Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endang Sri Roostini Hardjolukito
"ABSTRAK
Sifat "hormone dependent" sebagian karsinoma .payudara telah lama dikenal; dan adanya reseptor hormon dalam sel karsinoma dihubungkan dengan sifat tersebut. Dari penelitian terdahulu terbukti bahwa penderita karsinoma payudara dengan reseptor estrogen (RE) positif 60% menunjukkan respons yang baik terhadap terapi hormonal, sedangkan dengan reseptor estrogen negatif keberhasilan terapi hanya mencapai 10%. Bila status reseptor tidak dibedakan, keberhasilan terapi hormonal hanya sampai 30%. Di samping itu " disease free interval" lebih lama pada tumor dengan reseptor positif. Status reseptor pada tumor primer juga berperan dalam menentukan respons terapi hormonal pada rekurensi/metastasis pada hart kemudian.
Teknik yang lazim dan banyak digunakan selama ini adalah pengukuran kuantitatif secara biokimia. Teknik ini pada prinsipnya menera reaktivitas reseptor terhadap molekul estrogen yang diberi label radioaktif pada ekstrak jaringan tumor. Kemudian dikembangkan teknik sitokimia/imunositokimia, baik dengan fluoresensi maupun peroksidase, yang dapat memeriksa reseptor langsung pada tingkat seluler. Pada teknik ini tidak dijumpai berbagai keterbatasan yang terdapat pada teknik biokimia, antara lain dapat diterapkan pada jaringan yang kecil (biopsi), visualisasi sel dapat dilakukan sehingga dapat mernbedakan positivitas pada sel tumor dan non tumor, dan sebaran positivitas pada sitoplasma atau inti dapat dinilai.
Kedua jenis teknik penetapan RE terbukti memberi kesesuaian hasil yang cukup besar, baik dalam hal positivitasnya maupun hubungannya dengan respons terhadap terapi hormonal.
Berbagai penelitian dengan teknik biokimia telah membuktikan adanya kaitan antara positivitas RE dengan berbagai aspek kliniko-patologik karsinoma payudara. Positivitas RE lebih banyak ditemukan pada tumor dengan diferensiasi baik, usia tua dan keadaan pasca menopause.
Namun demikian, dengan teknik yang sama, didapatkan kontroversi karena kaitan dengan derajat diferensiasi tidak selalu ditemukan. Di samping itu poly positivitas RE cukup bervariasi pada berbagai jenis histologik karsinoma payudara. Selama ini kaitan antara positivitas RE dengan berbagai aspek kliniko-patologik yang diperiksa dengan teknik imunositokimia belum banyak dilakukan.
Pada penelitian ini akan dilaporkan hasil penelitian yang bertujuan menilai kaitan antara positivitas RE dengan derajat diferensiasi tumor, jenis histologik dan status paid, yang diperiksa dengan teknik imunoperoksidase. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah informasi yang lebih terinci pada tingkat seluler mengenai positivitas RE pada karsinoma payudara serta kaitannya dengan berbagai aspek yang diteliti."
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soegiharto Soebijanto
"ABSTRAK
Program Keluarga Berencana Nasional mencanangkan sebuah tema Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKTBS), dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat. Salah satu nilai kualitas hidup sebuah keluarga adalah keutuhan keluarga tersebut. Sebuah keluarga yang lengkap terdiri atas ayah, ibu dan anak. Kegagalan mempunyai anak pada pasangan suami istri (infertilitas) akan menyebabkan rasa sedih yang dalam, merintangi pencapaian naluri alamiah, membuat perasaan bersalah dan bahkan dapat menyebabkan perceraian. Jadi infertilitas dalam suatu keluarga merupakan masalah yang harus mendapat penanganan yang sebaik-baiknya.
Penduduk Indonesia kurang lebih sebesar 175.300.000 jiwa, dengan jumlah pasangan usia subur 29.976.000. Sumapraja pada penelitiannya menemukan bahwa angka kejadian infertilitas di Indonesia kurang lebih 11%, sedangkan angka kejadian infertilitas di luar negeri antara 10 sampai 15 %. Ini berarti di Indonesia terdapat 3 sampai 4,5 juta pasangan yang memerlukan pertolongan untuk mendapatkan keturunan.
