Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Setyo Budi Premiaji Widodo
"Pendahuluan: Lem fibrin telah secara rutin digunakan dalam prosedur bedah saraf. Substansi ini dapat diperoleh dengan beberapa metode, dua yang paling populer adalah lem fibrin komersial (LK) yang siap pakai dan lem fibrin sintesis mandiri (SM). Studi ini membantu dokter bedah memilih lem yang sesuai dengan kebutuhan mereka, berdasarkan perbandingan sifat lekat mereka dalam pengukuran yang terstandar. Metode: lem fibrin komersial yang siap pakai dan lem fibrin sintesis mandiri diuji dengan uji tromboelastograf. Kenormalan distribusi data diuji dengan Shapiro-Wilk. Uji perbandingan dilakukan menggunakan uji Mann Whitney. Hasil: SM memiliki waktu reaksi (R) yang lebih lama daripada LK, dengan median 17,4 (12,3-20,1) menit dibandingkan dengan 0,2 menit, nilai p <0,001. SM memiliki nilai K (K) yang lebih lama daripada LK, dengan median 2,2 (2,0-2,8) menit dibandingkan dengan 0,8 menit, nilai p <0,001. SM memiliki amplitudo maksimum kekuatan (MA) yang lebih rendah daripada LK, dengan median 67,4 (63,9-69,4)% dibandingkan dengan 87,4 (80,9-92,5)%, nilai p <0,001. Secara kualitatif, LK memiliki trombus yang lebih pejal sedangkan trombus SM terikat pada cangkir TEG sampai akhir uji. Kesimpulan: Penulis menyarankan menggunakan SM untuk menutup perdarahan atau kebocoran yang tidak memiliki tekanan tinggi karena memiliki MA yang lebih rendah. Teknik premixed dapat digunakan untuk mengatasi R dan K yang lebih lama.

Introduction: Fibrin glues have been used routinely in Neurosurgery procedures. This substance can be obtainad by several method, two most popular are ready-to–use two-component fibrin glue and cryoprecipitate glue. However, the popularity between two products are not equal. This study help surgeon choose better glue suitable to their need, based on comparison of their adhesive properties in standarized measurement. Methods: cryoprecipitate glue (CG) and two-component fibrin glue (TG) was tested by thromboelastograph assay analyzer. The data’s normality of distribution was tested by Shapiro-Wilk. The comparison test was done using Mann Whitney test.
Results: CG has longer reaction time (R) than TG, with a median of 17.4 (12.3-20.1) minutes compared to 0.2 minutes, p value <0.001. CG has longer K value (K) than TG, with a median of 2.2 (2.0-2.8) minutes compared to 0.8 minutes, p value <0.001. CG has lower maximum amplitude of strength (MA) than TG, with a median of 67.4(63.9-69.4)% compared to 87.4(80.9-92.5)%, p value <0.001. Qualitatively, TG had more solid clot and CG’s clot attached to the TEG cup until the end of the test.
Conclusion: Authors recommend using CG to seal bleeding or leakage without high tension due to its lower MA. Premixed technique is more suitable to overcome longer R and K.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ande Fachniadin
"Latar Belakang. Salah satu komplikasi pada teknik kraniotomi ini adalah cedera pada saraf nervus fasialis cabang frontal sehingga terjadi paralisis pada otot frontal dan orbikularis oris. Komplikasi ini terjadi pada 30% kasus pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal. Masih terdapat perdebatan bagiamana melakukan preservasi yang baik pada nervus fasialis cabang frontal. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menghindari komplikasi ini seperti teknik seperti teknik miokutan, interfascialis, dan subfascialis. Penelitian ini memiliki tujuan mengetahui insiden terjadinya cedera nervus fasialis pada teknik interfascialis dan subfascialis.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal pada Januari - Juli 2018. Dilakukan penelusuran rekam medis dalam menilai teknik dan luaran cedera subjek.
Hasil. Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 20 (dua puluh) subjek pasien yang dilakukan preservasi nervus fasialis cabang frontal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 15% subjek mengalami cedera nervus fasialis cabang frontal pada saat segera setelah tindakan. Pasca 3 bulan tindakan cedera didapatkan 5% subjek masih didapatkan cedera. Seluruh cedera didapatkan pada Teknik interfascialis.
Kesimpulan. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal pada pasien yang menjalani kraniotomi frontotemporal sebanyak 15%. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal menggunakan teknik interfascialis sebanyak 15% dan dengan teknik subfascialis sebanyak 0%.

Background. One of the major complications on frontotemporal craniotomy technique is injury to the frontal facial nerve, inducing paralysis to the frontal and orbicularis oris muscle. This complication occurs in 30% of patients with frontotemporal craniotomy. There are still some lively debates regarding proper preservation on frontal branch of the facial nerve. Some techniques have been developed in order to avoid this complication such as Miocutanenous, interfascialis and subfascialis techniques. This research aims to find the incident of injury to facial nerve on interfascialis and subfascialis techniques.
