Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siahaan, Samuel Dominggus Chandra
"Latar Belakang: Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah kondisi infeksi telinga tengah dan mastoid kronik yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah struktur tuba Eustachius. Morfometri tuba Eustachius dengan bidang referensi pada modalitas CT-scan memberikan pilihan non-invasif penilaian struktur tuba. Bidang Ku-Copson adalah bidang referensi baru morfometri tuba yang sebelumnya lebih umum menggunakan bidang Reid. Tujuan: Menilai pengaruh besar sudut kemiringan tuba Eustachius berdasarkan bidang Ku-Copson terhadap kejadian OMSK. Metode: Sebanyak 128 sampel telinga, 64 telinga kelompok normal dan 64 telinga kelompok OMSK diinklusi dalam penelitian ini. Pengelompokkan dilakukan berdasarkan diagnosis akhir berdasarkan rekam medis. Pengukuran sudut dilakukan dengan multiplanar reconstruction (MPR) pada HRCT kepala-leher. Analisis bivariat dengan menggunakan uji student T dilakukan untuk menilai perbedaan rerata kedua kelompok dengan Interval Kepercayaan (IK) 95%. Hasil: Terdapat perbedaan rerata yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok (p = 0,005). Rerata besar sudut pada kelompok telinga normal sebesar 27,20 ± 4,8 (SD) dan pada kelompok telinga OMSK sebesar 29,20 ± 3,2 (SD). Nilai AUC dari ROC besar sudut tuba Eustachius dalam diferensiasi kelompok telinga normal dan OMSK sebesar 0,62 (0,523 – 0,718), dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas pada nilai titik potong 28,50 adalah 56,3% dan 56,3%. Kesimpulan: Besar sudut kemiringan tuba Eustachius berdasarkan bidang referensi Ku-Copson pada kelompok telinga normal lebih besar dibandingkan pada kelompok telinga OMSK, dengan perbedaan sekitar 2 derajat antara kedua kelompok.

Background: Chronic suppurative otitis media (CSOM) is a chronic infection of middle ear and mastoid caused by various factors, one of which is the Eustachian tube. Eustachian tube morphometry based on reference plane on CT-scan provides a non-invasive option for assessing tube structure. The Ku-Copson plane is a new reference plane for tubal morphometry which previously used the Reid plane more commonly. Objective: To assess the influence of Eustachian tube angle based on the Ku-Copson plane on the presence of CSOM. Methods: A total of 128 ear samples, 64 ears on normal group and 64 ears on CSOM group, were included in this study. Grouping was based on the final diagnosis according to medical records. Angle measurements were carried out with multiplanar reconstruction (MPR) on head and neck HRCT. Student T test was used to analyse the mean difference of the two groups with a 95% Confidence Interval (CI). Results: There was a statistically significant mean difference between the two groups (p = 0.005). Mean tube angle in the normal ear group was 27.2 ± 4.8 (SD) and in the CSOM ear group was 29.2 ± 3.2 (SD). The AUC value of the of Eustachian tube angle ROC in discriminating normal ear and CSOM groups was 0.62 (0.523 – 0.718), with sensitivity and specificity at cutoff of 28.5 being 56.3% and 56.3%. Conclusion: The Eustachian tube angle based on the Ku-Copson plane in the normal ear group is greater than in the CSOM ear group, with a difference of around 20."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chitra Jenni
"ABSTRAK
Penelitian ini menilai hubungan dan faktor risiko perluasan pneumatisasi sinus sfenoid ke prosesus klinoid anterior (PKA) terhadap dehiscence dan protrusio AKI dan SO, dua struktur penting yang perlu diwaspadai dalam bedah yang melibatkan sinus sfenoid. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain perbandingan potong lintang. Dari hasil penelitian diperoleh perbedaan yang bermakna antara dehiscence AKI, dehiscence SO, protrusio AKI, dan protrusio SO pada kelompok dengan pneumatisasi PKA dan tanpa pneumatisasi PKA (p=0,004, p<0,001, p<0.001, dan p<0,001). Sebagai kesimpulan, perluasan pneumatisasi sinus sfenoid ke PKA berhubungan dan merupakan faktor risiko terhadap dehiscence dan protrusio AKI dan SO di dinding superolateral sinus sfenoid.

