Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Megah
"ABSTRAK
Kegiatan wisata ruang angkasa merupakan salah satu contoh dari kegiatan komersialisasi di ruang angkasa. Saat ini, kegiatan tersebut masih dalam tahap pengembangan menuju bisnis masa depan yang sangat baik dari segi keuntungan. Sehingga, penjelasan seputar kegiatan wisata ruang angkasa adalah sebuah hal yang patut diketahui seluk-beluknya, terkait pula dengan aspek-aspek hukum internasional dan hukum nasional. Selain itu, sejauh ini sudah ada tujuh wisatawan ruang angkasa yang berangkat dalam kegiatan berwisata di ruang angkasa. Dari tujuh orang, akan dibahas tiga orang berdasarkan isu hukum penting menyangkut keberangkatan mereka dalam hal berwisata ke ruang angkasa. Dengan demikian, kegiatan wisata ruang angkasa adalah kegiatan yang paling mungkin dilakukan secara rutin di masa yang akan datang, sehingga pengaturannya secara internasional dan nasional harus ditata dengan baik, adil, dan bertanggung jawab.

ABSTRACT
Space tourism activities are one of example of commercialization activities in outer space. Currently, these activities are still in development progress to a future good business in terms of profit. Thus, the explanation about space tourism activities is thing to know the ropes and also related to aspects of international law and national law. Moreover, so far there are seven-space tourists who depart for tour to outer space. Of the seven people, will be discussed three people based on the most important legal issue in terms of their space tourism activities. Therefore, space tourism activities are activities that are most likely to be carried out routinely in the future, so that from internationally and nationally have arrangements good law with fair and responsible."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S319
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Permatasari
"Perubahan iklim telah menjadi isu utama dewasa ini. Untuk mencegah dan
mengurangi dampak perubahan iklim, pada tahun 1992 negara-negara di dunia
bersepakat untuk membentuk Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk
Perubahan Iklim. Dalam perkembangannya konvensi ini menciptakan mekanisme
penurunan emisi yang menitikberatkan kepada adanya alih teknologi dari negara
maju ke negara berkembang. Alih teknologi ini diharapkan akan membantu
negara berkembang dalam menerapkan ketentuan-ketentuan konvensi. Indonesia
sebagai negara berkembang memiliki kepentingan akan alih teknologi di dalam
mekanisme Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan
Iklim. Terdapat beberapa kasus alih teknologi di dalam mekanisme Kerangka
Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim di beberapa negara
berkembang. Alih teknologi menjadi kepentingan negara berkembang untuk
membangun negara dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu
peraturan internasional dan nasional akan alih teknologi dalam upaya penurunan
emisi di dalam Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan
Iklim harus jelas, adil dan bertanggungjawab.

Abstract
Climate change has been the main issue nowadays. To prevent and reduce the
impacts of climate change, in 1992 countries in the world agreed to form the
United Nations Framework Convention on Climate Change. During the
development, the convention has created emission reduction mechanisms which
emphasize technology transfer from developed countries to developing countries.
The technology transfer is expected to help developing countries to implement the
provisions of the convention. Indonesia as a developing country has interests in
technology transfer within the mechanism of the United Nations Framework
Convention on Climate Change. There are several cases of technology transfer
within the mechanism of the United Nations Framework Convention on Climate
Change in some developing countries. Technology transfer has become an interest
of developing countries to develop their countries with sustainable development
principles. Therefore, international and national regulations of technology transfer
in the effort of reducing emission within United Nations Framework Convention
on Climate Change have to be clear, fair, and responsible."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1898
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Damian Agata Yuvens
"Berdasarkan Traktat Lisbon 2007, Uni Eropa adalah sebuah organisasi internasional yang memiliki personalitas hukum sehingga dapat melakukan hubungan hukum dengan subjek hukum internasional lain, misalnya menjadi anggota dalam organisasi internasional. Dalam hubungannya dengan negara anggota, Uni Eropa memiliki tiga jenis kewenangan, yaitu kewenangan eksklusif (pajak, kompetisi dalam pasar internal, kebijakan moneter, konservasi bagi sumber daya hayati kelautan, dan kebijakan iklan bersama), kewenangan bersama (pasar bersama, kebijakan sosial, kohesi ekonomi, sosial, dan teritorial, agrikultur dan perikanan, lingkungan, perlindungan konsumen, transportasi, jaringan trans-Eropa, energi, kebebasan, keamanan, dan keadilan, dan kesehatan publik), dan kewenangan untuk memberikan bantuan (perlindungan dan pengembangan kesehatan manusia, industri, kebudayaan, pariwisata, pendidikan, perlindungan masyarakat, dan kerja sama administratif). Dalam proses untuk menjadi anggota dari organisasi internasional, maka harus ada kesepakatan dari tiga organ legislatif Uni Eropa, yaitu Council, Commission, dan European Parliament. Council merupakan organ yang memberikan izin untuk memulai negosiasi, melakukan penandatanganan, dan juga untuk menyatakan keterikatan Uni Eropa terhadap pihak ketiga. Commission merupakan organ yang memiliki wewenang untuk membuat proposal untuk mengikatkan diri dengan pihak ketiga, dan European Parliament merupakan organ yang memberikan masukan terhadap proses pengikatan diri Uni Eropa terhadap pihak ketiga.

