Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ziyad Fadlullah
"Latar belakang: Pada penuaan paru, terjadi perubahan fisiologi, parenkim, anatomi serta imun. Perubahan fisiologi dapat dilihat dari perubahan volumevolume paru fisiologis pada pengukuran spirometri. Perubahan anatomi antara lain pada dinding dada, otot respirasi serta perubahan parenkim paru dan saluran napas. Perubahan parenkim paru yang telah diteliti salah satunya adalah penurunan serat elastin sehingga daya elastik rekoil berkurang. Tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan/korelasi antara ruang udara alveolus, terhadap penuaan.
Metode: Desain penelitian adalah cross sectional analytical correlative. Subjek penelitian adalah tikus Sprague-Dawley dengan rentang usia 2 hari, 16 hari, 3 – 4 bulan dan 12 bulan yang ditentukan dengan single blind randomization dengan total 24 ekor. Data yang diambil adalah panjang ruang udara alveolus yang diukur menggunakan perangkat lunak Optilab Image Raster. Data diolah dengan uji korealsi Spearman dengan bantuan software SPSS.
Hasil: Rata- rata ruang udara alveolus berdasarkan usia 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan dan 1 tahun adalah 0.467 + 0.038, 0.410 + 0.052, 0.369 + 0.046 dan 0.378 + 0.028. Uji korelasi antara panjang ruang udara alveouls dengan penuaan menunjukkan adanya korelasi lemah (r = -0.227), yaitu semakin bertambah usia (penuaan), panjang ruang udara alveolus semakin kecil.
Kesimpulan: Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara ruang udara alveolus penuaan, yakni semakin bertambah usia, terjadi perubahan pada ruang udara alveolus.

Background: Aging is a complex process that occurs in each organ. In lung aging, there are some changes in physiology, parenchyma, anatomy and immune system. Physiological changes can be seen from the changes in physiological lung volumes on spirometry measurements. Anatomical changes occurs in the chest wall, muscles of respiration and changes in the lung parenchyma and airways. One of lung parenchyma changes which were investigated is the reduction of elastin fibers that elastic recoil force is reduced. Focus of this study is the relation / correlation between the alveolar air space, with all the evidence of the changes associated with aging, in aging lung.
Method: This study design were cross sectional analytical correlative. Subjects of this research are Sprague-Dawley rats, aged 2 days, 16 days, 3-4 months and 12 months and determined by single blind randomization with total subject are 24. The data is length of the alveolar air spaces and were measured using the software Raster Image Optilab. The data were processed by Spearman correlation using SPSS.
Result: Alveolar air space average based on age of 2 days, 16 days, 3-4 months and 12 months are 0.467 + 0.038, 0.410 + 0.052, 0.369 + 0.046 dan 0.378 + 0.028. Correlation between the length of the air space alveolus with aging showed a weak correlation (r = -0227), which in increasing age (aging), the length of the alveolar air space become smaller.
Conclusion: Based on results and discussion, it can be concluded that there is correlation between lung aging and alveolar air space, increase in age make some change in alveolar air space. The increasing age, there is change in alveolar air space.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S630092
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lamuri, Aly
"Terkait pertambahan usia, penurunan fungsi paru dapat terjadi karena adanya perubahan struktur histologis alveolus. Tujuan penelitian ini adalah : untuk mengetahui korelasi ketebalan septum interalveolar paru tikus Sprague dawley terhadap pertambahan usia. Metode penelitian ini adalah penelitian berbasis laboratorium dengan desain cross sectional. Sebagai subjek penelitian, digunakan tikus Sprague-dawley yang terbagi dalam empat kelompok usia : 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, di atas 12 bulan. Sesuai dengan kelompok usia, kemudian dilakukan pengambilan jaringan paru dan diwarnai dengan metode pewarnaan trichrome-masson. Penghitungan nilai tebal septum dilakukan dengan membandingkan jumlah total tebal septum dengan lebar lapang pandang. Dengan metode saphiro-wilk didapatkan nilai persebaran data yang normal dan dilanjutkan dengan uji korelasi. Hhasil analisis data penelitian yang didapat berdasarkan kelompok usia, diperoleh ketebalan septum alveolus sebesar 0.436 ± 0.059 m untuk kelompok usia 2 hari, 0.399 ± 0.022 m pada kelompok usia 16 hari, 0.474 ± 0.043 m pada kelompok 3-4 bulan, serta 0.512 ± 0.020 m pada kelompok tikus usia lebih dari 12 bulan. Kesimpulan penelitian berdasarkan hasil uji korelasi pearson, diperoleh nilai r=0,375 yang menandakan adanya korelasi lemah antara pertambahan usia dengan ketebalan septum interalveolar.

