Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Haris Dwicahyo
"Penelitian ini bertujuan untuk menggali alasan bergabungnya mahasiswa ke dalam organisasi mahasiswa. Studi-studi terdahulu menyimpulkan bahwa alasan terkait hal tersebut adalah untuk mencari koneksi pertemanan, adanya pengaruh dari kakak tingkat, serta untuk mengembangkan kemampuan sebagai persiapan kehidupan pascakampus. Penulis setuju terhadap ketiga alasan tersebut. Akan tetapi, ketiga alasan tersebut cenderung hanya berlaku bagi mahasiswa tingkat awal, bukan mahasiswa tingkat akhir. Mahasiswa tingkat akhir cenderung sudah memiliki koneksi pertemanan yang cukup, telah mandiri dalam berkegiatan tanpa pengaruh dari kakak tingkat, serta berkesempatan untuk mengikuti magang sebagai persiapan kehidupan pascakampus secara langsung. Oleh karena itu, penulis berargumen bahwa terdapat alasan lain yang mendorong mahasiswa tingkat akhir untuk bergabung ke dalam organisasi mahasiswa, yakni untuk mempertahankan identitas diri yang melekat pada diri mereka. Menurut teori identitas sosial, identitas seseorang terdiri dari identitas personal yang unik serta identitas sosial yang diperoleh dari kelompok sosial di mana ia bergabung. Pilihan tetap bergabung dengan organisasi mahasiswa menjadikan mahasiswa tingkat akhir tetap memiliki identitas sosial yang mampu mendatangkan berbagai benefit. Berbagai benefit ini akan dianalisis dengan menggunakan konsep rasionalitas yang berbasis afektif serta instrumental. Penggalian fenomena dilakukan secara kualitatif melalui wawancara mendalam terhadap mahasiswa tingkat akhir FISIP UI yang tetap bergabung dalam organisasi mahasiswa maupun yang tidak.

This study aims to explore the reasons for joining students in student organizations. Previous studies conclude that the reasons for this are to seek friendship connections, influenced by seniors, and to develop skills in preparation for post-campus life. The author agrees with these reasons. However, these reasons tend to only apply to freshman students, not final year students. Final year students tend to have sufficient friendship connections, are independent in their activities without the influence of seniors and could take part in internships as a direct preparation for post-campus life. Therefore, the author argues that there is other reason that encourage final year students to join student organizations, namely to maintain their inherent self-identity. According to social identity theory, a person's identity consists of a unique personal identity and a social identity derived from the social group to which them belong. Staying in student organizations makes the social identity of final year students remain; therefore can bring various benefits. These benefits will be analyzed using the concept of affective and instrumental rationality. Exploration of the phenomenon is carried out qualitatively through indepth interviews with final year FISIP UI students who continued to join student organizations or those who did not."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Halomoan
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses logika terbentuknya Gerakan Sosial #NoRoomForRacism yang dilakukan oleh para atlet IBL. Gerakan ini dapat dikatakan sebagai gerakan pertama yang dilakukan dalam lingkup Indonesian Basketball League terlebih kasus yang terjadi adalah kasus dalam liga sendiri. Studi terdahulu menyatakan bahwa olahraga adalah salah satu lingkup atau bidang yang sering dianggap tidak politis, namun nyatanya olahraga adalah lingkup yang baik dalam segi perjuangan atau perlawanan atas diskriminasi. Keberagaman dan keadilan hadir bagi masyarakat untuk berkompetisi untuk menunjukkan kesetaraan di lingkup yang kompetitif. Selanjutnya, studi terdahulu juga menyatakan bahwa sudah melakukan beberapa gerakan untuk melawan rasisme dan dilakukan baik secara langsung maupun secara daring melalui media sosial dalam pelaksanaannya. Lalu, studi ini membawa kebaharuan dengan melakukan analisis aksi konektif pada aksi yang dilakukan di lingkup olahraga di Indonesia khususnya olahraga basket. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan juga observasi secara daring kepada aktor-aktor gerakan #NoRoomForRaicsm di media sosial instagram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan #NoRoomForRacism merupakan sebuah gerakan yang terjadi secara dinamis tanpa koordinasi oleh struktur tertentu. Gerakan yang menggunakan teknologi sosial berupa instagram ini membuatnya menjadi sebuah gerakan yang luas dan aksesibel bagi publik. Selanjutnya, opini dan ekspresi aktor menunjukkan bahwa aksi rasisme yang terjadi antara Restu Dwi Purnomo terhadap Austin Mofunanya adalah sebuah hal yang salah dan tidak terpuji. Aksi #NoRoomForRacism juga tidak mendapatkan moderasi dari pihak petinggi setiap tim yang menyebabkan opini setiap tim adalah opini personal yang terjadi secara kolektif.

