Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Charles
"Latar Belakang: Enterokolitis nekrotikans (EKN) adalah penyakit peradangan berat pada dinding usus menyebabkan cedera dan nekrosis usus. Foto polos abdomen (FPA) serial masih dianggap sebagai standar diagnosis dan evaluasi penyakit ini, namun pemeriksaan ini tidak akurat dan sering terlambat dalam pelaksanaannya serta mengakibatkan neonatus sangat prematur terpapar dengan radiasi. Karenanya diperlukan alat diagnostik yang lebih aman, non-invasif mudah pelaksanaannya dan akurat. Dua dekade terakhir pemeriksaan ultrasonografi abdomen (USGA) semakin berkembang dan memperlihatkan hasil yang baik dalam diagnosis EKN, akan tetapi penggunaan modalitas ini di Indonesia dan khususnya di RSCM masih belum banyak dilakukan.
Tujuan: Mendapatkan akurasi gambaran ultrasonografi abdomen (USGA) dibandingkan dengan foto polos abdomen (FPA) dalam menegakkan diagnosis EKN pada bayi sangat prematur tersangka EKN.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong lintang ini dilakukan pada 40 neonatus sangat prematur berusia antara 28-32 minggu yang dirawat di RSCM Jakarta pada bulan November sampai Desember 2023. Pada Neonatus sangat prematur tersangka EKN yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pemeriksaan USGA dan FPA. Kedua hasil pemeriksaan dibandingkan menggunakan tabel kontigensi 2x2. Didapatkan sensitivitas 83% dan spesifisitas 43%. Hasil nilai prediksi positif 38% dan nilai prediksi negatif 86%, dan rasio kemungkinan positif (LR+) 1,45 dan rasio kemungkinan negatif (LR-)  0,39.
Kesimpulan: Ultrasonografi abdomen lebih akurat untuk penapisan (screening) menengakkan diagnosis EKN pada Neonatus sangat prematur dibandingkan foto polos abdomen.

Background: Necrotizing enterocolitis (NEC) is a condition characterized by severe inflammation of the intestinal wall leading to intestinal injury and necrosis. Plain abdominal radiography has long served as the standard for the diagnosis and evaluation of NEC despite its low diagnostic accuracy, impracticality, and the risk this modality poses from exposing neonates to ionizing radiation. Therefore, a safer, non-invasive, easy-to-implement, and more accurate diagnostic tool is necessary for diagnosing NEC. Over the past two decades, knowledge about abdominal ultrasound has developed greatly and has been shown to be an excellent modality in diagnosing NEC. However, in Indonesia this modality is still not widely used for diagnosing NEC, especially at Cipto Mangunkusomo National Public Hospital (RSCM) Jakarta.
Objective: This study aimed to assess the accuracy of abdominal ultrasonography in diagnosing NEC compared to plain abdominal radiography in very premature neonates suspected of NEC.
Methods: A cross-sectional diagnostic test study was conducted on 40 very premature neonates aged between 28-32 weeks, who were treated at RSCM Jakarta from November to December 2023. Neonates suspected of NEC who met the inclusion and exclusion criteria underwent both abdominal ultrasound and plain abdominal radiography. The findings from these two examinations were compared using a 2x2 contingency table to establish the sensitivity and specificity. A sensitivity of 83% and a specificity of 43% were found for abdominal ultrasound. The study also found a positive predictive value (PPV) of 38%, a negative predictive value (NPV) of 86%, a positive likelihood ratio (LR+) of 1.45, and a negative likelihood ratio (LR-) of 0.39.
