Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Nurul Qomariyah
"ABSTRAK
Dalam upaya penatalaksanaan penderita penyakit kelenjar tiroid, harus dibuat diagnosis anatomik atau etiologik untuk mengetahui penyebab yang mendasari penyakit dan diagnosis fungsional untuk mengetahui status produksi hormon tiroid. Pemeriksaan laboratorium sangat berguna dalam membedakan fungsi kelenjar tiroid tersebut termasuk hipotiroid, eutiroid atau hipertiroid.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemeriksaan TSH-sensitif metode IRMA dan ICMA dapat membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dengan kata lain apakah pemeriksaan tersebut dapat dipakai sebagai uji saring untuk hipertiroidisme. Disamping itu ingin mendapatkan nilai rujukan TSH-IRMA dan ICMA yang dapat dipakai di UPF Patologi Klinik FKUI/RSCM.
Subyek penelitian adalah 35 penderita hipertiroidisme, terdiri atas 25 orang wanita dan 10 orang laki-laki, berusia 21-59 {30,2) tahun. Sebagai kontrol adalah 70 orang yang mempunyai fungsi kelenjar tiroid eutiroid, terdiri atas 40 laki-laki dan 29 perempuan, berusia 15-73 (37) tahun. Kriteria diagnostik didasarkan pada temuan klinik dan hasil pemeriksaan laboratorium FT4I. Terhadap subyek penelitian dan kontrol dilakukan pemeriksaan T4 total, T3U, TSH-IRMA (DPC) dan TSH-ICMA (Amerlite).
Hasil pemeriksaan kontrol: T4=4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I=0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA=O,25-3,60 (1,38) mIU/L dan TSH-ICMA=0,54-3,12 (1,34) mIU/L. Terdapat korelasi terbalik antara nilai T4 total, T3U dan FT4I dengan TSH-IRMA maupun TSH-ICMA. Tidak terdapat perbedaan nilai TSH kontrol laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat hubungan antara umur dan nilai TSH. Nilai rujukan TSH-IRMA = 0,39-3,63 mIU/L, dan TSH-ICMA = 0,49-2,97 mIU/L.Hasil pemeriksaan penderita hipertiroid: T4 = 16,0->24 ng/dL; T3U=30,3-43,7 (38,3)7.; FT4I = 5,36->10,49; 31 (88,51.) orang mempunyai nilai TSH-IRMA dan ICMA tidak terukur dan, 4 Orang mempunyai nilai TSH-IRMA 0,09; 0,12; 0,16; 0,18 dan TSH-ICMA 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. Nilai TSH-IRMA dan TSH-ICMA penderita hipertiroid berbeda bermakna dengan kontrol eutiroid. Terdapat korelasi antara nilai TSH-IRMA dengan TSH-ICMA (r = 0,9922). Nilai TSH-ICMA lebih rendah 6,6% dibanding TSH-IRMA. Nilai batas deteksi TSH-IRMA = 0,09 mIU/L dan TSH-ICMA = 0,04 mIU/L. Biaya per tes TSH-IRMA lebih mahal dibanding TSH-ICMA, karena pemeriksaan TSH-IRMA harus dilakukan in duplo. Pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH-ICMA sensitif secara analitik dan klinik untuk diagnosis hipertiroidisme.
Kesimpulan penelitian ialah pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH﷓ICMA mampu membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dan dapat dipakai sebagai uji saring hipertiroidisme. Batas deteksi pemeriksaan TSH-ICMA lebih rendah dari pada TSH-IRMA. Nilai rujukan TSH-IRMA berbeda dengan TSH-ICMA.
Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subyek penelitian dan kontrol (penderita rawat tinggal dan rawat jalan) yang lebih banyak agar dapat ditentukan nilai batas TSH untuk diagnosis hipertiroidisme, dan mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat. Disarankan pula untuk menilai kemampuan pemeriksaan TSH untuk memantau pengobatan hipertiroidisme dan pengobatan hormon tiroid.