ABSTRACT
This study assessed the relationship and risk factors of extensive pneumatization of sphenoid sinus to the anterior clinoid process (ACP) against risk of dehiscence and protrusion of ICA and ON, two important structures that need to watch out for in surgery involving sphenoid sinus. This study is an analytic study using cross-sectional comparative design. There is significant differences between dehiscence of ICA, dehiscence of ON, protrusion of ICA, and protrusion of ON in group with and without ACP pneumatization (p=0.004, p<0.001, p<0.001, and p<0.001). As conclusion, the extensive pneumatization of sphenoid sinus to the ACP is related to and is one of risk factor for dehiscence and protrusion of ICA and ON on superolateral wall of sphenoid sinus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58557
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Canti Widharisastra
"Hidrosefalus adalah kelainan susunan saraf pusat yang ditandai dengan pelebaran sistem ventrikel. Diperlukan data mengenai ukuran ventrikel serebral normal sebagai batas ambang untuk mendiagnosis pelebaran ventrikel serebral awal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ukuran ventrikel serebral neonatus aterm normal dan melihat gambaran korelasi parameter pengukuran ventrikel serebral. Penelitian dilakukan terhadap 55 neonatus aterm normal menggunakan modalitas ultrasonografi untuk mendapatkan ukuran ventrikel serebral. Data kuantitatif yang diperoleh dihitung nilai rerata dan digunakan analisis bivariat Pearson/ Spearman untuk melihat gambaran korelasi parameter ukuran ventrikel serebral. Didapatkan rerata ukuran lebar kornu anterior ventrikel lateralis, indeks ventrikel, lebar ventrikel III, jarak talamo-oksipital dan ukuran ventrikel IV. Terdapat korelasi bermakna (p<0,05) antara: lebar kornu anterior kanan dengan indeks ventrikel kanan dengan arah korelasi positif dan kekuatan korelasi sedang (r= 0,506) dan lebar kornu anterior kiri dengan indeks ventrikel kiri dengan arah korelasi positif dan kekuatan korelasi sedang (r=0,488). Tidak terdapat korelasi bermakna (p>0,05) antara : lebar kornu anterior ventrikel lateralis kanan dengan jarak talamo-oksipital kanan dan dari lebar kornu anterior ventrikel lateralis kiri dengan jarak talamo-oksipital kiri. Rerata ukuran ventrikel serebral neonatus aterm normal: lebar kornu anterior ventrikel lateralis 1,50 mm (0,8-3,00 mm); indeks ventrikel 6,52 mm (3,39-12,10 mm); lebar ventrikel III 1,87 mm (0,93-3,80 mm); jarak talamo oksipital 14,82 ±1,69 mm dan ukuran ventrikel IV 4,06 ± 0,53 mm. Ukuran kornu anterior ventrikel lateralis yang besar biasanya disertai indeks ventrikel yang besar pula. Tidak terdapat korelasi antara lebar kornu anterior ventrikel lateralis dengan jarak talamo-oksipital.

