Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lugita Agustina
"Alasan dan tujuan : penelitian dilakukan dengan dilatarbelakangi teori bahwa stres kerja dapat menimbulkan penyakit pada karyawan sehingga mengakibatkan tingginya jumlah ketidakhadiran karena sakit (cuti sakit). Cuti sakit tidak hanya berdampak pada tingginya beban biaya pengobatan yang harus ditanggung perusahaan tetapi juga mengganggu pola kerja dan produktivitas perusahaan. Dengan mengetahui bagaimana dinamika interaksi yang terjadi antara sumber stres kerja (stressor), yakni yang berasal dari faktor pekerjaan, individual dan extra organizational, dengan penyakit, maka dapat dilakukan langkah pengelolaan stres kerja yang akan mengurangi penyakit pada karyawan.
Metode : penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus, dengan sampel 4 (empat) orang karyawan yang bekerja sebagai operator produksi. Sampel dipilih secara purposive mewakili karyawan dengan cuti sakit tertinggi dan terendah. Data diperoleh terutama melalui wawancara pertanyaan terbuka kepada subyek penelitian, ditambah dengan informasi clan pihak terkait seperti atasan dan dokter perusahaan, serta didukung oleh catatan pemeriksaan medis.
Hasil penelitian : Subyek penelitian yang memiliki stressor faktor pekerjaan dan extraorganizational yang tinggi, serta didukung oleh faktor individual berupa NA (Negative Affect) yang tinggi, serta stress control dan hardiness yang lemah, mengeluhkan lebih banyak keluhan fisik, baik yang memang memiliki dasar fisiologis (disease) maupun yang bersifat subyektif (illness). Mereka memiliki cuti sakit yang tinggi. Sebaliknya, subyek penelitian dengan stressor faktor pekerjaan dan extraorganizational yang rendah, serta didukung oleh faktor individual berupa NA (Negative Affect) yang rendah, serta stress control dan hardiness yang kuat, tidak mengeluhkan keluhan fisik, psikologis maupun perilaku. Mereka lebih bahagia dan produktif dalam menjalani kehidupannya.
Kesimpulan dan saran : Interaksi antara stressor pekerjaan, individual dan extraorganizational dapat memicu stres, baik distress maupun eustress. Untuk mengatasi distress, yakni stres yang menimbulkan gangguan dalam kehidupan individu, perlu dilakukan konseling individual yang bertujuan untuk membantu individu untuk meningkatkan hardiness dan spiritual health, mengubah NA-nya yang tinggi, serta mempelajari teknik-teknik pengelolaan stres."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18289
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nangoi Priscilla Francis
"Di Indonesia, Jakarta khususnya, kita kenal dengan keberadaan kelompok individu yang memiliki nama popular waria atau wanita-pria. Waria adalah individu yang memiliki jenis kelamin pria namun mengidentifikasikan dirinya serta berpenampilan selayaknya seorang wanita. Waria dapat disebut atau digolongkan ke dalam istilah transeksual, karena selain memiliki identifikasi sebagai seorang wanita, is juga mengubah penampilannya seperti seorang wanita, baik dari pakaian hingga bentuk tubuh. Hal ini dilakukannya dengan melakukan operasi ataupun melakukan suntikan hormon pada bagian-bagian tubuh tertentu sehingga semakin mirip dengan wanita. Operasi yang pada umumnya dilakukan oleh para waria adalah suntik payudara atau memasang silikon, operasi wajah (tulang pipi, dagu, hidung, dli.), dan juga pada bagian-bagian tubuh lainnya kecuali pada alat kelamin.