In managing patients with thyroid diseases, an anatomical or etiological diagnosis should be made for knowing the basic causes, and functional diagnosis for knowing the thyroid hormone production. Laboratory tests are necessary to differentiate whether the condition is hypothyroid, euthyroid or hyperthyroid.
The goal of this study was to know whether TSH-IRMA and ICMA tests can clearly differentiate hyperthyroid patients from euthyroid, and whether this test can be used as the first test for hyperthyroidism. More over, to determine the reference range of TSH-IRMA and ICMA which can be used in the Departement of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo hospital / Faculty of Medicine University of Indonesia.
The subjects of this study were 35 patients with hyperthyroidism. They consist of 25 women and 10 men, who were 21-59 (30,2) years old. We took 70 people who were in euthyroid condition, about 15-73 (37) years old as controls. The criteria of diagnosis were based on clinical finding and FT4I test. Subjects and controls were examined for total T4, T3U, TSH-IRMA (DPC) and TSH-ICMA (Amerlite) levels.
Values of the controls were T4 = 4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I = 0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA = 0,25-3,60 (1,3B) mIU/L and TSH-ICMA = 0,54-3,12 (1,34) mIU/L. There was negative correlation between total T4, T3U or FT4I level and TSH-IRMA or TSH-ICMA. There was no difference between TSH level in male and female controls. No correlation was found between age and TSH level. The reference value of TSH-IRMA was 0,39-3,63 mIU/L and TSH-ICMA was 0,49-2,97 mIU/L.
The level of total T4, T3U and FT4I in hyperthyroid were 16,0->24 ng/dL, 30,3-43,7 (38,3)7 and 5,36-7.10,49 respectively. TSH-IRMA and TSH-ICMA value were undetectable in 31(88,5%) persons, and 4 persons have TSH-IRMA level of 0,09; 0,12; 0,16; 0,1B and TSH-ICMA level of 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. TSH﷓IRMA and TSH-ICMA level in hyperthyroid were significantly lower than in euthyroid.
There was a good correlation between TSH-IRMA and TSH-ICMA (r = 0,9922). T5H-ICMA was 6,6% lower than TSH-IRMA. The detection limit of TSH-IRMA was 0,09 mIU/L and TSH-ICMA was 0,04 mIU/L. One TSH-IRMA test was more expensive than one TSH-ICMA test, because TSH-IRMA test must be performed in duplicate. TSH-IRMA and TSH-ICMA assays were analytically and clinically sensitive and specific for diagnosing hyperthyroidism.
In conclusion, TSH-IRMA and TSH-ICMA assays could clearly differentiate hyperthyroid from euthyroid patients, and suitable as screening tests for hyperthyroidism. The detection limit of TSH-ICMA was lower than T5H-IRMA. The reference range of TSH-IRMA was different from TSH-ICMA.
Further study with more subjects is still needed to determine TSH lower limit value for diagnosing hyperthyroidism and a more acceptable reference value. We suggest another study to evaluate TSH values in controlling treatment of hyperthyroidism and thyroid hormones supplementation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Witono Santoso
"ABSTRAK
Talasemia β merupakan penyakit herediter yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan fisik maupun mental. Penyebaran penyakit ini terutama bersifat etnis dan adanya perkawinan antar bangsa menyebabkan angka kejadian semakin tinggi dan merata.
Penemuan penderita talasemia β heterozigot berdasarkan pemeriksaan analisis Hb dinilai mahal dan cukup sulit.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pola kadar HbA2 dan HbF penderita talasemia β heterozigot serta gambaran parameter hematologis penderita talasemia β heterozigot dan talasemia β-HbE; mendapatkan fungsi diskriminasi yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring talasemia β heterozigot serta menilai perubahan kadar HbA2 pada talasemia β heterozigot yang disertai defisiensi besi setelah pengobatan besi selama 3 bulan.
Dari bulan Maret 1988 sampai akhir tahun 1990 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM telah dilakukan pemeriksaan analisis Hb terhadap 740 contoh darah penderita. Sejumlah 31,1% (230/740) didiagnosis sebagai talasemia β heterozigot dan sejumlah 2,2% (16/740) sebagai talasemia β-HbE. Rasio penderita wanita terhadap pria adalah 1,1:1 untuk talasemia β heterozigot dan 1,67:1 untuk talasemia β-HbE. Pola HbA2
normal HbF tinggi merupakan bentuk talasemia β heterozigot yang paling sedikit ditemukan, namun mempunyai gambaran parameter hematologis yang lebih berat dibandingkan pola lainnya.
