Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Thadeus, Maria Selvester
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: DaIam kehidupan sehari-hari penggunaan minyak jelantah berasal dari restoran makanan cepat saji dan hotel, umum digunakan oleh pedagang gorengan. Pemanasan minyak goreng berulang kali menyebabkan oksidasi dan polimerisasi asam lemak yang dikandungnya. Oksidasi Iemak ini akan menghasilkan senyawa peroksida yang merupakan radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan membran sel. Vitamin C dan vitamin E telah diketahui merupakan antioksidan yang berperan dalam melindungi sel terhadap daya destruktif radikal bebas. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemberian vitamin C dan vitamin E pada kerusakan. hati, jantung dan aorta yang ditimbulkan akibat pemberian minyak jelantah dengan angka peroksida 125-130 meq/kg, dengan dosis 10 ul/g BB selama 12 minggu pada mencit jantan (Mus musculus L) galur Swiss derived Lima kelompok masing-masing terdiri dari 8 ekor mencit dengan diet standar, yaitu kelompok kontrol (K), kelompok perlakuan dengan minyak jelantah (MJ), kelompok perlakuan dengan minyak jelantah dan suplemen vitamin C 2.5 mg/hr (MJC); kelompok perlakuan dengan suplemen vitamin E 0.1 mg/hr (MJE); kelompok perlakuan dengan suplemen kombinasi vitamin C dan vitamin E (MJCE). Pada minggu ke-13 dilakukan eutanasia dan dilakukan pembedahan untuk melihat perubahan histopatologik hati, jantung dan aorta dengan pulasan HE dan pulasan elastika Verhaeff?s.
Hasil dan kesimpulan: Ditemukan perubahan gambaran histopatologik berupa bendungan hati, peningkatan apoptosis, perlemakan, penipisan miokardium dan `hilangnya gelombang tunika elastika aorta. Bendungan hati ditemukan pada semua kelompok, terrnasuk kelompok konrol walaupun derajatnya lebih ringan (Kruskal Wallis, p=0.048). Pelebaran vena sentralis ditemukan pada kelompok perlakuan, walaupun tidak berbeda bermakna. Perlemakan ditemukan pada seluruh kelompok perlakuan dengan derajat yang lebih berat terutama pada kelompok MJE dan MJCE. (Kruskal Wallis, p=0.001), menunjukkan vitamin E tidak memberikan daya proteksi pada hati. Peningkatan derajat apoptosis sel hati terutama di zona 1 menunjukkan berbeda bermakna (Kruskal Wallis, p=0.006). Ditemukan penipisan miokardium yang berbeda bermakna pada seluruh kelompok perlakuan dengan atau tanpa suplemen (Anova,P=0.000) Ditemukan pula korelasi terbalik antara penipisan miokardium dengan pelebaran diameter ventrikel yang berbeda bermakna (Pearson, r = - 0.437). Kelainan dinding aorta berupa ketidak-teraturan putusnya gelombang tunika elastika ditemukan berbeda makna (Kruskal Wallis, p=0..000) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan baik yang mendapat suplemen maupun tidak, dengan derajat yang lebih berat terutama pada kelompok MJC dan MJCE, menunjukkan vitamin C tidak memberikan proteksi pada aorta.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pencekokan minyak jelantah mengakibatkan perlemakan hati, peningkatan derajat apoptosis zona 1, penipisan miokardium dan hilangnya gelombang sampai putusnya tunika elastika aorta Pemberian vitamin C, vitamin E dan kombinasi keduanya tidak dapat memperbaiki kerusakan akibat pemberian minyak jelantah secara menyeluruh. Daya proteksi vitamin C lebih baik pada jaringan hati dan vitamin E lebih baik pada jantung dan aorta.

Scope of study and method:
In everyday life, re-use cooking oil from hotel or fast food restaurants was commonly used by deep-fried food vendors on the street. Heating of cooking oil caused oxidation and polymerization of its lipid component. This process resulted in lipid peroxide, free radical which produced cell membrane damage. Vitamin C and vitamin E have been known as anti-oxidant that protects cells from free radical destruction. This study was carried to observe the effect of vitamin C and vitamin E or its combination supplementation for 12 weeks on liver, myocardium and aorta from damaging effect of re-use cooking oil intake of 10 ul/g BW with peroxide number 125-130 mEg/kg, in male M musculus strain Swiss-derived. Five groups of 8 mice with standard diet were studied_ control, treated with re-use cooking oil only (MI}, treated with re-use cooking oil with 2.5 mg/day vitamin C supplementation (MJC), treated with re-use cooking oil with 0.1 mg/day vitamin E supplementation (MJE) and treated with combination vitamin C and vitamin E (MICE), in week 13, the mice were sacrificed and histopathological changes in liver, heart and aorta were studied using HE and elastic Verhoeff's staining.
Result and Conclusion
Histopathological changes of venous congestion, increase of apoptotic rate and steatosis were found in liver. Thinning of myocardium, ventricle dilatation, and disruption of elastic fibers of aorta were found. Liver veins congestion were found in all group although in control it was milder (Kruskal Wallis, p=0.048). Central veins dilatation was found in all groups (Ml, MJC, MIE and MJCE) although it was not significantly different. Steatosis were found in all groups, which were more severe in groups MJE and MJCE (Kruskal Wallis, p=0.001), showing that vitamin E did not give protection to liver. There was significant increase of apoptotic rate in zone 3 in all (Kruskal Wallis, p=0.006). Significant thinning of Myocardial was also found in all groups wit or without therapy (Anova, p= 0.011). Significant inverse correlation was found in heart myocardial thinning and ventricle dilatation (Pearson, r==-0,437). Elastic fibers degradation and break-down were found in control and MJ (Kruskal Wallis, pA31.000). In the other groups (MJC, MJE and MICE) degradation of aorta elastic fibers were also found.