Keputusan seseorang untuk menentukan ia menjadi seorang waria ataukah tidak, terkait dengan istilah gender identity atau identitas jender. Identitas jender adalah proses dimana seseorang melakukan klasifikasi terhadap dirinya, apakah ia seorang wanita ataukah pria. Selama seorang anak menjalani proses pembentukan identitas jender, yang paling memiliki peran sebagai pembimbing anak adalah keluarga, terutama orang tua. Ketika anak dalam masa pengenalan jenis kelamin serta perannya, tugas utama dari prang tua adalah memperkenalkan hal-hal yang menunjang pembentukan identitas jender sesuai dengan jenis kelamin anak, seperti misalnya mainan, pakaian, gaga rambut, warna, dan lain sebagainya. Selain pengenalan terhadap obyek, hal lain yang juga sangat penting adalah pengenalan terhadap peran dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya.
Ayah dan ibu sebagai orang tua dalam keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan anak. Peran tersebut antara lain adalah untuk merawat anak, menjadi teman/companion bagi anak, mengajarkan anak mengenai nilai-nilai ataupun norma-norma terutama yang berkaitan dengan jender, menjadi tokoh model bagi anak, dan juga sebagai pencari nafkah untuk pemenuhan tuntutan ekonomi keluarga. Selain itu menurut Lamb (1997), hubungan ayah dan ibu sebagai pasangan suami istri dan orang tua juga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Terpenuhi atau tidaknya peran tersebut dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, terutama identitas jender.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitati f, dengan teknik pengambilan data dengan wawancara dan observasi. Subyek penelitian ini ada 3 orang, yang pengambilan subyek dengan menggunakan teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa instrument penelitian yaitu alat perekam, pedoman wawancara, lembar informed conscent, dan lembar Identitas diri.
Dari data yang didapat serta berdasarkan hasil analisis dapat terlihat bahwa terdapat kontribusi yang tidak sedikit dari peran orang tua terhadap pembentukan identitas jender anak. Pada setiap peran orang tua terdapat salah satu orang tua yang menonjol dalam memenuhi peran mereka. Salah seorang yang menonjol ini kemudian menjadi patokan anak dalam memandang orang tuanya. Pada responden penelitian sangat terlihat bahwa pemenuhan peran yang paling dinilai positif adalah ibu, dimana ibu sebagai orang yang dekat dengan anak, merawat anak, menerima anak, serta menjadi idola serta rontoh dari anak. Padahal mungkin ibu sebenarnya tidak memenuhi perannya dengan baik, namun karena dianggap menguntungkan anak sehingga dinilai positif oleh anak. Seperti misalnya ibu yang menerima keadaan anak apa adanya, atau juga ibu yang menjadi pembela anak. Pada ayah, terlihat bahwa dalam memenuhi perannya ayah lebih cenderung ditakuti karena ayah lebih banyak melakukan kontrol dengan hukuman fisik yang menyebabkan anak takut dan menghindar dari ayah, atau bahkan melawan ayah. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masing-masing peran orang tua sangat mempengaruhi pembentukan identitas jender anak, seperti pegajaran, pengawasan, kontrol, perhatian, role model, dan Iainnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramdani Boy
"Sistem Pemasyarakatan erat kaitannya dengan pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan yang dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan penjatuhan pidana. Pelaksanaan sistem hilang kemerdekaan yang berlangsung selama kurun waktu tertentu merupakan refleksi-refleksi historis dalam perkembangan falsafah Peno Koreksional dari masa ke masa. Secara singkat dapat dikatakan sejarah Pemasyarakatan memuat value oriented atau value centered, karena sistem nilai yang berlaku di masyarakat.(Sujatno, 2004).
Konsepsi pemasyarakatan ini bukan semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu sistem pembinaan, suatu methodologi dalam bidang "Treatment of Offenders" Sistem Pemasyarakatan bersifat multilateral oriented, dengan pendekatan yang berpusat pada potensi-potensi yang ada, baik pada individu yang bersangkutan maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat. Secara singkat sistem pemasyarakatan adalah konsekuensi adanya pidana penjara yang merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang kemerdekaan.(Sujatno, 2004).
Sistem pidana penjara mulai dikenal di Indonesia dalam Wet Roek Van Slmfrecht Poor Nederland Indie atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tepatnya pasal 10 yang berbunyi: Pidana terdiri atas :
(a) Pidana Pokok terdiri dari Pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan.