Kadar Hb pada talasemia β heterozigot berkisar antara 5,8-16,5 g/dl dengan rata-rata 11,63 g/dl dan pada talasemia β-HbE antara 3,2-8,2 g/dl dengan rata-rata 6,10 g/dl. Nilai Ht pada talasemia β heterozigot berkisar antara 20,9-57,1% dengan rata-rata 35,48% dan pada talasemia β-HbE antara 9,4-26,5% dengan rata-rata 19,57%. Terdapat kadar Hb dan nilai Ht yang lebih rendah secara bermakna pada penderita talasemia β heterozigot dibandingkan talasemia bentuk HbA2 tinggi. Demikian juga halnya pada penderita wanita dibandingkan pria.
Hitung eritrosit pada penderita talasemia β heterozigot berkisar antara 2,20-8,27 juta/μl dengan rata-rata 4,67 juta/μl dan pada talasemia p - HbE antara 1,54-4,08 juta/μl dengan rata-rata 3,01 juta/μl. Pada penderita wanita hitung eritrosit lebih rendah dibandingkan penderita pria.
Nilai VER pada penderita talasemia β heterozigot berkisar antara 55-111 fl dengan rata-rata 76,9 fl, sedangkan pada talasemia β-HbE antara 52-80 fl dengan rata-rata 64,7 fl. Nilai HER pada penderita talasemia β heterozigot antara 15,1-33,5 pg dengan rata-rata 25,19 pg dan pada talasemia β-HbE 17,0-23,9 pg dengan rata-rata 20,27 pg. Kedua parameter ini berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.
Hitung trombosit yang meningkat pada talasemia β heterozigot, dan talasemia β-HbE, karena peningkatan eritrosit mikrositik dan poikilosit yang terukur sebagai trombosit. Hitung retikulosit absolut yang meningkat dengan RPI normal menunjukkan terjadinya eritropoisis yang tidak efektif.
Pada 3 penderita talasemia β heterozigot dengan defisiensi besi setelah diobati besi diperoleh peningkatan kadar HbA2 dari rata-rata 2,56% sebelum pengobatan menjadi 4,95% pada akhir pengobatan disertai peningkatan kadar feritin serum.
Fungsi diskriminasi Hb+(4xHER)-(0,5xVER)-83, memberikan sensitifitas 73%, spesifisitas 95% dan efisiensi 76,3%. Fungsi diskriminasi 4,657.(0, lxHb)-SASARAN-MIKR, memberikan sensitifitas 92%, spesifisitas 100% dan efisiensi 95%. Dengan menggunakan gabungan kedua fungsi tersebut diperoleh peningkatan sensitifitas, spesifisitas dan efisiensi sampai 100%.
Kesimpulan penelitian ini adalah Talasemia β heterozigot pola HbA2 tinggi HbF normal merupakan pola paling banyak ditemukan. Talasemia β heterozigot dan talasemia β-HbE mengakibatkan terjadinya perubahan parameter hematologis. Perubahan ini meliputi kadar Hb, nilai Ht, nilai VER & HER, hitung trombosit dan hitung retikulosit absolut serta morfologi eritrosit pada sediaan hapus darah tepi. Pada penderita wanita perubahan parameter ini menjadi semakin nyata.
Kadar HbA2 dipengaruhi oleh anemia defisiensi besi. Dengan demikian pemeriksaan kadar HbA2 pada penderita dengan dugaan adanya anemia defisiensi besi, sebaiknya dilakukan setelah penderita diobati terlebih dahulu.