From this study, it is concluded that intake of re-use cooking oil contributed to steatosis and increase of zone 3 apoptosis rate in of the liver, and caused thinning of heart myocardium with ventricle dilatation, and degradation of aorta elastic fibers. Vitamin C, vitamin E supplementation or its combination could not protect liver, myocardium or aorta from damaging effect(s) of re-use cooking oil intake.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Ifandriani Putri
"Latar belakang: Liposarkoma berdiferensiasi baik (LPSBB) merupakan subtipe liposarkoma yang paling sering ditemui dan kadang sulit dibedakan dengan lipoma karena kemiripan gambaran morfologik. Pada penelitian ini akan dilihat overekspresi dan amplifikasi gen murine double minute 2 (MDM2) sebagai alat bantu diagnostik untuk membedakan kedua entitas tersebut serta hubungannya dengan indeks proliferasi Ki67.
Bahan dan cara: Dilakukan pulasan imunohistokimia MDM2 dan Ki67 pada 37 tumor lipomatosa, yang terdiri atas 18 LPSBB dan 19 lipoma, dilanjutkan dengan hibridisasi in situ pada 12 kasus terpilih.
Hasil: Overekspresi MDM2 ditemukan pada seluruh LPSBB dan pada 3 (16%) lipoma (p=0,000). Amplifikasi MDM2 ditemukan pada seluruh kasus LPSBB yang diperiksa namun terdapat pula pada 1 lipoma (p=0,200). Terdapat korelasi yang kuat antara overekspresi MDM2 dengan indeks proliferasi Ki67 yang lebih tinggi (r=0,645, p=0,000).
Kesimpulan: Overekspresi MDM2 dapat digunakan sebagai alat bantu diagnostik dalam membedakan LPSBB dengan lipoma, serta berhubungan dengan indeks proliferasi sel tumor.

Background: Well differentiated liposarcoma (WDLPS) is the most common type of liposarcoma and sometimes can be difficult to distinguish from lipoma because of the similar morphology. This study propose to evaluate the expression and amplification of murine double minute 2 (MDM2) and determine its correlation with Ki67 proliferation index.
Methods: This study enrolled 37 cases of lipomatous tumors. Eighteen cases of WDLPS and 19 cases of lipoma were stained for MDM2 and Ki67 immunohistochemistry. As an addition, in situ hybridization were done in 12 selected cases.
Results: Overexpression of MDM2 overexpression was detected in all WDLPS cases and in 3 (16%) of lipoma cases with significance difference (p=0,000), whereas MDM2 amplification was found in all WDLPS and in 1 of lipoma cases (p=0,200). There is a strong correlation between MDM2 overexpression and higher proliferation index (r=0,645, p=0,000).
Conclusion: Evaluation of MDM2 overexpression may be used as a useful adjunct to differentiate WDLPS from lipoma and seem to be related with proliferation index."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Troydimas
"Latar Belakang Hipertensi dan fraktur merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi ACE inhibitor telah dilaporkan dapat mempromosikan diferensiasi osteoblas meningkatkan mineralisasi dan sekresi matriks tulang sehinga konsumsinya diharapkan mampu mempercepat penyembuhan Tujuan Penelitian bertujuan mengetahui efek pemberian ACE inhibitor terhadap proses penyembuhan fraktur model delayed union Metode Enam belas femur tikus yang dibuat sesuai model delayed union dibagi secara acak menjadi kelompok kontrol kelompok perlakuan Captopril dosis 4 mg kgBB kelompok perlakuan Captopril dosis 8 mg kgBB dan kelompok Captopril dosis 16 mg kgBB Evaluasi dilakukan pada minggu ke 4 secara radiologis foto polos dan histomorfometri Hasil Pada histomorfometri minggu ke 4 didapatkan peningkatan area penulangan yang bermakna terhadap kontrol p 0 033 terutama pada pemberian Captopril dosis 8 mg kgBB p 0 008 dan dosis 16 mg kgBB p 0 015 Penurunan area fibrosa yang bermakna terhadap kontrol p 0 042 terjadi pada Captopril dosis 4 mg kgBB p 0 020 dan dosis 8 mg kgBB p 0 012 Secara radiologis didapatkan peningkatan skor RUST semua kelompok perlakuan yang bermakna terhadap kontrol p 0 021 Kesimpulan Pemberian Captopril dapat menstimulasi proses penyembuhan fraktur pada model delayed union secara radiologis dan histomorfometri Captopril dosis 8 mg kgBB menunjukkan efek yang paling signifikan dalam proses penyembuhan fraktur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noha Roshadiansyah Soekarno
"Pendahuluan
Infeksi adalah salah satu komplikasi pada patah tulang terbuka. Pada patah tulang terbuka dengan fragmen bebas besar yang terkontaminasi diperlukan sterilisasi untuk direimplantasikan. Iradiasi gelombang mikro sudah terbukti dapat mensterilkan fragmen tulang setelah terpajan selama 7 menit. Sampai saat ini belum ada penelitan yang menilai apakah tulang yang sudah steril tersebut dapat mengalami inkorporasi pada tulang yang sehat. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi dampak dari iradiasi gelombang mikro terhadap kemampuan inkorporasi fragmen bebas yang direimplantasikan kembali pada tulang sehat.
