Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurlyta Hafiyah
"Tiap orang memiliki pertanyaan tentang makna hidupnya. Ia menilai dan mengevaluasi apakah hidupnya telah bermakna atau tidak. Pertanyaan demikian muncul saat seseorang memasuki periode dewasa. Dalam psikologi, perhatian terhadap hidup bermakna atau makna hidup terarah pada teori Victor Frank] dan Abraham Maslow. Muncul beberapa tes yang dikembangkan berdasarkan masing-masing dari teori dua tokoh tersebut, seperti Purpose in Life test yang dikembangkan berdasarkan teori Frank] dan Personal Orientation Inventory yang dikembangkan berdasarkan teori Maslow. Namun, muncul beberapa kritik terhadap kedua alat tes itu, sehingga dikembangkan alternatif pengukuran baru bernama Life Regard Index (LRI).
Alat ini dikembangkan oieh Battista & Almond (1973) berdasarkan studi literatur penggunaan istilah meaningful life dan analisis metaperspektif terhadap teori Frank] dan Maslow. Meaningful life atau hidup bermakna didefinisikan secara operasional sebagai positive life regard yang berarti: keyakinan individu bahwa is memenuhi sebuah kerangka hidup atau tujuan hidup yang memberikannya pemahaman yang bemilai akan hidupnya (Battista & Almond, 1973). LRI kemudian disusun atas dua subskala: framework dan fulllment. Setiap subskala terdiri dari 14 item dan berupa 5 -point scale.
Debats dalam serangkaian studinya (1990, 1993, 1995) kemudian meneliti aspek psikometris dari LRI dan mengadaptasi LRI di Belanda. Penelitian ini mengikuti studi Debats untuk mengadaptasi LRI ke dalam konteks masyarakat Indonesia. Hasil uji psikometris memberikan data yang memuaskan. LRI teruji valid dan reliabel. Selain itu ditemukan juga adanya perbedaan pandangan akan hidup bermakna antara fase-fase dalam periode dewasa muda."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ary Heryanto Putro
"ABSTRAK
Pelayanan kesehatan bagi ODHA di Rutan Jakarta Timur masih jauh dari ideal. Faktor penyebabnya adalah adanya stigma dan perilaku diskriminatif terhadap ODHA, baik oleh petugas maupun warga binaannya. Stigma dan perilaku diskriminatif petugas disebabkan oleh minimnya informasi dan pengetahuan salah mengenai HIV/AIDS.
Kebutuhan untuk dicintai dan diterima, sangat diperlukan ODHA, dengan penerimaan, kasih sayang dan dukungan orang di sekelilingnya akan membuat hidup ODHA lebih positif dan berkualitas, pola hidupnya terjaga sehingga diharapkan hidupnya akan lebih panjang. Sayangnya tidak semudah itu ODHA mendapatkan penerimaan, kasih sayang dan dukungan orang-orang di sekelilingnya, baik itu dari keluarga, teman, petugas maupun masyarakat secara luas
Petugas merupakan salah satu komponen paeting yang ada dalam lingkungan Rutan. Tugas pokok dan fungsi petugas Rutan adalah melakukan perawatan dan pembinaan terhadap WBP. Seorang petugas dalam menjalankan tugasnya, harus memiliki kompetensi dasar. Yang dimaksudkan dengan kompentensi dasar tersebut antara lain adalah kemampuan, sikap, pengetahuan yang dapat mendukung program pembinaan. Dalam rangka melakukan pembinaan terhadap ODHA, salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh petugas adalah kemampuan empati dan pengetahuan mengenai ODHA dan HIV/AIDS. Kemampuan berempati adalah petugas mampu mengerti dan memahami apa yang dirasakan (empati) ODHA sehingga dapat mengetahui apa yang mereka butuhkan
Tujuan umum dari penulisan tugas akhir ini adalah meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan bagi ODHA di Rutan Jakarta Timur. Sedangkan tujuan khususnya adalah, menumbuhkan empati petugas
terhadap ODHA di Rutan Jakarta Timur dengan jalan memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada petugas tentang HIV/AIDS serta tata cara berempati.
Dalam upaya menumbuhkan empati petugas terhadap ODHA perlu dilakukan program intervensi. Program intervensi yang di tawarkan oleh penulis adalah program pelatihan untuk menumbuhkan empati terhadap ODHA, dengan tumbuhnya empati secara tidak langsung akan dapat menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Setelah mengikuti program pelatihan empati diharapkan petugas dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Petugas dapat berempati terhadap ODHA sehingga pelayanan kesehatan terhadap ODHA menjadi optimal.
