Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ashadi Budi
"ABSTRAK
Latar belakang: Penilaian pre-operatif penting dilakukan sebelum reseksi papiloma inverted untuk menjamin reseksi tumor yang bersih dan mencegah kekambuhan, namun belum ada tata cara penilaian pre-operatif papiloma inverted di Indonesia.
Tujuan: Penelitian ini membandingkan penilaian pre-operatif CTscan dan MRI dengan penemuan saat operasi sehingga diketahui modalitas terbaik yang dapat menjadi dasar dalam penatalaksanaan papiloma inverted.
Metode: Dilakukan prediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal dan penentuan stadium tumor pada 10 pasien papiloma inverted dengan CT-scan dan MRI kemudian dibandingkan dengan penemuan saat operasi dengan panduan sistem navigasi pencitraan. Navigation panel unit menjadi alat yang penting dalam memandu operasi dan memastikan kesesuaian pencitraan dengan penemuan saat operasi.
Hasil: Prediksi lokasi asal tumor dengan CT-scan dilakukan dengan menilai hiperostosis (9/10 subjek), sedangkan pada MRI dicari gambaran serpentine cerebriform filamentous structure (5/10 subjek). CT-scan lebih baik dalam prediksi lokasi asal tumor dibandingkan MRI (p=0,046). Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dalam prediksi keterlibatan sinus paranasal (p=0,083) dan stadium tumor (p=0,317) dengan menggunakan kedua modalitas tersebut.
Kesimpulan: CT-scan merupakan pemeriksaan pencitraan yang paling baik dalam penilaian pre-operatif pada papiloma inverted sinonasal.

ABSTRACT
Background: Preoperative assessment is essential before inverted papilloma surgery to ensure complete resection and prevent recurrence. There are no standard preoperative assessment for inverted papilloma in Indonesia.
Purpose: This study was aim to compare CT-scan and MRI in preoperative assessment with the intra operative findings to determine which is the best preoperative imaging for inverted papilloma.
Methods: Preoperative assessment predicted the site of origin, involvement of the paranasal sinus and tumor staging of inverted papilloma in 10 patients with CT-scan and MRI, then subsequently compared with the operation findings by surgical navigation imaging guidance. Navigation panel units was an important tool in guiding operations and ensure the intraoperative findings
consistent with the imaging.
Result: Site of origin was predicted by finding focal hyperostosis on CT-scan (9/10 subjects), whereas the serpentine cerebriform filamentous structure evaluated on MRI (5/10 subjects). The results of this study showed that CT-scan predicted site of origin better than MRI (p=0.046). There were no significant differences in prediction of paranasal sinus involvement (p = 0.083) and tumor staging (p = 0.317) using both modalities.
Conclusion: Therefore, concluded that CT-scan is the best imaging preoperative assessment for sinonasal inverted papilloma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Pujiwati
"Latar Belakang:
Hidung adalah organ saluran napas bagian atas yang terpajan secara langsung terhadap agent debu tepung terigu. Deposit partikel debu tepung yang terjadi pada saat inhalasi maupun
ekshalasi terbanyak pada hidung. Partikel debu tepung tersebut merupakan stimulus dan rangsangan inflamasi pads mukosa hidung dan sinus paranasal.
Metoda:
Penelitian ini menggunakan desain kros seksional, dilakukan pada pabrik tepung Jakarta, bulan Agustus 2.005 sampai Juli 2006. Responden adalah pekerja PT X bagian pengepakan yang menderita Rinitis Akibat Kerja.
Hasil Penelitian:
Kadar debu personal melebihi ambang batas (NAB = 4 mg/m3). Jumlah responden pada penelitian ini 80 orang, yang menderita Rinosinusitis Kronis Akibat Kerja sebanyak 35 orang.
Berbagai variabel diteliti untuk mencari hubungan dengan terjadinya Rinosinusitis Kronis Akibat Kerja, yaitu karakteristik responden, aspek K3 dan faktor rinogenik. Dengan uji statistik diketahui variabel yang bermakna adalah pendidikan (p = 0,037), merokok (p = 0,045) dan prosesus unsinatus (p = 0,000). Dengan analisis multivariat diketahui prosesus unsinatus merupakan faktor yang dominan untuk terjadinya Rinosinusitis Kronis Akibat Kerja.