Metode
Studi eksperimental dengan 16 tikus galur Wistar, terbagi secara acak dalam dua kelompok, dan diamati pada minggu ke-2 dan minggu ke-4.Kontrol adalah kelompok tikus yang dilakukan osteotomi segmental pada shaft femur dan fragmen tersebut diimplantasikan kembali.Pada kelompok perlakuan, fragmen femur tersebut diinokulasi kuman, dan diiradiasi dengan gelombang mikro selama 7 menit dahulu sebelum direimplantasikan. Pada minggu ke 2 dan ke 4 dilakukan pemeriksaan histopatologi secara histomorfometri serta pemeriksaan radiologis dengan Radiologic Union Scale of Tibial Fracture (RUST). Pemeriksaan histomorfometri akan menilai parameter penyembuhan tulang yaitu: total fibrosa, total area kartilago, dan area woven bone.
Hasil dan Diskusi
Evaluasi histomorfometri menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada pembentukan kartilago(p=0,010), dan tulang woven di minggu ke 2(p=0,004) namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada pembentukan fibrosa,kartilago, dan tulang woven pada minggu ke 4. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi proses penyembuhan pada fragmen tulang yang terpajan iradiasi gelombang mikro. Evaluasi radiologis tidak menunjukkan perbedaan bermakna diminggu ke 2 maupun minggu ke 4 (RUST SCORE 8).
Simpulan
Fragmen tulang yang dipajan iradiasi gelombang mikro selama 7 menit dapat mengalami inkorporasi meskipun terjadi perlambatan dalam prosesnya.

Introduction
Infection is one of the most common complication in open fracture. Contaminated large free bone fragment need to be sterilized before reimplantation,in order to avoid infection.Domestic microwave irradiation for 7 minutes has been proven to sterilize a contaminated free bone fragment. However,there is no previous studies investigating the effect of 7-minutes microwave irradiation to the large bone fragment on the incorporation into the normal bone. This study aims to investigate the effect of domestic microwave irradiation to the large bone fragment's incorporation with the intact bone.
Methods
An experimental study using16 wistar rats, randomly divided into two groups and observed in second and 4th weeks. Control was a group done segmental osteotomized femoral shaft and the bone fragment reimplanted back to the intact bone. In the experimental group, the bone fragment was innoculate with microorganism and given microwave irradiation for 7- minutes before reimplanted. Fracture healing process was evaluated by Radiologic Union Scale of Tibial Fracture (RUST) score and histomorphometric analysis in the second week and fouth week. Histomorphometric paramater to be assesed was the total fibrous area, total cartilage area and woven bone area.
Result and Discussion
Histomorphometric analysis showed significant difference in cartilage formation(p=0.010), and woven bone(p=0.004) in 2nd weeks. There is no difference in fibrous, cartilage and woven bone formation, which showed evidence of fracture healing in fracture fragment even after microwave radiation. In addition, radiologic evaluation showed no significant difference in second weeks and fourth weeks (Rust Score 8) between the two groups.
Conclusion
Irradiated bone fragment by domestic microwave for 7 minutes may incorporate to intact bone with slower progession of fracture healing."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Susanto
"Latar Belakang: Astrositoma difus (WHO grade II) merupakan tumor astrositik yang paling sering ditemukan di FKUI/ RSCM. Tumor ini merupakan tumor invasif, potensial agresif, dan dapat bertransformasi menjadi astrositoma derajat tinggi. Gambaran histopatologik astrositosis dapat menyerupai astrositoma difus dan sukar dibedakan hanya dengan gambaran histopatologik, apalagi bila ukuran spesimen biopsi sangat kecil. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mutasi gen TP53 sering ditemukan pada astrositoma difus. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah pulasan imunohistokimia p53 dapat digunakan untuk membedakan astrositoma difus (WHO grade II) dengan astrositosis.
Bahan dan Metode: Studi diagnostik dilakukan pada 20 kasus astrositoma difus dan 20 kasus lesi astrositosis menggunakan antibodi monoklonal p53 klon D0-7, NovocastraTM dengan baku emas pemeriksaan histopatologik. Penilaian histopatologik dan ekspresi p53 dinilai secara tersamar. Pulasan imunohistokimia dinyatakan dalam skor, yaitu positif bila inti astrosit terwarnai coklat tua. Hasil penilaian ekspresi pulasan p53 dimasukkan ke dalam tabel 2x2 untuk dihitung nilai diagnostiknya.
Hasil: Protein p53 terekspresi kuat pada 13 kasus astrositoma difus dan 1 kasus astrositosis karena peradangan. Sensitivitas dan spesifisitas yang didapat adalah 65% dan 95%. Ekspresi lemah dan sedang tidak terbatas pada astrositoma difus, namun dijumpai pula pada kasus astrositosis.
Kesimpulan: Pada penelitian ini di dapatkan spesifisitas yang tinggi, namun sensitivitas rendah. Ekspresi p53 tidak terbatas pada astrosit neoplastik, tapi juga dijumpai pada astrosit reaktif dan sel selain astrosit. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam interpretasi ekspresi p53.

Background: Diffuse astrocytoma (WHO grade II) is the most common astrocytic tumor in FMUI/ CMH. This tumor is an invasive, potentially aggresive, and can be transformed into high grade astrocytoma. In daily practice, diagnosis of diffuse astrocytoma can be difficult to established with morphology alone. This is because of similar clinical, radiological, and morphology with its mimics, especially astrocytosis. This situation become more complicated with small biopsies. Previous studies showed that diffuse astrocytoma often harbor TP53 gene mutation. The aim of this study is to assess the usefulness of p53 immunohistochemistry to distinguish diffuse astrocytoma (WHO grade II) from astrocytosis.