Cerebral ventricular dilation is a sign of hydrocephalus. Late diagnosis and late treatment of hydrocephalus can cause parenchymal damage and even death. To diagnose early dilation of cerebral ventricles in neonates required data of the size of the cerebral ventricles as the normal threshold. The purpose of this study was to determine the size of the cerebral ventricles of normal full-term neonates and the correlation parameter ventricular measurement. Study of 55 normal full-term neonates by ultrasonography to establish measurement of parameters ventricular. Quantitative data were obtained calculated mean values and to determinate the correlation parameter cerebral ventricle measurements used bivariate analysis Pearson/ Spearman. Data obtained cerebral ventricular size parameters consisting of the anterior horn width lateral ventricle, ventricular index, the width of the third ventricle, talamo-occipital distance and the size of the fourth ventricle in healthy full-term neonates. There was significant (p <0.05) positive and moderate correlation between: right anterior horn width lateral ventricle with right ventricular index (r = 0.506) as well as left anterior horn width lateral ventricle with left ventricular index (r = 0.488). There were no significant correlation (p> 0.05) between: right anterior horn width lateral ventricle with right talamo-occipital distance and left anterior horn width lateral ventricle with left talamo-occipital distance. The mean size of the cerebral ventricles of healthy full-term neonates are: anterior horn width of the lateral ventricle 1.50 mm(0.8 to 3.00 mm); ventricular index 6.52 mm (3.39 to 12.10 mm); third ventricular width 1.87 mm (0.93 to 3.80 mm); Talamo-occipital distance 14.82 ± 1.69 mm and 4.06 ± fourth ventricle size of 0.53 mm. The greater width of the anterior horn of the lateral ventricle is usually accompanied by greater the ventricular index. There is no correlation between anterior horn width lateral ventricle with the talamo-occipital distance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bahtiar Yahya
"Pendahuluan: Keganasan berhubungan erat dengan keadaan hiperkoagulasi dan berisiko empat kali lipat untuk terjadinya trombosis. Magnetic resonance imaging (MRI) dan magnetic resonance venography (MRV) merupakan metode diagnostik bersifat tidak invasif dan memiliki dengan sensitifitas dan spesifisitas serta akurasi yang tinggi untuk menilai vena serebral dan parenkim otak, three dimensional contrast enhanced (3D-CE) MRV merupakan metode yang mendekati baku emas untuk diagnosis trombosis vena serebral. TVS. Sampai saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang membandingkan hasil pemeriksaan MRI serebral rutin dibandingkan dengan pemeriksaan 3D-CE-MRV dalam diagnosis trombosis vena serebra pada penderita keganasan.
Metode: Penelitian diagnostik dengan pendekatan potong lintang menggunakan studi prospektif untuk mengetahui tingkat sensitivitas dan spesifisitas MRI serebral rutin dibandingkan dengan 3D-CE-MRV dalam mendeteksi TVS penderita keganasan.
Hasil: MRI serebral rutin dalam menilai TVS pada penderita keganasan dibandingkan 3D-CE-MRV mempunyai nilai sensitivitas 90%, spesifisitas 50%, nilai duga positif 95% dan nilai duga negatif 75% serta nilai akurasi yang mencapai 95%, sehingga pemeriksaan MRI serebral rutin dapat dijadikan modalitas alternatif untuk diagnosis TVS. Lokasi trombosis yang tersering pada sinus sagitalis superior 63%, kemudian disusul oleh sinus transversus dan sinus rektus sebesar 31,7%, sinus kavernosus 27%, vena kortikal 25%, sinus sigmoid 12,7%, sinus sagitalis inferior 7,9%, sinus confluence 3,2% dan vein of Galen 1,6%. MRI serebral sekuens T1 kontras mempunyai sensitivitas mencapai 94,7% dan nilai spesifisitas 50%, terutama dalam evaluasi sistem vena superfisial, seperti sinus sagitalis superior dan vena kortikal dan terbatas pada sistem vena dalam.
Kesimpulan: MRI serebral rutin dapat dijadikan modalitas alternatif untuk diagnosis TVS.

Introduction: Malignancy closely associated with a hypercoagulable state and four-fold risk for thrombosis. Magnetic resonance imaging (MRI) and magnetic resonance venography (MRV) is a non-invasive diagnostic method and has the sensitivity and specificity as well as high accuracy for assessing cerebral venous and brain parenchyma, three-dimensional contrast enhanced (3D-CE) MRV is a method that approached the gold standard for the diagnosis of cerebral venous thrombosis (CVT). Until now there has been no research in Indonesia, which compared the results of routine cerebral MRI with 3D-CE-MRV in the diagnosis of cerebral venous thrombosis in patients with malignancy.