Fungsi diskriminasi yang terdiri dari parameter hematologis sebagai variabel dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring talasemia β heterozigot. Karena fungsi diskriminasi berbeda antara satu alat dengan alat yang lain, maka dianjurkan mencari fungsi diskriminasi yang sesuai untuk masingmasing alat tersebut.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fuisal Muliono
"Selama kehamilan terjadi perubahan hormonal dan metabolik yang kompleks pada wanita hamil, yang dapat memperlihatkan gambaran klinik klasik mirip hipertiroid, sehingga diagnosis hipertiroid pada masa kehamilan menjadi lebih sulit. Perubahan hasil tes fungsi tiroid pada masa kehamilan lebih mempersulit lagi diagnosis tersebut, sehingga perlu dicari parameter yang relatif tidak dipengaruhi kehamilan. Diharapkan pemeriksaan kadar TSH dapat menggantikan parameter yang dipakai sekarang.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui adakah perbedaan kadar TSH antara wanita hamil dengan wanita tidak hamil dan antara wanita hamil trimester II dengan trimester III. Selain itu untuk mendapatkan nilai rujukan kadar TSH pada wanita hamil.
Dari bulan April sampai September 1990 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI- RSCM telah dilakukan pemeriksaan kadar TSH-IRMA terhadap 30 orang wanita usia subur dan 60 orang wanita hamil trimester II, pemeriksaan diulang kembali pada kehamilan trimester III.
Kadar TSH-IRMA pada 30 orang wanita usia subur berkisar antara 0,4 - 3,1 mIU/l dengan nilai rata- rata 1,2 mIU/l. Kadar TSH-IRMA 60 orang wanita hamil trimester II berkisar antara 0,2 - 3,1 mIU/1 dengan nilai rata- rata 1,26 mIU/l. Nilai rujukan kadar TSH-IRMA wanita hamil trimester II adalah 0,29-3,73 mIU/1. Dan kadar TSH-IRMA pada 52 orang wanita hamil trimester III berkisar antara 0,2 - 3,3 mIU/1 dengan nilai rata- rata 1,17 mIU/l. Nilai rujukan kadar TSH-IRMA wanita hamil trimester III adalah 0,26-3,59mIU/1.
Hasil uji distribusi dari ke 3 kelompok data dengan tes Anderson Darling didapat distribusi log Gaussian.
Uji student's t test untuk membandingkan antara wanita usia subur sebagai kontrol dengan wanita hamil trimester II didapat kadar TSH-IRMA ke 2 kelompok tidak berbeda bermakna ( p=O,6955 ). Juga antara kontrol dengan trimester III dan antara trimester II dengan trimester III dengan p=0,7333 dan p=0,297.
Uji korelasi antara trimester II dan trimester III dengan Pearson's r product moment correlation didapat adanya korelasi antara ke 2 kelompok dengan r=0,5783 dan persamaan garis regresi y = 0,6251x± O,38O3.
Kesimpulan penelitian ini adalah kadar TSH wanita usia subur yang tidak hamil tidak berbeda dengan kadar TSH wanita hamil trimester II dan trimester III. Juga tidak terdapat perbedaan antara kadar TSH wanita hamil trimester II dengan trimester III.
Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subjek yang lebih banyak termasuk wanita hamil trimester I untuk mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat.
Juga disarankan melakukan penelitian kadar TSH pada wanita hamil yang menderita hipo/ hipertiroid.

During pregnancy, there are hormonal and metabolic changes, which can mimic the classical picture of hyperthyroid, so diagnosis of hyperthyroid during pregnancy is difficult. The changes of thyroid function test results make the diagnosis even more difficult. It is necessary to find a parameter which is relatively not influence by pregnancy.
The aims of this study are to evaluate the differences of TSH level between pregnant women with non pregnant women and between pregnant women trimester II with trimester III. Beside these, to get the reference range of TSH level in pregnant women.
From April to September 1990 in Department of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo Hospital/ University of Indonesia, 30 women in child bearing period and 60 pregnant women trimester II had been evaluated their TSH-IRMA level, this test had been repeated in pregnancy trimester III.
