Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Belinda Thania Deslanthy
"Dermatitis seboroik adalah inflamasi kronik dan superfisial yang bertempatpredileksi di area kulit dengan kandungan sebum yang banyak. Sampai saat ini,berbagai penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui etiologi dan faktor yangmempengaruhi terjadinya dermatitis seboroik. Salah satu etiologi yang sering dikaitkan dengan kejadian dermatitis seboroik adalah kelenjar sebum. Produksi kelenjar sebum yang berlebih mempunyai kaitan dengan dermatitis seboroik. Pada penderita obesitas, aktivasi kelenjar sebasea akan mengalami peningkatan sehinggaterjadi produksi sebum yang berlebih. Sebum yang berlebihan tersebut dapat dicerna oleh jamur Malassezia spp pada kulit kepala sehingga menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang dapat merusak lapisan kulit, terjadi hiperproliferasi, dan kembali meningkatkan sekresi sebum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara indeks massa tubuh dengan skor keparahan dermatitis seboroik dikepala pada pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode potong lintang. Sejumlah 87 orang pasien DS yang memenuhi kriteria inklusi dantelah diseleksi dengan kriteria eksklusi dimasukan menjadi sampel penelitian dengan metode consecutive sampling. Pada pasien tersebut dilakukan pengukuran IMT dan pengukuran derajat keparahan dermatitis seboroik menggunakan Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI.
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan nilai median IMT pada pasien DS sebesar 24,24 16,65 ndash; 41,09 dan nilai median skor keparahan dermatitis sebesar 2,25 0,25-21. Melalui uji korelasi Spearmann, tidak didapatkan korelasi antara IMT dengan keparahandermatitis seboroik p = 0,545, r= -0.066.

Seborrheic dermatitis SD is a chronic and superficial inflammation that havepredilection area in high sebum containing skin. Nowadays, several studies hadbeen conducted to ascertain etiology and factors associatied with seborrheicdermatitis. One of the etiology is activity of sebum gland. The excessice sebumproduction may impact occurency of SD. In obesity patients, excessive sebumproduction occur due to increasing activities of sebaceous glands. In scalp,Malassezia spp will digest sebum, thereby producing unsaturated fatty acid. Thisunsaturated fatty acid can impair skin barrier, trigger hyperproliferation, and evenincrease sebum production.
This study was aimed to determine the correlation between Body Mass Index and Seborrheic Dermatitis Severity Scoring Index in Seborrheic Dermatitis Patient's Scalp at Dermato Venereology Outpatient Policlinic dr Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
This was cross sectional study. A total of 87 SD patients who met the inclusion criteria and selection using exclution criteria were recruited by consecutive sampling. Body mass index was measured in all patient. Severity of SD was measured using Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI. From 87 patients, the median of IMT was 24.24 16.65 41.09 and median of severity SD was 2.25 0.25 21.
The result from Spearmann correlation test showed that IMT has no correlation with scoring of SDseverity in scalp at Dermato Venereology outpatient policlinic dr Cipto Mangunkusumo Hospital p 0.545, r 0.066.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifda Hanun Shalihah
"Latar belakang: Selulitis merupakan infeksi kulit oleh bakteri atau pioderma yang relatif umum terjadi. Angka kejadian selulitis adalah 24,6 per 1000 penduduk per tahun dengan insiden lebih tinggi pada orang berusia 45-65 tahun, di mana selain usia paruh baya, selulitis juga sering terjadi pada lansia. Selain peningkatan usia, jenis kelamin dan diabetes melitus juga dapat meningkatkan risiko selulitis. Tujuan penelitian ini teranalisisnya hubungan antara usia, jenis kelamin, diabetes mellitus dan selulitis pada pasien rawat inap dan rawat jalan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Meskipun telah ada penelitian yang meneliti hubungan antara faktor risiko selulitis dan selulitis di negara lain, jumlah penelitian mengenai hubungan tersebut masih terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang meneliti hubungan antara usia, jenis kelamin dan diabetes mellitus dengan kejadian selulitis. Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan total 131 subyek. Data yang digunakan merupakan data sekunder berupa rekam medis pasien. Hasil: Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dan kejadian selulitis (p-value = 0,044), namun tidak ada hubungan antara kejadian selulitis dan jenis kelamin (p-value = 0,433). Selain itu, ada hubungan antara diabetes mellitus dengan kejadian selulitis (p-value = 0,035). Kesimpulan: Penelitian ini menegaskan bahwa ada hubungan antara usia dan diabetes mellitus dengan kejadian selulitis.