(b) Pidana tambahan terdiri dari : Pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim (Soesilo, 1986).
Tujuan pidana ini timbul karena adanya pandangan-pandangan yang beranggapan bahwa orang yang melakukan kejahatan adalah merugikan masyarakat, oleh karena itu dianggap sebagai musuh dan sudah sepantasnya kepada mereka dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Dalam usaha melindungi masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh pelanggar hukum, maka diambiI tindakan yang dianggap paling baik dan yang berlaku hingga sekarang, yaitu dengan menghilangkan kemerdekaan bergerak sipelanggar hukum berdasarkan putusan hakim berupa pidana penjara dan pidana kurungan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Lapas sebagai organisasi yang mempunyai tugas dan fungsi lama pentingnya dengan beberapa institusi-institusi lainnya dalam sistem peradilan pidana seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Tugas dan fungsi dari Lapas adalah melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU No. 12 tahun 1995). Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Lapas menerapkan sistem pemasyarakatan yang menjadikan metode pembinaan bagi narapidana dan anak didik.
Narapidana dan anak didik pemasyarakatan mendapatkan pembinaan selama menjalani pidana di dalam Lapas. Pada pembinaan narapidana dilakukan secara bertahap (Gunakaya, 1988), yaitu :
1. Tahap Pertama adalah dilakukan penelitian tentang diri narapidana baik mengenai sebab-sebab melakukan kejahatan, sikap, dan keadaan diri keluarga narapidana dan korban dari tindakannya, serta instansi yang menangani perkaranya seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
2. Tahap kedua, narapidana diberi tanggung jawab lebih besar karena telah memperlihatkan keinsyafan dengan memupuk rasa harga dirinya dan tata krama. Pada tahap ini, sangat ideal dimasaukan rancangan program pelatihan inokulasi stres terhadap narapidana.
3. Tahap ketiga, narapidana telah menjalani setengah dari masa pidananya dan dilakukan asimilasi dengan masyarakat luar Lapas. Terlihat adanya kemajuan baik secara fisik, mental dan juga segi keterampilan.
4. Tahap keempat atau pembinaan terakhir adalah masa pemberian pelepasan bersyarat, apabila narapidana telah menjalani dua per tiga dari masa pidananya serta telah memenuhi persyaratan administrasi dan subtantif."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T18784
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Sutandar
"Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 diyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara berdasarkan kekuasaan belaka. Untuk mewujudkan negara hukum diperlukan iklim yang kondusif sehingga supremasi hukum dapat berkembang optimal dalam segala aspek kehidupan masyarakat tanpa adanya diskriminasi terhadap semua warga negara.
Pemasyarakatan merupakan salah satu komponen penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terpadu (Criminal Justice System) di negara Indonesia, yang melaksanakan tugas pembinaan dan pembimbingan bagi warga binaan dan klien pemasyarakatan yang telah mempunyai ketetapan hukum.
Sistem pemasyarakatan diakui oleh pemerintah sebagai sistem yang menggantikan sistem kepenjaraan. Pergantian dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan dilandasi pandangan bahwa narapidana adalah manusia yang memiliki persamaan derajat dan hak-hak sebagaimana layaknya manusia di masyarakat pada umumnya.
Pidana penjara yang dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan menurut pola pembinaan narapidana berlangsung di dalam tembok lembaga pemasyarakatan yang primitif dengan segala keterbatasannya, terpisah dari keluarganya, orang yang disayanginya, lingkungan masyarakat tempat tinggalnya, yang disertai aturan-aturan sangat mengikat dan kaku. Sebagai narapidana dalam menjalankan pemidanaan di lembaga pemasyarakatan sering kali muncul perasaan tidak aman, gelisah, cemas serta berbagai macam tekanan pada dirinya. Tentu saja ada perbedaan intensitas kecemasan yang dipengaruhi jenis pelanggaran maupun latar belakang kemampuan yang dimiliki masing-masing narapidana.