Material and Methods: In this study we assessed the immunoreactivity of 20 diffuse astrocytomas cases and 20 astrocytosis lesions with p53 monoclonal antibody clone DO-7, NovocastraTM. The diagnostic test then performed with histopathology as gold standard. Histopathology and p53 staining were done independently. Only dark brown nuclear staining were scored positive. We establish 2x2 table and calculate the diagnostic values.
Result: Thirteen diffuse astrocytomas and one lesion with astrocytosis are strongly immunorective to p53 antibody. Weak and moderate staining intensity were observed in astrocytosis. The sensitivity is 65% and specificity 95%.
Conclusion: The diagnostic values of p53 immunohistochemistry alone were limited regarding to low sensitivity (65%) despite of high specificity (95%). The assessment of p53 positivity must be carefully established since the immunoreactivity were not limited to neoplastic astrocytes but also by reactive astrocytes and other cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Kurnia
"Karsinoma serviks uteri merupakan tumor ganas yang sering ditemukan di Indonesia dan pada umumnya penderita datang dalam keadaan ianjut dimana radioterapi merupakan terapi pilih. Penilaian respon radiasi dapat dipelajari secara klinis maupun secara histopatologik. Secara histopatologik, selama ini penilaian dilakukan secara kasar yaiutu dengan melihat ada tidak sel tumor yang viable. Respon radiasi antara lain dipengaruhi oleh tingkat prolifersi sel, penilaiannya dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain dengan metode Ag NOR. AgNOR merupakan Salah satu cam penilaian proliferasi sel dengan cars menghilung nuclear organizer region (NOR).
Pada penelitian ini nilai AgNOR digunakan untuk melakukan hubungannya dengan derajat respon radiasi secara hisropomlogik. Penghitungan nilai AfNOR dilakukan dengan 2 cara yaitu (1) rata-rata nilai AgNOR pada nukleus (mAgNOR) dan persentase AgNOR (PAgNOR). Penilaian derajat respon radiasi secara histopalogik dilakukan menurut metode Shimosato yang membuat derajat respon radiasi dari jaringan yang resisten sampai paling sensitif terhadap radiasi dengan gradasi 1A sampai 4C.
Hasil dan kesimpulan, dari 20 kasus karsinoma serviks yang diperiksa, didapatkan 2 kasus dengan derajat respon radiasi 1,5 kasus dengan derajat respon radiasi 4B dan 1 kasus dengan derajat respon radiasi 4C. Karena perbandingan kasus yang tidak seimbang, kasus-kasus ini dikemlompokkan lagi menjadi 2 kelompok yaitu: (1) kelompok denga respon radiasi baik (13 kasus) dan (2) kelompok dengan derajat respon radiasi buruk (7 kasus). Walaupun terlihat kecenderungan nilai mAgNOR yang lebih tinggi ppada kasus dengan derajat respon radiasi lebih tinggi, nilai mAgNOR yang tidak berbeda bermakna pada kelompok-kelompok yang diperiksa, kemungkinan disebabkan karena mAgNOR tidak secara sppesifik mewakili fraksi pertumbuhan yang tinggi sehingga tidak langsung terkait dengan radiosensitifitas jaringan.
Dari penelitian ini ditemukan nilapAgNOR yang lebih tinggi secara bermakna pada kelompok dengan responn radiasi baik debandinglan dengan kelompok dengan derajat respon radiasi buruk (p=0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa nilai pAgNOR lebih spesifik dan ditelti lebih lanjut dengan digabungkan dengan metoda sehic diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk memprediksi respon radiaso karsinogen serviks uteri.

Cervical uterine cancer is one of tlte most common malignant tumors in Indonesia, patients usually presented in an advance stage where radiotherapy is a therapy of choice. Evaluation of radiotherapy is done both clinically and histopathologcally. Ust; histopathologic assessment was done roughly bythe presence of viable tumor cells. Radio response is influenced by cell proliferation rate and the assessment can be done with methods. ie. Ag NOR method. AgNOR is one of cell proliferation marker that cour nuclcolar organizer region (NOR).
In this study, AgNOR counts was used to soc corelation with grade ofhistopathological radiation response. AgNOR counts was carried in 2 wajrs: (1) mean of AgNOR counts in the nuclei (mAgNOR0 and (2) percentag AgNOR (PAgNOR). Evaluation of histopathologic radiation response grade was a following Shimosato that made gradation radiation response from radioresistant to alt radiosensitiv tissue in IA to -1C grade.
Result and conclusion, from 20 cases of Cervical cancer studied based on Shimosato method. 2 cases were of grade 1, 5 cases of grade ZA. l case of grade 5, 2 cases of grade 49., 9 cases of grade 4B and 1 of gade 4C . Due to unequal number of cases in each group, it was grouped into 2 groups, good radiation response. which is iound in 13 cases and (2) poor radiation response a cases. Altough there is higher number mAgNOR counts irt group with higher grade radiation response. It was not statistically significant, most likely because in mAgNOR is specitically representing high growth fraction, therefore was not correlated directly with tis radiosonsitivitly. From this study, it was showed that pAgNOR counts was hit significantly in group with good radiation response compared to group with poor radia response (p=0.05).