Introduction: Cellulitis is a relatively common bacterial skin infection or pyoderma. The incidence of cellulitis is 24.6 per 1000 population per year with a higher incidence in people aged 45-65 years, where apart from middle age, cellulitis also often occurs in the elderly. In addition to increasing age, gender and diabetes mellitus may also increase the risk of cellulitis. The purpose of this study is to analyze the relationship between age, gender, diabetes mellitus and cellulitis in inpatients and outpatients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Although there have been studies examining the relationship between risk factors for cellulitis and cellulitis in other countries, the number of studies regarding this relationship is still limited. Therefore, further research is needed to examine the relationship between age, gender and diabetes mellitus with the incidence of cellulitis. Methods: A cross-sectional study was conducted with a total of 131 subjects. The data used is secondary data in the form of patient medical records. Results: Our result shows that there is a relationship between age and the incidence of cellulitis (p-value = 0.044), but there is no relationship between the incidence of cellulitis and gender (p-value = 0.433). In addition, there is a relationship between diabetes mellitus and the incidence of cellulitis (p-value = 0.035). Conclusion: This study confirms that there is a relationship between age and diabetes mellitus with the incidence of cellulitis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Huda Marlina Wati
"ABSTRAK
Pendahuluan. Pendidikan dokter saat ini menekankan keterampilan mahasiswa dalam kerja tim dengan menerapkan berbagai metode pengajaran yang berbasis tim. Sistem pendidikan saat ini yang lebih berfokus pada keberhasilan individu berpotensi menghasilkan individu yang individual, kompetitif dan enggan bekerja dengan orang lain. Kepuasan kerja tim merupakan salah satu indikator yang menunjukkan sikap dan persepsi mahasiswa terhaadap kerja tim. Dari studi pendahuluan di Program Studi Kedokteran Universitas Abdurrab, terdapat berbagai keluhan yang disampaikna dosen terkait dengan sikap mahasiswa terhadap kerja tim saat pembelajaran dalam kelompok kecil. Perlu dieksplorasi lebih dalam mengenai kepuasan mahasiswa terhadap kerja tim. Metode: penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologi. Penelitian dilakukan dengan melakukan survei untuk mengklasifikasikan mahasiswa berdasarkan tingkat kepuasan terhadap kerja tim dan menjadi acuan untuk menentukan partisipan Focus Group Discussion FGD . Selain itu juga dilakukan wawancara pada staf dosen dan studi dokumen sebagai bentuk triangulasi. Hasil: Nilai kepuasan mahasiswa terhadap kerja tim adalah 3,85-3,93 dalam skala 1-5 . Hasil FGD mahasiswa dan wawancara dosen menemukan beberapa faktor individu, faktor organisasi, faktor outcome yang mempengaruhi kepuasan kerja tim mahasiswa. Faktor individu meliputi aspek pengetahuan pengetahuan mengenai karakteristik rekan satu tim, pengetahuan spesifik terkait tugas dan pengetahuan mengenai model pengerjaan tugas , aspek sikap motivas, orientasi kerja, mutual trust, komitmen terhadap kerja tim, komitmen terhadap waktu, sikap proaktif, menghargai rekan lain dan karakteristik pembelajar dewasa , aspek keterampilan koordinasi, kekompakan, membina hubungan, manajemen konflik, merespon sikap negatif, peer assisted dan kepemimpinan . Diskusi: Meskipun mahasiswa lebih menyukai kerja tim dibandingkan kerja individu, namun proses kerja tim yang dijalani belum sepenuhnya menyenangkan. Ada beberapa faktor penghambat, baik yang muncul dari dalam tim sendiri nternal maupun karena pengaruh dari luar tim eksternal .