Persentase p enyeb ab infertilitas pasangan suami istri ialah: (1) faktor wanita 45%; (2) faktor pria 40%; dan (3) infertilitas idiopatik (tidak terjelaskan) sebesar 15%. Limapuluh persen dari infertilitas karena faktor wanita, disebabkan kelainan tuba. Falloppii. Dahulu kasus dengan sumbatan kedua tuba Falloppii tidak ada kemungkinan penanganan lain, kecuali dengan operasi rekonstruksi dengan teknik bedah mikro. Teknik tersebut mempunyai persentase keberhasilan antara 30 sampai 60%. Jadi masih ada sekitar 40 sampai 70% kasus yang belum ada penanganannya.
Akhir-akhir ini penanganan wanita infertil dengan sumbatan kedua tuba Falloppii yang gagal dengan operasi rekonstruksi ialah dengan program fertilisasi in vitro (FlV). Akan tetapi tingkat keberhasilan kehamilan tertinggi yang dicapai program Fill di dunia saat ini baru mencapai sekitar 20%. Hal ini masih dikurangi dengan jumlah kehamilan yang mengalami abortus mencapai 20-30%. Sehingga basil akhir (take home baby) dari program F1V kurang lebih 20%. Selain itu biaya pelaksanaan teknik ini cukup tinggi, disertai prosedur pelaksanaan yang rumit. Berdasarkan kekurangan-kekurangan tersebut di atas perlu dipikirkan efisiensi penerapan program FIV. Hal ini dicapai dengan mencari indikasi lain dan menerapkannya pada kasus yang tepat. Artinya program FIV tidak dilaksanakan pada kasus yang tidak memerlukan, dan pada kasus yang keberhasilannya diduga nihil.
Saat ini belum ada kejelasan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan dugaan keberhasilan program FN (predicting factors). Salah satu syarat untuk mencapai keberhasilan program tersebut ialah jumlah embrio yang ditandurkan (replacement) ke dalam rongga uterus tidak kurang dari 3 buah. Penyebab kegagalan program FN diantaranya ialah kurangnya embrio yang ditandurkan. Hal ini dapat disebabkan gagalnya fertilisasi in vitro atau jumlah oosit yang kurang. Tingkat keberhasilan fertilisasi in. vitro terbaik saat ini (fertilisasi di cawan petri) ialah antara 70 sampai 80%. Jadi walaupun spermatozoa dan oosit ditempatkan di dalam cawan petri seluas 1 Cm3 masih terdapat 20 sampai 30% yang gagal fertilisasi. Deegan demikian perlu dicari faktor-faktor penyebab tidak tercapainya jumlah 3 buah embrio yang akan ditandur-alihkan tersebut.
Dalam upaya untuk lebih memanfaatkan program FN telah dicoba menerapkannya pada kasus-kasus infertil yang bukan disebabkan oleh sumbatan tuba Falloppii, yang selama ini masih sulit untuk ditangani. Ternyata di antara kasus-kasus tersebut ada yang hamil, walaupun frekuensinya masih sangat kecil. Kasus-kasus tersebut antara lain ialah infertilitas dengan endometriosis pelvik istri, perlekatan genitalia interna istri, oligozoospermia dan infertilitas idiopatik.
Mengenai kasus infertilitas dengan endometriosis, Moeloek pada penelitiannya menemukan 32,1% kasus. Susukan (implant) endometriosis tersebut ditemukan 41,4% di peritoneum, 24,2% di ovarium, dan 34,4% pada lebih dari 1 organ. Ditemukan pula bahwa 83,8% mengidap endometriosis derajat sedang sampai berat (pembagian derajat menurut AFS = American Fertility Society). Dalam hubungannya dengan harapan kehamilan, pada penderita endometriosis pelvik, secara optimal kehamilan akan dicapai dalam tahun pertama pasca pengobatan. Kemudian harapan itu terns menurun pada tahun kedua dan seterusnya. Bilamana pengobatan hormonal gagal, atau kehamilan tidak diperoleh dalam tahun pertama setelah dinyatakan sembuh, kasus seperti ini perlu ditangani dengan program FIV.