Kesimpulan:
Prevalensi Rinosinusitis Kronis Akibat Kerja adalah 43,8%. Variabel pendidikan, perokok dan prosesus unsinatus bcrmakna untuk terjadinya Rinosinusitis Kronis Akibat Kcrja. Variabel yang paling dominan untuk terjadinya Rinosinusitis Kronis Akibat Kerja adalah prosesus unsinatus.

Background:
Nose. the upper organ of respiratory tract system suffered directly from flour dust exposure. Deposit of flour dust particles during inhalation and exhalation accumulated mostly in the nose, acted as stimulator as well as generating inflammatory effect on nasal and paranasal sinus mucosa.
Method:
This research design was cross sectional carried out in flour factory Jakarta. Duration of study from August 2005 until July 2006. The subjects were from flour packing workers department and were diagnosed occupational rhinitis before.
Result:
The level of personal dust exposure exceeded threshold limit, value of 4 mglm3. The total subjects was 80 workers, in which 35 workers were being as diagnosed occupational chronic _rhinosinusitis, i:e is demographic, occupational and rhinogenic factors. Using bivariate statistical analysis, education (p = 0,037), smoking (p = 0,045) and procesus uncinatus (p =0,000) were identified as having significant relationship. In the logistic regression function analyses only procesus uncinatus was identified as the determinant of occupational chronic rhinosinusitis.
Conclusion:
The prevalence of occupational chronic rhinosinusitis is 43,8%. While education, smoking and procesus uncinatus are the variables identified as major risk factors. Procesus uncinatus in the logistic regression then identified as the determinant of having occupational chronic rhinosinusitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inis Sumiati
"Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dijumpai di masyarakat, insiden rinitis alergi menurut WHO - ARIA 2001 antara 1 - 18%, sedangkan insiden rinitis alergi di Jakarta cukup tinggi antara 10-20%. Rinitis alergi adalah kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung yang diperantarai oleh Ig E, dengan gejala khas berupa hidung tersumbat, rinore, hidung gatal dan bersin.
Sumbatan hidung merupakan gejala yang umum dan penting serta merupakan keluhan yang sangat mengganggu pada pasien rinitis alergi dan sulit untuk mengevaluasinya. Sebenamya gejala sumbatan hidung ini dapat diukur secara obyektif dengan menggunakan rinomanometri.
Efek vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibat proses inflamasi dan pembengkakan mukosa menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada pasien rinitis alergi. Skor sumbatan hidung merupakan salah satu parameter untuk menilai derajat sumbatan hidung. Untuk itu diperlukan pemeriksaan THT yang dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengevaluasi gejala sumbatan hidung. Salah satu pemeriksaan obyektif untuk mengukur nilai tahanan hidung adalah dengan pemeriksaan rinomanometri.
Rinomanometri adalah suatu teknik mengukur tahanan jalan napas hidung, sebagai alat diagnostik adanya sumbatan hidung, mengevaluasi fungsi jalan napas, dan mengevaluasi efektifitas pengobatan.
Di luar negeri telah banyak dilakukan penelitian tentang penilaian sumbatan hidung dan tahanan hidung dengan menggunakan rinomanometri. Penelitian pads pasien rinitis alergi dengan menggunakan rinomanometri dilakukan oleh Ciprandi (2406) dengan melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah pemberian dekongestan pada pasien rinitis alergi. Huang (2006)12 melakukan penelitian untuk menentukan secara obyektif dan subyektif perubahan nilai tahanan hidung dan kualitas hidup pada pasien rinitis alergi perenial setelah dilakukan turbinoplasti inferior. Gosepath (2005)13 melakukan penelitian tes provokasi hidung untuk mengevaluasi pasien rinitis alergi dan non alergi rinitis. Shusterman (2003)14 meneliti tentang efek klorin inhalasi yang rnenyebabkan sumbatan hidung pada pasien rinitis alergi tanpa pemecahan sel mastosit. Kohan (1998) yang membandingkan efektifitas dua macam kortikosteroid semprot hidung pada pengobatan sumbatan hidung penderita rinitis alergi. HasiI penelitiannya menunjukkan bahwa rinomanometri anterior merupakan parameter objektif yang dipercaya berhubungan dengan perbaikan gejala sumbatan hidung yang dirasakan terhadap tahanan jalan napas. Meltzer (1998) meneliti tentang efektifitas pemberian kortikostemid topikal yang diukur dengan rinomanometri anterior. Ditemukan hubungan yang bermakna antara nilai tahanan hidung dengan sumbatan hidung. AIat rinomanometri NR6 pertama kali digunakan di Indonesia untuk penelitian tahun 1995 oleh Trimartani yang dilakukan pada pasien orang normal untuk mendapatkan nilai tahanan hidung orang normal, yaitu sebesar 0,24 Pa/cm3/det dengan standar deviasi 0,09 Pa/cm3/det pada tekanan standar 75 Pa. Pasien dengan keluhan sumbatan hidung belum terbukti bahwa nilai tahanan hidung berhubungan dengan derajat sumbatan.