ABSTRACT
Introduction Nowadays medical education emphasize on teamwork 39 s skills of students by applying various small group based learning methods. Education system sthat focused on indivdual success, tend to produce competitive indivdual whose reluctant to work on a team and unwilling to work with other people. Teamwork satisfaction is frequently use as indicator to measure students perception and attitude towards teamwork. Pre research study in Abdurrab University of Medical Education Study Program shows that various complaints come from lecturers about students 39 attitude towards teamwork at small group learning activity. This situation needs deep explorations about teamwork satisfation on undergraduate medical students. Methods This research using qualitative methods with phenomenology design. Research begin with survey towards four batch undergraduate students about teamwork satisfaction to classified students based on satisfaction rate and to determine participan of facus group discussion FGD . Further information collected by FGD towards student, interview towards lecturers and documentary study to completed triangulation form of this study. Results Mean value of teamwork satisfaction is 3,85 3,93. Implying that overall students feel satisfied towards teamwork. From the FGD and interview results, there are individual factors, organizational factors and outcome factors that affecting students satisfaction towards teamwork. Individual factors include knowledge, attitude and skills. Knowledge factors include team partner characteristic, specific knowledge about assignment and knowledge about assignment work model. Attitude factors include motivation, work orientation, mutual trust, teamwork commitment, proactive attitude, respect for other partners and adult learning characteristics. Skills factors include coordination, cohesion, relationship building, conflict management, negative attitude respon, peer assisted and leadership. Discussion Although students prefer teamwork to individual, teamwork process is not fully enjoyable. There are several factors inhibit the process, which are factors that comes from within the team internal and from outside of the tim external ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58861
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sammy Yahya
"Latar belakang dan tujuan: Akne vulgaris AV merupakan inflamasi kronik pada unit pilosebasea. Beberapa penelitian telah meneliti kadar 25-hydroxyvitamin D [25 OH D] serum pada pasien AV dengan hasil bervariasi, namun umumnya rendah. Kadar vitamin D diduga terpengaruh oleh pajanan sinar matahari, letak geografis, ras/tipe kulit, dan asupan makanan, sehingga mungkin temuan di Indonesia akan berbeda daripada penelitian terdahulu di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25 OH D serum dan hubungan dengan derajat keparahan, lesi inflamasi, noninflamasi, dan total lesi AV.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 30 subjek penelitian SP, direkrut secara consecutive sampling, terbagi rata ke dalam kelompok AV ringan AVR, AV sedang AVS, dan AV berat AVB berdasarkan klasifikasi Lehmann. Faktor risiko AV yang berkaitan dengan vitamin D pajanan sinar matahari, penggunaan tabir surya, suplementasi, jumlah lesi, dan kadar 25 OH D serum dinilai pada seluruh SP.
Hasil : Median kadar 25 OH D serum pada kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 16,3 9,1- 17,8 ng/mL, 12,7 9,6-15,6 ng/mL, dan 9,35 4,9-10,9 ng/mL Median pada kelompok AVR dan AVS lebih tinggi dibandingkan AVB.

Background and objective: Acne vulgaris AV is chronic inflammation of pilosebaceous units. Several studies have investigated the levels of serum 25 hydroxyvitamin D 25 OH D in AV patients with varying outcomes, but mostly decreased. Vitamin D levels are thought to be affected by sun exposure, geographical location, race skin type, and food intake, that research in Indonesia may yield different results. This study aimed to determine the level of serum 25 OH D and its association with the severity and the number of inflammatory, noninflammatory, and total AV lesions.
Methods: This cross sectional study included 30 patients. Subjects were recruited by consecutive sampling, grouped equally into mild, moderate, and severe AV based on Lehmann's classification. The risk factors for inadequate vitamin D such as sun exposures, sunscreen, and suplements, the number of lesions, and serum 25 OH D levels were assessed on all subjects.
Results: The median concentrations of serum 25 OH D in the three groups were respectively 16.3 9.1 17.8 ng mL, 12.7 9.6 15.6 ng mL, and 9.35 4.9 10.9 ng mL p.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suryanti
"Latar belakang: Interprofessional education (IPE) merupakan strategi yang digunakan untuk menyiapkan tim kolaborasi interprofesional di masa mendatang. Namun dengan adanya berbagai pembatasan interaksi sosial di masa pandemi COVID-19 mendorong adanya inovasi dalam metode pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang sebuah modul pembelajaran interprofesional daring di Fakultas Kedokteran Universitas Batam (FK UNIBA) sebagai strategi untuk mempersiapkan tim kolaborasi di masa yang akan datang.
Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed-method untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran kebutuhan pemangku kepentingan terhadap rancangan pembelajaran IPE daring. Responden terdiri dari pimpinan PRODI, dosen dan mahasiswa beberapa PRODI di Fakultas Kedokteran Universitas Batam (FK UNIBA). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur dan focus group discussion (FGD). Data direkam dan dibuat verbatim, selanjutnya dilakukan coding dan disusun menjadi tema dan subtema. Evaluasi terhadap rancangan pengajaran IPE daring dilakukan dengan mengukur persepsi mahasiswa terhadap pendidikan interprofesional sebelum dan sesudah mengikuti modul menggunakan kuesioner IEPS (Interdisciplinary Education Perception Scale)
Hasil: Penelitian kualitatif (wawancara terstruktur dan FGD) terhadap unsur pimpinan, 2 orang dosen, dan 5 orang mahasiswa setiap program studi menghasilkan sebanyak 14 tema dan 47 subtema yang dijabarkan ke dalam capaian pembelajaran modul, topik kajian, aktivitas pembelajaran, dan karakteristik peserta didik modul IPE daring. Evaluasi modul dilakukan dengan menguji perbedaan persepsi 252 mahasiswa terhadap pendidikan interprofesional pra dan pascamodul. Hasil uji bivariat Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan bermakna skor persepsi terhadap pendidikan inteprofesional pascamodul dibandingkan pramodul( p=0,00). Terdapat perbedaan bersifat positif, yaitu adanya jumlah perolehan skor pascamodul yang lebih tinggi daripada perolehan skor pra modul sebanyak 141 orang. Peningkatan skor persepsi juga terlihat dari hasil analisis bivariat Prodi Kedokteran, Keperawatan, Kebidanan, dan Psikologi.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi modul IPE daring FK UNIBA telah berhasil meningkatkan persepsi mahasiswa terhadap kompetensi dan otonomi, kebutuhan yang dirasakan untuk bekerjasama, dan persepsi mengenai bekerjasama interprofesional. Terobosan ini merupakan sebuah solusi alternatif yang dapat dipertimbangkan bagi pembelajaran interprofesional di masa pandemi.
Latar belakang: Interprofessional education (IPE) merupakan strategi yang digunakan untuk menyiapkan tim kolaborasi interprofesional di masa mendatang. Namun dengan adanya berbagai pembatasan interaksi sosial di masa pandemi COVID-19 mendorong adanya inovasi dalam metode pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang sebuah modul pembelajaran interprofesional daring di Fakultas Kedokteran Universitas Batam (FK UNIBA) sebagai strategi untuk mempersiapkan tim kolaborasi di masa yang akan datang.
Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed-method untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran kebutuhan pemangku kepentingan terhadap rancangan pembelajaran IPE daring. Responden terdiri dari pimpinan PRODI, dosen dan mahasiswa beberapa PRODI di Fakultas Kedokteran Universitas Batam (FK UNIBA). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur dan focus group discussion (FGD). Data direkam dan dibuat verbatim, selanjutnya dilakukan coding dan disusun menjadi tema dan subtema. Evaluasi terhadap rancangan pengajaran IPE daring dilakukan dengan mengukur persepsi mahasiswa terhadap pendidikan interprofesional sebelum dan sesudah mengikuti modul menggunakan kuesioner IEPS (Interdisciplinary Education Perception Scale)
Hasil: Penelitian kualitatif (wawancara terstruktur dan FGD) terhadap unsur pimpinan, 2 orang dosen, dan 5 orang mahasiswa setiap program studi menghasilkan sebanyak 14 tema dan 47 subtema yang dijabarkan ke dalam capaian pembelajaran modul, topik kajian, aktivitas pembelajaran, dan karakteristik peserta didik modul IPE daring. Evaluasi modul dilakukan dengan menguji perbedaan persepsi 252 mahasiswa terhadap pendidikan interprofesional pra dan pascamodul. Hasil uji bivariat Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan bermakna skor persepsi terhadap pendidikan inteprofesional pascamodul dibandingkan pramodul( p=0,00). Terdapat perbedaan bersifat positif, yaitu adanya jumlah perolehan skor pascamodul yang lebih tinggi daripada perolehan skor pra modul sebanyak 141 orang. Peningkatan skor persepsi juga terlihat dari hasil analisis bivariat Prodi Kedokteran, Keperawatan, Kebidanan, dan Psikologi.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi modul IPE daring FK UNIBA telah berhasil meningkatkan persepsi mahasiswa terhadap kompetensi dan otonomi, kebutuhan yang dirasakan untuk bekerjasama, dan persepsi mengenai bekerjasama interprofesional. Terobosan ini merupakan sebuah solusi alternatif yang dapat dipertimbangkan bagi pembelajaran interprofesional di masa pandemi.