Selain itu Moeloek juga menemukan 35,5% dari kasus penelitiannya mengalami perlekatan genitalia interna dan 68,8% di antaranya menderita perlekatan dengan derajat sedang sampai berat. Pada perlekatan genitalia interna yang melibatkan ovarium berakibat volume ovarium berkurang, sehingga jumlah folikel primer berkurang pula. Selain itu aliran darah ke ovarium juga berkurang sehingga perkembangan folikel sering terganggu. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya jumlah folikel dan oosit yang akan berkembang sehingga hasil fertilisasi yang akan diperoleh berkurang jumlahnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
D322
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairil Hamdani, supervisor
"Morbiditas kanker payudara kerap menempati peringkat pertama atau kedua di antara kanker pada wanita di berbagai negara. Taksiran morbiditas kanker payudara di seluruh dunia tahun 2000 lebih kurang satu juta wanita. Morbiditas di negara-negara Asia, yang semula disangka rendah, mulai mendekati pola Eropa dan Amerika. Mortalitas total kanker payudara menetap, belum menunjukkan penurunan nyata Taksiran mortalitas tahun 2000 di seluruh dunia lebih kurang 400.000.
Morbiditas kanker payudara berdasarkan data 13 senter patologi di Indonesia tahun 1992 menempati peringkat kedua di antara kanker pada wanita, dengan Age Standardized Cancer Ratio 17,01 (jumlah seluruh kanker pada wanita tahun 1992 ialah 13673). Kanker payudara pada wanita di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 1998 sebanyak 107 kasus (frekuensi relatif 15,4%). Registrasi berdasarkan populasi di Semarang (1985-1989) menunjukkan rerata Age Standardized Incidence Rate setiap tahun 18,69/100.000 populasi. Perkembangan mutakhir menunjukkan pergeseran pemecahan masalah kanker payudara. Di ufuk cakrawala, terbit upaya pengendalian kelompok risiko. Penemuan kelompok risiko tinggi, antara lain ialah penentuan wanita yang menerima penurunan rnutasi gen alur benih, dan penetapan lesi prakanker sebagai sasaran kemoprevensi.
Kebijakan umum dewasa ini ialah skrining/deteksi dini untuk menurunkan mortalitas. Deteksi dini dilaksanakan dengan program Sadari (periksa payudara sendiri) dan skrining mamografi. Pelaksanaan skrining mamografi dengan sasaran populasi wanita berisiko membutuhkan biaya, peralatan dan sumber daya manusia profesional. Cakupan diperluas dengan pemanfatan biopsi jarum halus sebagai sarana deteksi dini.
Pemeriksaan sitologik berpotensi mengurangi kelambatan penanganan. Pada unit "klinik tumor payudara", beranggotakan dokter spesialis bedah, dokter spesialis radiologi dan dokter spesialis patologi, peran bersama menghasilkan tridiagnosis sebagai diagnosis penentu prabedah. Sasaran terbaik ialah kanker minimal, berupa lesi payudara yang tak teraba. Beberapa penulis mulai mengupas peran sitologi untuk mendeteksi lesi prakanker.
Diagnosis sitologik, yang bertumpu pada evaluasi gambaran morfologik sel, pada umumnya menunjukkan ketepatan tinggi. Sakaguru evaluasi sitomorfologik ialah perubahan nukleus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D21
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Widowati Soebaryo
"ABSTRAK
TUJUAN (1) Menentukan peningkatan risiko terjadinya DK-T pada individu dengan DA-K; (2) Menetapkan gejala Minis DA-K tertentu yang berperan pada perkembangan DA-K menjadi DK-T dan dipengaruhi oleh faktor imunogenetik HLA kelas I; (3) Menetapkan efek imunitas selular disertai dengan peningkatan kadar IgE yang mempengaruhi perkembangan DA-K menjadi DK-T; (4) Menetapkan jenis HLA kelas I tertentu yang menentukan peningkatan derajat risiko terjadinya DK-T; (5) Menentukan derajat sakit DK-T pada individu dengan DA-K sebagai akibat pajanan oleh deterjen.