This research aims to understand the logical formation process of the #NoRoomForRacism Social Movement conducted by IBL athletes. This movement can be considered the first of its kind within the scope of the Indonesian Basketball League, particularly given that the incident occurred within the league itself. Previous studies state that sports are often regarded as apolitical fields; however, in reality, sports are an excellent arena for the struggle or resistance against discrimination. Diversity and justice are present for society to compete and demonstrate equality in a competitive environment. Furthermore, previous studies also indicate that several movements have been undertaken to combat racism, both directly and online through social media in their implementation. This study brings novelty by analyzing connective action in the context of sports movements in Indonesia, specifically basketball. This research employs a qualitative approach with in-depth interview techniques and online observation of #NoRoomForRacism movement actors on Instagram. The findings show that the #NoRoomForRacism movement is a dynamic movement without coordination by a specific structure. The movement, which utilizes social technology in the form of Instagram, makes it broad and accessible to the public. Additionally, the opinions and expressions of the actors indicate that the racist act between Restu Dwi Purnomo and Austin Mofunanya is wrong and disgraceful. The #NoRoomForRacism movement also did not receive moderation from senior team officials, making each team's opinion a personal opinion that occurs collectively.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Rania Khairunnisa
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi makna dalam penggunaan seragam khas sekolah di Sekolah Menengah Atas berdasarkan perspektif siswa penerima Kartu Jakarta Pintar dan bukan penerima KJP. Terdapat ketidaksetujuan dalam masyarakat terhadap makna penggunaan seragam sekolah yang sudah diupayakan. Penelitian-penelitian terdahulu membahas pemaknaan penggunaan seragam sebagai perwujudan sikap disiplin, identitas pelajar, dan hubungan seragam sekolah dengan keberagaman siswa yang berfokus pada pelestarian makna, tetapi belum melihat bagaimana pembentukkan makna dari siswa pengguna seragam sekolah. Peneliti berargumen bahwa makna seragam sekolah bagi siswa merupakan sesuatu yang dikonstruksikan ketika siswa berinteraksi dengan lingkungan sosialnya sehingga terdapat perbedaan antara makna yang diharapkan dengan kenyataannya. Penelitian ini menggunakan konsep konstruksi makna Blumer (1966) untuk memahami proses pembentukkan makna berdasarkan interaksi sosial yang menciptakan keberagaman makna. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan data primer hasil wawancara mendalam dan observasi terhadap siswa penerima KJP dan bukan penerima yang menggunakan seragam khas sekolah di SMA Negeri Jakarta. Temuan penelitian menunjukkan terdapat enam makna seragam sekolah, yakni pakaian, identitas, kesenjangan sosial, kedisiplinan, kesetaraan, dan tanggung jawab, serta lima makna seragam khas sekolah, yaitu pelestarian budaya, kebanggaan, keberagaman, estetika, dan keamanan. Makna seragam sekolah, terutama seragam khas sekolah, merupakan hasil konstruksi berdasarkan interaksi sosial informan dengan orang-orang di sekitarnya.