Methods: The study was cross-sectional diagnostic approach using a prospective study to determine the level of sensitivity and specificity of routine cerebral MRI compared with 3D-CE-MRV in detecting CVT patients with malignancy.
Results: Routine cerebral MRI with contrast in assessing CVT in patients with malignancy compared examination 3D-CE-MRV has a sensitivity value of 90% , specificity value of 50%, positive predictive value of 95% and negative predictive value 75% and as well as the accuracy rate reaches 95%, so the routine examination of cerebral MRI with contrast can be used as an alternative modality for the diagnosis of CVT. Thrombosis location are common in the superior sagittal sinus 63%, followed by the transverse sinus and straight sinus of 31.7%, cavernous sinus 27%, cortical veins 25%, sigmoid sinus 12.7%, inferior sagittal sinus 7.9%, confluence sinus of 3.2% and 1.6% vein of Galen. Cerebral MRI sequences T1 contrast has reached 94.7% sensitivity and specificity values of 50%, especially in the evaluation of the superficial venous system, such as the superior sagittal sinus and cortical veins and limited the deep venous system.
Conclusion: Routine cerebral MRI can be used as an alternative modality for the diagnosis of CVT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqa Sari
"Latar belakang dan Tujuan: Penyakit jantung koroner adalah penyakit kardiovaskular yang paling banyak di dunia. Aterosklerosis arteri koronaria adalah penyebab terbanyak dari penyakit tersebut. Stenosis aterosklerosis arteri koronaria dapat dinilai dengan multislice computed tomography coronary angiography (MSCT angiografi koronaria). Permasalahan saat ini adalah modalitas tersebut tidak tersedia di semua institusi kesehatan. Beberapa penelitian telah banyak menghubungkan angka kejadian perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Pemeriksaan perlemakan hepar dapat dilakukan dengan berbagai modalitas radiologi, salah satunya dengan pemeriksaan CT non dengan mengukur densitas hepar yang memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang baik. Pemeriksaan ini lebih sering dan mudah dilakukan daripada pemeriksaan MSCT angiografi koronaria. Mengetahui peranan pemeriksaan derajat perlemakan hepar diperlukan dalam memperkirakan derajat stenosis arteri koronaria.
Metode : Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder pada 32 pasien yang dilakukan pemeriksaan MSCT angiografi koronaria di RSPAD dalam rentang waktu Juni 2015 ? Desember 2015. Penilaian dilakukan dengan mengukur derajat perlemakan hepar pada CT Scan non kontras dan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria pada MSCT angiografi koronaria.
Hasil : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat perlemakan hepar dengan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Terdapat hubungan concordant yang cukup baik antara adanya perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria.
Kesimpulan : Berat ringannya derajat perlemakan hepar tidak mempunyai hubungan dengan berat ringannya derajat stenosis arteri koronaria, tetapi adanya perlemakan hepar dapat menjadi prediktor adanya stenosis arteri koronaria.

Background and Objective : Coronary heart disease is common cardiovascular disease in the world with the most common cause is coronary artery atherosclerosis. Stenosis of the coronary artery atherosclerosis assessed by multislice computed tomography coronary angiography. The problem is the modality is not available in all health institutions. Several studies have been associate between incidence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. Examination of fatty liver can be done with various radiology modalities, one of them with non contrast CT by measured attenuation of the liver which have a good sensitivity and specificity. These examination are more frequent and easier to do than MSCT coronary angiography. Recognizing the importance of the degree of fatty liver examination is required in estimating the degree of coronary artery stenosis.
Methods : A cross-sectional study using secondary data on 32 patients who underwent coronary angiography MSCT at the army hospital within the period June 2015 - December 2015. The assessment was conducted by measuring the degree of fatty liver in non-contrast CT Scan and the degree of stenosis of coronary artery atherosclerosis in MSCT coronary angiography.