Dan pengamatan pribadi komposisi penghuni lembaga pemasyarakatan sebagian besar berpendidikan rendah, dengan tingkat ekososial yang buruk. Maka dapatlah diperkirakan kecemasan akan hari depan (kesempatan untuk menghidupi diri sendiri ataupun keluarga) merupakan masalah utama bagi narapidana-narapidana tersebut. Sebenarnya kecemasan ini juga menjadi milik banyak pihak di dalam masyarakat bebas. setiap orang pasti pernah menghlami suatu kecemasan dalam hidupnya karena dalam perjalanan hidupnya manusia pasti pernah menghadapi permasalahan yang terkadang dapat menimbulkan konflik dan frustrasi. Konflik dan bentuk frustrasi lainnya merupakan salah satu sumber kecemasan. Ancaman fisik, ancaman terhadap harga diri, dan tekanan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan, juga bisa menimbulkan kecemasan.
Kecemasan seorang narapidana di lembaga pemasyarakatan menjadi lebih menarik perhatian karena bagi mereka ada perlakukan khusus yang diterimanya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan di dalam lembaga pemasyarakatan."
Depok: Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18782
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryanti Irmayanti
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan media exposure sebagai variabel utama yang berhubungan dengan tingkat body dissatisfaction dan self esteem remaja putri. Seratus lima siswi SMA di daerah DKI Jakarta direkrut melalui convenient sampling. Partisipan kemudian diinstruksikan untuk mengisi sebuah kuesioner yang mengukur tiga variabel, yaitu body dissatisfaction, self-esteem, dan media internalization.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat media exposure tinggi cenderung akan memiliki tingkat body dissatisfaction yang tinggi dan juga menurunnya tingkat self esteem. Penelitian ini memiliki implikasi yang penting terhadap psikologi perkembangan mengenai kerentanan remaja terhadap pengaruh media massa.

The aim of this current study was to examine the relationship between media exposure as the core variable which related to female adolescents? body dissatisfaction and self esteem. One hundred and five high school female students were recruited through convenient sampling. The participants were instructed to fill out a questionnaire that assessed three variables, which were media exposure, body dissatisfaction, and self esteem.
Results revealed that individual with high level of media exposure tend to have higher level of body dissatisfaction and lower self esteem. This current study has an important implication for the developmental psychology in regards to adolescents? susceptibility to mass media effect."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
155.5 ARY h
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Ariyanto
"Pada saat remaja, seorang individu mengalami berbagai perubahan yang menyangkut aspek fisik, kognitif, serta psikososial. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara citra tubuh dengan perilaku seksual dalam berpacaran. Rice (1999) menjelaskan bahwa pada tahap remaja individu lebih memperhatikan tubuhnya dibandingkan tahap perkembangan lain. Seiring dengan perubahan pada tubuhnya tersebut, kebutuhan emosional remaja juga beralih dari orang tua kepada peer, sehingga muncul pengalaman jatuh cinta melalui proses berpacaran. Berpacaran sendiri menyediakan kesempatan besar kepada individu untuk melakukan perilaku seksual. Jenis perilaku seksual yang dilakukan menurut Duvall dan Miller (1985) adalah: touching, kissing, petting, dan sexual intercourse.
Dalam memilih pasangan untuk berpacaran, faktor citra tubuh memegang peranan penting. Menurut Scharlot dan Christ (dalam Thompson, 1996) individu yang memiliki penampilan menarik akan menerima ajakan berpacaran lebih banyak dibandingkan individu yang berpenampilan tidak menarik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pacaran menyediakan kesempatan besar untuk melakukan perilaku seksual. Menurut Garner (1997), perilaku seksual dan citra tubuh saling mempengaruhi. Ackard, Kearney-Cooke dan Peterson (2000) menjelaskan bahwa wanita yang merasa senang dengan bentuk tubuhnya lebih sering melakukan hubungan seksual, mencapai orgasme, lebih sedikit berpura-pura orgasme, merasa lebih nyaman mencoba aktivitas seksual yang baru, serta merasa lebih yakin dalam kemampuan mereka dalam memuaskan pasangan.