TEMPAT PENELITIAN Berbagai lokasi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo; Makmal Terpadu RSCM-FKUI; Labotratorium Transplantasi Makmal Terpadu RSCM-FKUI.
SUBJEK PENELITIAN Pekerja kebersihan lantai (PKL)
RANCANGAN PENELITIAN Merupakan penelitian analitik dengan (A) membandingkan pengaruh faktor intrinsik yang terdiri atas faktor individu, faktor imunogenetis, dan faktor imunologis pada responden dengan (DA-K(+)) terhadap responden (DA-K(-)) yang terpajan deterjen untuk terjadinya DK-T. Desain yang diterapkan ialah studi kasus kontrol; (B) melakukan pengamatan selama 5 bulan terhadap sejumlah responden (yang bekerja kurang dari 2 bulan) terhadap perkembangan patogenesis DA-K menjadi DK-T akibat pajanan dengan deterjen. Desain yang diterapkan ialah studi longitudinal prospektif (terbatas).
HASIL Diantara 220 PKL yang memenuhi syarat, sebanyak 136 menderita DK-T. (1)
Pada lingkup gejala klinis didapatkan DA-K merupakan faktor risiko intrinsik terjadinya DK-T, peningkatan skor DA-K diikuti oleh peningkatan skor DK-T dengan korelasi cenderung linear. Ditemukannya riwayat atopi pada diri maupun keluarga berupa asma bronkial dan rinitis alergik merupakan faktor proteksi untuk terjadinya DK-T, sedangkan adanya riwayat dermatitis atopik meningkatkan risiko terjadinya DK-T. Keratosis pilaris, hiperlinearitas palmaris, dan xerosis merupakan gejala Minis primer DA-K yang meningkatkan risiko terjadinya DK-T. (2) Pada lingkup faktor imunologis didapatkan peningkatan kadar IgE dalam serum pada kadar yang lebih rendah sebagai akibat pajanan dengan antigen lingkungan pada kelompok kasus. Sel Th CD3+CD4+ dan rasio sel Th : Ts (CD3+CD4+ CD3+CD8+), serta sel NK (CDI6+CD56+) berperan pada derajat sakit DK-T. Se! MC (CD 16+CD56+) teraktivasi oleh sitokin yang dikeluarkan keratinosit sebagai akibat kerusakan sawar kulit oleh deterjen, (3) Pada lingkup faktor imunogenetis didapatkan temuan HLA-B15 lebih banyak pada kontrol dengan nilai p < 0.05 dan RR < 1; terlihat kecenderungan bersifat protektif dengan fraksi etiologik sebesar 60 %. HLAB53 didapatkan pada derajat sakit berat sehingga diperkirakan merupakan petanda untuk derajat sakit berat pada DK-T.
(4) Lingkup faktor risiko ekstrinsik mendapatkan waktu pajanan ? 2jam/hari meningkatkan risiko terjadinya DK-T. Perbedaan derajat sakit DK-T lebih terlihat pada pH < 10, dan peningkatan pH menaikkan risiko terjadinya DK-T. (5) Analisis studi diagnostik menggunakan uji McNemar menunjukkan xerosis merupakan prediksi Minis terjadinya DK-T dengan sensitivitas 40 % dan spesifisitas 70 %, dan HLA-B15 berperan sebagai faktor proteksi. (6) Pengamatan longitudinal prospektif terbatas yang dilaksanakan selama 5 bulan terhadap responden baru yang bekerja < 2 bulan menemukan bahwa seluruh responden menderita DK-T pada akhir pengamatan. Responden DA-K(+) mempunyai kecendrungan menderita DK-T lebih awal dibandingkan dengan responden DA-K(-).
