Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sukron Maksudi
"Pemerintah Indonesia pasca reformasi telah menghapuskan berbagai peraturan yang bersifat diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa, tetapi dalam pelaksanaan masih terdapat tindakan diskriminatif yang dilakukan terhadap orang-orang Tionghoa. Pencabutan undang-undang diskriminatif masih dianggap setengah hati oleh aparatur penyelenggara kebijakan negara. Berbagai upaya pemerintah untuk menghapuskan diskriminasi ternyata masih terdapat kendala dalam proses pelaksanaanya. Jika kembali pada sejarah masa lalu, Tionghoa sebagai etnis minoritas mengalami perlakuan diskriminatif pada zaman Belanda dengan dikeluarkan berbagai aturan yang menempatkan peran Tionghoa sebagai ras kelas dua sejajar dengan keturunan asing di bawah Belanda dan di atas etnis asli. Namun setelah merdeka, peran Tionghoa di masyarakat berubah seiring dengan perpolitikan global dan nasional.
Pemahaman terhadap stereotip yang berkembang seyogyanya dimulai dengan sebuah upaya penelusuran kembali hal-hal yang menjadi dasar dari berbagai faktor yang membentuknya. Melihat Tionghoa sebagai etnis minoritas dan telah mengalami perlakuan diskriminasi, maka patutlah ?dicurigai? bahwa tindak diskriminasi inilah yang menjadi alasan tumbuhnya stereotip yang terjadi di lapisan masyarakat selama ini. Kecurigaan ini semakin menguat ketika penelusuran sejarah melalui berbagai literatur yang ada memperlihatkan bahwa orang-orang Tionghoa pun menjadi korban sistem diskriminatif yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda dan yang dikembangkan secara lebih sistematik oleh pemerintahan orde baru. Pada masa tersebut itulah hak sosial, politik, dan budaya orang Tionghoa dibatasi melalui berbagai peraturan yang dilegalkan oleh undang-undang. Diskriminasi yang terjadi selama kurun waktu yang sangat panjang inilah yang juga tidak terlepas dari latar belakang stcreotip yang melekat terhadap orang-orang Tionghoa.
Akan tetapi pada masa reformasi berlangsung, yang ditandai oleh peristiwa Mei 1998 dimana terdapat korban yang kebanyakan dari golongan Tionghoa, pemerintah dengan gencar menggunakan sistem demokratis dan menjunjung hak asasi manusia (HAM) dalam segala tata aturan perundang-undangan. Peraturan yang diskriminatif dihapuskan, dalam hal ini khususnya peraturan diskriminiatif yang ditujukan terhadap golongan minoritas Tionghoa.
Namun dalam pelaksanaannya masih saja terdapat tindakan diskriminatif yang masih memberlakukan persyaratan SBKRI dalam mengurus surat kependudukan (KTP, akta lahir, surat nikah, akta waris, paspor, dam lain-lain). Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Kewarganegaeraan no 12 tahun 2006 yang didalamnya menyabutkan SBKRI sudah dihapuskan.
Walaupun reformasi telah digulirkan sejak 1998 sampai sekarang, tetapi pemerintah dalam melaksanakan sosialisasi berbagai kebijakan yang dikeluarkan masih sangat kurang. Media massa kebanyakan memberitakan masalah politik dan bencana yang kerap terjadi di Indonesia. Sehingga permasalahan sosial seakan tenggelam. Multikulturalisme yang ditanamkan melalui upaya penghapusan diskriminatif dan stereotip yang melekat pada etnis tertentu memiliki tantangan tersendiri.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah globalisasi dimana batas-batas nilai menjadi kabur. Dengan demikian, adanya beberapa kasus pemberlakuan SBKRJ sebagai syarat dalam mengurus surat kependudukan yang dikenakan kepada orang Tionghoa memperkuat pemahaman bahwa masih terdapat praktik diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa yang dilakukan oleh "oknum" aparatur negara. Hal ini akan menjadi potensi yang mengancam keamanan individu warga negara Indonesia khususnya keturunan Tionghoa, memperlambat program pemerintah, dan mengurangi nilai multikulturalisme di Indonesia.

The Indonesian government had abolished the post-reform discriminatory regulations against Chinese people, but in execution there are still discriminatory acts committed against Chinese people. Repeal discriminatory laws are still considered to be half-heartedly by the apparatus operator of state policy. Various government efforts to eliminate discrimination are still being a major obstacles in the process of its implementation. In the past history, as the ethnic Chinese minority suffered discriminatory treatment in the Dutch era with some various rules that put the role of Chinese as second-class races in line with the Dutch foreign descent below and above the original ethnicity. But after independence, the Chinese role in society change along with global and national politics.