As age goes by, changes in intrapulmonary condition may result in respiratory disorders. This research aims to find correlation between interalveolar septal thickness and age. Research method used in this study was laboratorim-based study with cross sectional design. As a subject used in this study, Sprague dawley rat sorted in age-related order : 2 days group, 16 days group, 3-4 months group, more than 12 months group. In accordance with the age-related grouping, alveolar tissue sampling was done and stained by trichrome-masson staining method. Measurement was done by comparing interalveolar septal thickness with microscope field of view. Result data normality evaluated by Shapiro-wilk test then tested with Pearson correlation test. Calculation of mean alveolar wall thickness value from each age-related groups gives following results: 2-days group: 0.436 ± 0.059 m thick, while 16-days group: 0.399 ± 0.022 m thick, 3-4 months old group: 0.474 ± 0.043 m thick, and >12 months old group: 0.512 ± 0.020 m thick. Pearson correlation test gave result of r=0,375 which marked a weak correlation between age and interalveolar septum thickness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filbert Kurnia Liwang
"ABSTRACT
Pembelajaran neuronatomi sangat membutuhkan kadaver terutama organ otak sebagai sarana pembelajaran. Hingga saat ini, pengawet paling umum yang digunakan adalah menggunakan cairan berbahan dasar formalin. Akan tetapi, kandungan formalin pada kadaver dapat menimbulkan berbagai efek yang merugikan bagi kesehatan manusia maupun lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan dekomposisi otak mencit yang diawetkan dengan cairan fiksatif formalin 4% dengan dan tanpa penambahan penetral formalin berbahan dasar gliserin. Penelitian ini menggunakan 18 ekor mencit (Mus musculus) yang dibagi secara acak menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol (tanpa pengawetan), kelompok yang hanya diawetkan dengan formalin 4%, dan kelompok yang diawetkan dengan formalin 4% ditambah dengan penetral gliserin. Penilaian tahapan dekomposisi dilakukan dengan skoring serta pengukuran massa total dan massa otak mencit yang dilakukan setiap minggu. Pada selisih massa otak mencit, didapatkan hasil berbeda bermakna pada minggu ke-2 pengukuran. Pada persentase selisih massa otak, didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok formalin 4% dan gliserin dari seluruh waktu pengukuran. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dekomposisi antara otak mencit yang diawetkan dengan formalin 4% dengan dan tanpa penambahan cairan penetral formalin berbahan dasar gliserin dimana kelompok gliserin terdekomposisi lebih cepat.