TSH-IRMA level in 30 women was between 0,4-3,1 mIU/1 (mean : 1,2 mIU/1). In 60 pregnant women trimester II TSH level was between 0,2 - 3,1 mIU/l (mean 1,28 mIU/1). The reference range was between 0,29 - 3,73 mIU/1. In 52 women trimester III TSH-IRMA level was between 0,2 - 3,3 mIU/1 (mean : 1,17 mIU/1). The reference range was between 0,28 - 3,59 mIU/l.
The data of these 3 groups with Anderson Darling's test were found to be log Gaussian distribution.
TSH-IRHA level of pregnant women trimester II and trimester Ill were not significantly different from control. (p = 0,6955 and p = 0,7333). Also between trimester II and trimester III with p = 0, 297.
There is a correlation between trimester II and trimester III' with r = 0,5783 and regression line Y = 0,6251X ± 0,3803.
In conclusions, TSH level in non pregnant woman, did not differ to pregnant women trimester II and trimester III. There was no difference between TSH level trimester II; and trimester III.
We suggest to make the same evaluation with more subject included pregnant women in trimester I for getting more acceptable reference range.
Also we suggest to evaluate TSH level in pregnant women who suffer hypo/ hyperthyroidism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Maani
"DIC ialah suatu keadaan yang timbul karena terjadinya pembekuan di dalam pembuluh darah secara luas, yang menghasilkan deposit fibrin di dalam mikrosirkulasi sehingga mengakibatkan skernik dan kerusakan organ. DIC bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi merupakan komplikasi dan berbagai penyakit atau keadaan yang dapat mencetuskan pernbekuan darah. Pada DIC akut manifestasi kiinis yang paling sering dijumpai adalah perdarahan mulai dari yang ringan sampai berat, sehingga memerlukan penanganan yang cepat dan tepat. Untuk dapat menangani DIC dengan baik seorang klinikus perlu memahami patofisiologi DIC serta mengenali kelainan laboratorium yang sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. DIC terjadi karena adanya aktivasi sistem pembekuan darah baik melalui jalur intrinsik, ekstrinsik atau langsung ke F X, protrombin atau fibrinogen. Proses pembekuan darah akan diikuti dengan proses fibrinolisis sehingga aktivitas trombin dan plasmin meningkat. Pada DIC akut terjadi keadaan dekompensasi karena kecepatan produksi trombosit dan faktor-faktor pembekuan tidak dapat mengimbangi konsumsi yang meningkat sehingga akan ditemui penurunan jumlah trombosit dan kadar fibrinogen, pemanjangan TT, PT dan APTT, DP terutama fragmen D dimer positif seta tes parakoagulasi positif. Pada DIC kronis biasanya terjadi keadaan terkompensasi atau overkompensasi sehingga hasil pemeriksaan laboratorium bervariasi, dapat sedikit menurun, normal atau meningkat. Diagnosis DIC ditegakkan berdasarkan keaadaan klinis dan kelainan laboratorium. Prinsip pengobatan DIC adalah memperbaiki keadaan umum,
mengobati atau menghilangkan penyakit dasar. Bila perlu diberikan trombosit dan faktor pembekuan hepanin dan antifibrinolitik.
Dalam, makalah ini dikemukakan lima kasus DIC pada penderita DHF derajat III dan IV dengan berbagai tingkat perdarahan dan petekia sampai hematemesis-melena. Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis dan laboratori Kelainan laboratorium jelas menunjukkan penurunan Jumlah trombosit dan kadar fibrinogen, Pemanjangan PT, APTT dan TT serta fragmen D dimer positif di dalam darah. Pada sediaan hapus ditemukan sel burr dan limfosit atipik pada sebagian besar kasus. Dan kelima kasus, dua meninggal kemungkinan karena perdarah yang tidak dapat diatasi.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Priyana
"Permasalahan
Jumlah penduduk di kota kota besar di Indonesia khususnya di Jakarta meningkat dengan pesat dari tahun ke tahun. Kepadatan lalu lintas yang meningkat cenderung meningkatkan angka kecelakaan lalu lintas. Akibatnya kebutuhan akan darah transfusi juga turut meningkat. Hal tersebut terbukti dari meningkatnya jumlah permintaan akan darah transfusi baik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) maupun di Palang Merah Indonesia (PMI). Selain untuk mengatasi perdarahan akibat kecelakaan lalu lintas, banyak keadaan lain yang memerlukan darah seperti perdarahan pada persalinan dan operasi. Pada beberapa penyakit hanya diperlukan bagian tertentu dari darah, oleh karena itu dilakukan usaha pemisahan darah menjadi komponen-komponen darah seperti konsentrat sel darah merah, konsentrat trombosit, konsentrat leukosit dan plasma. Dengan memisahkan darah menjadi komponen-komponen darah, maka pemakaian darah dapat lebih efisien, karena 1 kantung darah donor dapat digunakan oleh beberapa penderita sesuai dengan kebutuhan.