Meskipun demikian, penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang sama. Dengan mengambil sampel 138 mahasiswi UI dari 12 fakultas dengan rentang usia 18-22 tahun hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara citra tubuh dengan perilaku seksual dalam berpacaran. Meskipun demikian, jumlah berapa kali partisipan berpacaran serta lama berpacaran menunjukkan hubungan yang signifikan dengan perilaku seksual dalam berpacaran. Dengan kata lain, semakin banyak jumlah pengalaman berpacaran individu, atau semakin lama hubungan pacaran tersebut berlangsung, maka akan semakin banyak pula jenis perilaku seksual dalam berpacaran yang dilakukan.

During adolescent period, a person would face many changes, include changes in physical, cognitive, and psychosocial aspects. This research tried to see the correlation between body image and sexual behavior in dating among adolescent. Rice (1999) explained that during adolescent, a person pays more attention to his or her body than other period in life. Along with those body changes, adolescent emotional need shift from their parents to their peers. With their peers, adolescent would face experience with love throughout dating that provides opportunity for adolescent to engage in sexual behavior. There are four types of sexual behavior according to Duvall and Miller (1985): touching, kissing, petting, and sexual intercourse.
In choosing their partner for dating, body image plays an important role. Scharlot and Christ (in Thompson, 1996) explained that person who look better would receive more dating offer than those who look less. Earlier has been said that dating provide opportunity for engaging in sexual behavior. Garner (1997) explained that body image and sexuality influence each other. According to Ackard, Kearney-Cooke and Peterson (2000) a person who feel that they have positive body image would engage in more sexual intercourse, reach orgasm more often, less faking, more comfortable in engaging new sexual experience, and more confident in satisfying their partner. This research however, show a different results. Subjects are 138 students from 12 faculties in Universitas Indonesia with age ranging from 18 to 22 years old.
The result indicates that there is no significant correlation between body image and sexual dating behavior. But other result indicates that the number of dating participants had been through and participants dating period have significant correlations with sexual dating behavior. In other words, more often the person had been dating and the longer their period of dating, there would be more type of sexual behavior they?re engaging."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
155.2 ARI h
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adelviana Febi Christyanti
"Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan stres dan coping yang dialami oleh ibu setelah anaknya coming out tentang orientasi seksualnya sebagai seorang gay. Teori stres dan coping yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori stres dari Lazarus dan Folkman. Lazarus (1976) mengatakan bahwa apabila suatu keadaan atau situasi yang rumit tersebut pada akhirnya dirasakan sebagai keadaan yang menekan dan mengancam serta melampaui sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasinya, maka situasi ini dinamakan stres. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Auberbach, 1998), strategi coping terbagi menjadi dua kategori yaitu coping terpusat masalah (problem-focused coping) dan coping terpusat emosi (emotion-focused coping). Masing-masing strategi coping dibedakan dalam 5 variasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Adapun karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah seorang ibu yang memiliki anak kandung gay yang telah coming out. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak tiga orang.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga subjek, yang memiliki anak gay yang sudah coming out, menghadapi beberapa kondisi dan situasi yang dinilai sebagai sumber stres. Ketiga subjek menampilkan kedua strategi coping, yaitu coping terpusat masalah (problem-focused coping) dilakukan bila menghadapi situasi yang dapat dicari pemecahannya atau dapat diubah, dan coping terpusat emosi (emotion-focused coping) yang ditampilkan dalam menghadapi emosi negati.
This research aims to describe stress and coping among mothers whose son openly admits (to his mother) that he is a homosexual. The theoretical orientation of this research is based on Lazarus and Folkman?s theory. According to this theory, when a stressful event occurs, people usually evaluate how much it threatens their well-being and judge their ability to deal with the consequences (Lazarus, 1976). There are two strategies of coping, problem-focused coping and emotion-focused coping (Lazarus & Folkman, on Auberbach, 1998). Those two major coping strategies further differentiate into ten minor coping styles, five minor styles for each major style.