Results: There was no significant correlation between the degree of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. There is a pretty good concordant relationship between the presence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis.
Conclusion: Severity of fatty liver degree do not have a relationship with severity degree of coronary artery stenosis, but the presence of fatty liver can be a predictor of coronary artery stenosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqa Sari
"Latar belakang dan Tujuan: Penyakit jantung koroner adalah penyakit kardiovaskular yang paling banyak di dunia. Aterosklerosis arteri koronaria adalah penyebab terbanyak dari penyakit tersebut. Stenosis aterosklerosis arteri koronaria dapat dinilai dengan multislice computed tomography coronary angiography (MSCT angiografi koronaria). Permasalahan saat ini adalah modalitas tersebut tidak tersedia di semua institusi kesehatan. Beberapa penelitian telah banyak menghubungkan angka kejadian perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Pemeriksaan perlemakan hepar dapat dilakukan dengan berbagai modalitas radiologi, salah satunya dengan pemeriksaan CT non dengan mengukur densitas hepar yang memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang baik. Pemeriksaan ini lebih sering dan mudah dilakukan daripada pemeriksaan MSCT angiografi koronaria. Mengetahui peranan pemeriksaan derajat perlemakan hepar diperlukan dalam memperkirakan derajat stenosis arteri koronaria.
Metode : Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder pada 32 pasien yang dilakukan pemeriksaan MSCT angiografi koronaria di RSPAD dalam rentang waktu Juni 2015 - Desember 2015. Penilaian dilakukan dengan mengukur derajat perlemakan hepar pada CT Scan non kontras dan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria pada MSCT angiografi koronaria.
Hasil : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat perlemakan hepar dengan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Terdapat hubungan concordant yang cukup baik antara adanya perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria.
Kesimpulan : Berat ringannya derajat perlemakan hepar tidak mempunyai hubungan dengan berat ringannya derajat stenosis arteri koronaria, tetapi adanya perlemakan hepar dapat menjadi prediktor adanya stenosis arteri koronaria.

Background and Objective : Coronary heart disease is common cardiovascular disease in the world with the most common cause is coronary artery atherosclerosis. Stenosis of the coronary artery atherosclerosis assessed by multislice computed tomography coronary angiography. The problem is the modality is not available in all health institutions. Several studies have been associate between incidence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. Examination of fatty liver can be done with various radiology modalities, one of them with non contrast CT by measured attenuation of the liver which have a good sensitivity and specificity. These examination are more frequent and easier to do than MSCT coronary angiography. Recognizing the importance of the degree of fatty liver examination is required in estimating the degree of coronary artery stenosis.
Methods : A cross-sectional study using secondary data on 32 patients who underwent coronary angiography MSCT at the army hospital within the period June 2015 - December 2015. The assessment was conducted by measuring the degree of fatty liver in non-contrast CT Scan and the degree of stenosis of coronary artery atherosclerosis in MSCT coronary angiography.
Results: There was no significant correlation between the degree of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. There is a pretty good concordant relationship between the presence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis.
Conclusion: Severity of fatty liver degree do not have a relationship with severity degree of coronary artery stenosis, but the presence of fatty liver can be a predictor of coronary artery stenosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Hermawan
"Latar belakang dan tujuan : Penurunan fungsi kognitif terjadi seiring bertambahnya usia dengan gangguan kualitas hidup yang menyertai. MRI kepala dapat melihat proses neurodegeneratif struktural dan patologi vaskular otak sebagai faktor etiologis melalui gambaran atrofi, hiperintensitas white matter, dan infark cerebri. Kekuatan korelasi temuan MRI kepala tersebut terhadap nilai fungsi kognitif perlu diteliti lebih lanjut.