Method. This is a retrospective cross-sectional research performed in Neurosurgery Department of FKUI-RSCM on patients with frontotemporal craniotomy on January to July 2018. All suitable patients medical record was inspected and studied for the techniques and the occurrence of post-operative side effects.
Results. Within the time limit, we found 20 (twenty) subject patients with frontal branch of facial nerve that matched the inclusion and exclusion criterias. It was found that 15% of the subjects have had their frontal branch of facial nerve injured immediately after surgery, and 5% after 3 months of recuperation. All injuries was found in interfascialis technique.
Conclusion. The incident of injury on the frontal branch of the facial nerve after frontotemporal craniotomy was 15%, with the interfacialis technique contributing to the whole 15% while the subfascialis technique with 0%
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rezaalka Helto
"Latar Belakang: malformasi arteri-vena (MAV) adalah struktur abnormal yang menyebabkan fistula antara arteri dan vena tanpa perantara kapiler. MAV serebral memiliki risiko ruptur yang tinggi, dimana keadaan ruptur dapat menyebabkan kondisi katastrofik bagi pasien. Terdapat berbagai modalitas penatalaksanaan dalam manajemen MAV, seperti reseksi, embolisasi endovaskular, pembedahan stereotaktik, atau kombinasi tindakan-tindakan tersebut. Penelitian mengenai MAV sudah banyak dilakukan di luar negeri, namun masih sedikit dilakukan di Indonesia.
Tujuan: memperoleh data profil klinis, manajemen, luaran, dan gambaran pembiayaan pasien MAV serebral di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, serta memperoleh hubungan antara variabel tersebut.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan memperoleh data dari rekam medis pasien sejak tahun 2012 hingga 2021.
Hasil: sebanyak 128 tindakan dilakukan pada pasien MAV serebral di RSCM. Jenis tindakan terbanyak adalah DSA diagnostik, disusul dengan GKRS dan embolisasi. Pada tindakan embolisasi,  luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan atara pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran. Pada tindakan GKRS, luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, mual muntah, penurunan kesadaran, hemiparesis, dan hemihipestesia. Median persentase obliterasi GKRS adalah 51,86%. Data tindakan reseksi tidak dianalisis karena jumlah sampel tidak mencukupi. Biaya tindakan paling tinggi adalah tindakan GKRS, dengan rerata pembiayaan tindakan sebesar Rp. 134.878.643,00.
Kesimpulan: dibandingkan dengan embolisasi dan reseksi, tindakan GKRS menunjukkan luaran klinis yang lebih baik dengan nilai median obliterasi 51,86%, namun merupakan tindakan dengan pembiayaan paling tinggi dan tidak ditanggung oleh asuransi negara.

Backgrounds: Arteriovenous malformation (AVM) is an abnormal structure that causes fistulas between arteries and veins without capillary intermediaries. Cerebral AVM has a high risk of rupture, where the state of rupture can cause catastrophic conditions for the patient. There are various treatment modalities in the management of AVM, such as resection, endovascular embolization, stereotactic surgery, or a combination of the treatments above. Many researches on AVM have been carried out abroad, but little has been done in Indonesia.
Objective: to obtain data on clinical profiles, management, outcomes, and costs of cerebral AVM patients at Dr. Cipto Mangunkusumo, and to obtain the relationship between the variables.
Method: this study is a descriptive observational study by extracting data from patient medical records from 2012 to 2021.
Results: a total of 128 procedures were performed on cerebral AVM patients at RSCM. The most common type of procedure was diagnostic DSA, followed by GKRS and embolization. In the embolization procedure, the clinical outcomes that had a significant difference between pre and post-procedure were seizures, headache, and decreased consciousness. In the GKRS procedure, the clinical outcomes that had significant differences before and after the procedure were seizures, headache, nausea and vomiting, decreased consciousness, hemiparesis, and hemihypesthesia. The median percentage of GKRS obliteration was 51.86%. Resection data were not analyzed because the number of samples was insufficient. The highest cost of procedure is GKRS, with an average cost of action of Rp. 134,878,643.00.
