Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Werlinson
"Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efek stimulasi dengan metode kartu baca cepat Glenn Doman terhadap tajam penglihatan.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak, tersamar tunggal. Sebanyak 36 anak usia 12-15 bulan yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 18 anak. Kelompok pertama mendapatkan stimulasi dengan kartu baca cepat Glenn Doman selama tiga bulan sedangkan kelompok kedua tidak mendapatkan stimulasi. Setiap bulan dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan monokular dan binokular. Keluaran sekunder menilai hubungan antara perubahan tajam penglihatan terhadap peningkatan nilai kognitif.
Hasil: Sebanyak 36 anak mengikuti penelitian selama 3 bulan. Rerata tajam penglihatan akhir mata kanan pada kelompok uji dan kelompok kontrol meningkat namun tidak berbeda bermakna (log MAR 0,31 vs 0,33; p=0,55). Peningkatan rerata tajam penglihatan akhir juga terdapat pada mata kiri (log MAR 0,31 vs 0,32; p=0,55). Rerata tajam penglihatan binokular mengalami peningkatan namun tidak berbeda bermakna (log MAR 0,31 vs 0,33; p 0,31). Peningkatan tajam penglihatan terbesar terdapat di bulan pertama pada kedua kelompok ( OD log MAR 0,38 vs 0,42; OS log MAR 0,44 vs 0,44; OU 0,27 vs 0,36) namun peningkatan tersebut tidak berbeda bermakna (p>0,05). Hubungan antara perubahan tajam penglihatan dan perubahan nilai kognitif tidak berbeda bermakna antara kelompok uji dengan kelompok kontrol (p>0,05).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan tajam penglihatan yang bermakna antara kelompok dengan stimulasi menggunakan metode Glenn Doman dengan kelompok tanpa stimulasi.

Aim: The aim of this study was to evaluate the effect of stimulation with Glenn Doman flash cards method in visual acuity.
Method: This was randomized single-blind controlled trial study. Thirty-six children age 12-15 months were participated in the study and were divided into two group consisted of eighteen children in each group. The intervention group had stimulation using Glenn Doman flash cards methods while control group had not given stimulation. Stimulation was continuosly held for three consecutive months. The visual acuity between two groups were compared. Secondary outcome was correlation between visual acuity changes and changes in cognitive score of Bayley Score Infant Development (BSID) in both groups.
Result: Thirty six children were participating in the study for three months. There was improvement in mean visual acuity of the right eye in both groups (log MAR 0,31 vs. 0,32; p=0,55) as well as the left eye on both groups but not statistically significant (log MAR 0,31 vs. 0,32; p=0,55). Mean binocular visual acuity in both groups was improved but not statistically significant (log MAR 0,31 vs. 0,33; p=0,31). Largest increase of visual acuity in both groups were in the first month (OD log MAR 0,38 vs. 0,42; OS log MAR 0,44 vs. 0,44; binocular log MAR 0,27 vs. 0,36) but not statistically significant (p>0,05). There was no statistically significant correlation between visual acuity changes and BSID cognitive score changes.
Conclusion: There was no statistically significant difference in visual acuity between intervention group and control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusran
"Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas fotokoagulasi laser 810 nm durasi 20 ms dan 100 ms dalam mencegah progresivitas PDR.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 28 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri atas 14 subyek untuk menjalani fotokoagulasi laser 810 nm. Pada kelompok pertama mendapatkan laser dengan durasi 20 ms dan kelompok kedua dengan durasi 100 ms. Lesi derajat 3 dengan spot sized 200 μm diaplikasikan pada kedua kelompok. Penilaian progresivitas PDR dilakukan setelah 2 bulan pasca laser dengan menggunakan foto fundus 7 posisi. Fluence, power dan tajam penglihatan dibandingkan di antara kelompok.
Hasil: Sebanyak 25 pasien yang mengikuti follow up selama 2 bulan. Proporsi neovaskularisasi yang tidak progresif pada kelompok 20 ms dan 100 ms sebesar 76,9% dan 75,0% (p=1,000). Power yang dibutuhkan dua kali lebih tinggi pada kelompok 20 ms (1000 vs 500 mW; p=0,000). Rerata fluence pada kelompok durasi 20 ms lebih rendah dua kali dibandingkan kelompok durasi 100 ms (15,91 vs 6,36 J/cm2; p=0,000). Perbaikan visus pasca laser pada kelompok 20 ms dan 100 ms sebesar 23,1% dan 33,3 % (p=1,000).
Kesimpulan: Durasi 20 ms memiliki kemampuan mencegah progresivitas neovaskularisasi yang sama dibandingkan dengan durasi 100 ms. Fluence yang dibutuhkan lebih rendah pada durasi 20 ms.

Aim: The aim of this study was to compare the effectiveness of laser photocoagulation 810-nm with 20 ms and 100 ms duration to prevent the progression of proliferative diabetic retinopathy.
Method: This study was prospective double blind randomized clinical trial. Twenty-eight participants who met the inclusion criteria divided into two groups to undergo laser photocoagulation by using 810 nm lasers. One group consisted of fourteen subjects received 100 ms duration and the other received 20 ms duration. Grade 3 burns with a 200 μm spot sized were placed with both modalities. The progression of PDR was evaluated in two months follow up by using seven fields fundus photographs. Fluence, power and visual acuity were compared in this study.
Result: Twenty five subjects completed the two months follow up. Nonprogressive PDR in 100 ms group was 75.0% and in 20 ms was 76.9% (p=1.000). The median power in 20 ms group increased twice than 100 ms group (1000 vs. 500 mW; p=0.000). The median fluence in 20 ms group reduced to one-half of 100 ms group (6.36 vs. 15.91 J/cm2; p=0,000). Improvement of visual acuity in 20 ms and 100 ms was comparable (23,1% vs. 33,3%; p=1,000).
Conclusion: The 20 ms duration showed similar result in preventing the progression of PDR compared to 100 ms duration. The fluence was lower in 20 ms group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Rhiveldi Keswani
"ABSTRAK
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi.
Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial.
Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471)
Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi.
Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial.
Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471)
Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi.
Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial.
Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471)
Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.