ABSTRACT
Neuroanatomy learning requires cadaver, especially the brain, as a learning tool. Until now, the most common preservertive used was using formalin-based fixative liquids. However, formalin can cause various adverse effects to human health and to the environment. Therefore, we will compare the brain decomposition rate the mice preserved with of 4% formalin fixative liquid with and without addition of glycerin-based formalin neutralizer. This study used 18 mice (Mus musculus) which were randomly divided into 3 groups: control group with no additional fixative, group preserved with 4% formalin, and group preserved with 4% formalin, then neutralized with glycerin. Assessment of the stages of decomposition is done by scoring as well as measuring the total mass and brain mass of mice that are carried out every week. Difference in brain mass of mice only obtain significantly different results on the second week of measurement. In the percentage difference in brain mass, there were significant differences between the 4% formalin and glycerin in all measurement times. Therefore, there is a difference in the level of decomposition between the brains of mice preserved with 4% formalin with and without additional formalin neutralizer with glycerin content, whereas decomposition in glycerin group is faster."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Chrisantha Yogawisesa
"ABSTRACT
Penggunaan kadaver sebagai alat bantu pembelajaran di pendidikan kedokteran menimbulkan masalah ketika kadaver tersebut telah selesai digunakan dan hendak dikebumikan kembali dengan metode deep burial karena dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan. Penggunaan cairan fiksatif formalin 10% merupakan konsentrasi standar. Penelitian dengan mengurangi konsentrasi formalin yang digunakan menjadi 4% dilakukan dengan harapan akan mempercepat proses dekomposisi ketika kadaver sudah dikebumikan. Penelitian ini menggunakan mencit Mus musculus, terutama otot tungkai belakangnya, yang diawetkan dengan cairan fiksatif formalin 10% dan 4% dan membandingkan kecepatan proses dekomposisi yang terjadi perminggu selama 6 minggu penguburan deep burial. Kecepatan dekomposisi dinilai dengan mengukur massa otot tungkai dan massa total mencit perminggu penguburan. Didapatkan hasil penurunan massa total yang berbeda secara signifikan yang terjadi antara kelompok Formalin 10% dan 4%, pada minggu 3-5. Hal ini diduga karena dekomposisi otot yang memang baru terjadi pada tahap lanjut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya sebelum dapat diterapkan sebagai dasar pengelolaan kadaver manusia yang telah digunakan untuk kepentingan pendidikan dokter

ABSTRACT
.use of human cadaver as an educational tool in medical education may cause many problems when the cadaver is no longer being used and is to be buried, such as environmental problems and health problems. Cadavers are preserved in standardized 10% formalin solution. This research aims to reduce the concentration of formalin solution used to be a solution of 4% to accelerate the decomposition process of the deep buried cadaver, using Mus musculus mice as the samples, specifically the lower limb muscle. The lower limb muscle of the mice is preserved in 10% and 4% formalin solution, and are deep buried. The samples are compared by the decrease of the mass of lower limb muscle and the total mass of the mice per week in a total of 6 weeks period. Significant different results of comparasion are obtained in the total mass of the mice in 10% and 4% formalin solution. The decrease of lower limb muscle mass only significantly differs in week 3-5, presumably due to the decomposition process of muscle tissues that happens in the latter stages of decomposition. This research is expected to be the foundation of further research of comparasion of 10% and 4% formalin solution, before is able to be done in medical education human cadaver."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Natalie Wijaya
"Pembelajaran anatomi dalam pendidikan kedokteran sering menggunakan kadaver. Usai digunakan, kadaver dikebumikan dengan metode deep burial. Hal ini menyebabkan pencemaran tanah yang terjadi akibat penggunaan formalin. Salah satu bahan alternatif formalin yang banyak diteliti adalah etanol-gliserin. Penelitian ini membandingkan tingkat dekomposisi tungkai belakang mencit Mus musculus yang telah diawetkan dengan etanol-gliserin dan formalin 4%. Mencit diawetkan terlebih dahulu dengan fiksatif primer formalin 10% yang menjadi standar pengawet kadaver, diikuti perendaman dengan fiksatif lanjut yaitu etanol-gliserin atau formalin 4%. Setelah itu, mencit dikebumikan selama 6 minggu dan dilihat tingkat dekomposisinya per minggu. Tingkat dekomposisi dinilai secara semikuantitatif dari penampilan, bau, dan keberadaan organisme pengurai. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat dekomposisi tungkai bawah mencit antar larutan fiksatif lanjut, dimana pada minggu ke-6 kelompok EG sampai pada tahap dry and remains sementara kelompok formalin masih berada di tahap advanced decay. Dapat disimpulkan bahwa, tungkai belakang mencit yang diawetkan dengan larutan fiksatif etanol gliserin memiliki tingkat dekomposisi yang lebih cepat dibandingkan dengan larutan formalin 4%.