"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T 17797
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlaksmi Handayani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri penderita SLE (Systemic Lupus Erythematosus) sebelum dan setelah didiagnosis menderita SLE. SLE adalah suatu penyakit yang menyebabkan peradangan yang kronis dengan penyebab yang tidak diketahui dan mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem syaraf, membran serous, dan organ tubuh lainnya (Schur dalam Kelley, Harris, Jr., Ruddy, & Sledge, 1981).
Sebagai suatu penyakit kronis, SLE memiliki dampak terhadap berbagai aspekaspek kehidupan penderitanya dan dapat mempengaruhi konsep diri penderitanya. Berbagai gejala fisik yang harus dialami oleh penderita, keterbatasan-keterbatasan daiam melakukan aktivitas sehari-hari, stigma negatif seperti rasa iba dan penolakan dari keluarga dan lingkungan dapat membuat penderita merasa frustrasi dan stres.
Wanita dari tahapan usia subur (18-40 tahun) merupakan golongan terbanyak menderita SLE. Seringkali mereka merasa takut tidak dapat memiliki keturunan disebabkan oleh penyakit ini. Padahal tahapan usia tersebut merupakan tahapan usia dewasa muda dimana salah satu tugas perkembangannya adalah berkeluarga dan membesarkan anak (Havighurst dalam Hurlock, 1980). Sementara itu di masyarakat telah berkembang suatu harapan yang kuat bahwa wanita sewajarnya menjadi seorang ibu (Russo dalam Hyde, 1985).
Berbagai permasalahan di atas dapat mempengaruhi cara pandang penderita terhadap dirinya sendiri. Taylor (1999) menyebutkan bahwa suatu penyakit kronis dapat menghasilkan perubahan drastis dalam konsep diri seseorang. Sedangkan konsep diri dalam Hurlock (1979) diartikan sebagai elemen yang dominan dalam pola kepribadian seseorang, dan merupakan kekuatan yang memotivasi perilaku seseorang. Konsep diri menyangkut persepsi seseorang terhadap dirinya, kemampuannya, dan bagaimana ia berpikir tentang dirinya. Di samping itu juga menyangkut bagaimana seseorang mempersepsikan hubungannya dengan orang lain dan berbagai macam aspek dalam kehidupan serta nilai-nilai yang menyertai persepsi itu (Rogers dalam Hall & Lindzey, 1978).
Konsep diri dapat mempengaruhi perilaku dan reaksi seseorang terhadap situasi yang sedang dihadapinya, termasuk penyesuaian dirinya atau coping terhadap stres yang diakibatkan oleh penyakit yang sedang dihadapinya (Hurlock, 1979). Oleh karena itu konsep diri penderita SLE memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupannya di masa sekarang maupun di masa mendatang.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi. Subyek dalam penelitian ini adalah 3 orang wanita penderita SLE pada tahapan usia dewasa muda (18-40 tahun) yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling secara insidental agar memudahkan peneliti.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan dalam keempat kategori konsep diri penderita. Keempat kategori konsep diri tersebut adalah konsep diri dasar, konsep diri sementara, konsep diri sosial dan konsep diri ideal, yang masing-masing berkaitan dengan komponen fisik dan psikologis (Hurlock, 1979). Pada konsep diri dasar, umumnya penderita merasa bahwa fisik mereka tidak sekuat dahulu sehingga hal ini menjadi penghambat bagi mereka dalam beraktivitas. Kegiatan-kegiatan mereka mulai dibatasi untuk menjaga kondisi diri dan mencegah kambuhnya penyakit.
Penderita juga menjadi lebih perhatian terhadap kondisi kesehatannya. Perubahan penampilan yang merugikan dan menetap membuat penderita menjadi minder dan tidak percaya diri. Penderita juga menjadi lebih rentan terhadap stres dan tidak dapat menerima berita-berita yang tidak menyenangkan baginya. Selain itu penderita juga menjadi lebih giat dalam kegiatan keagamaannya. Sebagian penderita merasa pesimis dalam memandang hidupnya karena merasa tidak dapat hidup normal seperti orang sehat pada umumnya. Namun ada pula penderita yang tidak merasa terlalu terganggu oleh hal tersebut karena sudah lebih dapat menerima keadaan dirinya. Dalam hal ini, penderita tetap optimis dalam memandang kehidupannya.