Conclusion: compared to embolization and resection, the GKRS procedure showed a better clinical outcome with a median obliteration value of 51.86%, but it was the procedure with the highest cost and was not covered by national health coverage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Alfa Agustina
"Glioblastoma multiforme adalah tumor otak ganas yang bersifat agresif dan invasif dengan tingkat kekambuhan yang tinggi. Pada lingkungan mikro tumor ditemukan berbagai sitokin dan kemokin yang disekresikan sel stroma yang memiliki peranan terhadap pertumbuhan, proliferasi sel, ketahanan hidup sel maupun apoptosis sel. Salah satu sitokin proinflamasi yang ditemukan pada conditioned medium sel punca tali pusat adalah TNF-a. Penelitian sebelumya pada sel glioblastoma multiforme yang diberikan conditioned medium sel punca tali pusat menunjukkan peningkatan ketahanan hidup sel, namun belum diketahui bagaimana pengaruh pensinyalan TNF-α pada ketahanan hidup sel tersebut. Dengan demikian tujuan penelitian ini untuk medeteksi TNF-a pada conditioned medium sel punca tali pusat dan menganalisis dampak pemberian conditioned medium terhadap ekspresi dan persinyalan TNF-a yang mempengaruhi ketahanan hidup sel glioblastoma multiforme. METODE: Dilakukan kultur sel glioblastoma T98G dengan DMEM komplit hingga subkonfluen. Kemudian sel punca tali pusat dikultur dengan medium aMEM komplit hingga subkonfluen. Setelah subkonfluen medium sel punca tali pusat diganti dengan medium aMEM tanpa serum untuk membuat conditioned medium (CM) dan diinkubasi selama 24 jam. Level TNF-a dianalisis dengan tehnik ELISA pada conditioned medium tersebut. CM dibuat dengan konsentrasi 50% (v/v) yang diberikan pada sel glioblstoma T98G. Setelah 24 jam, sel T98G diekstraksi untuk isolasi RNA dan protein. RNA total diperoleh dengan menggunakan reagen TriPure dan ekspresi mRNA TNFR1, TNFR2, TRAF2, dan NFκB dianalisis dengan qRT-PCR menggunakan reagen Sensifast SYBR NO ROX kit. Analisis ekspresi relatif menggunakan rumus Livak. Penghitungan kadar protein TNFR2 menggunakan metode sandwich ELISA. Ketahanan hidup sel yang dianalisis dengan menggunakan Trypan Blue. Analisa statistik menggunakan uji t independen dengan software SPSS 23. HASIL: TNF-α terdeteksi pada conditioned medium sebesar 4,4 pg/ml. Ekspresi relatif mRNA TNFR1 meningkat 1,4 kali (p=0,038), ekspresi realtif mRNA TNFR2 meningkat 4,9 kali (p=0,001), ekspresi relatif mRNA TRAF2 meningkat 5,5 kali (p=0,00), dan ekspresi relatif mRNA NFκB meningkat 1,8 kali (p=0,001) dari kontrol. Konsentrasi TNFR2 pada sel T98G yang diinduksi CM (11,2 pg/mg protein) meningkat 1,4 kali dibandingkan kontrol (7,7 pg/mg protein). Terdapat peningkatan proliferasi sel glioblastoma multiforme 1,7 kali pada sel T98G dengan pemberian CM dibandingkan dengan kontrol (p=0,002). KESIMPULAN: Conditioned medium sel punca tali pusat meningkatkan ekspresi pensinyalan TNF-α yang mempengaruhi ketahanan hidup sel GBM T98G.
Glioblastoma multiforme is a malignant primry brain tumor which is aggressive and invasive. Tumor microenvironment contained cytokines and chemokines produced by MSCs stomal cells, could affect cell growth, proliferation, cell survival and apoptosis. One of the proinflammatory cytokines found in CM UCSCs is TNF a. On previous studies glioblastoma multiforme cells treated conditioned medium umbilical cord mesenchymal stem cell showed higher cell survival, but it was not known yet how the TNF a signaling affected these proliferations. Thus the purpose of this study was to detect TNF-a in the conditioned medium umbilical cord mesenchymal stem cell and to analyze the impact of the conditioned medium on the expression and cell survival of glioblastoma multiforme cells through TNF-α signaling. METHODS: Gliolblastoma multiforme T98G cells were cultured with complete DMEM high glucose until subconfluence. Then umbilical cord derived mesenchymal stem cells (UCSCs) were cultured on the αMEM medium complete with serum until subconfluence. Then UCSCs medium is replaced with the αMEM medium to make conditioned medium for 24 hours. TNF α was detected in CM UCSC by ELISA. CM UCSCs concentration is 50% (v/v) to treat T98G cells. After 24 hours, T98G cells was extracted for RNA and protein. RNA samples were extracted using TriPure reagents and mRNA expressions TNFR1, TNFR2, TRAF2, and NFκB were calculated by qRT PCR with SYBR NO ROX kit. Analysis of relative expressions mRNA using the Livak formula. Protein levels TNFR2 was measured using sandwich ELISA. Cell survival was analyzed by Trypan Blue Exclucion Test. Statistics analysis using student t test and PASW 23. RESULT: TNF-α level detected in CM-UCSCs was 4,4 pg/ml. The relative expression of mRNA TNFR1 higher 1.4 fold (p=0.038), mRNA TNFR2 higher 4.9 fold (p = 0.001), mRNA TRAF2 higher 5.5 fold (p=0,000), and mRNA NFκB higher 1.8 fold (p=0,001) to control. Protein TNFR2 in CM treated cells (11.5 pg/mg protein) was higher 1.4 fold to control (7.7 pg/mg protein). There was increase of proliferation T98G cells higher 1,7 fold to control (p = 0.002). CONCLUSION: Conditioned medium umbilical cord derived mesenchymal stem cells (CM UCSCs) have increased the expression of TNF-α signaling for T98G glioblastoma multiforme cell survival."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Hesti Candraningrum