Understanding of developing stereotypes should begin with an effort to search back the things that form the basis of various factors that shape it. Seeing as the ethnic Chinese minority and have experienced discrimination, then the proper "suspected" that the act of discrimination is the primary reason for the major growth of stereotypes that occur in society so far. This suspicion got strength after conducted a research of some past literature and shows that The Chinese people had become victims of discriminatory system that was built by the Dutch colonial government and more systematically developed by the new order government. During this period, social rights, politics, and culture of the Chinese is limited by various regulations that legalized by law. Discrimination that occurred during a very long period, makes The stereotypes of Chinese people still attach.
But during the reformation period, which was marked by the events of May 1998 where there are victims, mostly from the Chinese, the government with a vigorous democratic system, uphold the respect for human rights (human rights) in all statutory regulations. Discriminatory regulations eliminated, in this case especially directed against the discriminative regulation on Chinese minorities.
But in practice there are still discriminatory actions that still impose requirements SBKRI in arranging letters of residence (ID, Birth Certificate, Marriage Certificate, Deed Waris, Passport, dams etc.). This is contrary to the Act No.12 of 2006 Regarding Nationality, that SBKRI were no longer mentioned.
Although reforms have been rolled out since 1998 until now, but the government is still lacking in socialized some policies implementation. The media mostly reported political problems and disasters that often occur in Indonesia. So that social problems as if drowning. Multiculturalism that use through efforts in order to eliminate discrimination and stereotyping in certain ethnic has its own challenges.
Other factors that also influence the globalization where boundaries become blurred. Thus, the existence of several cases that SBKRI still require as a requirement in the care of a letter of residence on the Chinese, strengthen the understanding that there are discriminatory practices against Chinese people committed by "rogue" state apparatus. This will be the potential that threaten the security of individual Indonesian citizens of Chinese descent in particular, slowing down government programs ; and reduec the value of multiculturalism in Indonesia.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2011
T33327
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kosmas Prayogo Wira Widjaya, Author
"Pada situasi dan kondisi normal, setiap fungsi dalam keluarga dapat dijalankan oleh setiap keluarga dengan baik. Akan tetapi pada situasi dan kondisi tertentu salah satu atau beberapa, bahkan secara keseluruhan fungsi-fungsi dari keluarga tersebut tidak dapat dijalankan dengan wajar atau sering disebut ketidakberfungsian keluarga. Ketidakberfungsian sosial keluarga ini atau keberfungsian sosial keluarga yang rendah akan berpengaruh terhadap kehidupan suatu masyarakat. Mengingat keluarga adalah suatu perwujudan sistem jaringan sosial dimana keberadaan masing-masing keluarga akan menentukan kelangsungan hidup, bahkan keberadaan masyarakat sangat diwarnai oleh fungsi masing-masing keluarga dalam mempertahankan dan membangun dirinya maka secara otomatis kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya juga turut terganggu, seperti melumpuhkan segala sumber daya sehingga menghambat program-program pembangunan dan kegiatan pemerintahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, mengetahui dan menganalisis : (1) hubungan penerapan manajemen bencana terpadu (sebagai variabel eksogen X1) dan pemenuhan kebutuhan dasar ( variabel eksogen X2) pada penanganan masyarakat korban bencana luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo (sebagai variabel endogen X3) di lokasi pengungsian Pasar Baru Porong; (2) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberfungsian sosial keluarga korban bencana luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo (variabel endogen Y) di lokasi pengungsian Pasar Baru Porong baik secara langsung maupun tidak langsung; dan (3) mengukur pengaruh/kontribusi kegiatan penerapan manajemen bencana terpadu, penanganan masyarakat korban bencana dan pemenuhan kebutuhan dasar terhadap keberfungsian sosial keluarga korban bencana baik secara parsial maupun simultan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan menggunakan quesioner untuk menjaring persepsi para masyarakat korban bencana luapan lumpur Lapindo Sidoarjo yang masih tinggal di lokasi pengungsian Pasar Baru Porong Sidoarjo. Data yang didapat dianalisis menggunakan metode statistik analisis korelasi dan analisis jalur / path analysis.
Hasil penelitian pertama, terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Penerapan Manajemen Bencana Terpadu dan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat Korban Bencana terhadap Penanganan Masyarakat Korban Bencana. Dari persamaan substruktur -1, koefisien besarnya pengaruh secara bersama-samab tersebut adalah 0,57. Artinya, setiap peningkatan 1 satuan Penerapan Manajemen Bencana Terpadu dan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat Korban Bencana akan meningkatkan Penanganan Mayarakat Korban Bencana sebesar 0,57 satuan.