KESIMPULAN (I) Sesuai dengan peningkatan skor atopi yang diikuti dengan peningkatan skor DK-T, maka dapat disimpulkan bahwa DA-K merupakan risiko intrinsik untuk terjadinya DK-T (2) beberapa gejala klinis primer meningkatkan risiko terjadinya DK-T, terutama riwayat pemah menderita dermatitis atopik pada diri atau keluarga dan ditemukannya xerosis kutis karena xerosis akan menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga mempermudah masuknya bahan iritan ke dalam kulit (3) sel Th CD4+, rasio sel Th : Ts (CD3+CD4+ 1 CD3+CD8+), dan sel NK (CD16+CD56+) meningkatkan risiko terjadinya DK-T derajat berat. Kerusakan sawar kulit akan mengaktifkan sel NK(CD16+CD56+) sebagai respons terhadap sitokin yang diproduksi akibat kerusakan keratinosit (4) HLA-B15 merupakan faktor proteksi untuk terjadinya DK-T dan HLA-B53 cenderung merupakan petanda untuk menderita DK-T berat (5) xerosis kutis dapat berperan sebagai prediktor Minis untuk terjadinya DK-T pada individu dengan DA-K (6) pajanan deterjen bersifat basa yang terjadi ? 2 jam/hari dalam waktu 5 bulan menyebabkan DK-T pada seluruh responden yang bekerja tanpa alat pelindung dengan kecenderungan menderita DK-T lebih awal pada responden DA-K(+) dibandinglcan dengan responden DA-K(-).

ABSTRACT
TITLE Clinical prediction of hand dermatitis in person with atopic skin diathesis
PURPOSE To identify the role of intrinsic and extrinsic risk factors of the pathogenesis of hand dermatitis
SETTING Several different parts of Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Makmal and Tranplantation Laboratory, Faculty of Medicine of the University of Indonesia, Jakarta.
STUDY SUBJECTS Cleaning service workers
METHODS An analytical study comprises of two parts have been conducted as follows : (1) Case-control study to identify the role of intrinsic and extrinsic risk factors in the pathogenesis of hand dermatitis (2) Limited longitudinal (prospective) study was performed among workers who have done the work less than 2 month, to find out the immunopathogenesis of hand dermatitis in persons with atopic skin diathesis.
The clinical sign of atopic skin diathesis consisted of the history of atopic diseases in oneself or history in the family, pityriasis alba, Dennie-Morgan line, Hertoghe sign, kheilitis, keratosis pilaris, food intolerance, palmar hyperlinearity, white dermographism, xerosis, and reduce itch threshold were evaluated to found out the clinical risk factors.
Immunological factors such as IgE in the blood was examined by Micro particle Enzyme Immunoassay (META) and cellular immunity by flow-cytometry was preformed at the Makmal Laboratory, Faculty of Medicine of the University of Indonesia, Jakarta. Immunogenetic factors such as HLA type I was examined by microlymphocytotoxicity at the Makmal Transplantation Laboratory, Medical Faculty of the University of Indonesia, Jakarta. Statistical analysis was performed mostly with the chi-square method.
RESULTS Two hundred twenty out of 241 cleaning service workers were involved in this study. Ninety four out of 136 who suffered from hand dermatitis were recruited as the case and 84 workers who were normal (without hand dermatitis) served as the control group. (1) Atopic skin diathesis was proved as an intrinsic risk factor for hand dermatitis in the case-control study conducted. Keratosis pilaris, kheilitis, hiperkeratosis palmaris, and xerosis were found significantly as the intrinsic risk factors for hand dermatitis by using the multivariate analysis. (2) Statistical analysis of the immunological factors stated that T lymphocyte CD3+ and Natural Killer cell were proven to be the immunological risk factors for hand dermatitis. Keratinosit, after exposed to irritant, produced and released different kinds of cytokine, - included epidermal derived natural killer cell activating factor, which could activate Natural Killer cells. Increasing value of the blood IgE was observed with the mean value higher in the case group than in the control group (by using the one-sided t test) with the p value < 0.05 after the logarithmic transformation. (3) Statistical analysis of the immunogenetic factor revealed HLA-B 15 was found higher in the control group than in the case group with p value 0.022 assuming a protective factor (OR < 1) for hand dermatitis with a high (60%) etiologic fraction.