"Glioblastoma multiforme (GBM) tergolong sebagai penyakit tumor agresif pada otak dan menyerang orang dewasa. Protocol Stupp digunakan sebagai regimen pengobatan GBM dimana melibatkan reseksi bedah, kemoradiasi, dan terapi monoagent kemoterapi dengan TMZ. Penggunaan TMZ yang berulang menimbulkan resistensi pada sel GBM dan membawa prognosis yang buruk pada pasien. Resistensi pada GBM didukung oleh sejumlah faktor intrinsik. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh kandidat biomarker resistensi terkait kepuncaan berhasil dilakukan melalui pencarian dataset dari GEO, analisis irisan diagram Venn, analisis pengayaan GO dengan DAVID dan ENRICHR, analisis pengayaan jalur dengan KEGG dan REACTOME, analisis survival dengan GEPIA, dan analisis pembanding ekspresi RNA dengan Human Protein Atlas, disertai dengan validasi qRT-PCR. Hasil penelitian uji in silico dan in vitro menunjukkan bahwa ekspresi mRNA PAQR6 dan ITPKB konsisten lebih tinggi pada sel T98G resisten TMZ, namun ekspresi mRNA TGFBI ditemukan signifikan lebih tinggi pada sel T98G resisten TMZ dibandingkan dengan sel U87MG. Selain itu, ditemukan ekspresi mRNA CD133 yang signifikan lebih tinggi sebagai penanda kepuncaan pada sel T98G dibandingkan sel U87MG. Kandidat biomarker resistensi terkait kepuncaan yang diperoleh diharapkan mampu digunakan pada level klinis dalam hal deteksi dini non- invasive pada pasien GBM. Meskipun demikian, masih diperlukan sejumlah studi lanjutan untuk mendukung studi awal penemuan biomarker ini.

Glioblastoma multiforme (GBM) is classified as an aggressive tumor disease of the brain and attacks adults. The Stupp Protocol is used as a treatment regimen for GBM which involves surgical resection, chemoradiation, and monoagent chemotherapy therapy with TMZ. Repeated use of TMZ creates resistance in GBM cells and carries a poor prognosis in patients. Resistance in GBM is supported by a number of intrinsic factors. The aim of this study was to obtain candidate biomarkers of resistance related to stemness successfully through dataset searches from GEO, Venn diagram intersection analysis, GO enrichment analysis with DAVID and ENRICHR, pathway enrichment analysis with KEGG and REACTOME, survival analysis with GEPIA, and comparative analysis of RNA expression with the Human Protein Atlas, accompanied by qRT-PCR validation. The results of in silico and in vitro studies showed that PAQR6 and ITPKB mRNA expression was consistently higher in TMZ-resistant T98G cells, but TGFBI mRNA expression was found to be significantly higher in TMZ-resistant T98G cells compared to U87MG cells. In addition, a significantly higher CD133 mRNA expression as a stemness marker was found in T98G cells compared to U87MG cells. It is hoped that the acquired disease-related resistance biomarker candidates will be able to be used at the clinical level in terms of non-invasive early detection in GBM patients. However, a number of further studies are still needed to support this initial study of biomarker discovery."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasan
"[ABSTRACT
Background : Spontaneous intracerebral hemorrhage is responsible for 10-15 % of stroke cases and associates with higher mortality rate compared to ischemic stroke or subarachnoid hemorrhage. The causative in 70-80% cases is caused by hypertension or amyloid angiopathy cerebral.
With mortality rate up to 40-50%, identification of risk factor that can be modified is crucial. Hypertension posed as a modifiable risk factor and contribute as the highest caused for spontaneous intracerebral hemorrhage. With the better control of the blood pressure we can lowering the risk of spontaneous intracerebral hemorrhage. In geriatric patients the risk can be lowered up to 50% if we could control the systolic blood pressure. Overall the relative risk of hypertensive patients compared to normotensive patients is about 3.9 ? 13.3. Men are more prone to intracerebral hemorrhage than women.
Clinical evaluation and diagnosis of spontaneous cerebral hemorrhage are based on clinical examination and other additional examination. The clinical exam is depend on the location and volume of hematome. For the additional exam, computed tomography scan can be done to detect the hemmorhage. Based on it?s location, spontaneous intracerebral hemorrhage can be classified into lobar, ganglia basal, thalamic, pons and cerebellar. Methods : This is a descriptive study with cross-sectional approach. The data in this study are gotten from the medical record unit of Cipto Mangunkusumo National Hospital. The population in this study are all of the spontaneous intracerebral hemorrhage patients which being consulted to the Neurosurgery Departement of Cipto Mangunkusumo National Hospital during January 2013 until August 2014 periods.