The result showed that pAgNOR count is more speciiic, therefore it car used in more research combine with another method make this method will used as one method for the prediction of radiation response in cert-?ical uterine carcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T3739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Pramesti
"Pendahuluan : Disfungsi endotel merupakan awal timbutnya aterosklerosis yang pada kondisi lanjut akan menychabkan penyakit jantung koroner (PJK). Teh hijau dilaporkan mampu memperbaiki disfungsi endotel karena kandungan katekin yang ada di dalamnya. Penelitian menunjukkan teh hijau mampu meningkatkan produksi prostasiklin pada kultur sel aorta babi.
Tujuan penelitian : Untuk mcmbuktikan hahwa pemberian teh hijau sekali minum dapat memberi efek terhadap peningkatan produksi 6-ketoprostaglandin Fl-a sebagai metabolic prostasiklin dan penurunan kadar tromboksan B2 sebagai metabolit tromboksan A2 pada penderita PJK.
Metode : Penelitian dilakukan pada 25 penderita yang terhukti PJK dari pemeriksaan angiografi koroner. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 mendapat teh hijau terlebih dahulu dan Kelompok l1 mendapat plasebolair putih terlebih dahulu. Setelah masa wash-Put selama 1 minggu, dilakukan cross-over. Dihitung kadar 6-ketoprostaglandin Fl-a sebagai metabolit prostasiklin don tromboksan B2 sebagai metabolit tromboksan A2 sebelum dan sesudah pemberian teh hijau dan plasebo. Dllakukan pemeriksaan kadar 6-ketoprostaglandin Fl-a dan tromboksan B2 pada 20 orang sehat usia 18-25 tabula sebagai acuan nilai normal.
Hasil : Didapatkan peningkatan kadar 6-ketoprostaglandin Fl-a yang bermakna pada kedua kelompok. Pada kelompok I sebeiuni pemberian tab hijau kadar 6-ketoprostaglandin Fl -a 5.126 (2.808-6.237) menjadi 6.575 (4.788-7.638) ng/ml (p= 0.012). Pada kelompok plasebo tidak didapatkan peningkatan yang bermakna (p= 0.328). Pada kelompok II kadar 6-ketoprostaglandin Fl-ct sebelum teh hijau 6.044 (2.804-11.693) menjadi 7.212 (4.028-11.175) ng/ml (p= 0.011). Pada plasebo tidak didapatkan peningkatan yang bermakna (p= 0.325). Pada pemeriksaan kadar tromboksan B2 tidak didapatkan penurunan yang bermakna balk pada kelompok I maupun pada kelompok II. Pada kelompok I sebelum pemberian teh hijau 0.472 (0.122-0.630) menjadi 0.092 (0.056-0.135) ng/ml (p= 0.68). Pada kelompok l1 sebelum pemberian teh hijau 0.1 11 (0.029-0.630) meningkat menjadi 0.660 (0.018-0.958) ng/ml (p= 0.055). Hadar 6-ketoprostaglandin F1-u pada penderita PJK lehih rendah secara bermakna dibanding orang sehat (p<0.001). Pada pemeriksaan kadar tromboksan B2 pada penderita PJK lehih rendah secara bermakna dibanding prang sehat (p<0.001)
Kesimpulan : pemberian teh hijau sekali minum mampu meningkatkan produksi 6-ketoprostaglandin Fl-a yang merupakan metabolit aktif prostasiklin pada penderita penyakit jantung koroner, akan tctapi tidak memberikan efek penurunan kadar tromboksan B2 yang merupakan metabolit aktiFdari tromboksan A2.

Introduction : Endothelial dysfunction is an early process of atherosclerosis that in long term will cause coronary artery disease. Green tea has been reported to improve endothelial function because of catechin substance in green tea. Study had showed that green tea could increase the prostacyclin production in bovine aorta cell culture.
Objective :To gain evidence that one time consuming of green tea may increase 6-ketoprostaglandin Fl-a production as a metabolite of prostacyclin and decrease thromboxane B2 production as a metabolite of thromboxane A2 in coronary artery disease patients.
Method : Study has been conducted to 25 patients proven to have coronary artery disease by coronary angiography. Sample was grouped into two groups. Groups I firstly receive green tea and Group II firstly receive placebo (mineral water). After washout period for one week, sample was being cross-overed. The level of 6-ketoprostaglandin Fl-a as a metabolite of prostacyclin and thromboxane B2 as a metabolite of thromboxane A2 were measured before and after green tea and water consumption. We also measure the level of 6-ketoprostaglandin Fl -a and thromboxane B2 in 20 healthy persons aged 18 -25 years old as a normal value.
Result : There were significant increasing level of 6-ketoprostaglandin Fl-a of both groups. In Group I, the level of 6-ketoprostaglandin Fl-a before green tea consumption was 5.126(2.808-6.237) and raised up to 6.575(4.788-7.638) ng/ml(p= 0.012). Meanwhile in placebo group there were no significant increase level of 6-ketoprostaglandin Fl-a (p= 0.328). In group II the level of 6-ketoprostaglandin Fl-a before green tea consumption was 6.044(2.804-11.693) and raised up to 7.212(4.028-11.175) ng/ml (p= 0.011). As for placebo group, there were no significant increase level of 6-ketoprostaglandin F l -a (p= 0.325). Thromboxane B2 measurement result shows no significant decrease both in group I and group H. In group I, thromboxan B2 level before green tea consumption was 0.472(0.122-0.630) and raised up to 0.092(0.056-0_l35) ng/ml(p= 0.68). As for group H, thromboxane B2 level before green tea consumption was 0.111(0.029-0.630) and raised up to 0.660(0.018-0.958) ng/ml (p= 0.055). The level of 6-ketoprostaglandin Fl-a in coronary artery disease patients was significantly bellow healthy persons (p<0.001). The level of thromboxane B2 in coronary atery disease patients were also significantly bellows healthy persons (p<0.001).