Kedua, Keberfungsian sosial keluarga dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung. Faktor yang berpengaruh langsung adalah pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu sebesar 0,70 sedangkan faktor yang berpengaruh tidak langsung adalah penerapan manajemen bencana terpadu, sebesar 0,25. Variabel yang menyebabkan pengaruh tidak langsung dalam hubungan tersebut adalah variabel Penanganan Masyarakat Korban Bencana (Z3). Variabel ini disebut variabel intervening / antara dan berfungsi sebagai variabel eksogen pada Keberfungsian Sosial Keluarga (Z4). Secara langsung Keberfungsian Sosial Keluarga (Z4) dipengaruhi oleh Penanganan Masyarakat Korban Bencana (Z3) dan Pemenuhan Kebutuhan Dasar (Z2) melalui persamaan substruktur-2.
Ketiga, pengaruh penerapan manajemen bencana terpadu dan pemenuhan kebutuhan dasar terhadap keberfungsian sosial keluarga, secara bersama-sama dapat dilihat dari persamaan substruktur 2, yaitu : Z4 = 0,70 Z2 + 0,17 Z3. Kontribusi / pengaruh penerapan manajemen bencana terpadu melalui penanganan masyarakat korban bencana dan pemenuhan kebutuhan dasar secara langsung dan simultan adalah sebesar 87 %. Artinya keberfungsian sosial keluarga dapat dijelaskan oleh faktor penerapan manajemen bencana terpadu melalui penanganan masyarakat korban bencana dan pemenuhan kebutuhan dasar sebesar 87 %, sisanya dipengaruhi oleh variabel atau faktor lain di luar penelitian.

In normal situation and condition, every function in a family can be conducted well by every family. But, in certain situation and condition one or several, and even the whole functions of a family can not be conducted normally as such that is often referred to as family dysfunctionality. This family social dysfunctionality or low family social functionality would affect to a community lives. Knowing that family is a social network system which determine their livelihood, and even community existence, is very much depending on each family function in maintaining and establishing themselves; therefore, automatically community socio economic lives in general will also be disturbed, such as paralyzing all resources, that hamper the development programs and the governance activities.
This research is aimed to describe, find out and analyze: (1) the relation of integrated disaster management application (as exogenic variable X1) and the basic need fulfillment (exogenic variable X2) in the handling of the victims community of Lapindo Overflowed Mud Disaster in Sidoarjo (as endogenic variable X3) at the evacuees location in Pasar Baru Porong Sidoarjo; (2) the affective factors on the victims? family social functionality of Lapindo Overflowed Mud Disaster in Sidoarjo (endogenic variable Y) at the evacuees location in Pasar Baru Porong Sidoarjo both directly and indirectly; and (3) assessing the effects/contributions of the integrated disaster management application activities, the handling on the disaster victim community and basic need fulfillment toward the disaster family victims? social functionality both partially and simultaneously.
The research methodology employed is the survey method by using questionnaires to obtain the disaster victim community?s perceptions of Lapindo Overflowed Mud disaster in Porong Sub-distric Sidoarjo those still living at the evacuees location in Pasar Baru Porong Sidoarjo. The data obtained were analyzed through the use of statistic method, which are correlation analysis and path analysis.
The first finding of the research states that there is positive and significant influence simultaneously between the Integrated Disaster Management Application and the Basic Need Fulfillment on the Disaster Victims Community toward the Handling of Disaster Victims Community. From the equation of substructure-1, the coefficient of the influence simultaneously is 0.57. It means that every increase of 1 unit of the Integrated Disaster Management Application and the Disaster Victims Community Basic Needs Fulfillment that will Increase the Disaster Victims Community Handling is 0.57 unit.
Secondly, the family social functionality is affected by direct and indirect factors. The direct factor is the basic need fulfillment with 0.70 value while for the indirect factor is the integrated disaster management application with 0.25 value. The variable producing indirect effect in that relation is the variable of Disaster Victims Community Handling (as Z3 variable). This variable is referred to as intervening/in-between variable and functioning as exogenic variable on the Family Social Functionality (as Z4 variable). Directly, the Family Social Functionality (Z4 variable) is affected by the Disaster Victim Community Handling (Z3 variable) and the Basic Need Fulfillment (Z2 variable) through the equation of substructure-2.
Thirdly, the influence simultaneously of the Integrated Disaster Management Application and the Basic Need Fulfillment on the Disaster Victims Community toward the Family Social Functionality based on the equation of substructure-2, that is : Z4 = 0,70 Z2 + 0,17 Z3. The influence of the Integrated Disaster Management Application through the Disaster Victims Community Handling and the Disaster Victims Community Basic Needs Fulfillment directly and simultaneously is equal to 87 %. It means that the family social functionality can be described by the integrated disaster management application factor through the disaster victims community handling and the disaster victims community basic needs fulfillment factor that is 87%, the remain factors are affected by the outside variables in this research."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25509
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library