Medical schools often use cadavers as a tool for learning anatomy. Once used, the cadavers are buried using the deep burial method. This may cause soil contamination due to the use of formalin. Several research have found promising results on the use of ethanol-glycerin as an alternative fixative solution for formalin. This study compared the rate of decomposition between the two fixative solutions, ethanol-glycerine and 4% formalin, on the hind limb of mice. The mice was first preserved using a standard primary fixative solution which is 10% formalin, following that procedure is preservation using advanced fixative solution, ethanol- glycerine or 4% formalin. Upon completing the preservation steps, the mice were buried for a duration of 6 weeks and observed weekly. The stages of decomposition was assessed semiquantitively by physical observations, smell, and presence of decomposers. Data obtained showed that there was a difference in the rate of decomposition between the two advanced fixative solutions, where in the 6th week the hind limbs of mice in the EG group was able to reach the dry and remains stage while the formalin group was still in the advanced decay stage. It is concluded that, the hind limbs of mice that were previously preserved with ethanol-glycerine advanced fixative solution had a faster decomposition rate than 4% formalin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosyid Mawardi
"Latar belakang: Penuaan paru ditandai dengan perubahan struktur dan fisiologi paru. Secara struktural, terjadi perubahan ketebalan septum interalveolar dan komponen di dalamnya, salah satunya adalah serat kolagen interstisial, sehingga dapat memengaruhi fungsi paru sebagai organ respirasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara jumlah serat kolagen interstitial paru dengan ketebalan septum interalveolar pada penuaan tikus Sprague-Dawley. Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional analytic correlative. Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Sprague-Dawley sebagai subjek penelitian. Subjek penelitian terdiri atas empat kelompok usia, yaitu 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, dan >12 bulan yang ditentukan dengan m ± 0.043 μm, dan 0,512 ± 0.020 μm. Uji korelasi non parametrik Spearman (p = 0,03) antara jumlah serat kolagen interstisial dengan ketebalan septum interalveolar menunjukkan nilai koefisien korelasi (r = 0,213). Kesimpulan: Pada penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang lemah antara jumlah serat kolagen interstisial paru dengan ketebalan septum interalveolar pada penuaan tikus Sprague-Dawley. Dengan demikian, dapat dipikirkan bahwa serat kolagen interstisial dapat mempengaruhi ketebalan septum interalveolar paru tikus yang menua, meskipun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi.
Background: Lung aging is characterized by structure and physiologic changes of the lung. Structurally, the interalveolar septum thickness and all of its components including collagen fiber are change, so that affect the lung function as a respiratory organ. This study is aimed to determine the correlation between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber and interalveolar septum thickness on Sprague-Dawley rat aging. Method: The design of this research is cross sectional analytic correlative. The data was taken from the lung tissue preparations of 24 rats in 4 groups based on age, 2 days, 16 days, 3-4 months, and >12 months using single blind randomization technique. The methods of preparation making are based on the literatures. Data that was assessed were the histology of pulmonary interstitial collagen fiber and interalveolar septum. Then, they were analized using SPSS 20.0. Result: Sequentially, the modes of interstitial collagen fiber are 1, 2, 2, and 3; while the interalveolar septum thickness means are 0,436 ± 0.059 μm, 0,399 ± 0.022 μm, 0,474 ± 0.043 μm, and 0,512 ± 0.020 μm. By using non parametric Spearman correlation test (p = 0.03), it was obtained the correlation coefficient (r = 0.213) between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber with the interalveolar septum thickness. Conclusion: There is a weak correlation between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber with the interalveolar septum thickness of Sprague- Dawley rat aging. Thus, it can be thought that pulmonary interstitial collagen fiber may affects interalveolar septum thickness of rat aging, although it’s not as the only one factor."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Primadian Suprapto