Dalam konsep diri sementara, kondisi fisik yang memprihatinkan terutama pada masa-masa awal dideritanya SLE membuat penderita menilai dirinya lebih negatif untuk sementara. Di lain pihak kejadian-kejadian yang menghasilkan emosi-emosi positif seperti keberhasilan dalam meraih hal tertentu membuat penderita menilai dirinya secara lebih positif untuk sementara.
Pada konsep diri sosial, penderita merasakan pandangan iba dan kasihan dari keluarga dan lingkungan. Keluarga pada umumnya memberikan perhatian lebih dan dukungan pada penderita. Hal ini dapat diekspresikan secara berlebihan sehingga memicu kecemburuan pada anggota keluarga yang lainnya. Namun dapat pula terjadi pengabaian dan penolakan oleh keluarga serta lingkungan penderita. Penolakan ini disebabkan karena penderita dianggap sebagai beban keluarga dan dipandang aneh oleh lingkungan sehingga memancing ejekan, cemoohan serta gunjingan. Pada penderita yang belum berkeluarga terdapat kekhawatiran bahwa lawan jenis akan memandang mereka dengan sebelah mata disebabkan oleh penyakitnya tersebut.
Pada konsep diri ideal, penderita berharap agar dapat menjalani kehidupan yang layak dan baik seperti orang lain, yaitu ingin agar dapat bekerja, berumah tangga, memiliki keturunan, diterima oleh keluarga dan lingkungan, serta ingin agar SLE-nya tidak kambuh lagi sehingga mereka dapat hidup seperti orang sehat pada umumnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S2866
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Melinda Kusumawati
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang kcnsep dir Orang dengan HIV/AIDS pada saat sebelum dan sesudah diagnosa HIV/AIDS serta reaksi psikolcgis Odha ketika mengetahul diagnosa HIV/AIDS. Kcnsep diri pada Odha penting daiam memberikan gambaran tentang siapa dirinya. Hal ini tidak hanya meliputi perasaan terhadap diri sendiri, tatanan moral, sikap-sikap dan ide-ide, tetapi juga mencakup nilai-nilai yang mendorong seseorang untuk bertindak (Mappiare, 1992). Konsep diri pada Odha meimpengaruhi kemampuannya dalam membuat keputusan atau rencana hidupnya baik di masa depan, masa kini maupun di masa depan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan observasi. Subyek dalam penelitian ini be.jumlah 3 orang yang diambil secara incidental sampling. Lokasi penelitian dilakukan di Sanggar Kerja Yayasan Pelita llmu, sebagai satu-satunya Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam upaya penganggulangan HIV/AIDS yang memiliki shelter (rumah singgah) bagi Odha.
Hasil penelitian menunjukkan, ada perubahan pada 6 dimensi konsep dir Odha. Ke enam dimensi konsep diri tersebut adalah konsep diri fisik, konsep dir etik moral, konsep diri personal, konsep diri keluarga, konsep diri masyarakat (social) dan konsep diri ideal (Pitts, 1971). Pada konsep diri fisik, munculnya pe ubahan fisik yang mulai tampak pada tubuh akibat serangan penyakit infeksi oportunistik merupakan hambatan bagi Odha untuk beraktivitas atau memulai us jha baru. Odha menjadi cepat lelah dan hal ini berpengaruh pada pemilihan jeris kegiatan yang tidak banyak menguras tenaga. Selain itu, munculnya pe ubahan fisik mendorong Odha untuk melakukan berbagai tindakan preventif mcupun kuratif untuk mencegah sedini mungkin serangan penyakit infeksi oportunistik tersebut. Pola hidup sehat dan tetap berpikir positif merupakan kunci uts ma untuk menjaga kondisi tubuh dari serangan penyakit infeksi oportunistik semaksimal mungkin. Sementara itu, tidak ada perubahan dalam persepsi Odha utama untuk menjaga kondisi tubuh dari serangan penyakit infeksi oportunistik semaksimal mungkin. Sementara itu, tidak ada perubahan dalam persepsi Odha tehadap penampilan pada saat sebelum dan sesudah diagnosa HIV/AIDS. Odha tetap menganggap penampilan fisik panting dalam bergaul atau bersosialisasi.