The method for getting the sample in this study is using consecutive sampling. The inclusion criteria in this study is spontaneous intracerebral hemorrhage cases which proven using CT scan and consulted to the Neurosurgery Departement of Cipto Mangunkusumo National Hospital during January 2013 until August 2014 periods. The exclusion criteria in this study is the patient that does not have complete data in the medical record. Results : In this study, there are 29 cases in male (63%) and 17 cases in female (37%) that diagnosed with the spontaneus intracerebral hemorrhage. For the location of hemorrhage, there are 19 cases located on basal ganglia (41,3%), 21 cases located on lobar (45,7%), 5 cases located on thalamus (10,9%) and 1 case located on cerebellum (2,1%).
From the bivariate analysis, we found that there is correlation between operative procedure to length of stay (p=0,012). But there are not any correlation between operative procedure to glasgow outcome scale (GOS) (p=0,708) and to the mortality outcome (p=0,472). There are not any correlation between the onset of PISS to the mortality outcome (p=0,09) and history of hipertension with mortality outcome (p=1,00). We found that there is correlation between glasgow coma scale (GCS) and mortality outcome (p=0,013). Based on the hemorrhage location, there is not any correlation between the location and the mortality outcome. (p=0,370). Conclusions :The conclusion of this study are, the spontaneous intracerebral hemorrhage is often occured in male with age 40-60 years old. Mostly, the location of intracerebral hemorrhage is on the basal ganglia. GCS is a parameter that has correlation with the spontaneous intracerebral hemorrhage, but history of hypertension does not have correlation with the outcome (mortality). Operative procedure will make longer length of stay of the patient and does not influence the GOS.

ABSTRAK
Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati.
Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita.
Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo.
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo ? Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap.
Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%).
Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi.;Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati.
Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita.
Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo.
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap.
Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%).
Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi., Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati.
Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita.
Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo.
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap.
Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%).
Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ande Fachniadin
"Latar Belakang. Salah satu komplikasi pada teknik kraniotomi ini adalah cedera pada saraf nervus fasialis cabang frontal sehingga terjadi paralisis pada otot frontal dan orbikularis oris. Komplikasi ini terjadi pada 30% kasus pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal. Masih terdapat perdebatan bagiamana melakukan preservasi yang baik pada nervus fasialis cabang frontal. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menghindari komplikasi ini seperti teknik seperti teknik miokutan, interfascialis, dan subfascialis. Penelitian ini memiliki tujuan mengetahui insiden terjadinya cedera nervus fasialis pada teknik interfascialis dan subfascialis.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal pada Januari-Juli 2018. Dilakukan penelusuran rekam medis dalam menilai teknik dan luaran cedera subjek.
Hasil. Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 20 (dua puluh) subjek pasien yang dilakukan preservasi nervus fasialis cabang frontal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 15% subjek mengalami cedera nervus fasialis cabang frontal pada saat segera setelah tindakan. Pasca 3 bulan tindakan cedera didapatkan 5% subjek masih didapatkan cedera. Seluruh cedera didapatkan pada Teknik interfascialis.
Kesimpulan. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal pada pasien yang menjalani kraniotomi frontotemporal sebanyak 15%. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal menggunakan teknik interfascialis sebanyak 15% dan dengan teknik subfascialis sebanyak 0%.

Background. One of the major complications on frontotemporal craniotomy technique is injury to the frontal facial nerve, inducing paralysis to the frontal and orbicularis oris muscle. This complication occurs in 30% of patients with frontotemporal craniotomy. There are still some lively debates regarding proper preservation on frontal branch of the facial nerve. Some techniques have been developed in order to avoid this complication such as Miocutanenous, interfascialis and subfascialis techniques. This research aims to find the incident of injury to facial nerve on interfascialis and subfascialis techniques.
Method. This is a retrospective cross-sectional research performed in Neurosurgery Department of FKUI-RSCM on patients with frontotemporal craniotomy on January to July 2018. All suitable patients' medical record was inspected and studied for the techniques and the occurrence of post-operative side effects.
Results. Within the time limit, we found 20 (twenty) subject patients with frontal branch of facial nerve that matched the inclusion and exclusion criterias. It was found that 15% of the subjects have had their frontal branch of facial nerve injured immediately after surgery, and 5% after 3 months of recuperation. All injuries was found in interfascialis technique.
Conclusion. The incident of injury on the frontal branch of the facial nerve after frontotemporal craniotomy was 15%, with the interfacialis technique contributing to the whole 15% while the subfascialis technique with 0%.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Tiarma Ully Banjarnahor
"Latar Belakang: Glioblastoma multiforme (GBM) merupakan tumor intrakranial yang sangat agresif dengan prognosis buruk meskipun telah diberikan terapi standar yang optimal. Kerusakan untai ganda DNA spontan dianggap berhubungan dengan ketidakstabilan genomik serta progresivitas kanker. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh parameter molekuler baru sebagai faktor prognostik yang diharapkan dapat digunakan dalam praktik klinis rutin pada GBM. Penelitian ini melakukan analisis korelasi antara miRNA-328 dengan gamma-H2AX (petanda kerusakan untai ganda DNA) serta perannya terhadap caspase-3 (petanda apoptosis), jalur PI3K/Akt (jalur sinyal teraktivasi), faktor klinis, dan kesintasan pada GBM.