Di Indonesia darah untuk transfusi disediakan dan diproses oleh Lembaga Transfusi Darah Palang Merah Indonesia DKI Jakarta (LTD PMI DKI Jakarta). Darah tersebut berasal dari para donor sukarela yang dengan ikhlas menyumbangkan darahnya demi kemanusiaan. Untuk memenuhi permintaan darah yang makin meningkat, LTD PMI berusaha meningkatkan jumlah produksinya dengan meningkatkan jumlah donor darah (tabel 1 dan 2).
Agar dapat melayani permintaan darah setiap waktu, LTD harus mempunyai persediaan darah yang disimpan. Darah simpan ini diperlukan pada saat kebutuhan meningkat, pada saat jumlah donor menurun seperti pada bulan puasa dan untuk memenuhi permintaan akan golongan darah yang langka.
Walaupun LTD PMI DKI Jakarta telah berhasil meningkatkan jumlah produksinya untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat, tetapi kualitas produk PMI belum pernah diteliti. Padahal seperti pada pengobatan lain, keberhasilan pemberian darah atau komponennya tidak hanya tergantung pada kuantitasnya saja tetapi juga dari kualitasnya (1,2,3)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T5396
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soetardhio
"ABSTRAK
Perdarahan merupakan salah satu penyulit dan penyebab kematian yang sering dijumpai pada penderita gagal ginjal akut maupun kronik. Angka kematian yang disebabkan karena perdarahan pada penderita gagal ginjal sekitar 10 %.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis gangguan hemostasis pada penderita gagal ginjal terminal sehingga usaha untuk mengatasinya lebih terarah. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh hemodialisis terhadap gangguan hemostasis tersebut.
Penelitian dilakukan terhadap 30 penderita gagal ginjal terminal yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam Subdivisi Ginjal dan Hipertensi FKUI-RSCM Jakarta, yang terdiri dari 21 pria dan 9 wanita, berusia antara 33 sampai 62 tahun. Kelompok kontrol terdiri atas 30 orang sehat yang tidak termasuk kriteria tolakan.
Pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian ini ialah masa perdarahan, hitung trombosit, masa protrombin plasma, masa tromboplastin parsial teraktivasi, masa trombin, EDP, PF3 dan agregasi trombosit terhadap ADP 10uH, 5uM dan luM. Pengambilan bahan penelitian untuk penderita ialah sesaat sebelum dilakukan hemodialisis dan segera sesudah hemodialisis, untuk kontrol, pengambilan bahan penelitian segera setelah memenuhi kriteria.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan yang bermakna antara kelompok GGX sebelum HD dengan kelompok kontrol dijumpai pada masa perdarahan, hitung trombosit faktor trombosit 3, MT dan FDP, sedangkan MP, MTPT dan agregasi trombosit tidak berbeda bermakna. Karena rata-rata hitung trombosit pada kelompok GGK masih dalam batas normal, maka disimpulkan penyebab masa perdarahan yang memanjang adalah gangguan fungsi trombosit yaitu aktivitas faktor trombosit 3, MT yang memanjang mungkin disebabkan fungsi atau kadar fibrinogen yang menurun atau mungkin karena adanya inhibitor.
Dari penelitian ini ternyata efek HD tidak terlihat pada masa perdarahan maupun hitung trombosit, sedangkan terhadap tes koagulasi dan faktor trombosit 3 efek HD adalah memperburuk, mungkin ini karena efek heparin.