"Pada paru yang menua, terjadi perubahan pada komponen penyusun jaringan alveolus dan jaringan interstitial paru. Perubahan morfologi ini berpengaruh terhadap proses pertukaran gas yang terjadi di alveolus serta penurunan fungsi faal paru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara ketebalan septum dan rongga udara alveolus pada paru yang mengalami penuaan dengan menggunakan model hewan coba tikus Sprague-Dawley. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectionalanalitic observational. Pengukuran ketebalan septum dan rongga udara alveolus dilakukan pada jaringan paru tikus Sprague-dawley yang dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu: kelompok usia 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, dan lebih dari 12 bulan. Hasil pengukuran rata-rata ketebalan septum interalveolar sesuai dengan urutan kelompok usia adalah 0,436 ± 0,059 μm , 0,399 ± 0,022 μm, 0,474 ± 0,043 μm, 0,512 ± 0,020 μm. Sedangkan rata-rata diameter rongga udara alveolus secara berurutan adalah 0,467 ± 0,038 μm, 0,410 ± 0,052 μm, 0,370 ± 0,046 μm, 0,378 ± 0,028 μm. Berdasarkan uji korelasi Pearson, didapatkan hasil bahwa ketebalan septum alveolus mempunyai berkorelasi sedang dengan rongga udara alveolus (r = -0,528). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penuaan tikus Sprague-Dawley, ketebalan septum interalveolar akan bertambah dan rongga udara alveolus akan berkurang.

Aging process on the lung gives a result in morphological changes of alveolus and its interstitial components. These changes alter the respiratory function of the lung as marked as increasing lung residual volume and decreasing lung vital capacity. The aim of this research is to study the morphological changes of alveolus including septum thickness and alveolar air space changes in aging lung. We used cross sectional-analitic observational study to conduct this research. The microscopic observation has been done on Sprague-Dawley rats’ lung preparation from different age group of rats (2 days, 16 days, 3-4 months, and more than 12 months). The means of interalveolar septum measurement are 0.436 ± 0.059 μm, 0.399 ± 0.022 μm, 0.474 ± 0.043 μm, and 0.512 ± 0.020 μm respectively. The means of alveolar air space measurement are 0.467 ± 0.038 μm, 0.410 ± 0.052 μm, 0.370 ± 0.046 μm, and 0.378 ± 0.028 μm respectively. The Pearson correlation study show that there is a moderate correlation between septum thickness and alveolar air space (r = -0.528). As the age of the rats increased, the alveolar septum thickness increased and alveolar air space reduced.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumaisha Nuha Zakiyyah
"Pandemi COVID-19 membawa dampak besar pada pembelajaran anatomi. Pembelajaran anatomi yang secara konvensional dilakukan berbasis kadaver tidak dapat dilakukan atau hanya dapat dilakukan secara terbatas. Aplikasi anatomi tiga dimensi hadir sebagai media pembelajaran anatomi yang dapat memudahkan mahasiswa memahami struktur dan topografi secara akurat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan aplikasi anatomi 3D dengan peningkatan hasil pembelajaran anatomi (nilai pre-post test) sistem saraf pusat pada mahasiswa FKUI angkatan 2023. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi-eksperimental. Tiga puluh satu subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu menggunakan aplikasi anatomi 3D (n = 14) dan tidak menggunakan aplikasi anatomi 3D (n =17). Kedua kelompok diberikan materi tambahan berupa referensi buku anatomi. Dilakukan pre-test dan post test pada kedua kelompok untuk menilai hasil pembelajaran. Analisis data dilakukan uji Spearman rank correlation menggunakan aplikasi SPSS ver. 24. Ditemukan korelasi nilai r = 0,07 dengan nilai p = 0,7 (p > 0,05) antara hasil pembelajaran dan penggunaan aplikasi anatomi 3D. Terdapat peningkatan hasil belajar yang lebih tinggi pada kelompok yang menggunakan aplikasi anatomi 3D (30,00) dibandingkan dengan yang tidak menggunakan aplikasi anatomi 3D (26,47). Terdapat hubungan yang sangat lemah dengan tendensi tidak signifikan antara penggunaan aplikasi anatomi 3D dengan peningkatan hasil pembelajaran anatomi (nilai pre-post test) sistem saraf pusat pada mahasiswa FKUI angkatan 2023. Kedua kelompok mengalami peningkatan hasil pembelajaran. Diperlukan analisis lebih lanjut pengaruh preferensi metode pembelajaran anatomi, kemampuan spasial, gaya belajar, dan kecepatan belajar mahasiswa terhadap hubungan antara penggunaan aplikasi anatomi 3D dan hasil pembelajaran anatomi.