Secara etik moral, konsep diri yang dimiliki Odha setelah diagnosa HIV menunjukkan adanya perubahan yang positif. Odha menjadi lebih balk dalam menjalankan kehidupan beragama setelah didiagnosa HIV/AIDS. Odha merasa bahv/a sekaranglah waktunya untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan setelah sebelumnya sempat jauh atau bahkan menyangsikan keberadaan Tuhan. Dalam konsep diri personal, umumnya Odha merasa tidak lagi optimis dan mempunyai semangat dalam memulai suatu usaha/kegiatan dan dalam merencanakan kehidupannya. Odha mempersepsikan bahwa usahanya akan sia-sia saja, mengingat usia mereka yang tidak akan bertahan lama lagi. Sementara Odha yang merasa bahwa mereka lebih optimis dalam melanjutkan kehidupannya mengaku, peranan keluarga sangat besar pengaruhnya dalam merrbangkitkan, mendorong dan memberi dukungan bagi Odha. Odha merasa lebih optimis dalam merencanakan kehidupan selanjutnya.
Pada dimensi konsep diri keluarga, menunjukkan bahwa tidak ada perubahan pada gambaran diri Odha terhadap keluarga. Odha menggambarkan keluarga tidak memberikan perlakuan khusus sehingga hal tersebut tidak mempengaruhi gambaran diri mereka dalam keluarga, pada saat sebelum mauDun sesudah diagnosa HIV/AIDS. Namun, Odha yang merasa diperlakukan istimawa oleh keluarga menyatakan tidak nyaman dengan perubahan perlakuan keluarga tersebut.
Pada konsep diri masyarakat (sosial), Odha menjadi lebih selektif dan membatasi diri dalam bergaul dengan masyarakat. Hal ini disebabkan karena Odh a masih takut dengan adanya stigma negatif dan tindakan diskriminatif masyarakat terhadap mereka. Odha menjadi sangat menjaga kerahasiaan iden itas diri sebagai Odha.
Pada konsep diri ideal, Odha berharap dapat hidup lebih panjang sehingga dapat mendampingi anak-anak hingga dewasa dan dapat men.berdayakan diri lewat kegiatan-kegiatan sosial dalam upaya mencegah penyebaran HIV/AIDS lebih banyak lagi.
Sementara respon psikologis Odha terhadap hasil tes diagnosa HIV men-injukkan reaksi yang sama, antara lain: bingung, terkejut, marah, putus asa dan tidak semangat untuk melanjutkan kehidupannya. Konsep diri Odha sebelum diagiosa HIV/AIDS tidak mempengaruhi bentuk respon psikologis yang ditaripilkan. Odha menunjukkan respon psikologis yang sama ketika didiagnosa HIV positif meskipun konsep diri yang dimiliki sebelum diagnosa HIV beragam.
Sedangkan Odha mempunyai pikiran yang sama saat dinyatakan positif HIV antara lain akan segera mati, ingin mengakhiri hidup dan berpikir untuk men jiarkan virus pada orang lain. Konselor HIV/AIDS mempunyai peranan penting dalam membantu menyembalikan dan mempertahankan konsep diri yang positif pada Odha, sehii igga Odha dapat membuat rencana atau tindakan bagi kehidupan selanjutnya. Demikian pula, peranan keluarga dan relawan (Ohida) dalam men berikan dukungan dan dampingan bagi Odha berpengaruh pada lamanya waktu yang dibutuhkan Odha untuk dapat menyesuaikan diri dengan statusnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2909
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Rakhmawati
"ABSTRAK
Darah adalah jaringan tubuh yang sangat vital bagi kehidupan. Hampir seluruh tubuh manusia dialiri oleh darah melalui pembuluh darah. Kehilangan darah dalam jumlah yang cukup banyak dapat membahayakan jiwa seseorang. Kehilangan darah dapat dipicu bila terjadi luka pada tubuh seseorang. Untuk mencegah kehilangan darah dalam jumlah banyak, tubuh memiliki faktor pembeku darah yang membantu dalam proses pembekuan darah. Kekurangan faktor pembeku darah dalam tubuh dapat mengakibatkan penderitanya mengalami perdarahan terus menerus. Kelainan darah seperti ini dikenal dengan hemofilia. Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik yang sering di temui di Indonesia, selain thalassemia dan sindroma down (Femina, No.35/XXX, 2002). Satu-satunya pengobatan yang dapat dijalani penderita hemofilia adalah dengan melakukan transfusi plasma (darah) seumur hidup.