Conclusion : One time green tea consumption can increase 6-ketoprostaglandin Fl-a production as an active metabolite of prostacyclin in coronary artery disease patients but does not decrease thromboxan B2 level, an active metabolite of thromboxan A2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peter Giarso
"ABSTRAK
Pendahuluan: Biopsi jarum inti dianggap memiliki hasil akurasi yang sama
dengan biopsi terbuka dan telah menjadi prosedur rutin untuk menegakkan
diagnosis lesi muskuloskeletal. Namun demikian uji diagnostik biopsi jarum inti
di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPN CM)
belum dilaporkan. Tujuan dari analisis retrospektif ini adalah untuk mendapatkan
nilai ketepatan diagnosis biopsi jarum inti pada lesi muskuloskeletal.
Metode: Dari Januari 2011 hingga Agustus 2015, semua pasien dengan lesi
muskuloskeletal di RSUPN CM yang menjalani biopsi jarum inti dan eksisi tumor
diidentifikasi dan diambil datanya. Ketepatan diagnosis dianalisis baik untuk
kesimpulan histopatologi maupun kesimpulan clinical pathology conference
(CPC).
Hasil: Sebanyak 86 sampel dikumpulkan dalam penelitian ini. Ketepatan
diagnosis biopsi jarum inti dibandingkan dengan spesimen pasca eksisi adalah
74,4%. Setelah dilakukan CPC, nilai ketepatan menjadi 83,7% dengan sensitivitas
98%, spesifisitas 59%, NDP 87%, NDN 93% (p = 0.00). Ketepatan biopsi jarum
inti setelah pulasan imunohistokimia naik menjadi 84,9% (p = 0,438). Ketepatan
untuk membedakan lesi jinak dan ganas adalah 97,1% (jinak) dan 82,7% (ganas)
(p = 0.00). Ketepatan untuk membedakan lesi primer dan metastasis adalah 97,2%
(primer) dan 85,7% (metastasis) (p = 0.00).
Diskusi: Kami mendapatkan nilai ketepatan biopsi jarum inti yang sedikit lebih
rendah karena dalam penelitian ini dituntut untuk membuat diagnosis sampai
tingkat morfologi (ICD O dan ICD X). Namun demikian, dengan modalitas lain
seperti imunohistokimia dan kesimpulan CPC, ketepatan menjadi meningkat.
Ketepatan diagnosis untuk membedakan lesi jinak-ganas dan primer-metastasis tinggi. Biopsi jarum inti direkomendasikan untuk penegakkan diagnosis lesi muskuloskeletal.ABSTRACT
Introduction: Core needle biopsy is considered to have similar results with open
biopsy in accuracy and already become a routine procedure to establish the
diagnosis of musculoskeletal lesion. However, diagnostic test of core needle
biopsy application in Cipto Mangunkusumo Hospital has not been reported.
Therefore, the aim of this retrospective analysis was to attain the accuracy of
musculoskeletal lesion diagnosis using core needle biopsy.
Methods: From January 2011 to August 2015, all patients with musculoskeletal
lesion in Cipto Mangunkusumo Hospital underwent core needle biopsy and
subsequent tumour excision were indentified and enrolled. Diagnostic accuracy
were calculated for both histopathology and clinical pathology conference (CPC)
conclusion.
Results: A total of 86 samples were indentified and enrolled in this study. The
accuracy of core needle biopsy compared to subsequent excision is 74.4%. With
CPC conclusion, the accuracy is 83.7% with sensitivity 98%, specificity 59%,
PPV 87%, NPV 93% (p=0.00). The accuracy with immunohistochemistry is
84.9% (p=0.438). The accuracy to distinguish benign and malignant lesion is
97.1% (benign) and 82.7% (malignant) (p= 0.00). The accuracy to distinguish
primary and metastatic lesion is 97,2% (primary) and 85,7% (metastatic) (p=
0.00).
Discussion: We found slightly inferior results for core needle biopsy accuracy
compared to literature due to high specificity diagnosis obligatory (ICD O and
ICD X morphology) in our study. However, with other modalities such as
immunohistochemistry and CPC, the accuracy is increased. The accuracy to
distinguish between benign vs malignant and primary vs metastatic lesion is high.
Core needle biopsy is recommended to establish diagnosis for selected musculoskeletal lesions.
;Introduction: Core needle biopsy is considered to have similar results with open
biopsy in accuracy and already become a routine procedure to establish the
diagnosis of musculoskeletal lesion. However, diagnostic test of core needle
biopsy application in Cipto Mangunkusumo Hospital has not been reported.
Therefore, the aim of this retrospective analysis was to attain the accuracy of
musculoskeletal lesion diagnosis using core needle biopsy.
Methods: From January 2011 to August 2015, all patients with musculoskeletal
lesion in Cipto Mangunkusumo Hospital underwent core needle biopsy and
subsequent tumour excision were indentified and enrolled. Diagnostic accuracy
were calculated for both histopathology and clinical pathology conference (CPC)
conclusion.