(4) Exposure time ? 2 hours/day was statistically significant as an extrinsic risk factor for hand dermatitis. Low pH (< 10) clearly showed the difference between the severe and the mild form of hand dermatitis. (5) Longitudinal study with 5 month observation period consisted of 18 cleaning service workers entering the job less than 2 month, resulted in hand dermatitis for all workers by the end of the observation period. (6) Xerosis cutis could be considered as the clinical predictor for hand dermatitis in person suffering from atopic skin diathesis.
CONCLUSION: (1) Atopic skin diathesis was found to be an intrinsic risk factor for hand dermatitis (2) Kheilitis, keratosis pilaris, hiperlinearis palmans, and xerosis were clinical risk factors for hand dermatitis (3) T cell CD3+ and NK cell CD16+CD56+ were the immunological risk factors for hand dermatitis (4) the immunogenetic risk factors showed that HLA-B 15 was considered having a protective role and HLA-B53 was considered as the sign of the severe from of hand dermatitis (5) Xerosis cutis could be considered as the clinical predictor for hand dermatitis in person suffering from atopic skin diathesis (6) longitudinal prospective study revealed that all the newly-working workers (less then 2 month starting the work) by the end of 5 month observation period suffered from hand dermatitis with the tendency that hand dermatitis appeared earlier in person with atopic skin diathesis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D382
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I. G. N. Wila Wirya
"ABSTRAK
1. Gejala Kinis dan kelainan patologi anatomis penderita sindrom nefrotik dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab dan disebut idiopatik atau primer apabila penyebabnya belum diketahui.
Istilah 'lipoid nephrosis' mulai digunakan oleh Munk pada tahun 1913 untuk menjelaskan keadaan sejumlah penderita dengan edema proteinuria berat, hipoproteinemia dan hiperlipidemia. Pemeriksaan mikroskop cahaya pada jaringan ginjal penderita menghasilkan glomerulus tanpa kelainan, namun terlihat kelainan pada tubulus proksimal dengan titik-titik lemak di dalam selnya yang dianggap bersifat 'degeneratif'.
Pada observasi selanjutnya ternyata bahwa gejala-gejala yang sama dapat juga terjadi pada penderita dengan berbagai penyakit sistemik termasuk lupus eritematosus sistemik, diabetes mellitus dan amiloidosis. Gejala-gejala klinis ini timbul sebagai akibat adanya proteinuria yang berat apapun penyebabnya, oleh karena itu sebagai pengganti istilah ?liphoid nephrosis' disepakati untuk memakai istilah sindrom nefrotik (Epstein, 1917).
Umumnya sindrom nefrotik dibagi atas 2 golongan besar, yaitu yang primer atau idiopatik dan sekunder. Sindrom nefrotik primer penyebabnya belum diketahui dengan pasti, sedangkan yang sekunder ditimbulkan oleh berbagai penyakit utamanya, misalnya diabetes mellitus, malaria lain-lain.
Menurut Schlesinger dkk. (1966) frekuensi sindrom nefrotik di negara Barat adalah 2 per tahun per 100.000 orang anak di bawah umur 16 tahun. Sindrom nefrotik Kelainan Minimal (KM) merupakan kelainan terbanyak pada anak, yaitu 76,4% menurut ISKDC (international Study of Kidney Disease in Children, 1978), 52,2% pada sari Habib dan Kleinknecht (1971), dan 64,3% pada seri yang dilaporkan oleh White dkk. (1970).