Metode: Penelitian kohort retrospektif menggunakan jaringan tersimpan dari 26 pasien GBM yang diambil sebelum mendapat terapi lengkap. Jaringan dari 7 pasien glioma grade 1 digunakan sebagai kontrol. Analisis miRNA-328 menggunakan metode two-step qRT-PCR; analisis gamma-H2AX, PI3K, Akt, dan caspase-3 menggunakan metode Sandwich ELISA. Uji eksperimental in vitro menggunakan cell line GBM, U-87 MG, yang ditransfeksi dengan miRNA-328 untuk menganalisis peran miRNA-328 terhadap aktivitas ?-H2AX, caspase-3, serta viabilitas sel.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada konsentrasi miRNA-328, gamma-H2AX, PI3K, Akt antara kelompok GBM dengan glioma grade 1 (p<0,05). Pada kelompok GBM diperoleh korelasi negatif antara miRNA-328 dengan gamma-H2AX dan Akt (p<0,05); korelasi positif antara gamma-H2AX dengan PI3K, Akt, serta caspase-3 (p<0,05). Korelasi positif antara gamma-H2AX dengan ukuran tumor (p<0,05). Analisis Kaplan–Meier menunjukkan bahwa pada kelompok GBM dengan konsentrasi miRNA-328 tinggi memiliki kesintasan lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan konsentrasi miRNA-328 rendah (p<0,05); sedangkan pada kelompok GBM dengan konsentrasi gamma-H2AX tinggi memiliki kesintasan lebih rendah dibandingkan kelompok dengan konsentrasi gamma-H2AX rendah (p<0,05). Hasil analisis univariat cox regression menunjukkan miRNA-328 dan gamma-H2AX memiliki peran sebagai faktor prognostik potensial pada GBM (p<0,05), sedangkan analisis bivariat menunjukkan potensi miRNA-328 sebagai faktor prognostik independen (p<0,05). Hasil uji in vitro menunjukkan bahwa konsentrasi miRNA-328 berbanding terbalik dengan gamma-H2AX dan viabilitas sel; konsentrasi miRNA-328 berbanding lurus dengan caspase-3; konsentrasi gamma-H2AX berbanding terbalik dengan caspase-3; serta konsentrasi gamma-H2AX berbanding lurus dengan viabilitas sel GBM.
Kesimpulan: MiRNA-328 dan gamma-H2AX sebagai parameter molekuler memiliki potensi sebagai faktor prognostik yang berpengaruh terhadap kesintasan sehingga diharapkan penggunaannya dalam praktik klinis rutin dapat meningkatkan respons terapi serta prognosis pada pasien GBM. Penelitian lebih lanjut dengan metode kohort prospektif serta penelitian in vivo guna mendukung hasil penelitian ini.

Background: Glioblastoma multiforme is an intracranial tumor which has very aggressive behavior with poor prognosis even though optimal standard therapy has been given. The spontaneous DNA double-strand breaks have association with genomic instability and tumor progression. The objective of this study is to obtain the new molecular parameters that can be used in routine clinical practice as potential prognostic factors in GBM. This study analyzed the correlation between miRNA-328 and gamma-H2AX (marker of spontaneous DNA double-strand breaks) as well as their roles in caspase-3 (marker of apoptosis), PI3K/Akt pathway (activated signal transduction pathway), clinical factors, and survival in GBM.
Methods: A cohort retrospective study using pre-treatment tumor tissue specimens from 26 patients with GBM before undergoing complete therapy. Tumor tissue specimens from 7 patients with grade 1 glioma were used as controls in this study. The two-step qRT-PCR method was used to analyze the concentration of miRNA-328 and the Sandwich ELISA methods were used to analyze the concentrations of gamma-H2AX, PI3K, Akt, caspase-3.
Results: The comparison analyses between GBM group and grade 1 glioma group showed significant differences in miRNA-328, ?-H2AX, PI3K, and Akt concentrations (p<0.05). In GBM group, the results of statistical analyses showed negative correlations between miRNA-328 and gamma-H2AX, as well as Akt (p<0.05); positive correlations between ?-H2AX and PI3K, Akt, caspase-3 (p<0.05). Kaplan–Meier analysis in GBM showed that the high-concentration miRNA-328 group had a higher survival rate than the low-concentration miRNA-328 group (p<0.05); and the high-concentration gamma-H2AX group had a lower survival rate than the low-concentration gamma-H2AX group (p<0.05). The univariate cox regression analysis showed the potential roles of miRNA-328 and gamma-H2AX as prognostic factors in GBM (p<0.05), however the bivariate analysis showed miRNA-328 had potency as an independent prognostic factor (p<0.05).