Penderita hemofilia sebagian besar adalah laki-laki. Berbagai aktivitas fisik yang berat dan memicu terjadinya perdarahan sebaiknya dihindari oleh penderita hemofilia. Penyakit hemofilia ini membuat penderitanya merasa dibatasi aktivitas fisiknya. Keterbatasan fisik ini dapat menimbulkan stres pada penderitanya. Selain itu menurut Kelley (1999) di masyarakat terdapat anggapan bahwa penderita adalah seseorang yang rapuh. Sedangkan menurut Parsons (dalam Sarwono, 1997) pada umumnya kepribadian yang diharapkan dari laki-laki berdasarkan norma baku yang berlaku dimana pun adalah dominan, mandiri, kompetitif, dan asertif. Didukung oleh penelitian Lerner, Orlos, dan Knapp (dalam Atwater, 1983) yang menyebutkan bahwa pria lebih cenderung menekankan kompetensi fisik atau apa yang dapat mereka lakukan dengan tubuh mereka agar dapat memberikan dampak yang bermakna bagi lingkungan. Anggapan masyarakat dan keterbatasan fisik yang dimiliki ini tentunya dapat mengganggu perasaan penderita hemofilia.
Selain masalah keterbatasan fisik, masalah lain yang mungkin mengganggu penderita hemofilia adalah pengobatan yang harus dijalaninya seumur hidup. Selain itu berbagai masalah juga akan muncul seperti memenuhi tuntutan tugas perkembangan dewasa muda, seperti mandiri, mencari keija, dan menikah serta membentuk keluarga. Berbagai masalah yang dihadapi penderita hemofllia, terutama penderita hemofilia usia dewasa dapat menimbulkan tekanan bagi mereka. Bila tekanan tersebut melebihi kemampuan yang dimiliki individu, maka menurut Lazarus (1976) individu tersebut dapat mengalami stres. Salah satu usaha coping stres yang dapat dilakukan adalah mencari dukungan sosial.
Dukungan sosial dapat berbentuk dukungan emosional, harga diri, instrumental, informasi, dan dukungan jaringan. Dukungan sosial dapat diterima seseorang dari keluarga, teman dekat, tenaga profesional, maupun dari organisasi dimana individu itu tergabung. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran stres, coping, dan dukungan sosial pada penderita hemofilia dalam menghadapi penyakit hemofilia yang diderita seumur hidup ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.
Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah reaksi awal ketika ketiga penderita didiagnosis memiliki penyakit hemofilia adalah menerima. Masalahmasalah yang dihadapi ketiga penderita adalah masalah biaya, pekerjaan, dan berkeluarga. Ketika responden mengatasi masalah-masalah tersebut secara berbeda-beda, tergantung pada sumber daya yang dimilikinya. Ada responden yang mengatasinya dengan strategi problem-focused coping atau dengan emotion focused coping. Ketiga responden mengatasi masalah biaya dengan strategi problem focused coping. Masalah pekeijaan oleh responden NO dan AF diatasi dengan strategi problem focused coping. Sedangkan responden AG mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Untuk masalah berkeluarga ketiga responden mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Bentuk dukungan yang diharapkan oleh penderita hemofilia adalah dukungan instrumental, harga diri, dukungan informasi dan emosional. Dukungan tersebut diharapkan diterima dari keluarga, teman, tenaga medis dan pemerintah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3204
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ringking Marina Korah
"ABSTRAK
Meningkatnya angka kejahatan di Indonesia mencakup pula peningkatan
angka kejahatan yang juga dilakukan oleh wanita. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
narapidana yang berada di LP Wanita Kelas IIA Tangerang. Sejak tahun 1997
hingga tahun 2003, jumlah narapidana wanita yang berada di LP Wanita Kelas
IIA Tangerang meningkat sebanyak 128 orang. Semua narapidana baik pria
maupun wanita, mendapat label negatif dari masyarakat karena ditahan di
penjara/Lembaga Pemasyarakatan/LP. Namun, narapidana wanita mendapat
label atau stigma yang lebih jelek dari masyarakat dibandingkan narapidana pria.
Stigma yang lebih jelek ini disebabkan oleh stereotip yang melekat pada wanita.
Wanita dengan stereotipnya yang lemah lembut, penuh kasih sayang, sangat
sensitif dan halus diharapkan untuk berperilaku seperti itu. Tetapi karena ditahan
dan menjadi narapidana, perilakunya dianggap berlawanan dengan stereotip
tersebut. Apalagi jika kasus penahanannya karena masalah kekerasan
(pembunuhan), maka narapidana wanita dianggap bertolak belakang dengan
kodratnya. Penelitian ini memfokuskan pada narapidana wanita yang melakukan
tindak pidana pembunuhan.
Semua narapidana melewati proses penangkapan dan persidangan
terlebih dahulu. Kedua proses ini menyebabkan narapidana mengalami stres.