Introduction: Interprofessional education (IPE) is an approach used to prepare future interprofessional collaboration teams. However, restrictions of social interaction during the COVID-19 pandemic has driven innovation in learning strategies. Therefore, this study is aimed at designing an online interprofessional learning module at the Faculty of Medicine, University of Batam (FK UNIBA) as a strategy to prepare collaborative teams in the future.
Method: This study utilised a mixed-method approach. Semi-structured interview and focus group discussions were used to explore the needs of stakeholders (dean, 2 teachers, and 5 students from each study program) regarding online IPE instructional design. Evaluation of the online IPE instructional design was carried out by measuring 252 students' perceptions towards interprofessionalism before and after completing the module by using Interdisciplinary Education Perception Scale, Indonesia version.
Result: The first phase of qualitative research resulted in 14 themes and 47 sub-themes which were translated into learning outcomes, study topics, learning activities, and student characteristics of online IPE modules. The second phase of quantitative research was carried out by examining the differences in 252 students' perceptions of pre- and post-module. The results of the Wilcoxon bivariate test showed that there was a significant difference in perception scores for post-module compared to pre-module (p<0,05). There is a positive improvement, in which 141 students had higher post-module scores compared to those of the pre-module. The increase in perception scores was also seen from the results of the bivariate analysis of all study programmes.
Conclusion: This study shows that the implementation of the online IPE module has succeeded in increasing students' perceptions of competence and autonomy, the perceived need to cooperate, and the perception of interprofessional collaboration. This innovative learning strategy can be considered for interprofessional learning during a pandemic.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Ainur Pamungkas
"Pendahuluan : Pembelajaran tahap klinis merupakkan pembelajaran berbasis work-placed based. Pada tahap ini peserta didik belajar secara langsung mempraktikan keilmuan yang dimiliki dan mengembangkan karakter seorang dokter melalui panduan pengajar klinis. Peserta didik memiliki kemampuan untuk menilai dan meniru karakter yang dimiliki oleh pengajar klinis. Peserta didik memiliki kecenderungan untuk mudah mencerna perilaku negatif dibandingkan perilaku positif. Karakter pengajar klinis menjadi penting dalam pembelajaran berbasis role model. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi karakteristik pengajar klinis pada pendidikan dokter di Indonesia. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan responden penelitian dilakukan dengan menggunakan maximum variation sampling pada kelompok pengelola prodi, peserta didik dan pengajar di tahap pembelajaran klinis. Penelitian dilakukan di empat institusi fakultas kedokteran di Indonesia (UNIBA, UKI, UNPATTI dan UI). Analisis konten dilakukan pada Focus Group Discussions (FGD) dan In Depth Interviews (IDI). Hasil : Sebanyak 32 peserta didik yang berpartisipasi dalam empat FGD dan delapan pengajar klinis dan pengelola prodi yang berpartisipasi dalam IDI untuk menjabarkan karakter ideal pengajar klinis di Indonesia. Terdapat 504 pendapat yang teridentifikasi dan dikelompokan kedalam 38 tema karakteristik. Sikap menghargai menjadi karakter yang sangat diharapkan dimiliki pengajar klinis diikuti sifat terbuka dan mampu memberikan umpan balik konstruktif. Terdapat empat buah karakter khusus yang hanya dimiliki pengajar klinis di Indonesia yakni kemampuan berbagi pengalaman, mengajarkan prinsip dasar kedokteran, pribadi religius dan disiplin. Sebagian contoh yang diberikan peserta didik berupa aspek negatif dari pengajar klinis. Simpulan : Terdapat tujuh belas karakter dari 38 karakter ideal bagi pengajar klinis pendidikan dokter di Indonesia yang memiliki kesamaan dengan karakter negara barat dan negara timur. Karakter baru pada Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kebutuhan karakter pengajar pada setiap tempat yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sebagai tambahan, terdapat proses pembelajaran negative role model yang diobservasi oleh peserta didik.