This investigation is conducted using qualitative approach. Interviews and observations are used to gather the data. There are three participants in this study, and each of them fit the characteristic of participants, which is they have a gay son that already coming out.
Result shows that every participants experience stress. Further, in their coping, they using both of the major coping strategies. Problem-focused coping consists of efforts to alter, deflect, or in some way manage the stressor itself through direct action, while emotion-focused coping was used to deal with negative emotions.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putricaya Windiarti
"Kehamilan yang tidak diinginkan sebagai akibat dari seks pranikah yang dilakukan oleh remaja wanita umumnya berakhir pada aborsi. Kehamilan tersebut merupakan stresor yang mengancam kesejahteraan mereka dan menjadikan aborsi satu-satunya solusi untuk menghindari risiko dan tanggung jawab sosial, finansial, dan psikologis yang ada apabila kehamilan tersebut dilanjutkan. Akan tetapi, aborsi sendiri merupakan stresor besar bagi mereka, disebabkan adanya risiko komplikasi medis dan penghujatan sosial karena stigma sosial dan ilegalitas aborsi di Indonesia.
Penelitian kualitatif ini mengungkapkan bahwa derajat stress yang dialami oleh partisipan remaja wanita yang melakukan aborsi adalah moderate stress dan cara mereka menghadapi stres akibat aborsi adalah emotion-focused coping yang merupakan cara terbaik dalam menghadapi stresor yang tidak dapat dimodifikasi. Lain halnya dalam menghadapi stres akibat kehamilan, segala tindakan mereka mengarah kepada problem-focused coping yang pada dasarnya berusaha mengubah atau mengeliminasi stresor, dalam kasus ini, kehamilan. Kesimpulannya, partisipan penelitian ini menunjukkan penyesuaian diri yang baik terhadap aborsi dan juga dalam hidup setelahnya.

Unwanted pregnancies resulted from premarital sex amongst female adolescence generally ended in abortion. Since the pregnancies became a stressor to them that threatens their well-beings, it makes abortion an only solution to avoid social, financial, and psychological risks and responsibilities they will have to endure by sustaining their pregnancies. However, abortion itself is a great stressor to them, owing to the fact that it has risks of medical complications and social condemnation to them, since abortion is illegal and also a social stigma in Indonesia.
This qualitative research shows that the stress level experienced by the participants that had abortions is somewhat moderate and the way they cope with the stress caused by abortion is emotion-focused coping which is the best way to cope with unalterable stressors. On the contrary, in dealing with the stress caused by unwanted pregnancies, all their actions lead to problem-focused coping, which essentially tries to modify or in this case, eliminate stressor, the pregnancy itself. In conclusion, the participants of this research showed good adjustments to the abortion, and to their lives after it."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erila Damayanti
"ABSTRAK
Penyakit diabetes dapat menyerang siapa saja dan dimana saja.
Walaupun telah banyak obat yang dapat dikonsumsi penderita diabetes, namun
belum ada obat yang dapat menyembuhkan fingsi pankreas secara totai
sehingga salah satu cara untuk mengatasi penyakit ini adalah dengan cara
mengontrol kadar gula dalam darah, dengan cara pengaturan makanan, olah
raga, dan obat-obatan. Apabila penderita diabetes tidak disiplin dalam
menangani penyakitnya maka penyakit sulit sembuh dan dapat berakhir dengan
kematian. Ketidakdisiplinan merawat diri dan berobat secara teratur dan baik
akan berakibat penderita diabetes dapat terserang komplikasi. Perilaku
kepatuhan sangat rendah pada penyakit kronis seperti diabetes. Menurut
McGoldrick (dalam Carter, dkk, 1989) laki-laki cenderung lebih segan dalam
mencari bantuan dan mereka hanya mau mengakui dirinya sakit bila masalah
yang dihadapinya serius dan mengharuskan mereka dirawat.