Results: A total of 86 samples were indentified and enrolled in this study. The
accuracy of core needle biopsy compared to subsequent excision is 74.4%. With
CPC conclusion, the accuracy is 83.7% with sensitivity 98%, specificity 59%,
PPV 87%, NPV 93% (p=0.00). The accuracy with immunohistochemistry is
84.9% (p=0.438). The accuracy to distinguish benign and malignant lesion is
97.1% (benign) and 82.7% (malignant) (p= 0.00). The accuracy to distinguish
primary and metastatic lesion is 97,2% (primary) and 85,7% (metastatic) (p=
0.00).
Discussion: We found slightly inferior results for core needle biopsy accuracy
compared to literature due to high specificity diagnosis obligatory (ICD O and
ICD X morphology) in our study. However, with other modalities such as
immunohistochemistry and CPC, the accuracy is increased. The accuracy to
distinguish between benign vs malignant and primary vs metastatic lesion is high.
Core needle biopsy is recommended to establish diagnosis for selected musculoskeletal lesions.
;Introduction: Core needle biopsy is considered to have similar results with open
biopsy in accuracy and already become a routine procedure to establish the
diagnosis of musculoskeletal lesion. However, diagnostic test of core needle
biopsy application in Cipto Mangunkusumo Hospital has not been reported.
Therefore, the aim of this retrospective analysis was to attain the accuracy of
musculoskeletal lesion diagnosis using core needle biopsy.
Methods: From January 2011 to August 2015, all patients with musculoskeletal
lesion in Cipto Mangunkusumo Hospital underwent core needle biopsy and
subsequent tumour excision were indentified and enrolled. Diagnostic accuracy
were calculated for both histopathology and clinical pathology conference (CPC)
conclusion.
Results: A total of 86 samples were indentified and enrolled in this study. The
accuracy of core needle biopsy compared to subsequent excision is 74.4%. With
CPC conclusion, the accuracy is 83.7% with sensitivity 98%, specificity 59%,
PPV 87%, NPV 93% (p=0.00). The accuracy with immunohistochemistry is
84.9% (p=0.438). The accuracy to distinguish benign and malignant lesion is
97.1% (benign) and 82.7% (malignant) (p= 0.00). The accuracy to distinguish
primary and metastatic lesion is 97,2% (primary) and 85,7% (metastatic) (p=
0.00).
Discussion: We found slightly inferior results for core needle biopsy accuracy
compared to literature due to high specificity diagnosis obligatory (ICD O and
ICD X morphology) in our study. However, with other modalities such as
immunohistochemistry and CPC, the accuracy is increased. The accuracy to
distinguish between benign vs malignant and primary vs metastatic lesion is high.
Core needle biopsy is recommended to establish diagnosis for selected musculoskeletal lesions.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhyarjon
"Ruang lingkup dan Cara penelitian: Buah merah merupakan tanaman yang kaya akan bahan-bahan antioksidan seperti beta karoten dan alfa tokoferol. Baik buah maupun minyaknya sudah banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan diyakini memiliki khasiat dalam pengobatan berbagai penyakit, salah satunya adalah kanker. Meskipun buah merah sudah digunakan secara luas oleh masyarakat, namun penelitian ilmiah tentang khasiat buah merah masih sangat terbatas. Penelitian pengaruh minyak buah merah terhadap karsinogenesis hati pada tikus yang diinduksi N-2-Fluroenilasetamida (FAA) bertujuan untuk menganalisis perlindungan minyak buah merah terhadap karsinogenesis akibat FAA pada tikus. Dalam penelitian ini digunakan 24 ekor tikus jantan galur Wistar, berumur ± 3 bulan dengan berat badan berkisar 150-200 gram, yang dibagi ke dalam 4 kelompok yaitu: kelompok kontrol, merupakan kelompok yang mendapatkan akuades, kelompok BM, adalah kelompok yang diberi minyak buah merah 10μl/gram BB/hari, kelompok FAA, merupakan kelompok yang diinduksi karsinogenesis FAA 40μg/hari dan kelompok BM+FAA, merupakan kelompok yang mendapatkan minyak buah merah dan FAA dengan dosis yang sama dengan kelompok BM dan kelompok FAA Perlakuan diberikan dengan sonde lambung setiap had selama ± 8 minggu. Pada minggu ke 8 tikus dikorbankan kemudian diambil hati dan darab dari jantung. Sebagai parameter karsinogenesis adalah kadar asam sialat, kadar proteasom dan skor karsinogenesis berdasarkan pemeriksaan histopatologis. Disamping itu juga diukur parameter untuk menilai fungsi hati seperti: albumin, protein total dan pola elekroforesis protein plasma serta aktivitas glutamatepiruvate transaminase (GPT) plasma. Data penelitian kemudian diolah secara statistik.
Hasil dan kesimpulan: Pada pemeriksaan asam sialat ditemukan bahwa kadar asam sialat hati kelompok FAA secara statistik lebih tinggi dibandingkan kontrol, namun demikian kadar asam sialat plasma belum ditemukan perbedaan yang bermakna. Uji statistik yang dilakukan terhadap kadar proteasom plasma dan jaringan hati menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan. Sedangkan pemeriksaan histopatologis memperlihatkan skor karsinogenesis kelompok FAA lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kontrol. Sementara itu pemeriksaan asam sialat, proteasom maupun histopatologis kelompok BM+FAA tidak berbeda bermakna dibandingkan kelompok FAA. Dari basil-basil tersebut dapat disimpulkan bahwa karsinogenesis yang terjadi masih pada tahap dini dan belum ditemukan perlindungan minyak buah merah terhadap karsinogenesis. Pada penilaian fungsi hati tidak ditemukan perbedaan bermakna kadar protein total, kadar albumin dan pola elektroforesis protein plasma. Hal ini menunjukkan bahwa FAA walaupun sudah menimbulkan karsinogenesis tapi tidak menggangu fungsi hati. Pada pemeriksaan GPT plasma ditemukan aktivilas pada kelompok BM dan FAA Iebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol atau kelompok FAA. Hal ini memberikan kesan bahwa minyak buah merah, walaupun tidak menyebabkan karsinogenesis hati namun dapat menimbulkan kerusakan hati. Hal ini didukung oleh pemeriksaan histopatologis jaringan hati yaitu ditemukannya gambaran degenerasi hidropik yang menandai awal kerusakan sel hati.