Di Indonesia, penelitian pada pasien rinitis alergi dengan sumbatan hidung menggunakan rinomanometri belum pernah dilakukan, sehingga belum didapatkan gambaran nilai tahanan hidung pada pasien rinitis alergi, khususnya pasien rinitis alergi persisten sedang berat.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang nilai tahanan hidung pada pasien rinitis alergi persisten sedang berat.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18034
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanti Nuraeni
"Arteri etmoidalis anterior (AEA) adalah landmark penting pada tindakan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.Tomografi komputer dapat mengidentifikasi landmark AEA yang dapat membantu dokter bedah untuk menemukannya.
Tujuan penelitian: untuk mencari hubungan adanya pneumatisasi supraorbita dan konfigurasi fosa olfaktorius dengan posisi AEA menggantung di bawah basis kranii serta untuk mengetahui proporsi variasi posisi anatomi AEA terhadap basis kranii.
Metode penelitian: retrospektif terdiri dari 552 CT kepala tanpa kontras teknik MPR yang terbagi dalam 4 kelompok, masing-masing 138 sampel.
Hasil penelitian: pneumatisasi supraorbita (OR= 106 (IK95%: 49,06 - 230,61)) dan fosa olfaktorius tipe dalam (OR= 2,55 (IK95%: 1,51 - 4,31)) merupakan faktor risiko adanya posisi AEA menggantung di bawah basis kranii,dengan model formula probabilitas AEA menggantung = 1 / {1 + exp (1.523 - 4.667 x pneumatisasi supraorbita - 0.936 x tipe fosa olfaktorius)}. Proporsi posisi AEA menggantung di bawah basis kranii sebanyak 62% dan posisi AEA tepat setinggi basis kranii sebanyak 38%.
Kesimpulan: Pneumatisasi supraorbita dan fosa olfaktorius tipe dalam meningkatkan kemungkinan adanya posisi AEA menggantung di bawah basis kranii dengan pneumatisasi supraorbita merupakan faktor risiko dominan dibandingkan fosa olfaktorius. Proporsi posisi AEA menggantung di bawah basis kranii lebih banyak dibandingkan posisi AEA tepat setinggi basis kranii.

The anterior ethmoidal artery (AEA) is an important landmark for FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery). CT scan can identify landmark AEA to help the ENT surgeons find the AEA.
Aim: to correlate the presence of supraorbital pneumatization and olfactory fossa with the free AEA under the skull base, and to get proportion of AEA variations from the skull base.
Material and methods: Retrospective review of 552 paranasal sinus and head CT scans with Multi Planar Reformattion (MPR) technique that consists of 4 group.
Result: Supraorbita pneumatization (Odds Ratio = 106 (CI95%: 49,06 to 230,61)) dan deep olfactory fossa (Odds Ratio = 2.55 (CI95%: 1,51 to 4,31)) are the risk factors for the presence of the free AEA under the skull base, with probability formula of the free AEA =1 / {1 + exp (1.523 - 4.667 x supraorbita pneumatization - 0.936 x configuration of olfactory fossa)}. Proportion of the free AEAs that course under the skull base is 62% and the proportion of the AEAs that course in the skull base is 38%.