Introduction: At the clinical learning stage, students learn to practice their knowledge and develop their character through a clinical teacher's guide. Students can assess and imitate the character possessed by clinical teachers. The character of clinical teachers becomes important in role models. This study aims to explore the characteristics of clinical teachers in medical education in Indonesia. Methods: This is a qualitative study using the phenomenological approach. Respondents were recruited using maximum variation sampling in groups of program managers, students, and lecturers at the clinical stage at four medical faculties in Indonesia (UNIBA, UKI, UNPATTI, and UI). We used content analysis on Focus Group Discussions (FGD) and In Depth Interviews (IDI). Results: A total of 32 (students) and eight (teachers and program managers) participated in four FGDs and eight IDIs. There are 504 opinions identified and grouped into 38 characteristic themes. "Respect for others" is a highly expected character, followed by being "openness" and "able to provide constructive feedback". There are four new characteristics: "ability to share experiences", "teach basic principles of medicine", "religious personality", and "discipline". Some of the examples given by students are negative aspects of clinical teachers. Conclusion: There are seventeen characteristics of clinical teachers in Indonesia similar to characters in western and eastern countries. The new character of Indonesia shows that there are differences in teachers' character needs in each place with a different background. Learning by negative role models was carried out by students in this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordy Oktobiannobel
"Pendahuluan: Role Model dalam pendidikan kedokteran tidak hanya penting dalam meningkatkan pembelajaran, tetapi juga memengaruhi pilihan tempat tinggal dan karir mahasiswa. Karir mahasiswa kedokteran yang dapat dipilih salah satunya adalah menjadi dokter spesialis. Saat ini 30 provinsi di Indonesia masih kekurangan dokter spesialis dan studi memperlihatkan role model memiliki pengaruh dalam pilihan karir dokter spesialis. Tujuan penelitian ini adalah melihat hubungan antara persepsi mahasiswa terhadap role model dan pemilihan karir dokter spesialis.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan alat ukur kuesioner yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Harun dkk. Instrumen telah melalui tahapan validasi, dimulai dari tahap telaah ahli oleh 6 panel ahli dan wawancara kognitif kepada 10 mahasiswa, Berikutnya dilakukan uji pilot kepada 30 mahasiswa dan analisis faktor yang melibatkan 170 mahasiswa, untuk kemudian dilakukan analisis kuantitatif untuk mengukur atribut persepsi role model yang berpengaruh pada pilihan karir dokter spesialis.
Hasil: Berdasarkan analisis faktor didapatkan 11 indikator persepsi mahasiswa terhadap dosen sebagai role model dan didapatkan seluruh faktor valid dengan faktor loading >0,45 dan reliabel dengan cronbach alpha 0,875. Terdapat 3 indikator persepsi dengan skor tertinggi, yaitu cara mengajarkan materi yang sulit agar dapat dimengerti, keterampilan klinis dan pengetahuan klinis. Hasil uji statistik memperlihatkan hubungan antara memiliki role model dengan keinginan memilih karir dokter spesialis (p value <0,05), terdapat hubungan antara cara dosen menghargai junior/mahasiswa, cara mengajarkan materi yang sulit agar dapat dimengerti dan keterampilan klinis dosen dengan mahasiswa memiliki role model (p value <0,05), serta terdapat hubungan antara cara dosen merespon kebutuhan mahasiswa dan keterampilan klinis dosen dengan keinginan memilih karir dokter spesialis (p value <0,05).
Kesimpulan: Penelitian ini memperlihatkan persepsi mahasiswa dalam mempertimbangkan pemilihan role model menunjukkan indikator keterampilan klinis secara konsisten selalu muncul baik dalam skoring kuesioner, maupun analisis statistik. Penelitian ini juga telah menghasilkan suatu kuesioner yang valid dan reliabel.