Conclusion: MiRNA-328 and gamma-H2AX as molecular parameters have potency as prognostic factors that effect the survival rate so that the routine clinical application of these parameters can be expected to improve the therapy response and prognosis in GBM patients. Further studies with cohort prospective method and in vivo study to support the results of this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Gunawan
"Sel punca mesenkim (mesenchymal stem cells, MSC) merupakan turunan mesenkim yang dapat menghasilkan sejumlah turunan yang berbeda dan kemampuan untuk memperbarui diri, sehingga banyak digunakan dalam penelitian berbagai penyakit, termasuk penyakit sistem saraf pusat. Hingga saat ini, belum ada penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh sel punca terhadap dinding pembuluh darah normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah injeksi stem sel yang berasal dari bone marrow (bone marrow mesenchymal stem cells, BMMSC) tidak akan mengganggu struktur pembuluh darah sehat. Penelitian eksperimental yang menggunakan tikus Wistar laki-laki, berumur 20 - 24 minggu, dan normotensi yang diinjeksikan BMMSC dengan dosis 106 sel (kelompok A, 10 tikus), 3 x 106 sel (kelompok B, 12 tikus), dan kontrol (kelompok C, 12 tikus) secara intravena. Dua minggu setelah injeksi BMMSC, jaringan otak tikus, yaitu arteri serebri anterior (ACA) dan arteri serebral media (MCA) diperiksa secara histopatologi untuk mengukur diameter lumen, luas lumen, tebal dan luas tunika medika, dan tunika intima dievaluasi antarkelompok. Diameter lumen, luas lumen, ketebalan dan luas dari tunika muskularis dari ACA tidak signifikan berbeda bermakna antarkelompok (p > 0,05). Hasil sama didapatkan pada histopatologi MCA, dimana variabel diameter lumen, luas lumen, ketebalan dan luas tunika muskularis (p > 0,05). Studi ini tidak mendapatkan hiperplasia tunika intima dari arteri intrakranial antarkelompok. Pemberian BMMSC secara intravena pada tikus normotensi tidak membuat perbedaan bermakna pada diameter lumen, luas lumen, ketebalan tunika muskularis, luas tunika muskularis, dan adanya hiperplasia tunika intima pada struktur arteri intrakranial dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Mesenchymal stem cells (MSC) are mesenchymal derivatives with ability to produce different cells and have self-renewal property, so they are used in many degenerative diseases studies, including neurological diseases. Until now, there is no study which figure out the impact of stem cell to normal vascular wall yet. This study aims to investigate the effect of intravenous bone marrow mesenchymal stem cells (BMMSC) administration to intracranial artery in normotensive rats. An experimental study using normotensive, 20 - 24 weeks, male Wistar rats, which were injected BMMSC doses of 106 cells (group A, 10 rats), 3 x 106 cells (group B, 12 rats), and control (group C, 12 rats) intravenously. Two weeks after BMMSC injection, the rats were sacrificed, then anterior cerebral artery and middle cerebral artery were evaluated histopathologically for lumen diameter, lumen area, thickness and area of tunica muscularis, and tunica intima were evaluated between groups. The lumen diameter, lumen area, thickness and area of tunica muscularis of ACA were not significantly different between groups (p > 0.05). The similar results were also found in the middle MCA histopathology, which was no significant difference of lumen diameter, lumen area, thickness and area of tunica muscularis between groups (p>0.05). This study didnt find hyperplasia of tunica intima of intracranial arteries between groups. Intravenous administration of BMMSC in normotensive rats didnt make significant differences in lumen diameter, lumen area, thickness of tunica muscularis, area of tunica muscularis, and presence of tunica intima hyperplasia of the intracranial artery structure compared to control group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yutha Perdana
"Stroke yang disebabkan karena gangguan perfusi otak merupakan penyebab utama disabilitas dan kematian di seluruh dunia. Komplikasi stroke dengan angka mortalitas tinggi yaitu edema luas akibat infark arteri serebri media/middle cerebral artery (MCA) maligna yang kemudian diikuti deteriorasi neurologis cepat dan berujung pada luaran yang buruk dengan angka kematian sebesar 80%. Kraniektomi dekompresi sebagai tatalaksana infark MCA maligna diketahui dapat meningkatkan probabilitas keselamatan hingga lebih dari 80%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kesintasan dan kualitas hidup pasien infark MCA maligna 1, 3, 6, dan 12 bulan pasca-operasi kraniektomi dekompresi di Indonesia, hubungan luaran dengan terapi reperfusi pendahulu, dan menganalisis faktor-faktor yang telah diketahui dapat mempengaruhi luaran, yaitu usia, waktu pembedahan, dan diameter anteroposterior kraniektomi. Penelitian ini bersifat kohort retrospektif melalui pengambilan data rekam medis pasien infark MCA maligna yang dilakukan tindakan kraniektomi dekompresi di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, dan Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta (RS PON) pada tahun 2017-2022. Sebanyak 39 