Conclussion : Supraorbita pneumatization and the deep olfactory fossa increase probability of the free AEAs that course under the skull base where supraorbita pneumatization is the dominan risk factor compare to olfactory fossa. Proportion of the free AEAs that course under the skull base is more than the AEAs that course in just the skull base.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chitra Jenni
"ABSTRAK
Penelitian ini menilai hubungan dan faktor risiko perluasan pneumatisasi sinus sfenoid ke prosesus klinoid anterior (PKA) terhadap dehiscence dan protrusio AKI dan SO, dua struktur penting yang perlu diwaspadai dalam bedah yang melibatkan sinus sfenoid. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain perbandingan potong lintang. Dari hasil penelitian diperoleh perbedaan yang bermakna antara dehiscence AKI, dehiscence SO, protrusio AKI, dan protrusio SO pada kelompok dengan pneumatisasi PKA dan tanpa pneumatisasi PKA (p=0,004, p<0,001, p<0.001, dan p<0,001). Sebagai kesimpulan, perluasan pneumatisasi sinus sfenoid ke PKA berhubungan dan merupakan faktor risiko terhadap dehiscence dan protrusio AKI dan SO di dinding superolateral sinus sfenoid.

ABSTRACT
This study assessed the relationship and risk factors of extensive pneumatization of sphenoid sinus to the anterior clinoid process (ACP) against risk of dehiscence and protrusion of ICA and ON, two important structures that need to watch out for in surgery involving sphenoid sinus. This study is an analytic study using cross-sectional comparative design. There is significant differences between dehiscence of ICA, dehiscence of ON, protrusion of ICA, and protrusion of ON in group with and without ACP pneumatization (p=0.004, p<0.001, p<0.001, and p<0.001). As conclusion, the extensive pneumatization of sphenoid sinus to the ACP is related to and is one of risk factor for dehiscence and protrusion of ICA and ON on superolateral wall of sphenoid sinus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58557
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunjung Prasetyo Nugroho
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Sinusistis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dengan berbagai faktor penyebab: variasi anatomi, infeksi bakterial/virus, alergi dan lain-lain. Deviasi septum nasi dan sinusitis kronis dapat mempengaruhi volume sinus maksila. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara derajat deviasi septum nasi dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila. Metode : Penelitian retrospektif dengan desain kasus-kontrol, jumlah sampel diambil konsekutif dari sistem PACS hingga 86 subjek. Dilakukan pengukuran derajat deviasi septum nasi dan volume sinus maksila dari 3 dimensi. Hasil : Didapatkan rerata deviasi septum nasi pada kelompok kasus 9,35 3,05 derajat Derajat I dan II , dan 10,62 4,11 derajat Derajat I dan II pada kelompok kontrol. Volume sinus maksila sisi ipsilateral satu sisi dengan deviasi septum nasi pada kelompok kasus cenderung lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak berbeda signifikan p>0,05 . Volume sinus maksila ipsilateral yang disertai kejadian sinusitis kronis maksila ipsilateral tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol p>0,05 . Uji korelasi negatif yang tidak signifikan pada hubungan derajat deviasi septum nasi dengan delta volume sinus maksila ipsilateral baik kelompok kasus maupun kontrol. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara deviasi septum nasi Derajat I dan II dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila

ABSTRACT
Background and purpose Sinusistis is an inflammatory of mucosal sinuses by various factors anatomic variations, bacterial virus, allergies and others. Nasal septal deviation and chronic sinusitis can affect maxillary sinus volume. This study aims to assess the relationship between the degree of nasal septal deviation with the incidence of chronic maxillary sinusitis and maxillary sinus volume changes. Methods The study was a retrospective case control design, consecutive samples taken from the PACS system up to 86 subjects. Measurement of the degree of nasal septal deviation and maxillary sinus volume from 3 dimensions. Results the mean of nasal septal deviation in the case group 9.35 3.05 degrees Grade I and II , and 10.62 4.11 degrees Grade I and II in the control group. The ipsilateral maxillary sinus volume the same side with the nasal septal deviation in the case group tended to be smaller than the control, but did rsquo t differ significantly p 0.05 . The ipsilateral of the maxillary sinus volume with ipsilateral chronic maxillary sinusitis incidence not significantly different compared to control p 0.05 . Test negative correlation was not significant relationship of the degree of nasal septal deviation with ipsilateral maxillary sinus volume delta, both groups of cases and controls. Conclusion There is no significant relationship between nasal septal deviation Grade I and II and the incidence of chronic maxillary sinusitis and change of maxillary sinus volume."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Syifa Hidayati
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Rinosinusitis kronis adalah penyakit dengan morbiditas tinggi. Saat ini terdapat kelompok pasien resisten terhadap pengobatan medikamentosa dan pembedahan (rinosinusitis refrakter atau recalcitrant). Salah satu penyebab RSK refrakter adalah osteitis. Osteitis dapat dinilai secara histopatologi atau dengan pencitraan menggunakan CT scan. Selama ini penilaian derajat penyakit secara pencitraan menggunakan CT scan, dengan menilai penebalan mukosa (Lund Mackay Staging System). Sementara pada saat ini juga terdapat sistem skoring penilaian untuk osteitis, salah satunya adalah Global Osteitis Scoring Scale. Penelitian ini bertujuan melihat apakah derajat berat inflamasi mukosa setara dengan derajat osteitis pada CT scan.