Introduction: Role models in medical education are not only important in improving learning, but also influence students' choices of residence and career. One of the careers that medical students can choose is to become a specialist doctor. The current condition of Indonesia is that 30 provinces still lack specialist doctors and several literatures show that role models have an influence on the career choices of specialist doctors. The purpose of this study was to see the relationship between students' perceptions of role models and the choice of specialist doctor careers.
Method: This study used a cross-sectional design with a questionnaire measuring instrument adapted from previous research conducted by Harun et al. which were validated through various stages, starting from expert review by 6 expert panels and cognitive interviews with 10 students. Then a pilot test was conducted on 30 students and factor analysis was conducted involving 170 students, of which the data was then subjected to quantitative analysis to measure the role model perception attributes that influence the career choices of specialist doctors.
Result: Based on factor analysis, 11 indicators of student perceptions towards lecturers as role models were obtained, all factors were valid with loading factors >0.45 and reliable with a Cronbach alpha of 0.875. There were 3 perception indicators with the highest scores, namely how to teach difficult material so that it can be understood, clinical skills and clinical knowledge. The results of statistical tests showed a relationship between having a role model and the desire to choose a specialist doctor career (p value <0.05), there was a relationship between the way lecturers respect juniors/students, how to teach difficult material so that it can be understood and the clinical skills of lecturers with students having role models (p value <0.05), and there was a relationship between the way lecturers respond to student needs and the clinical skills of lecturers with the desire to choose a specialist doctor career (p value <0.05).
Conclusion: This study shows that clinical skills indicators consistently appears, both in questionnaire scoring and statistical analysis, as a factor which relates to students' perceptions in considering a role model. This study has also produced a valid and reliable questionnaire.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
616.5 DER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhwan Rinaldi
"

Entrustable professional activities (EPA) adalah kerangka kerja asesmen dengan pemberian tanggung jawab dari staf pengajar kepada peserta didik untuk dilakukan tanpa supervisi setelah peserta didik memiliki kompetensi yang memadai. EPA diharapkan dapat menjembatani kinerja sehari-hari peserta didik, kompetensi yang dimiliki dan supervisi yang sesuai sehingga meningkatkan secara sinergis keselamatan pasien dan kualitas pendidikan. Tujuan penelitian adalah menetapkan aktivitas residen program pendidikan dokter spesialis penyakit dalam sebagai EPA dalam kurikulum pendidikan berbasis kompetensi program pendidikan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Penelitian dilakukan dengan desain kualitatif yang meliputi telaah pustaka, panel ahli (expert panels) untuk menentukan daftar aktivitas residen program pendidikan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia yang dapat ditetapkan sebagai EPA menggunakan kuesioner Taylor dkk, serta pengambilan kesimpulan pendapat pemangku kepentingan melalui metode Delphi terhadap butir EPA yang telah disusun menggunakan kuesioner Hauer et al. Diskusi paneh ahli penelitian ini menghasilkan  28 EPA terbaru melalui penilaian kelayakan EPA sebagai unit kerja, esensi, dan peran menggunakan kuesioner Taylor dkk.  Metode Delphi menetapkan 28 butir EPA dapat diterima (Content Validity Index ≥ 80%). Pada analisis statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna. Akhir tahap pendidikan butir EPA menunjukkan sebagian besar variasi yang tidak berbeda bermakna antara keempat kelompok dalam menentukan akhir tahap pendidikan suatu butir EPA.