ABSTRACT
Introduction: Sphenoorbital meningioma is an exophytic tumor mass that infiltrates rthe bone at sphenoid wing, lateral orbital wall, orbital roof, and extending to superior orbital fissure. The classic triad of clinical features are proptosis, decrease visual acquity, and opthalmoplegia. Nowadays we have not eavaluating patient?s outcome after surgery. In the research, we would like to know the clinical characterisitc of the patient with sphenoorbital menigioma before and after surgey.
Patients and Methods: The cross sectional study was performed. Subjects was the patiens with sphenoorbital meningioma who came to our clinic on January 2014 ? December 2015. All the patiens underwent craniectomy and lateral orbitotomy. We evaluated the visual acquity and proptotic index before and after surgery by measuring the protuded eye in a axial CT Scan.
Result: There were 66 samples in this study, 65 of the samples were female. With afe range 31 to 64 years. The mean proptotic index pre-operative is 18,27 and the post operative is 16,43. With mean proptotic index reduction is 1,84 (p<0,05). Post Operative visual acquity were improved only 3 (9,7%) samples (p=0,0471)
Conclusions: The sphenoorbital patients after surgery was showed markedly improvement in proptosis index. Hence the visual acquity were not markedly improved after surgery.
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusron Effendi
"Latar belakang dan tujuan: Pemeriksaan MRI standar terkadang sulit untuk membedakan tumor ganas dan jinak orbita karena karakteristik imaging yang nonspesifik, padahal biopsi pada lokasi tertentu seperti apeks orbita dan basis kranium periorbital sulit dilakukan dan memiliki risiko komplikasi yang tinggi sehingga klinisi memerlukan pemeriksaan MRI yang lebih spesifik untuk memperkirakan sifat tumor. Pada beberapa penelitian sebelumnya, nilai Apparent Diffusion Coefficient ADC baik menggunakan MRI 3Tesla T, 1,5T, dan gabungan keduanya, mampu membedakan tumor ganas dan jinak orbita, namun memiliki nilai ambang bervariasi. Penelitian ini bertujuan mencari rerata nilai ADC menggunakan MRI 1,5T pada kelompok tumor ganas dan jinak orbita serta mencari nilai ambang untuk membedakan keduanya.
Metode: Sebanyak 33 pasien tumor orbita yang telah menjalani pemeriksaan MRI orbita dengan kekuatan 1,5T dan mendapatkan nilai ADC tumor, dikelompokkan berdasarkan hasil histopatologis menjadi kelompok ganas dan jinak. Analisis statistik nilai ADC antara kelompok ganas dan jinak dilakukan menggunakan uji nonparametrik. Selanjutnya, penentuan nilai ambang optimal untuk membedakan tumor ganas dan jinak dilakukan menggunakan kurva receiver-operating characteristic ROC.
Hasil: Dari 33 sampel diperoleh 17 tumor ganas dan 16 tumor jinak. Hasil histopatologis mayoritas pada kelompok tumor ganas dan jinak masing-masing adalah limfoma 4/17 dan meningioma grade I 9/16. Median dan range nilai ADC pada kelompok tumor ganas adalah 0,8 0,6-2,1 10 minus;3 mm2/s yang berbeda bermakna dengan kelompok tumor jinak 1,1 0,8-2,6 10 minus;3 mm2/s p=0,001. Nilai ambang optimal ADC untuk membedakan tumor ganas dan jinak adalah 0,88 10 minus;3 mm2/s dengan perkiraan sensitivitas 76,5 dan spesifisitas 93,8.
Simpulan: Nilai ADC pada kelompok tumor ganas orbita lebih rendah dibandingkan tumor jinak dan bisa digunakan untuk memperkirakan karakteristik suatu tumor orbita.

Background and purpose: Differentiating between malignant and benign orbital tumor using standard MRI sometimes is difficult because of nonspecific imaging characteristics, meanwhile biopsy in certain area such as orbital apex and periorbital skull base is difficult to do with higher risk of complication so that ophthalmologist may need suggestion from MRI result to predict the characteristic of tumor. In previous studies, the Apparent Diffusion Coefficient ADC value using MRI 3Tesla T, 1,5T, and combination of both, are able to differentiate between them but with variable cut-off value. This study aims to find out the ADC value of malignant and benign orbital tumor using MRI 1,5T and calculate the optimum cut-off value to differentiate them.
Methods: Thirty-three patients with orbital tumor who has undergone MRI examination and get the ADC value of tumor are classified into malignant and benign group. ADC value between malignant and benign group is statistically analyzed using nonparametric test. The optimal cut off value between malignant and benign tumor is calculated receiver-operating characteristic ROC curve.
Results: Among all samples, 17 are malignant and 16 are benign. Majority of histopathological result in malignant group are lymphoma 4/17 while in benign group are meningioma grade I 9/16. The mean ADC value in malignant group 0,8 10 minus;3 mm2/s is significantly different from benign group 1,1 10 minus;3 mm2/s p=0,001. The optimum cut-off ADC value to differentiate between malignant and benign orbital tumor is 0,88 10 minus;3 mm2/s with prediction of sensitivity 76,5 and specificity 93,8.
Conclusion: ADC value in malignant orbital tumor is lower than benign tumor and it can be used to predict the characteristic of orbital tumor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library