Metode : Studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder CT scan sinus paranasal pasien rinosinusitis kronis.
Hasil : Dari 40 sampel yang dianalisis hanya terdapat 3 sampel dengan osteitis. Pada sampel dengan osteitis, skor GOSS yang tinggi tidak selalu bersesuaian dengan skor LMSS yang lebih tinggi. Tidak terdapat korelasi antara skor GOSS dan LMSS pada pasien rinosinusitis kronis (r =0,20; p=0,225)
Kesimpulan : Tidak ada korelasi antara skor GOSS dan LMSS pada sampel RSK tanpa polip yang belum dilakukan pembedahan.

ABSTRACT
Background and objective : Chronic rhinosinusitis is a common diseasewith significant morbidity. Nowadays there are subset of patients that remain quite resistant to medicine and surgery (referred as refractory or recalcitrant rhinosinusitis). One of the etiology is thought to be osteitis. Osteitis could be seen histopatologically or by using imaging (CT scan). As this far the study of disease severity mostly done with CT scan using CT score (Lund-Mackay Staging System) and osteitis is tend to overlooked. There are scoring systems to classify the severity of osteitis, and one of these is Global Osteitis Scoring Scale. This study aim to see the correlation between osteitis and mucosal inflammation severity .
Metode : Crossectional study using data of paranasal sinuses CT scan from patients with chronic rhinosinusitis.
Result : Of 40 samples analyzed, there are 3 samples have osteitis. From samples with osteitis, higher GOSS score does not always corresponding to higher LMSS score. There is no correlation between GOSS score and LMSS score in patients with chronic rhinosinusitis (r =0,20; p=0,225).
Conclusion : No correlation between severity of mucosal inflammation with osteitis in chronic rhinosinusitis without polyp that donot undergo surgery."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Parmaditya Pamungkas
"Latar belakang: SARS-CoV2, virus yang menyebabkan COVID-19 merupakan masalah kesehatan terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini. Gangguan penghidu dan pengecap saat ini telah diakui menjadi suatu entitas gejala pada COVID-19 namun studi terkait evaluasi objektif dan tata laksana gangguan ini masih sangat terbatas. Tujuan penelitian: Mengetahui gambaran klinis gangguan penghidu pada COVID-19 berdasarkan uji penghidu alkohol (UPA) dan uji penghidu intravena (UPI) serta efektifitas terapi hidung sebagai tambahan terapi standar pasien COVID-19 dengan gangguan penghidu. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol paralel dengan penyamaran tunggal pada 2 kelompok menggunakan 24 pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengalami gangguan penghidu dan dirawat di RS Cipto Mangunkusumo periode Juli-Oktober 2020. Penapisan gangguan penghidu menggunakan UPA dan dilanjutkan dengan UPI. Protokol terapi hidung yang digunakan terdiri dari steroid intranasal, cuci hidung Nacl 0,9%, dekongestan topikal dan balsam aromatik selama 2 minggu kemudian dilakukan analisis statistik perbedaan delta pada hasil pemeriksaan UPA dan UPI menggunakan Uji T independent atau Uji Mann Whitney. Hasil: Terdapat 4 subyek yang keluar dari penelitian dan analisis akhir dilakukan hanya pada 10 subyek per kelompok. Pada pengukuran awal didapatkan rerata nilai pengukuran UPA yang terganggu (kontrol 5,13 ± 3,79; terapi 2,6 ± 2,23). Pada pemeriksaan UPI didapatkan perlambatan onset UPI {kontrol 26 (8-300); terapi :131,5 (20-300)} penurunan nilai durasi {(kontrol:111 (0-182); terapi:44 (0-70)}. Uji perbedaan delta semua variabel pasca terapi didapatkan bahwa terdapat hasil perbedaan signifikan pada onset UPI kelompok terapi (p<0,001) dibandingkan kontrol. Terdapat peningkatan persentase perbaikan semua biomarka: UPA (170,13%), onset UPI (13,45%), dan durasi UPI (32,82%) pada kelompok terapi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan keunggulan persentase >10%. Kesimpulan: Karakteristik gambaran gangguan penghidu pada subyek COVID-19 pada penelitian ini sesuai dengan jenis gangguan penghidu sensorineural. Subyek pada kedua kelompok mengalami perbaikan gangguan penghidu pasca follow up 2 minggu. Pemberian terapi hidung memberikan nilai tambah dengan bukti awal perbaikan pada nilai onset UPI dibanding pemberian terapi standar saja.