Selain itu, dampak pemenjaraan (berupa stigma masyarakat dan pengalaman di
LP) juga berpengaruh terhadap individu. Dampak pemenjaraan yang dialami di
LP berupa kehilangan banyak hal, antara lain kebebasan, kemudahan
memperoleh barang dan pelayanan, komunikasi personal, hubungan
heteroseksual, harga diri, kepercayaan diri, kepribadian, rasa aman, dan
kreativitas (Harsono, 1995). Semua perubahan ini mempengaruhi konsep diri
narapidana wanita. Perubahan konsep diri ke arah yang negatif atau positif
dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain kemampuan coping dan toleransi
terhadap stres, pengalaman masa lalu, peristiwa yang stressful, sakit atau
trauma, dan lain lain. Jika konsep diri berubah ke arah yang negatif, maka
narapidana tidak memiliki pandangan yang tetap tentang dirinya serta selalu merasa ada yang salah dengan dirinya. Selain itu, konsep diri narapidana yang
menjadi negatif dapat menyebabkan narapidana tersebut menjadi residivis.
James (dalam Hurlock, 1979) membagi konsep diri menjadi empat
kategori, yaitu basic self concept, transitory self concept, social self concept dan
ideal self concept. Situasi persidangan, dampak pemenjaraan dan stigma
masyarakat, masing-masing mempengaruhi kategori konsep diri yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran konsep diri
narapidana wanita yang divonis karena kasus pembunuhan. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan dua metode pengumpulan data,
wawancara dan observasi langsung. Subjek penelitian terdiri dari tiga orang
narapidana wanita yang divonis karena kasus pembunuhan. Setiap subjek
menunjukkan pengaruh yang berbeda dari dampak yang dialaminya.
Tidak semua subjek, merasa bahwa situasi persidangan sebagai kejadian
yang stressful. Tidak semua dampak pemenjaraan yang dikemukakan Harsono
(1995) dirasakan oleh subjek. Dampak yang dirasakan subjek hanyalah
hilangnya kebebasan, komunikasi personal serta kesulitan memperoleh barang
kebutuhan dan jasa. Gambaran konsep diri ketiga subjek juga berbeda. Basic
self concept mereka semua berbeda. Transitory self concept mereka berubah
karena ditahan di LP. Social self concept mereka memang terpengaruh oleh
pandangan masyarakat sekitarnya. Ketiga subjek memiliki ideal self concept
yang positif untuk menjadi orang yang lebih baik dibandingkan saat ini.
Saran yang dapat diberikan adalah mengembangkan penelitian ini
kepada subjek-subjek lain dengan kasus yang berbeda agar diperoleh gambaran
yang lebih menyeluruh tentang narapidana wanita, tidak terbatas pada kasus
tertentu saja. Selain itu, dapat juga dilakukan penelitian terhadap narapidana pria
agar dapat dilakukan perbandingan antara narapidana wanita dengan
narapidana pria."
2004
S3337
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roswiyanti
"Konsep diri merupakan hal yang penting artinya bagi kehidupan seseorang karena konsep diri menentukan bagaimana seseorang bertindak dalam berbagai situasi. Melalui pemahaman mengenai konsep diri maka tindakan seseorang lebih mudah untuk dipahami. Fitts (1971) menyebutkan bahwa konsep diri adalah suatu konstruk sentral untuk memahami manusia dan tingkah lakunya.
Konsep diri juga berkaitan dengan penilaian diri pribadi sesuai dengan peran yang dibawakannya dalam masyarakat. Peran tersebut sangat beragam, apakah ia sebagai orang tua dari anak-anaknya, seorang wanita yang berperan sebagai isteri, dan sebagainya. Individu juga menilai diri sendiri dari segi kepribadiannya, apakah ia merasa sebagai orang yang jujur, simpatik atau justru sebaliknya.
Masa dewasa muda adalah masa dimana individu mulai membangun pondasi bagi kehidupan mereka selanjutnya. Seseorang diharapkan telah merefleksikan pengalaman-pengalaman sepanjang masa hidup sebelumnya dan mulai membentuk tujuan-tujuan hidup yang diharapkan bagi kehidupan selanjutnya. Mereka mempelajari kemampuan dalam pengambilan keputusan, pemahaman akan nilai-nilai serta tanggung jawab baru.