Kasus yang dikumpulkan penulis pada penelitian ini merupakan penderita yang tidak selektif, datang sendiri, belum pernah diobati diterima dari berbagai rumah sakit maupun sejawat di Jakarta. Penderita yang telah diobati sebelumnya tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini.
Selanjutnya penulis akan membandingkan hasil penelitian sendiri dengan ISKDC oleh karena hasil penelitian badan ini juga mencerminkan penelitian penderita sindrom nefrotik yang prospektif, tidak selektif, belum diobati dan diterima dari berbagai pusat penelitian di dunia (10 negara di Eropa. Amerika Utara, Israel, dan Jepang).
Sebelum tahun 1970 di Indonesia belum ada laporan mengenai penderita sindrom nefrotik anak di dalam kepustakaan. Demikian juga mengenai pengobatan terhadap penderita-penderita ini belum mengikuti saran yang dianjurkan oleh ISKDC (1967), sehingga hasilnya tidak dapat dibandingkan atau dinilai dengan hasil laporan dari luar negeri.
Selama 10 tahun (1970-1979) pengamatan penulis pada para penderita sindrom nefrotik primer pada anak yang berobat ke Bagian IKA FKUI/RSCM di Jakarta, banyak yang menunjukkan kelainan tidak khas. Banyak di antara mereka disertai gejala hematuria, hipertensi serta kadar ureum darah atau kreatinin serum yang meninggi. Pada sindrom nefrotik murni kelainan-kelainan tersebut umumnya tidak ditemukan. Berdasarkan observasi tersebut di atas penulis beranggapan bahwa kasus-kasus yang ditemukan itu merupakan kasus sindrom nefrotik yang termasuk golongan bukan kelainan minimal (BKM)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
D423
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Aisah Boediardja
"LATAR BELAKANG MASALAH
(1) Prurigo Hebra (PH) merupakan penyakit kulit yang kronis, sehingga dapat mengganggu aktivitas dan estetika. Saat ini PH termasuk dalam 10 besar penyakit kulit yang sering dijumpai di Indonesia. Diagnosisnya mudah ditegakkan, namun sulit diobati karena etiologi dan mekanisme terjadinya penyakit belum seluruhnya diketahui. Selama ini pengobatan hanya bersifat simtomatik, dan tidak memuaskan. Berbagai penelitian telah dilakukan terutama ditujulcan terhadap faktor ekstrinsik, misalnya higiene, status gizi, serta hipersensitivitas gigitan nyamuk, sedangkan faktor intrinsik belum banyak diteiiti. Kekerapan munculnya penyakit di dalam keluarga menimbulkan dugaan penyakit ini diturunkan secara genetik, tetapi belum jelas apakah mengikuti pola gen tunggal atau pola multifaktor. (2) Salah satu faktor genetik yang berkaitan dengan hipersensitivitas adalah faktor imunogenetik HLA, mungkin berperan dalam mekanisme terjadinya penyakit dart mempengaruhi manifestasinya. (3) Perkembangan Iesi kulit mungkin bergantung pada inflamasi nonspesifik dan spesifik.
IDENTIFIKASI MASALAH Uraian di atas menunjukkan kesenjangan patogenesis yang berkaitan dengan faktor intrinsik di antaranya poly penurunan genetic, faktor imunogenetik HLA tertentu, reaksi imunopatologik di kulit pasien prurigo Hebra.
TUJUAN (1) Membuktikan apakah pola penurunan genetik pasien prurigo Hebra mengikuti poly penurunan gen tunggal yaitu resesif autosom (RA) dan dominan autosom (DA) atau multifaktor. (2) Membuktikan hubungan antara HLA tertentu dengan prurigo Hebra, dan menentukan HLA tertentu yang mempunyai pengaruh pada perkembangan penyakit. (3) Menilai perbedaan derajat sebukan sel inflamasi nonspesifik dari spesifik berkaitan dengan respons hipersensitivitas tipe I dari IV pada perkembangan lesi awal dan Iasi lanjut prurigo Hebra."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D82
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadio Ali Khazatsin
"Latar belakang: Metilasi dari gen promoter O6-methylguanine-DNA methyltransferase (MGMT) adalah salah satu faktor yang berperan pada karsinogenesis dan berkembang menjadi marker dalam menilai progresivisitas dan respons terapi astrositoma.