Salah satu faktor yang mempengaruhi Individu untuk mematuhi nasehat
dokter adalah dukungan sosial. Individu yang merasakan bahwa mereka
menerima penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang mereka butuhkan dari
orang lain atau kelompok lain cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis
daripada individu yang kurang menerima dukungan sosial (DiMatteo & DiNicola,
1982 dalam Sarafiono 1998). Dukungan ini dapat berasal keluarga, teman dan
support groups. Menurut Taylor (1991, dalam Smet, 1994) dibutuhkan ketja
sama anggota keluarga untuk menghasilkan perilaku kepatuhan. Berada dalam
keadaan sakit .membuat penderita berada dalam situasi yang tidak
menyenangkan, dan dampaknya dari penyakit selain dirasakan penderita juga
dirasakan oleh istrinya (Gatchel dkk, 1992). Oleh karena itu dibutuhkan
dukungan istri untuk menghasilkan perilaku kepatuhan pada penderita diabetes.
Penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana gambaran
dukungan istri yang diterima oleh penderita diabetes yang dilihat dari sisi istri dan
penderita diabetes dan dukungan yang efektif dari istri terhadap medical
adherence pada penderita diabetes.
Ada 3 teori besar yang mendasari penelitian ini, yaitu teori diabetes
mellitus, dukungan sosial dan medical adherence. Penelitian ini menggunakan
metode kuantitatif untuk mencari orang yang memiliki perilaku patuh yang lebih
dipengaruhi oleg dukungan sosial yang diukur mengunakan teori Fishbein dan Azjen, dan metode kualitatif untuk mengali penghayatan terhadap pengaaih
dukungan istri terhadap medical adherence pada penderita diabetes. Subyek
terdlrl 30 orang penderita diabetes dan 3 orang pasang suami Istri penderita
diabetes yang diwawancaral yang terpillh dari subyek kuantitaf.
Hasil dari penelltian Inl adalah bentuk dukungan yang diberikan oleh
seorang Istri terhadap penderita diabetes, yaltu dukungan emoslonal, dukungan
infonmasl, dan dukungan instrumental. Dukungan yang dipersepslkan diterima
oleh subyek penderita diabetes dari istri adalah dukungan emosional, dukungan
informasi, dan dukungan Instrumental. Sedangkan dukungan Istri yang
dibutuhkan subyek penderita diabetes agar patuh terhadap petunjuk dokter
adalah dukungan emoslonal, dan dukungan Informasi. Walaupun dukungan yang
diberikan Istri sama dengan dukungan yang dipersepslkan diterima oleh subyek,
tapi tidak semua dukungan itu dipersepslkan diterima oleh indivldu. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada kesesuaian antara kebutuhan dukungan dan
ketersedian dukungan yang diberikan kepada subyek penderita diabetes.
Dukungan emosional walaupun sudah diberikan oleh istri tetapl masih
dibutuhkan oleh subyek penderita diabetes karena subyek masih membutuhkan
dukungan tersebut diberikan setiap saat untuk memberikan semangat kepada
subyek yang terkadang subyek merasa bosan, jenuh dan putus asa terhadap
kondisi penyakitnya. Sedangkan dukungan informasi masih dibutuhkan karena
subyek masih menpunyal harapan agar dapat sembuh dari penyakit diabetes
melalui pengobatan secara medls.
Untuk penelitlan selanjutnya, disarankan agar lebih menggali dan
menfokuskan perhatlan pada sumber stres sehingga membutuhkan dukungan
yang berbeda pula untuk menghasllkan perilaku kepatuhan yang tinggi pada
pasien penderita diabetes. Untuk menghasllkan penghayatan yang leblh dalam
maka proses wawancara mellbatkan anak dari penderita diabetes. Akan sangat
menarik jlka penelitlan Inl dllanjutkan dengan melihat lebih dalam lagi pengaruh
latar belakang budaya, perbedaan pendidikan istri dan pendldikan penderita
diabetes, dan faktor keprlbadlan pada penderita diabetes."
