan kemungkinan kejadian ARDS dibandingkan kristaloid. Cairan koloid berhubungan dengan peningkatan EVLW dan skor cedera paru yang lebih rendah dibandingkan dengan cairan kristaloid, tetapi tidak pada kadar IL-8 dan VCAM-1.

Background. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is a fatal complication of severe sepsis. Due to its higher molecular weight, the use of colloids in fluid resuscitation may be associated with fewer cases of ARDS compared to crystalloids. Extravascular lung water (EVLW) elevation and levels of interleukin-8 (IL-8) and vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) have been studied as indicators playing a role in the pathogenesis of ARDS. The use of animal models may provide a better understanding of the complex and poorly understood pathophysiology of ARDS.
Objectives. To determine the effects of colloid or crystalloid fluid resuscitation on the incidence of ARDS, elevation of EVLW, and levels of IL-8 and VCAM-1, in swine models with severe sepsis.
Methods. This was a randomized trial conducted at the Laboratory of Experimental Surgery, School of Veterinary Medicine, Institut Pertanian Bogor, using healthy swine (Sus scrofa) models aged 2 to 3 months with a body weight of 8 to 12 kg. Subjects were randomly allocated to receive either colloid or crystalloid fluid resuscitation. After administration of 50 μg/kgbw of endotoxin, clinical signs of ARDS, EVLW, IL-8, and VCAM-1 were monitored during sepsis, severe sepsis, and one- and three hours after fluid resuscitation. Three hours after resuscitation, euthanasia was performed on the animal and the lung tissue specimen was taken for histopathological examination.
Results. Mild ARDS was more prevalent in the colloid group, while moderate ARDS was more frequent in the crystalloid group. Mean lung injury score was lower in colloid compared to crystalloid group (0.4 vs. 0.7; p=0.001). The increase in EVLW was lower in the colloid compared to the crystalloid group both at one hour (1.0 vs. 3.0 mL; p=0.030) and three hours post-resuscitation (2.7 vs. 6.3 mL/kg; p=0.034). In both groups, IL-8 levels were significantly higher after endotoxin administration (103.1 vs. 3854.5 pg/mL; p=0.012 in the colloid group and 125.0 vs. 4419.3 pg/mL; p=0.003 in the crystalloid group). There was no significant difference in IL-8 and VCAM-1 levels between the two groups.
Conclusion. The use of colloids in fluid resuscitation does not decrease the probability of ARDS events compared to crystalloids. Compared to crystalloids, colloids are associated with a lower increase in EVLWI and a lower mean lung injury score, but not with IL-8 or VCAM-1 levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>