Background: SARS-CoV2, the virus that causes COVID-19, makes the disease biggest health problem the world facing today. Smell and taste disorders are currently recognized as a symptom entity in COVID-19, but studies related to objective evaluation and management of this disorder are still very limited. Aim : To evaluate the clinical presentation of olfactory disorders in COVID-19 based on the alcohol sniff test (AST) and the intravenous olfaction test (IOT) and the effectiveness of the nasal therapy protocol as an adjunct to standard therapy in COVID-19 patients with olfactory disorders. Methods: This study was a two-group single-blind randomized trial of 24 COVID-19 patients with olfactory disorders in Cipto Mangunkusumo General Hospital from July to October 2020. Assestment of olfactory function in this study was performed using AST and IOT. Screening for olfactory disorders performed using AST and followed by IOT. The nasal therapy used consisted of intranasal steroids, Nacl 0,9% nasal washing, topical decongestants and aromatic balms for 2 weeks. Statistical analysis of delta differences was carried based on the results of AST and IOT using independent T test or Mann Whitney test. Results: Four subject were lost to follow up. The final analysis was performed on each 10 subjects per group. The initial measurement showed all subjects included in this study have decreased AST value (control: 5.13 ± 3.79; therapy: 2.6 ± 2.23). Late onset IOT {control: 26 (8-300); therapy: 131.5 (20-300)}, decreased duration {(control: 111 (0-182); therapy: 44 (0-70)}. Statistical tests of delta differences of all post-therapy variabel found that there were significant results on delta IOT latency in the treatment group (p <0.001). There were difference of the percentage improvement of AST (170.13%), IOT onset (13.45%), and duration of IOT (32.82%) in the therapy group compared to the control group. with a percentage advantage >10% Conclusion: The characteristics of the olfactory disorder in COVID-19 subjects in this study were in accordance with the type of sensorineural olfactory disorders. Both subject of two groups have showed improvement in two weeks follow up. The administration of a nasal therapy provides early evidence of improvement in the IOT onset value compared to standard therapy alone."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arroyan Wardhana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas gambaran dan hubungan deviasi septum, konka bulosa dan defleksi PU ke lateral yang terjadi bersamaan pada pasien rinosinusitis kronik berdasarkan tomografi komputer dengan menggunakan piranti lunak OsiriX. Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode potong lintang. Hasil penelitian ini mendapatkan sebaran deviasi septum, konka bulosa dan defleksi PU ke lateral yang terjadi bersamaan pada rongga hidung sisi kanan sebesar 32,1% dan rongga hidung sisi kiri sebesar 29,5%. Selain itu didapatkan adanya hubungan deviasi septum, konka bulosa dan defleksi PU ke lateral yang terjadi bersamaan sebagai faktor risiko sebesar 9 kali terhadap terjadinya sinusitis maksila homolateral dibandingkan bila ketiga variasi anatomi tersebut tidak bersamaan (OR=9,09).

ABSTRACT
The focus of this study are the descriptions and the relationship in concurrent septum deviation, concha bullosa and lateral deflection of uncinate process (UP) in chronic rhinosinusitis based on CT scan using OsiriX software. This research is an observational researh using cross-sectional method. Results of this research are that concurrent septum deviation, concha bullosa and lateral deflection of uncinate process (UP) in the right nasal cavity is 32,1% and 29,5% in the left nasal cavity. Other result is that concurrent septum deviation, concha bullosa and lateral deflection of uncinate process (UP) has a 9 times risk factor for homolateral maxillary sinusitis when compared with the three anatomical variations each (OR=9,09)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>