Salah satu tanggung jawab dan keputusan yang harus mereka ambil adalah membangun hubungan intim, memilih pasangan hidup serta mengambil keputusan untuk masuk kedalam perkawinan. Mereka dituntut untuk menyiapkan diri bagi kehidupan berkeluarga. (Tumer & Helms; Zanden, 1993).
Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Femina No.27/XXX tahun 2002 terhadap 200 responden tentang pandangan terhadap wanita yang bersedia menjadi isteri kedua dengan perincian persentase sebesar 51% yang pro dan mendukung menjadi isteri kedua, 43% yang kontra, 1% menjawab tidak tahu dan 5% responden tidak menjawab.
Peneliti ingin melihat seberapa baik gambaran konsep diri perempuan dewasa muda dalam perkawinan poligini berdasarkan 4 aspek konsep diri dari Fitts yaitu aspek pertahanan diri, aspek penghargaan diri, aspek integrasi diri dan aspek kepercayaan diri sehingga mereka dapat bertahan dengan kehidupan dipoligini oleh suaminya.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus, menggunakan teknik wawancara dan observasi sebagai pendukung pada 4 subjek perempuan dewasa muda yang dipoligini yang terdiri dari isteri pertama dan isteri kedua dari 2 pasangan suami isteri untuk melihat perbedaan konsep diri sebelum dan sesudah perkawinan poligini antara isteri pertama dengan isteri kedua.
Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa ke 4 orang subjek mempunyai konsep diri yang baik yang meliputi aspek pertahanan diri, aspek penghargaan diri, aspek integrasi diri dan aspek kepercayaan diri yang masingmasing tergolong baik."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3344
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manik, Djohar
"Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang proses pencarian makna hidup pada penderita stroke. Penelitian ini didasarkan pada semakin meningkatnya penderita stroke sekarang ini. Penyakit stroke tidak saja menyerang orang yng berusia 40 tahun ke atas, tetapi juga mulai menyerang kaum muda (40 tahun ke bawah). Kenyataan bahwa penyakit stroke adalah penyakit pembunuh nomer tiga di Indonesia, membuat penyakit ini perlu diwaspadai. Penyakit stroke menyebabkan penderitanya mengalami defisiensi, antara lain yaitu cacat fisik, kehilangan memori, dan tidak mampu bicara. Hal ini akan mengakibatkan timbulnya ketidakbermaknaan dalam hidupnya. Oleh karena itu penelitian ini mencoba untuk melihat bagaimana akhirnya penderita stroke dapat meraih makna hidupnya.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai metode pengumpulan data utama. Penelitian ini didasarkan pada teori-teori tentang Logoterapi dari Victor Frankl (1985) dan beberapa ahli lain termasuk H.D Bastaman (1996) yang dilakukan pada empat orang penderita stroke pria berusia dewasa menengah. Selain menggunakan metode wawancara, penelitian ini juga menggunakan metode observasi sebagai metode pelengkap.
Hasil secara umum menunjukkan bahwa keempat subyek saat ini telah menemukan makna dari penyakit stroke yang dideritanya. Semua subyek juga dapat dikatakan mempunyai semua komponen keberhasilan penemuan makna hidup yaitu Komponen Personal, Komponen Sosial, Komponen Nilai dan Komponen Spiritual.
Untuk kategori proses penemuan makna hidup, tiga subyek pernah mengalami tahap meaningless sedangkan satu subyek tidak mengalaminya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan ini adalah keimanan. Secara umum semua subyek mengalami semua tahap penemuan makna hidup yakni Tahap Derita, Tahap Penerimaan Diri, Tahap Penerimaan Makna Hidup, Tahap Realisasi Makna dan Tahap Kehidupan Bermakna. Tiga subyek menunjukkan urutan yang persis sama sedangkan satu subyek berbeda."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3346
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Muhidin
"ABSTRAK
Penelitian ini didasarkan pada hasil penelitian-penelitian sebelumnya bahwa penderita kanker cenderung mengalami kecemasan dalam menghadapi proses pengobatannya (Fallowfield & Baum, 1991). Kecemasan yang berlebihan selain akan menghambat proses pengobatan, juga dapat berpotensi menyebabkan gangguan penyesuaian psikologis penderita, sehingga berpeluang menurunkan kualitas hidup penderita (Ganz & Coscarelli, 1991). Faktor psikososial yang membedakan antara penderita yang berhasil dengan penderita yang gagal menyesuaikan diri terhadap dampak pengobatannya adalah penerimaan yang kuat akan adanya dukungan emosional dari dokter, perawat, suami, dan anak-anaknya (Jamisson, Wellisch & Pasnau dalam Gottlieb, 