The COVID-19 pandemic has had a significant impact on anatomy education. Conventional anatomy learning based on cadavers cannot be conducted or can only be done in a limited manner. Three-dimensional anatomy applications are presented as a learning tool that can facilitate students in understanding anatomical structures and topography accurately. This research was conducted to determine the relationship between the use of 3D anatomy applications and the improvement in central nervous system anatomy learning outcomes (pre-post test scores) among 2023 students of the Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. The research design used is quasi-experimental. Thirty-one subjects were divided into two groups: one using 3D anatomy applications (n = 14) and one not using 3D anatomy applications (n = 17). Both groups were provided with additional anatomical reference materials. Pre- tests and post-tests were conducted on both groups to assess learning outcomes. Data analysis was performed using the Spearman rank correlation test with SPSS version 24. A correlation with a value of r = 0.07 and a p-value of 0.7 (p > 0.05) was found between learning outcomes and the use of 3D anatomy applications. There was a higher improvement in learning outcomes in the group that used 3D anatomy applications (30.00) compared to the group that did not use 3D anatomy applications (26.47). There is a very weak and non-significant correlation between the use of 3D anatomy applications and the improvement in central nervous system anatomy learning outcomes (pre-post test scores) among 2023 students of the Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Both groups experienced an improvement in learning outcomes. Further analysis is needed to understand the influence of students' preference for anatomy learning methods, student’s spatial abilities, learning styles, and learning speed on the relationship between the use of 3D anatomy applications and anatomy learning outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Regina Sasmitra
"Latar Belakang Wabah COVID-19 mendesak dan mengubah sistem pendidikan di Indonesia dari pendidikan tatap muka menjadi pendidikan jarak jauh (dan nantinya menjadi pendidikan bauran). Dengan perjalanan pandemi yang tidak dapat diprediksi dan berbagai keterbatasan yang dihadapi, dibutuhkan penggunaan metode lain untuk membantu pembelajaran anatomi khususnya bagi mahasiswa kedokteran. Penggunaan teknologi terkait dengan anatomi 3D untuk dapat mempelajari bentuk dan posisi organ di tubuh manusia dari banyak sudut pandang. Metode Penelitian eksperimental dengan metode deskriptif ini dilakukan untuk melihat perbandingan nilai pretest dan post-test mahasiswa FKUI angkatan 2022 yang menggunakan metode pembelajaran anatomi 3D pada sistem muskuloskeletal. Nilai pretest dan post-test dinilai dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan di Google Form sebelum dan sesudah diberikan materi muskuloskeletal (area bahu) selama 2 pertemuan daring, masing-masing selama 2 jam pada responden sejumlah 34 mahasiswa. Hasil Data dari pretest dan post-test akan diolah dengan menggunakan uji analisis Wilcoxon pada SPSS versi 24. Didapatkan rata-rata pretest sebesar 31.47 dan rata-rata post-test sebesar 59.41. Dari tes Wilcoxon, didapatkan P < 0.05 yang menandakan bahwa ada perbedaan bermakna pada nilai responden sebelum dan setelah pemberian materi anatomi 3D. Kesimpulan Kesimpulan yang didapatkan bahwa ada peningkatan signifikan dari penerapan pembelajaran dengan metode visualisasi 3D pada nilai pretest dan post-test mahasiswa FKUI angkatan 2022 pada sistem muskuloskeletal.