subjek masuk dalam kriteria inklusi. Dari seluruh subjek, sebanyak 51,3% subjek berusia <60 tahun, 48,7% dioperasi dalam waktu pembedahan <48 jam, 76,6% memiliki diameter kraniektomi 12-14 cm, dan 38,5% subjek mendapatkan terapi reperfusi pendahulu sebelum operasi. Dari hasil penelitian didapatkan 12 penyintas yang hidup pada akhir follow-up. Angka kesintasan pada bulan pertama sebesar 55% yang kemudian turun menjadi 36% pada 12 bulan follow-up (Kaplan-Meier). Dari 27 subjek yang meninggal, 17 subjek meninggal dalam bulan pertama perawatan pasca-operasi di rumah sakit (rentang 1-20 hari), sedangkan sisanya meninggal di luar perawatan rumah sakit. Penyebab tertinggi kematian yang diketahui yaitu infeksi. Dari 12 penyintas, 58% memiliki luaran fungsional yang buruk (modified Rankin scale 4-5) pada akhir follow-up. Tidak didapatkan adanya perbedaan signifikan angka kesintasan (p 0,779, log rank test) maupun luaran fungsional (p 0,929, Mann- Whitney test) pada kelompok yang mendapatkan terapi reperfusi maupun tidak. Dari analisis bivariat diketahui bahwa faktor usia, waktu pembedahan, dan diameter kraniektomi tidak berhubungan signifikan dengan kesintasan maupun luaran fungsional. Dari analisis multivariat dengan melibatkan faktor-faktor tambahan di luar faktor tersebut, diketahui jenis kelamin berhubungan signifikan terhadap luaran fungsional (p 0,032) sedangkan skor National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) pra-operasi berhubungan secara signifikan dengan kesintasan (p 0,028) dan luaran fungsional (p 0,004). Dari penelitian ini diketahui bahwa angka kesintasan 12 bulan pasien infark MCA Universitas Indonesia viii maligna yang dilakukan kraniektomi dekompresi yaitu sebesar 36% dan mayoritas penyintas memiliki luaran fungsional buruk. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menyertakan kelompok kontrol pasien infark MCA maligna yang tidak dilakukan kraniektomi dekompresi namun mendapatkan terapi konservatif maksimal agar dapat diketahui manfaat operasi melalui perbandingan luaran kedua kelompok tersebut.

Stroke caused by impaired brain perfusion is a major cause of disability and death worldwide. Stroke complication with high mortality rate is extensive edema due to malignant middle cerebral artery (MCA) infarction which is followed by rapid neurological deterioration and leads to poor outcomes with a mortality rate of 80%. Decompressive hemicraniectomy as a treatment for malignant MCA infarction has been known to increase the probability of survival by more than 80%. This study aims to determine the survival rate and functional outcome of patients with malignant MCA infarction in 1, 3, 6, and 12 months after decompressive hemicraniectomy in Indonesia, analyse impacts of prior reperfusion therapy to outcomes, and also analyse factors that are already known to affect outcome from literatures, which are age, timing of surgery, and anteroposterior craniectomy diameter. This study was a retrospective cohort by collecting medical record data of malignant MCA infarction patients who underwent decompressive hemicraniectomy at Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Fatmawati General Hospital, and Mahar Mardjono Jakarta National Brain Center Hospital from 2017-2022. A total of 39 subjects were included, 51.3% of them were aged <60 years, 48.7% were operated within <48 hours of onset, 76.6% had a craniectomy diameter of 12-14 cm, and 38.5% received reperfusion therapy prior to surgery. Results of the study, 12 subjects survived at the end of follow-up. The survival rate at the first month was 55% which then decreased to 36% at 12 months follow-up (Kaplan-Meier). Of the 27 subjects who died, 17 subjects died within the first month of post-operative care in the hospital (interval 1-20 days), with infection as the leading cause of death, while the rest died outside of hospital care. Of the 12 survivors, 58% had poor functional outcomes (modified Rankin scale 4-5). There was no significant difference in survival rate (p 0.779, log rank test) and functional outcome (p 0.929, Mann-Whitney test) in the group receiving reperfusion therapy or not. From the bivariate analysis, it was found that age, timing of surgery, and craniectomy diameter were not significantly related to survival or functional outcome. From the multivariate analysis including other additional factors, it was found that sex was significantly related to functional outcome (p 0.032) while the pre-operative National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) score was significantly related to survival (p 0.028) and functional outcome (p 0.004). From this study, it is known that the 12-month survival rate of malignant MCA infarction patients who underwent decompressive hemicraniectomy was 36% and the majority of survivors had poor functional outcomes. Further research is needed by including a control group of patients with malignant MCA infarction who did not undergo decompressive hemicraniectomy Universitas Indonesia x but received maximum conservative therapy in order to know the benefits of surgery by comparing the outcomes of the two groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library