Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pritha Maya Savitri
"Latar belakang: Orientasi ruang (spatial orientation) merupakan masalah utama untuk penerbang yang ditentukan dengan menggunakan persepsi penglihatan, vestibuler, dan propioseptif. Miopia merupakan kelainan refraksi yang paling sering terjadi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya miopia ringan pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pengambilan sampel secara purposif. Responden mengisi kuesioner sedangkan data tajam penglihatan dan kadar gula darah didapatkan dari rekam medis. Analisis data dengan regresi cox menggunakan Stata 10. Batasan miopia ringan pada penelitian ini adalah subyek yang mengalami penurunan tajam penglihatan dan menggunakan lensa koreksi -0,25 s/d -0,30.
Hasil : Subyek penelitian adalah penerbang pria dengan usia 21-45 tahun yang sedang melaksanakan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Kementerian Perhubungan. Persentase miopia ringan dalam penelitian ini sebesar 36,1%. Faktor risiko dominan terhadap miopia ringan jam terbang [risiko relatif (RRa) = 1,23; 95% interval kepercayaan (CI) = 0,96-1,58; P = 0,108], riwayat orang tua miopia (RRa = 5,29; P = 0,000), gejala kelelahan visual kesulitan fokus (RRa = 1,30; 95% CI = 1,01-1,65; P = 0,039), dan gejala kelelahan visual huruf berkabut (RRa = 1,16 ; 95% CI = 0,89-1,48; P = 0,259).
Kesimpulan: Jam terbang total, riwayat orang tua miopia, adanya gejala kelelahan visual kesulitan fokus dan huruf berkabut merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap miopia ringan pada penerbang sipil di Indonesia. Diperlukan koordinasi antara spesialis mata, spesialis kedokteran penerbangan dan balai kesehatan penerbangan dalam pencegahan miopia dan pengawasan kesehatan mata bagi penerbang sipil inisial dan reguler.

Background: Spatial orientation is the main problem to pilot that determined by visual, vestibuler and propioseptif. Myopia is more prevalent refraction error in civilian aviator and other populatian. This study aims to identify risk factors that affect the incidence of mild myopia in civilian pilot in Indonesia.
Method: This study using cross-sectional method with purposive sampling. Subjects answered the questionaire. The researcher using the medical record to get data about visual acuity and fasting blood glucose. Cox regression analyses using Stata 10. Mild myopia in this study is defect distant visual acuity with corrected lens power -0.25 s/d -0.30.
Result : Subject of this study are 21-45 years old male civilian aviators which performs scheduled medical check up at Civil Aviatian Medical Centre. Mild myopia percentage in this study is 36.1%. Dominant risk factor for mild myopia is total flight time (RRa 1.23; 95% CI 0.96-1.58; P 0.108), parental myopia (RRa 5.29; P 0,000), visual fatigue; difficulty in focusing (RRa 1.30; 95% CI 1.01-1.65; P 0.039), and visual fatigue foggy letters (RRa 1.16 ; CI 0.89-1.48 P 0,259).
Conclusion: Total flight time, parental myopia, visual fatigue; difficulty in focusing and foggy letters are influenced risk factors for mild myopia in civilian aviator in Indonesia. Suggested to have coordination among ophthalmologist, aviation medicine specialist, airline and Civil Aviation Medical Centre to preventing myopia and eye health surveillance for initial and reguler civilian pilot.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oktavidal Felani Putra
"Latar Belakang : Beban kerja pada pemandu lalu lintas udara dengan penggunaan layar VDT dapat menimbulkan risiko sindrom mata kering yang dapat mengganggu fungsi penglihatan sehingga berisiko menurunkan keselamatan penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat prevalensi sindrom mata kering pada pemandu lalu lintas udara di bandara Soekarno Hatta beserta faktor-faktor risiko yang berhubungan.
Metode : Desain penelitian menggunakan potong lintang dengan total sampling. Dilakukan pada pemandu lalu lintas udara unit controller ACC dan APP di bandara Soekarno Hatta. Sindrom Mata Kering diukur menggunakan dua macam pemeriksaan, yaitu secara subjektif dengan menggunakan kuesioner Occular Surface Dissease Index OSDI dan secara objektif dengan menggunakan tes schirmer. Variabel yang dianalisis adalah Usia, jenis kelamin, jabatan, masa kerja, jumlah pesawat yang ditangani 1 hari, merokok, gangguan fungsi penglihatan.
Hasil : Dari 316 PLLU unit controller hanya 134 responden yang bersedia mengikuti penelitian dan 124 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Didapatkan prevalensi sindrom mata kering 60,5 dengan mayoritas adalah derajat ringan sebesar 33,1 . Faktor-faktor dominan yang berhubungan dengan sindrom mata kering adalah jabatan dan gangguan fungsi penglihatan. Jika dibandingkan dengan PLLU dengan jabatan supervisor pengawas maka PLLU dengan jabatan senior yang memang tugasnya adalah sebagai pelaksana di ACC dan APP lebih cenderung sindrom mata kering [ Odd Ratio OR = 3,54 ; 95 interval kepercayaan IK 1,44 -8,71; nilai p = 0,006 dan gangguan fungsi penglihatan dengan sindrom mata kering menunjukkan hasil analisis multivariate OR = 0,44; 95 interval kepercayaan IK = 0,20-0,96; nilai p=0,038].
Simpulan : Jabatan dan gangguan fungsi penglihatan berhubungan dengan terjadinya sindrom mata kering pada pemandu lalu lintas udara di bandara Soekarno Hatta.Kata Kunci : Jabatan;gangguan fungsi penglihatan;sindrom mata kering;PLLU

Background Workload of the Air Traffic Controller using a VDT can increase the incidence of dry eye syndrome and lead to limitation of the visual capacity, this condition can decrease the flight safety.
Methods The design of the study was Cross sectional with total sampling of all Air Traffic Controller ACC and APP unit in Soekarno Hatta Airport. Two type of measurements was used to identify dry eye syndrome, using Ocular Surface Disease Index OSDI questionnaire for subjective and Schirmer Test as the objective test. Variables included were age, sex, job position, length of service, number of aircrafts handled in one day, smoking, visual disorders.
Results From 316 Air Traffic Controllers only 134 were willing to participate and only 124 respondents meet the inclusion criterias. The prevalence of dry eye syndrome among ATC is 60,5 , mostly 33,1 is mild dry eye syndrome. The dominant factors that associated with dry eye syndrome in ATC were job position and the visual disorders. Senior controllers have a 3,54 higher risk to get dry eye syndrome compared to supervisors Odd Ratio OR 3,54 95 IC 1,44 8,71 p 0,006 and the visual disorders associated with dry eye syndrome OR 0,44 95 IC 0,20 0,96 p 0,038.
Conclusions Job Position and visual disorders were with dry eye syndrome in Air Traffic Controller at Soekarno Hatta Airport.Keywords Job Position Visual Disorders Dry Eye Syndrome ATC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library