1983). Hal ini diperkuat oleh pendapat Sarafmo (1994) bahwa dukungan sosial adalah bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok di sekitarnya, yang dapat membuat penerimanya menjadi nyaman, dicintai dan dihargai. Tetapi Kulik & Mahler (dalam Sheridan & Radmacher, 1992) menyatakan bahwa dukungan sosial yang tinggi tidak selalu memberikan respon positip pada orang yang mendapatkannya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pengaruh dukungan sosial sebagai variabel bebas terhadap tingkat kecemasan sebagai variabel terikat pada penderita kanker payudara dalam menjalani pengobatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif non eksperimental, dengan teknik metode penelitian korelasional. Pengukuran dukungan sosial dilakukan dengan menggunakan skala dukungan sosial yang dibuat dengan mengacu pada SSQ (Social Support Questioner) dari Irwin G Sarason, dan pengukuran tingkat kecemasan dilakukan dengan skala kecemasan State {State Amciety Scale) dari Spielberger. Subyek yang menjadi responden pada penelitian ini adalah 34 penderita kanker payudara yang menjalani pengobatan di R.S. Kanker Dharmais Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan korelasi negatif yang signifikan antara tingkat kepuasan dukungan sosial dengan tingkat kecemasan. Sumbangan terbesar dari dimensi dukungan sosial terhadap penurunan tingkat kecemasan diberikan oleh dimensi dukungan informasi. Saran untuk penelitian lebih lanjut adalah dilakukannya studi kualitatif pada subyek-subyek yang mempunyai karakteristik khusus seperti subyek penderita yang tidak menikah baik gadis atau janda, ataupun subyek yang tidak memiliki anak, sehingga dapat diperoleh gambaran lebih mendalam mengenai dinamika hubungan dukungan sosial dengan kecemasan pada subyek-subyek tersebut."
2004
S3378
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rodiyah
"ABSTRAK
Menjadi janda di usia muda bukanlah hal yang mudah. Mereka
dihadapkan pada permasalahan yang kompleks, misalnya: masalah rumah tangga,
ekonomi, sosial, seksual, dan sebagainya. Dengan permasalahan-permasalahan
itu, sebagai seorang janda di usia muda, ada banyak pemecahan untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Salah satu dari pemecahan tersebut adalah menikah.
Namun kenyataannya, terdapat janda di usia muda yang memutuskan untuk tidak
menikah lagi. Dalam penelitian ini, penulis ingin melihat proses pengambilan
keputusan pada janda di usia muda untuk tidak menikah lagi berdasarkan teori
Janis & Mann (1977) yang mengatakan bahwa terdapat lima tahap dalam proses
pengambilan keputusan. Tahap-tahap tersebut adalah mengenali masalah, melihat
alternatif, menimbang alternatif, membuat komitmen, dan menghadapi umpan
balik. Selain itu penulis ingin melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
seorang janda mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi.
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif melalui
prosedur wawancara mendalam dan observasi terhadap subyek penelitian yang
akhirnya diperoleh informasi sebagai data yang akan diolah untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian. Penulis mengobservasi dan mewawancarai dua
orang janda sebagai subyek penelitian.
Dari penelitian yang dilakukan didapat hasil gambaran tentang proses
pengambilan keputusan pada kedua subyek, yaitu mereka melalui kelima tahapan
dari Janis & Mann (1977). Selain itu diperoleh hasil mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kedua subyek dalam mengambil keputusan untuk tidak menikah
lagi. Pada subyek 1 ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembilan
keputusan, yaitu: circumslance, preference, belief dan action. Sedangkan pada
subyek 2 ditemukan adanya faktor circumslance, preference, belief, action, dan
emotion.
Terdapat keunikan yang ditemukan pada diri kedua subyek yaitu kedua
subyek memiliki gambaran masa kecil yang membuat mereka tidak ingin menikah
yaitu I melihat bahwa jika menikah dengan pria beristri maka ia merasa akan
menyakiti hati orang lain, sedangkan S mendapatkan gambaran dari ibunya bahwa
ia akan mendapatkan kebahagiaan yang tidak lengkap apabila menikah dengan
pria yng menjadi suami orang. Disarankan untuk melanjutkan penelitian tentang proses pengambilan
keputusan dengan melihat kondisi janda yang mengalami kesulitan ekonomi,
janda yang tidak memiliki anak, ataupun latar belakang kematian suami karena
faktor-faktor yang lain."
2004
S3474
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>