Metode : Uji korelasi dengan pendekatan potong lintang pada skor derajat temuan atrofi, hiperintensitas white matter, dan infark cerebri pada MRI kepala terhadap nilai fungsi kognitif pada 32 subyek dengan gangguan fungsi kognitif dan penyakit serebrovaskular non hemmorhagik.
Hasil : Terdapat korelasi negatif yang signifikan

Background and purpose: Cognitive impairment occurs with age along with life quality impairment. Brain MRI detects neurodegenerative and brain vascular pathology associated with cognitive impairment through various findings such as , white matter hyperintensity and infarction. Correlation between those MRI abnormalities to the cognitive impairment value needs to be examined.
Method: Correlative test in cross sectional study on the degree score of cerebral atrophy, white matter hyperintensity, and infarction in brain MRI against cognitive function value in 32 subjects with cognitive function impairment and non hemmorhagic cerebrovascular disease.
Result: There is significant negative correlation p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ronny
"Latar belakang dan tujuan: Gangguan fungsi kognitif, mulai dari gangguan ringan hingga demensia, yang prevalensinya semakin meningkat seiring dengan peningkatan angka harapan hidup, akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Hingga saat ini, minimnya pemanfaatan pemeriksaan patologi untuk menegakkan diagnosis definitif menjadikan pemeriksaan fungsi luhur sebagai pemeriksaan baku emas dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Seiring kemajuan teknologi kedokteran, MRI kepala mulai digunakan secara luas untuk menilai proses neurodenegeratif dan patologi vaskular otak yang berkorelasi kuat dengan gangguan fungsi kognitif. Penilaian temuan kelainan dengan metode skala pengukuran visual yang menggabungkan temuan atrofi dan lesi vaskular terbukti memberikan hasil yang baik dalam penegakkan diagnosis dan prediksi prognosis gangguan fungsi kognitif. Titik potong baku dan valid untuk menegakkan diagnosis dan memprediksi adanya gangguan fungsi kognitif perlu diteliti untuk meningkatkan peran MRI kepala dalam penilaian fungsi kognitif.
Metode: Uji deskriptif dengan pendekatan potong lintang untuk mengetahui nilai titik potong skor atrofi serebri, skor lesi substansia alba, dan skor infark serebri pada pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan data pemeriksaan fungsi kognitif dan MRI kepala terhadap 76 subjek penelitian dalam kurun waktu Januari 2014 hingga Desember 2016.
Hasil: Skala pengukuran visual dapat menggambarkan perubahan struktur otak pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif. Dengan perhitungan receiver operation curve ROC dari skor atrofi, lesi vaskular, dan skor visual gabungan pada pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan didapatkan bahwa skor visual gabungan memiliki nilai akurasi diagnostik terbaik dengan nilai AUC 78,3 95 IK 68,1 -88,6 . Kemudian didapatkan titik potong skor visual gabungan sebesar 8,5 sensitivitas 55,6 , spesifisitas 82,5 dengan tingkat spesifisitas tertinggi dalam membedakan pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan.
Kesimpulan: Skor visual gabungan mempunyai nilai akurasi diagnostik sedang dan dapat digunakan pada praktik klinis dalam membedakan pasien dengan demensia dan gangguan fungsi kognitif ringan.

Background and objective: Impaired cognitive function, ranging from mild impairment to dementia, whose prevalence increases with increasing life expectancy, will affects the quality of life. Until now, the lack of utilization of pathology examination to make a definitive diagnosis makes the neuropsychological screening instruments as a gold standard examination with good sensitivity and specificity. As medical technology advances, head MRIs are beginning to be widely used to assess neurodegenerative processes and brain vascular pathology that are strongly correlated with cognitive impairment. Assessing findings of abnormalities by a visual measurement scale method that combines the findings of atrophy and vascular lesions proved to provide good results in the diagnosis and prediction of cognitive function impairment prognosis. Standard and valid cutoff points for diagnosis and predicting cognitive dysfunction need to be investigated to improve the role of head MRI in cognitive function assessment.