Red fruit (Pandanus conoideus Lam) is an endemic plant in Eastern Indonesia especially in Papua. This fruit has been used traditionally since many years ago for various purposes such as daily food consumption, traditional medicine, handycraft etc. As traditional medicine it is believed that this fruit can cure many diseases like cancer, AIDS, arthritis and many others. This advantage might be due to it's rich antioxidant substances such as carotene and a tocopherol. This study was conducted to investigate the effect of red fruit oil on FAA induced carcinogenesis in rat Twenty four male Wistar rats, approximately 3 months old, weighing 150-200 g were equally divided into 4 groups. The first (control) group, received distilled water. The second (BM) group received 10pLIg body weight/day of red fruit oil. The third (FAA) group received 40µg FAAIday. The fourth (BM+FAA) group received red fruit oil as well as FAA with similar dose as BM and FAA group_ The treatments were given for eight weeks and at the end of S~' weeks the animal were sacrificed, liver and the blood were collected. To analyzed liver carcinogenesis, the level of sialic acid, proteasome and histopathological based carcinogenesis score were measured To asses liver function, glutamate-pyruvate transaminase (GPT) activity, albumin and total plasma level protein were measured, and plasma protein electrophoresis pattern were also determined. The data were statistically analyzed using ANOVA and Tukey test.
This study showed that liver sialic acid level of FAA rats was significantly higher than those in the control group but there was no statistically difference between sialic plasma level of FAA group compared to the control. The liver and proteasome plasma level found to be similar among the groups. Histopatological finding showed that carcinogenesis scores in FAA group was higher than the control group. Moreover, there were no differences in sialic acid level as well as carcinogenesis scores between BM+FAA group compared to FAA group. The analysis of liver function showed that liver function of all groups were still in normal range.
It can be concluded that the FAA induced liver carcinogenesis was still in early stage and red fruit oil supplementation has no protection effect on liver carcinogenesis. Surprisingly, the plasma GPT activity of BM and BM+FAA group were significantly higher than control group or FAA group_ This result showed that red fruit oil supplementation it self, even though couldn't induce carcinogenesis, lead to liver cells changes, a cloudy swelling degeneration, which reflecting an early liver injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17673
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Djuanda
"ABSTRAK
Ruang lingkup, bahan dan cara penelitian : Telah dilakukan penelitian retrospektif di Departemen Patologi Anatomik FKUI RRSUPN CM. Sampel diambil dari Arsip Departemen PatoIogi Anatomik dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2003. Gambaran histologik melanoma malignum dinilai uang, yaitu tipe Nodular Melanoma, tipe Superficial Spreading Melanoma dan tipe Acral Lenligineous Melanoma.
Dilakukan pewarnaan ulang HE dan imunoperoksidase dengan menggunakan antibodi Ki67. Penghitungan jumlah mitosis dilakukan dengan menghitung jumlah mitosis/kuadrat milimeter pada 10 LPB secara acak. Penilaian ketebalan tumor dilakukan menurut Breslow. Perkalian antara ketebalan tumor dan jumlah mitosis dilakukan untuk penentuan indeks prognosis. Penghitungan positifitas Ki67 pada inti sel yang berwarna coklat tua dilakukan pada 500 sel secara acak. Untuk mengetahui hubungan berbanding terbalik antara ekspresi Ki67 dengan indeks prognosis dilakukan uji korelasi non parametrik 2x2 dengan uji Pearson. Uji korelasi parametrik dilakukan dengan uji Tukey dan Duncan.
Hasil dan kesimpulan: Dan 20 kasus MM (11 kasus NM, 5 kasus ALM dan 4 kasus SSM), didapatkan 17 kasus MM (10 kasus NM, 4 kasus ALM dan 3 kasus SSM) yang positif mengekspresikan Ki67, 3 kasus yang tidak mengekspresikan Ki67 terdiri atas 1 kasus NM, 1 kasus ALM dan I kasus SSM. Dua puluh kasus MM menunjukkan 12 kasus dengan Breslow > 4 mm (8 kasus NM dan 4 kasus ALM), sedangkan 8 kasus dengan Breslow < 4 mm (3 kasus NM , 1 kasus ALM dan 4 kasus SSM).
Pada 4 kasus SSM 3 kasus mengekspresikan Ki67 positif 1 dan 1 kasus tidak mengekspresikan Ki67. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan bermakna antara ketebalan tumor Breslow dengan indeks proliferasi Ki67. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa antibodi monoklonal Ki67 sebagai petanda proliferasi dapat digunakan sebagai indikator dalam memprediksi prognosis dan kemungkinan terjadinya early metastasis pada penderita MM yang mempunyai nilai ketebalan Breslow rendah, seperti pada jenis SSM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>