Tujuan: Untuk mendapatkan gambaran frekuensi status metilasi gen promoter MGMT pada pasien astrositoma menggunakan methylation specific polymerase chain reaction (MS-PCR) dan methylation specific high resolution melting (MS-HRM).
Metode: Dilakukan pengumpulan data klinis, imajing dan blok parafin jaringan astrositoma di RSCM dalam kurun waktu 2008-2012. Status metilasi gen promoter MGMT dianalisis menggunakan MS-PCR dan MS-HRM serta dihubungkan dengan berbagai faktor prognostik klinis. Penelitian ini adalah penelitian potong-lintang.
Hasil: Didapatkan 13 sampel yang terdiri dari 7 astrositoma derajat rendah dan 6 astrositoma derajat tinggi. Metilasi gen promoter MGMT didapatkan pada 1/13 sampel astrositoma dengan MS-PCR dan 4/13 sampel dengan MS-HRM yang seluruhnya adalah astrositoma derajat rendah. Terdapat perbedaan yang bermakna antara status metilasi gen promoter MGMT dengan derajat keganasan astrositoma yaitu astrositoma derajat rendah 4/7 sampel, tanpa ditemukan pada astrositoma derajat tinggi (p=0.049) sedangkan faktor lain seperti usia, jenis kelamin, karnofsky performance scale (KPS), lokasi astrositoma dan derajat WHO tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p= 1,000; p= 0,657; p= 0,354; p= 0,538).
Simpulan: Penelitian saat ini menunjukkan frekuensi status metilasi gen promoter MGMT pada astrositoma sedikit berbeda dengan berbagai penelitian lain sebelumnya yaitu hipermetilasi hanya terjadi pada astrositoma derajat rendah. Penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia yang melaporkan gambaran status metilasi gen promoter MGMT pada pasien astrositoma.

Background: Astrocytoma is the most common primary central nervous system tumor with difficult management as it requires a combination of surgery, chemotherapy and radiotherapy. This multimodal approach increases patients survival rate significantly, however chemotherapy resistance is now commonly seen. One of the potential causes of chemotherapy resistance is the epigenetic factors from O6 methylguanine-DNAmethyltransferase (MGMT) gene. MGMT gene has role in DNA repair and also have a protective effect against exyogen and endogeneous alkylating agent. The methylation of MGMT gene promoter leads to the decrease of MGMT protein, attenuating its function. Therefore, the methylation status of MGMT gene promoter can act as an indicator for astrocytomas progresivity and treatment aggressiveness.
Objective: To determine the frequency of MGMT gene promoter methylation among patients with astrocytomas using methylation specific polymerase chain reaction (MS-PCR) and methylation sensitive high resolution melting (MS-HRM).
Methods: Clinical data, imaging and parafin blocks from astrocytoma patients were collected in RSCM from 2008-2012. The methylation status of MGMT gene promoter was confirmed using MS-PCR and MS-HRM. This is cross-sectional study.
Results: The total of 13 samples collected including 7 low-grade and 6 high-grade astrocytomas. The MGMT gene promoter was methylated in 1/13 cases using MS-PCR and 4/13 cases using MS-HRM. All methylated cases were low-grade astrocytoma. There was significant association between methylation status of MGMT gene promoter with degree of malignancy which is 4/7 samples hypermethylated in low-grade with no hypermethylation in high-grade astrocytomas (p=0.049). While other factors like age, sex, KPS and astrocytomas location have no significant association (p= 1,000; p= 0,657; p= 0,354; p= 0,538).
Conclusions: The present study showed difference of methylation of MGMT gene promoter in astrocytomas with others studies which is hypermethylated MGMT only found in low grade astrocytomas. Our study was the first to report the frequency of MGMT promoter methylation among Indonesian astrocytoma patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library