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai gangguan hemostasis pada gagal ginjal terminal, untuk mengetahui penyebab MT memanjang, perlu diperiksa fibrinogen baik kadar, fungsi maupun adanya inhibitor. FDP dilanjutkan dengan D. diner. Faktor von Willebrand dan adhesi trombosit untuk mengetahui fungsi trombosit.
Efek heparin sebaiknya dinetralkan dengan menambah protamin sebelum pengambilan sample sesudah HD.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indika Pitono
"Permasalahan
Bagian Patologi Klinik FKUI merupakan bagian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan identik dengan Instalasi Laboratorium Klinik RSCM (ILK) yang secara organisatoris merupakan bagian dari Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM). RSCM merupakan Rumah Sakit Rujukan (RS tipe A) dengan kapasitas 1440 tempat tidur dan 13 poliklinik. ILK berfungsi menunjang klinisi dalam menangani penderita rawat jalan maupun rawat nginap. Dalam menjalankan fungsinya ILK melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap bahan penderita baik yang dikirim dari ruangan atau yang diambil di tempat pengambilan sampel yang terdapat di ILK.
ILK sendiri terdiri dari beberapa seksi yaitu seksi Kimia, seksi Hematologi, seksi lmunologi, seksi Bakteriologi dan Seksi Pendidikan. Seksi Pendidikan lebih banyak melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan pendidikan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jumlah pemeriksaan yang dilakukan ILK kurang lebih 200 jenis pemeriksaan. Jumlah sampel yang diperiksa berasal dari kurang lebih 200 - 300 penderita setiap hari. Pemeriksaan terhadap jumlah sampel yang relatip banyak dengan berbagai macam pemeriksaan, dilaksanakan secara saling terkait oleh 99 karyawan.
Sebagai bagian dari Rumah Sakit Rujukan, ILK dituntut menjalankan fungsinya sebaik-baiknya, yang berarti mampu mendapatkan hasil pemeriksaan yang tepat, akurat, selesai dalam waktu sesingkat-singkat mungkin dan sampai kembali ke tangan klinisi dalam waktu sesingkat mungkin pula. Untuk mencapai tujuan tersebut berbagai macam upaya telah dilakukan seperti meningkatkan mutu maupun jumlah petugas, menerapkan metoda baru yang lebih tepat, menjalankan sistem pemantapan mutu baik interna maupun eksterna, melakukan otomatisasi dengan menggunakan automated-analyzer serta usaha usaha memperbaiki sistem administrasi.
Dengan adanya otomatisasi, pemeriksaan sampel yang relatip banyak dapat dilakukan dalam waktu yang relatip singkat, akan tetapi pencatatan serta distribusi hasil masih dilakukan secara manual. Hal ini berakibat bahwa hasil pemeriksaan yang selesai dalam waktu yang relatip singkat tersebut, masih belum sampai ke tangan klinisi dalam waktu yang relatip singkat pula. Selain itu beban ILK yang besar menyebabkan berbagai macam laporan yang dibuat oleh ILK dapat diselesaikan dalam waktu yang relatip lama serta kurang akurat. Penggunaan sistim informasi diharapkan dapat mempercepat administrasi hasil pemeriksaan serta memperbaiki pelaporan yang ada sampai saat ini.
1. 2. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah merencanakan sistem informasi berbasis jaringan di ILK dan memberi gambaran bagaimana sistem informasi dapat membantu ILK dalam menjalankan fungsinya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T5363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Karmali Ruslim
"Maraton adalah salah satu jenis olah raga aerobik, sehingga sangat memerlukan hantaran oksigen yang baik di otot yang sedang aktif bekerja. Untuk ini diperlukan kadar dan fungsi hemoglobin yang normal, serta adanya perubahan fisiologis dari jantung, paru, pembuluh darah dan otot, untuk dapat bekerja lebih baik. Walaupun demikian, berbagai peneliti melaporkan adanya perubahan hemodinamik yang kurang menguntungkan, seperti misalnya hemokonsentrasi, hemolisis intravaskuler, perdarahan saluran kemih dan perdarahan saluran cerna. Perubahan hemodinamik ini dapat mempengaruhi prestasi atlit.