2002
S2820
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karisma Rani
"ABSTRAK
Ketertarikan terhadap penampilan fisik adalah hal yang lazim terdapat dalam diri
setiap manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa baik pria maupun wanita menyukai orang
yang berpenampilan menarik dan cenderung berespon secara positif terhadap mereka.
Bagi kaum wanita, penampilan fisik yang menarik merupakan suatu problematika
tersendiri. Pola asuh yang diterima sejak kecil serta pengaruh dari lingkungan membuat
wanita seakan dituntut untuk lebih memperhatikan penampilan fisiknya dibandingkan
pria. Donovan dan Sanford (dalam Cohen, 1984) mengemukakan bahwa salah satu alasan
mengapa wanita mempermasalahkan fisiknya adalah karena wanita hidup dalam budaya
dimana wanita dituntut untuk cantik agar dapat dihargai.
Setiap wanita memiliki gambaran tersendiri akan penampilan fisiknya, dan
bagaimana ia melihat tubuhnya secara keseluruhan . Gambaran semacam ini disebut
body image. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa body image erat kaitannya dengan
harga diri seseorang. Banyak faktor yang mempenganihi pembentukan body image,
diantaranya adalah pengaruh lingkungan, media massa, dan sebagainya. Paradigma
kecantikan yang ditimbulkan dari pengaruh faktor-faktor tersebut dapat memberikan
dampak yang negatif bagi wanita. Banyak wanita yang terobsesi dengan penampilan
fisiknya, dan tidak jarang memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak realistis terhadap dirinya
sendiri. Remaja putri adalah kelompok usia yang rentan terhadap gangguan body image.
Para ahli mengatakan bahwa kepedulian akan penampilan fisik umumnya dimulai ketika
seseorang menginjak usia remaja. Pada masa remaja itulah penampilan fisik sangat
mempenganihi bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya sendiri. Banyak cara yang
dilakukan wanita untuk mengatasi ketidakpuasan terhadap penampilan fisiknya, antara
lain berkonsultasi dengan ahli kecantikan, menjalani diet ketat, dan Iain-lain. Salah satu
cara yang saat ini populer untuk mengatasi ketidakpuasan terhadap penampilan fisik
tersebut adalah melakukan bedah plastik kosmetik. Bedah ini bertujuan untuk merubah
bagian tubuh yang tidak disukai seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
body image remaja putri yang telah menjalani bedah kosmetik, melihat perubahan
psikologis yang dialami pasca operasi, dan adanya kemungkinan kecenderungan Body
Dismorphic Disorder pada pasien.
OnlidHs. ( n1 995), Rice (1996). Penjelasant seiornig-ktaeto rmie pnegrekneamib kaonngsaenp rdiermia djaan dbaargii Paanpnaylai ay adiatnu
body image oleh Atwater (1983), dan teori-teori mengenai perkembangan body imase
pada remaja yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Untuk membahas mengenai
gangguan body mage, peneliti menggunakan teori Heinberg (dalam Thompson, 1996).
Body mage dalam hubungannya dengan operasi plastik dijelaskan menggunakan teori
dari Thompson (1996).
Metode penelitian yang digunakan menggunakan pendekatan kualitatif dengan
penggunaan studi kasus terhadap tiga orang responden. Untuk menggali informasi
sedalam-dalamnya digunakan wawancara mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden mengalami ketidakpuasan
pada satu atau lebih dari bagian tubuhnya. Seluruh responden juga mengakui adanya
prototype fisik ideal seorang wanita yang terdapat dalam masyarakat, dan pentingnya
penampilan fisik dalam meningkatkan rasa percaya diri mereka. Selain itu para
responden juga merasakan kontribusi dari media terhadap body image mereka.
Peneliti berharap adanya penelitian lanjutan mengenai topik bedah kosmetik ini,
mengingat masih sedikitnya penelitian mengenai topik ini sedangkan gangguan body
image adalah hal yang banyak dialami pada remaja putri."
2003
S2427
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>