Methods: A descriptive test with a cross sectional approach to determine the value of the cutoff point of cerebral atrophy, white matter lesion, and cerebral infarct score in patients with dementia and mild cognitive impairment. The examination was performed based on cognitive function and head MRI examination data on 76 subjects in the period from January 2014 to December 2016.
Result: The scale of visual measurements can describe changes in brain structure in patients with cognitive impairment. With the calculation of receiver operation curve ROC of atrophic scores, vascular lesions, and combined visual scores in patients with dementia and mild cognitive impairment, AUC 78.3 95 CI 68.1 88.6 was obtained with cut point cut point 8.5 with the highest level of specificity sensitivity 55.6 , specificity 82.5 in distinguishing patients with dementia and mild cognitive impairment.
Conclusion: The combined visual score cutoff point has a moderate diagnostic value of accuracy and can help to distinguish patients with dementia and mild cognitive impairment in clinical practice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widyo Ari Nugroho
"Latar Belakang : Stroke iskemi adalah penyebab kematian ketiga terbesar dan merupakan penyebab disablitias terbesar di Amerika Serikat dan negara negara industri. CT scan adalah modalitas pertama yang dapat digunakan untuk menilai terjadinya perubahan iskemik awal tersebut. ASPECTS dikembangkan untuk meningkatkan manfaat dari pemeriksaan CT dengan melakukan penggolongan yang dapat diulang untuk menilai perubahan iskemik awal (< 3 jam onset) pada pemeriksaan CT sebelum tata laksana dengan stroke iskemik akut dari sirkulasi anterior. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo belum terdapat nilai kesesuaian inter obeserver terhadap nilai ASPECTS pada pasien stroke iskemi.
Tujuan : Mengetahui tingkat kesesuaian inter observer penilaian Alberta Stroke Program Early CT score pada pasien stroke iskemi di RSUPN Citpto Mangunkusumo, Jakarta
Metode : Penelitian ini merupakan studi analitik komparatif menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder dari PACS. Sampel penelitian berjumlah 47 pasien penderita stroke iskemik yang menjalani pemeriksaan CT scan kepala di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2012 hingga November 2018. Penelitian dilakukan sejak Februari hingga Maret 2019. Penilaian ASPECT score dilakukan pada 3 windowing WL 40 WW 7, WL 40 WW 40, WL 32 WW 8 oleh 3 observer yand dilakukan secara random.
Hasil : Terdapat kesesuaian yang baik antara 3 observer pada wndowing WL 40 WW 70 dengan K > 0,9 (p < 0,001) dan WL 40 WW 40 dengan K 0,82 - 0,92 (p < 0,001). Sementara windowing dengan WL 32 WW 8 memiliki kesesuaian yang buruk antara 3 observer dengan K 0,02 (P = 0,849), K 0,22 (P < 0,01) dan K 0,23 (P = 0,01).
Kesimpulan : Terdapat kesesuaian interobserver yang tinggi dengan windowing WL 40 WW 70 dan WL 40 WW 40 pada pasien stroke iskemi di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Terdapat kesesuaian interobserver yang rendah pada penggunaan windowing WL 32 WW 8.

Background : Ischemis stroke is third leading cause of death and disability in US and developed countries. CT scan is the first modality of choice that can be used to evaluate those ischemic changes. ASPECTS developed for increasing the benefit from CT scan examination by categorizing that can be repeated to evaluate early ischemic changes (< 3 hours of onset) in CT scan examination pre treatment of acute ischemic stroke from the anterior circulation. There have been no inter observer conformity for ASPECTS of ischemic stroke in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Purpose : To evaluate inter observer conformity of Alberta Stroke Program Early CT Score of ischemic stroke in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method : This study used cross sectional design with secondary data from PACS. There are 47 samples of ischemic stroke patients that undergoes head CT scan in Radiology Department Cipto Mangunkusumo Hospital from periods of January 2012 to November 2018. This study conducted from February to March 2019. ASPECT score evaluated with 3 windowing WL 40 WW 7, WL 40 WW 40, WL 32 WW 8 by 3 observer at random.