Oleh karena kadar dan fungsi hemoglobin yang normal sangat dibutuhkan dalam olah raga maraton, maka atlit dengan kelainan hemoglobinopati menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data frekuensi Hbpati pada atlit maraton Indonesia, serta untuk mengetahui pengaruhnya pada perubahan hemodinamik yang dialami atlit maraton Indonesia setelah perlombaan maraton.
Peserta penelitian adalah 35 orang atlit maraton pria yang mengikuti prokiamaton pada tanggal 5 Agustus 1990 di Jakarta. Dari 35 orang ini, yang bersedia untuk meneruskan penelitian sampai selesai berjumlah 17 orang, sedang sisanya 21 orang hanya bersedia untuk diambil bahan pemeriksaan 1x saja, yaitu 1 hari sebelum perlombaan berlangsung.
Didapatkan 17 (48,6%) dari 35 atlit mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 3,6-7,3% dengan 5 orang diantaranya disertai peningkatan kadar HbF berkisar antara 1,02-1,27%. Kelompok ini didiagnosis sebagai talasemia R heterozigot. Empat dari 35 atlit (11,4%) mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 27,20-30,60%. Elektroforesis Hb dengan dapar pH alkali dan asam menunjukkan bahwa ke 4 atlit ini adalah penderita HbE heterozigot. Atlit dengan hasil elektroforesis Hb, kadar HbA2 dan HbF normal, berjumlah 14 orang (40,0%).
Dari 17 orang atlit yang bersedia mengikuti penelitian sampai selesai, 8 atlit (47,1%) didiagnosis sebagai talasemia A heterozigot, 2 atlit (11,7%) sebagai HbE heterozigot dan 7 atlit (41,2%) adalah normal.
Bila dibandingkan hasil pemeriksaan berbagai parameter antara kelompok atlit normal, talasemia dan HbE, maka pada umumnya tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, kecuali pada kadar Hb plasma dan kadar haptoglobin. Kadar Hb plasma atlit kelompok talasemia dan HbE lebih tinggi dibanding atlit kelompok normal. Kadar haptoglobin atlit kelompok talasemia dan HbE lebih rendah dibanding atlit kelompok normal.
Perubahan hemodinamik yang dapat ditemukan pada 17 atlit yang bersedia melanjutkan penelitian sampai selesai adalah hemokonsentrasi dengan penurunan volume plasma rata rata sebesar 5,44%; hemolisis intravaskuler dengan berbagai derajad pada 16 dari 17 atilt (94,12%), dan hematuria pada 3 dari 17 atlit (17,65%). Hemoglobinuria dijumpai pada 5 dari 17 atlit (29,41%). Proteinuria +1-+4 terdapat pada 14 dari 17 atlit (82,30%). Peningkatan jumlah leukosit dalam urin.
Bila ke 17 atlit tersebut dipisahkan menjadi kelompok atlit normal dan talasemia, maka hemokonsentrasi pada kelompok atlit normal sebesar 2,5%, dan hemokonsentrasi pada kelompok atlit talasemia sebesar 9,1%. Tidak terdapat perbedaan hemolisis intravaskuler yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Iskemia ginjal pada kelompok atlit talasemia lebih berat dibanding pada kelompok atlit normal. Prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit normal lebih baik secara bermakna dibanding prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit talasemia.
Tiga hari setelah perlombaan maraton, didapatkan perubahan hemodinamik berupa hemodilusi dengan peningkatan volume plasma rata rata sebesar 3,2%, dibanding keadaan sebelum perlombaan. Hemodilusi pada kelompok atlit normal sebesar 2,7% dan hemodilusi pada kelompok atlit talasemia sebesar 3,2%. Tidak dijumpai lagi hemolisis intravaskuler dan perdarahan saluran kemih serta tanda iskemia ginjal lainnya. Radar haptoglobin dan jumlah eritrosit mulai meningkat, tetapi belum mencapai kadar seperti sebelum perlombaan berlangsung.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Winardi
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library