This research aims to analyze the construction of meaning in the use of typical school uniforms in high schools based on the perspective of students who receive Kartu Jakarta Pintar and who do not receive KJP. There is disagreement in society regarding the use of school uniforms’ meaning that have been attempted. Previous studies discussed the meaning of wearing uniforms as a manifestation of disciplinary attitudes, student identity, and the relationship between school uniforms and student diversity which focused on preserving meaning, but did not look at how meaning is formed by students who wear school uniforms. Researchers argue that the meaning of school uniforms for students is something that is constructed when students interact with their others so that there is a difference between the expected meaning and the reality. This research uses Blumer's (1966) concept of construction of meaning to understand the process of forming meaning based on social interactions that create a diversity of meanings. This research uses qualitative methods with primary data resulting from in-depth interviews and observations of KJP recipient and non-recipient students who wear typical school uniforms at Jakarta State High Schools. Research findings show that there are six meanings of school uniforms, namely clothing, identity, social inequality, discipline, equality, and responsibility, as well as five meanings of typical school uniforms, namely cultural preservation, pride, diversity, aesthetics, and security. The meaning of school uniforms, especially typical school uniforms, is the result of construction based on the informants' social interactions with the people around them."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandi Karuniko
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan keluarga dan intensitas penggunaan media streaming musik digital terhadap perilaku music omnivorousness pada individu Gen Z di Jabodetabek. Studi-studi terdahulu yang membahas mengenai selera budaya didominasi oleh dua peta studi, yakni perspektif cultural homology Bourdieusian dan perspektif cultural omnivorism Petersonian. Perspektif cultural homology menyatakan bahwa posisi kelas di seluruh hierarki kelas disertai dengan selera budaya tertentu dan cara-cara yang khas untuk mengapresiasinya. Sementara itu, perspektif cultural omnivorism memandang bahwa bahwa diferensiasi sosial dari selera budaya tidak bisa lagi dibahas dalam hal budaya massa vs budaya elit, melainkan dalam hal keterbukaan terhadap keragaman budaya. Namun demikian, dalam studi-studi terdahulu belum banyak yang mengikutsertakan pengaruh hadirnya media streaming musik digital yang tentu memberikan kemudahan bagi masyarakat dari seluruh kelas sosial untuk mengakses berbagai macam genre musik yang tersedia. Karenanya, melalui domain budaya yang peneliti pilih yakni musik dan dengan menambahkan variabel intensitas penggunaan media streaming musik digital, serta teknik pengumpulan data yang mengombinasikan survei kuesioner kuantitatif dan in-depth interview, peneliti memperoleh hasil bahwa responden dengan jenis kelamin laki-laki, berusia 12-19 tahun, memiliki tingkat pendidikan tinggi dan memiliki intensitas penggunaan media streaming musik yang tinggi, akan lebih menunjukkan perilaku music omnivorousness jika dibandingkan responden dari kategori lainnya. Meskipun demikian, peneliti juga menemukan bahwa jejak-jejak peninggalan Bourdieu masih tetap eksis dan cukup memadai untuk menjelaskan keterkaitan antara selera budaya dan kelas sosial individu pada masyarakat saat ini, meskipun bukan secara keseluruhan.

This study aims to analyze the influence of gender, age, education level, family income level and intensity of use of digital music streaming media on music omnivorousness behavior in Gen Z individuals in Jabodetabek. Previous studies that discuss cultural tastes are divided into two study maps, namely the Bourdieusian 'homology' perspective and the Petersonian 'cultural omnivorousness' perspective. The homology perspective states that class positions across the class hierarchy are accompanied by specific cultural tastes and distinctive ways of appreciating them. Meanwhile, the cultural omnivore perspective views that the social differentiation of cultural tastes can no longer be discussed in terms of mass culture vs elite culture, but rather in terms of openness to cultural diversity. Moreover, the influence of digital media certainly makes it easier for people from all social classes to access the various music genres available. Therefore, through the cultural domain of music and by adding the variable of intensity of use of digital music streaming media, as well as data collection techniques that combine quantitative questionnaire surveys and in-depth interviews, we found that respondents who are male, aged 12-19 years old, have a high level of education and have a high intensity of use of music streaming media, will show more music omnivorousness behavior than respondents from other categories. However, the researcher also found that traces of Bourdieu's legacy still exist and are sufficient to explain the relationship between cultural tastes and individual social class in today's society, although not in its entirety."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library