 


Entrustable professional activities (EPA) is an assessment framework where teaching staff gives students responsibility to be carried out without supervision after students have sufficient competence. EPA is expected to be able to bridge daily performance of students, their competencies, and appropriate supervision so as to synergistically improve patient safety and education quality. Objective of this study was to determine activities of internal medicine resident as EPA in the competency-based educational curriculum of Indonesian internal medicine specialist education program. The study used a qualitative design which included literature review, expert panels to determine list of resident activities in Indonesian internal medicine specialist education program that could be designated as EPA using questionnaire by Taylor et al and drawing conclusions on stakeholder opinions through Delphi method on EPA items. Expert panel discussion resulted in 28 new EPAs through assessment using questionnaire by Taylor et al. The Delphi method determines that 28 EPA items are acceptable (Content Validity Index ≥ 80%). In statistical analysis, there was no significant difference. At the end of the education stage, the EPA item shows most of the variations do not differ significantly between the four groups in determining the final stage of education for an EPA item.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Siska Virgayanti
"[ABSTRAK
Latar belakang. Rekomendasi Global Alliance dalam penanganan AVS meliput antibiotik, asam retinoat, dengan atau tanpa BPO. Resistensi obat menjadi perhatian utama pada penggunaan antibiotik jangka panjang dalam terapi akne vulgaris sedang. Kombinasi antibiotik dan BPO direkomendasikan untuk mengatasi masalah tersebut. Pada tipe kulit IV-V hiperpigmentasi pasca akne merupakan masalah yang sering dikeluhkan. Tujuan. Membandingkan efektivitas, efek samping dan kejadian hiperpigmentasi pasca inflamasi penggunaan BPO sebagai paduan terapi lini pertama AVS pada tipe kulit IV-V Fitzpatrick. Metode. Penelitian analitik dengan desaain uji klinis acak tersamar ganda membandingkan dua sisi wajah. Subyek diberikan paduan terapi lini pertama. Sisi wajah perlakuan diberikan gel BPO 2,5% sedangkan kelompok kontrol gel plasebo. Hasil. Pada minggu ke-2,4,6,8 didapatkan penurunan persentase total lesi sebesar 51,47%, 71%, 75%, 82,84% pada kelompok BPO dan 30%, 53,75%, 62,28, 71% pada kelompok plasebo (p<0,001 .) Efek samping dan kejadian HPI pada minggu ke 2,4,6 dan 8 tidak berbeda bermakna. Kesimpulan. Penggunaan BPO sebagai bagian dari paduan terapi lini pertama AVS lebih efektif, tidak meningkatkan efek samping ataupun kejadian HPI.
Kata kunci. akne vulgaris, gel BPO 2,5%,

ABSTRACT
Background. Global alliance recommendation for moderate acne treatment are antibiotic, retinoic acid with or without benzoyl peroxide. Drug resistance become the most common problem due to longterm use of antibiotic in acne treatment. Combination of antibiotic and BPO is recommeded to overcome this problem. In patient with skin type IV-V post acne hyperpigmentation is one of the most significant complaint. Aim. To compare efectivity, side effect and post inflammatory hyperpigmentation of BPO 2,5% gel as a part of first line therapy regiment in patient with skin type IV-V. Method. This is an analytic study with randomized control trial design comparing both half-face (split-face). Subjects were given first line therapy regiment. Half-face was given BPO 2,5% gel twice daily while other half face with placebo. Result. Total lesions reduction in BPO group on week 2,4,6,8 were 51,47%, 71%, 75%, 82,84% respectively and 30%, 53,75%, 62,28, 71% in placebo group respectively. Conclusion. BPO as a part of first line therapy regiment for moderate acne is more effective, with no increase of side effect nor post inflammatory hyperpigmentation compared to placebo.
, Background. Global alliance recommendation for moderate acne treatment are antibiotic, retinoic acid with or without benzoyl peroxide. Drug resistance become the most common problem due to longterm use of antibiotic in acne treatment. Combination of antibiotic and BPO is recommeded to overcome this problem. In patient with skin type IV-V post acne hyperpigmentation is one of the most significant complaint. Aim. To compare efectivity, side effect and post inflammatory hyperpigmentation of BPO 2,5% gel as a part of first line therapy regiment in patient with skin type IV-V. Method. This is an analytic study with randomized control trial design comparing both half-face (split-face). Subjects were given first line therapy regiment. Half-face was given BPO 2,5% gel twice daily while other half face with placebo. Result. Total lesions reduction in BPO group on week 2,4,6,8 were 51,47%, 71%, 75%, 82,84% respectively and 30%, 53,75%, 62,28, 71% in placebo group respectively. Conclusion. BPO as a part of first line therapy regiment for moderate acne is more effective, with no increase of side effect nor post inflammatory hyperpigmentation compared to placebo.
]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>