Result : There are good conformity between 3 observers in windowing WL 40 WW 70 with K > 0,9 (p < 0,001) and WL 40 WW 40 with K 0,82 -0,92 (p < 0,001). While windowing WL 32 WW 8 with poor conformity between 3 observers with K 0,02 (P = 0,849), K 0,22 (P < 0,01) and K 0,23 (P = 0,01).
Conclusion : There are high inter observer conformity in windowing WL 40 WW 70 and WL 40 WW 40 on stroke ischemic patient in Cipto Mangunkusumo Hospital, while there are poor conformity in windowing WL 32 WW 8.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58886
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliyya Rifki
"Latar belakang: Penentuan derajat degenerasi diskus intervertebralis (DDI) dan pemantauan progresivitasnya sangat penting untuk menentukan tatalaksana dan memantau efektivitas terapi. Penilaian T2 map menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mengevaluasi derajat DDI secara kuantitatif namun dengan hasil yang bervariasi, tergantung pada mesin, coil, protokol, dan perangkat lunak MRI yang digunakan.
Metode: MRI sekuens T2 – weighted image potongan sagital digunakan untuk menilai dan mengelompokkan derajat DDI lumbal berdasarkan skala Modifikasi Pfirrmann. Derajat DDI lumbal yang termasuk dalam kriteria penelitian adalah derajat 2 – 4. Pasien yang tidak memiliki diskus normal (derajat 1) dieksklusi. MRI sekuens T2 mapping potongan mid – sagital digunakan untuk memperoleh rerata nilai T2 map dengan meletakkan Regio of Interest (ROI) di seluruh penampang diskus normal dan diskus yang berdegenerasi. Rerata nilai T2 map diskus yang berdegenerasi dibandingkan dengan diskus normal pada pasien yang sama, sehingga didapatkan nilai rasio (T2 map index).
Hasil: Didapatkan perbedaan signifikan rerata nilai T2 map index pada tiap derajat skala Modifikasi Pfirrmann (p < 0,001), dimana semakin berat derajat DDI lumbal, maka rerata nilai T2 map index semakin rendah (derajat 1: 0,97 ± 0,05 ms; derajat 2: 0,93 ± 0,07 ms; derajat 3: 0,60 ± 0,11 ms; derajat 4: 0,48 ± 0,04 ms).
Kesimpulan: Penghitungan nilai T2 map index dapat digunakan untuk mengevaluasi progresivitas DDI lumbal secara kuantitatif dan dapat mengeliminasi variabilitas nilai T2 map.

Background: Severity and progression of intervertebral disc degeneration in early stages should be evaluated not only for an adequate treatment planning, but also for monitoring the effectiveness of therapies. Obtaining T2 map value using MR T2 mapping was beneficial for the assessment of disc degeneration albeit different MR machine, coil, software, and protocol used could affect its value.
Methods: Sagittal T2 – weighted image were used to evaluate lumbal disc degeneration by Modified Pfirrmann grading system. Grade 2 – 4 were included, while patients without grade 1 disc (normal disc) were excluded. Using mid – sagittal MR T2 mapping, range of interest (ROI) were placed in whole disc. Mean T2 map value in degenerated disc was compared to mean T2 map value in normal disc with resultant of a ratio (T2 map index).
Results: Mean T2 map index value between each Modified Pfirrmann grading differed significantly (p < 0,001). Higher Modified Pfirrmann grade correlates with lower mean T2 map index value (grade 1: 0,97 ± 0,05 ms; grade 2: 0,93 ± 0,07 ms; grade 3: 0,60 ± 0,11 ms; grade 4: 0,48 ± 0,04 ms).
Conclusion: T2 map index is reliable in evaluating the progressivity of lumbal disc degeneration quantitatively and in eliminating T2 map value variabilities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>