Introduction The COVID-19 pandemic has caused a transformation in the education system in Indonesia, shifting from in-person education to distance learning (and eventually a hybrid approach). Given the unpredictable course of the pandemic and various limitations faced, alternative methods are needed to aid in the anatomy learning process, especially for medical students. One such method is the use of technology, particularly related to 3D (three-dimensional) anatomy, to study the shape and position of organs in the human body from various perspectives. Method This experimental research with descriptive methods is done to see the comparison between pretest dan post-test scores for the class of 2022 of FKUI (Faculty of Medicine, Universitas Indonesia) students that uses 3D learning method in the musculoskeletal system. Pretest and post-test scores were evaluated using questions in a Google Form both before and after the provision of musculoskeletal material (shoulder area) over two sessions, each lasting 2 hours for 34 respondents. Results Data from the pretest and post-test were analyzed using the Wilcoxon analysis test in SPSS version 24. The average pretest score was 31.47, and the average post-test score was 59.41. In the Wilcoxon test, P < 0.05 was obtained, indicating a significant difference in the respondents' scores before and after the 3D anatomy material was provided. Conclusion The conclusion drawn from this study that there is a significant raise of implementing a 3D visualization learning method on the pretest and post-test scores of the FKUI Class of 2022 students in the musculoskeletal system."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khoirul Ima
"Saat ini terdapat berbagai metode penyembuhan dari cedera saraf perifer. Namun, berbagai metode tersebut mempunyai keterbatasan yaitu masih dalam kategori lambat. Pada PRP terdapat kandungan Growth Factor yang penting untuk meningkatkan proses regenerasi saraf. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran PRP terhadap regenerasi cedera nervus ischiadicus. Kelompok perlakuan dibagi menjadi hari ke 7 dan hari ke 42. PRP sebanyak 0.2 ml diberikan pada cedera nervus ischiadicus melalui absorbable gelatine sponge. Pengamatan analisis fungsional gaya berjalan dilakukan dengan menghitung nilai SFI, TOA, dan Q1-Q4. Pengamatan gambaran mikroskopis dilakukan untuk melihat diameter akson, densitas akson, diameter akson + mielin, dan ketebalan mielin. Hasil penelitian, nilai SFI kelompok PRP membaik pada hari ke 21 dan 35. Nilai Q1-Q4 pada kelompok PRP memiliki nilai perbaikan sudut mendekati normal yang lebih stabil pada hari ke 7 dibandingkan pada kelompok skiatika tanpa pemberian PRP yang baru mengalami perbaikan pada hari ke 21. Sedangkan pada pengamatan gambaran mikroskopis, kelompok skiatika dengan pemberian PRP memberikan pengaruh terhadap peningkatan diameter akson dengan hasil yang signifikan baik pada hari ke 7 maupun hari ke 42. Oleh karena itu, pemberian PRP pada tikus model skiatika mampu memaksimalkan percepatan fungsi berjalan pada proses regenerasi saraf pasca terjadinya cedera melalui regenerasi akson.

Currently there are various methods of healing from peripheral nerve injuries. However, these various methods have limitations, namely they are still in the slow category. PRP contains Growth Factor which is important for enhancing the process of nerve regeneration. This study aims to see the role of PRP in the regeneration of injured sciatic nerves. The treatment group was divided into day 7 and day 42. 0.2 ml of PRP was administered to the injured sciatic nerve via an absorbable gelatine sponge. Observation of gait functional analysis was carried out by calculating SFI, TOA, and Q1-Q4 values. Microscopic observation was carried out to see axon diameter, axon density, axon + myelin diameter, and myelin thickness. The results of the study, the PRP group's SFI scores improved on days 21 and 35. The Q1-Q4 values in the PRP group had an angle improvement value close to normal which was more stable on day 7 than in the sciatica group without PRP which only improved on day 21 Whereas in the observation of microscopic images, the sciatica group with PRP administration had an effect on increasing axon diameter with significant results both on day 7 and day 42. Therefore, giving PRP to sciatica model rats was able to maximize the acceleration of walking function in the regeneration process post-injury nerves through axon regeneration."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>