Conclusion: Abdominal ultrasonography was found to be a more accurate for screening  NEC in very premature neonates compared to plain abdominal radiography.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naela Fadhila
"Latar Belakang: Gambaran malposisi ujung pipa endotrakeal seringkali ditemukan pada pembacaan foto toraks konvensional bayi, terutama bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR). Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat hingga saat ini belum ada rumus kedalaman pipa endotrakeal yang diperuntukkan pada kelompok tersebut. Usia gestasi, berat badan, dan panjang badan bayi merupakan parameter pertumbuhan yang seringkali dipertimbangkan dalam menentukan perkiraan kedalaman pipa endotrakeal. Hingga saat ini belum ada studi yang mengevaluasi masalah malposisi pipa endotrakeal pada BBLASR di Indonesia serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian malposisi ujung pipa endotrakeal dan faktor yang memengaruhi ketepatan ujung pipa endotrakeal pada BBLASR.
Metode: Penelitian potong lintang pada BBLASR yang dirawat di Unit Neonatologi FKUI-RSCM pada Januari-Desember 2023, yaitu bayi yang dilakukan prosedur intubasi kemudian dilakukan pemeriksaan foto toraks konvensional untuk mengkonfirmasi ketepatan ujung pipa endotrakeal. Faktor risiko yang dinilai adalah usia gestasi, berat badan, dan panjang badan.
Hasil: Terdapat 42 subyek yang ikut serta dalam penelitian ini dengan proporsi jenis kelamin yang merata, rerata usia gestasi 28 (SD 3) minggu, median usia saat intubasi 0 hari, rerata berat badan 814 (SD = 109) gram, dan rerata panjang badan 32,7 (SD = 3,4) cm. Terdapat 31 subyek dengan ujung pipa terlalu dalam, tidak ada subyek dengan ujung pipa menggantung, dan terdapat 11 subyek dengan ujung pipa endotrakeal yang tepat. Rerata kedalaman pipa endotrakeal yang tepat pada semua subyek adalah 6,4 (SD 0,6) cm. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap ketepatan ujung pipa endotrakeal adalah berat badan dengan perbedaan rerata kelompok ujung pipa endotrakeal tepat dibanding malposisi adalah 85 (IK 95% 11 – 159) gram, p=0,02.
Kesimpulan: Kejadian malposisi ujung pipa endotrakeal pada BBLASR di penelitian ini adalah 73,8%, dengan kondisi letak ujung pipa endotrakeal terlalu dalam pada semua subyek dengan malposisi. Hanya berat badan yang memengaruhi ketepatan ujung pipa endotrakeal secara statistik.

Background: Endotracheal tube (ETT) malposition frequently occurs in neonates with extremely low birth weight. Currently, no established formula exists for estimating the ideal depth of ETT insertion in this specific group. Commonly, gestational age, weight, and body length are utilized as growth parameters to determine the estimated depth of the endotracheal tube. Notably, there is a lack of studies addressing the issue of ETT malposition in extremely low birth weight infants in Indonesia and the associated influencing factors.
Objective: To determine the proportions and identify factors influencing the endotracheal tube tip position in extremely low birth weight neonates.
Method: Cross-sectional research was carried out at the Neonatology Unit of the Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. The study involved retrieving data on gestational age, body weight, body length, and appropriate endotracheal tube length from the medical records and chest X-rays of extremely low birth weight neonates born between January and December 2023.
Results: In this study, 42 subjects participated, demonstrating an equal gender distribution, a mean gestational age of 28 (SD 3) weeks, a median age at intubation of 0 days, an average weight of 814 (SD = 109) grams, and an average body length of 32,7 (SD = 3,4) cm. Among them, 31 subjects had the tube tip positioned too deep, none had too shallow ETT tip, and 11 had the right position. The mean depth of the appropriate ETT in all subjects was 6,4 (SD 0,6) cm. Body weight emerged as a significant risk factor influencing the accuracy of the endotracheal tube tip, with a mean difference of 85 grams (95% CI 11 – 159) between the correct and malposition groups, p=0.02.
Conclusion: The incidence of ETT malposition in this study was 73,8%, with the tip found to be excessively deep in all subjects with malposition. Only body weight statistically influenced the accuracy of the endotracheal tube tip.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library