Based on Lisbon Treaty 2007, European Union is an international organization that has legal personality which enable European Union to communicate and operate with other subject of international law, including to become a member of international organization. In relation with its member states, European Union has three competences, which are exlusive comptenece (customs union, competition rules of the internal market, monetary policy, conservation of marine biological resources, and common commercial policy), share competence (internal market, social policy economic, social and territorial cohesion, agriculture and fisheries, encivornemt, consumer protection, transport, trans-European networks, enegry, area of freedom, security and justice, and common safety concerns in public health matters), and competence to support (protection and improvement of human health, industry, culture, tourism, education, vocational training, youth and sport, civil protection, and administrative cooperation). To become a member of international organization, there should be an agreement from three legislative bodies of European Union, which are Council, Commission and European Parliament. Council is an organ which authorise the opening of negotiations, authorise the signing of agreements and conclude them. Commission is an organ that submit a recommendations to open a negotiations, and European Parliament is an organ that deliver its opinion regarding a binding process of European Union upon the third party.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, 2012
S43632
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Eliza Aishah
"ABSTRAK
Perjanjian internasional dianggap sebagai sumber hukum internasional yang
tertinggi. Namun, pada prakteknya banyak negara yang mencoba melarikan diri
dari kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional yang telah disepakati
dengan alasan salah satunya bertentangan dengan hukum nasionalnya (doktrin
atau konstitusinya). Dalam Vienna Convention on The Law Treaties 1969
("VCLT") sendiri terdapat dua pasal yang mengatur hubungan antara hukum
nasional dengan perjanjian internasional yang telah disepakati. Dengan jelas pada
pasal 27 VCLT menyatakan bahwa hukum nasional tidak dapat dijadikan alasan
pembenar sebuah negara tidak melakukan kewajiban yang timbul dari perjanjian
internasional. Dengan keberadaan pasal 27 VCLT tidak kemudian dapat
mengabaikan pasal 46 VCLT. Ketentuan tersebut merupakan pengecualian dari
pasal 27 VCLT yang diartikan secara negatif bahwa sebuah negara dapat
mengajukan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenar batalnya keterikatan
terhadap perjanjian internasional, jika melanggar hukum nasional suatu negara
terkait dengan kompetensi perwakilan pada saat menyatakan kesepakatannya
terhadap perjanjian internasional, pelanggarannya nyata, dan menyangkut hal
yang dasar dan penting. Prakteknya memang terdapat negara-negara yang
mencoba untuk tidak melaksanakan kewajiban perjanjian internasional, contoh
kasus La Grand, namun ICJ sudah mencoba untuk tetap menegakkan ketentuan
dari pasal 27 VCLT, sedangkan pasal 46 VCLT jarang diajukan sebagai alasan
pembenar. Skripsi ini berbentuk penelitian hukum yang menggunakan studi
yuridis normatif.

ABSTRACT
Treaty is regarded to be the highest source of international law. However, in
practice there are many countries which try to run away by the obligation that
establishes from treaty, which one of the reasons is inconsistency with the
national law (doctrine or constitution). Based on Vienna Convention on The Law
of Treaties 1969 ("VCLT"), there are two articles that regulate the relation
between national law and a ratified treaty. In accordance with article 27 VCLT, a
state may not invoke their national law as justification not to exercise their treaty
obligation. However, the existence of article 27 VCLT is without prejudice to
article 46 VCLT. That article is the exception of article 27 VCLT which can be
negatively stipulated that a state may invoke their national law as justification to
cancel their consent to a treaty, if it violates their national law regarding the
competency of a state representative, manifest, and fundamental of importance. In
practice, many countries indeed tried to run away from their treaty obligation, for
instance La Grand Case, however ICJ had tried to apply law in accordance with
article 27 VCLT, in contrast article 46 VCLT is seldom invoked by states. This
thesis is concluded as a legal research that uses normative legal method.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43886
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meike Rachmana
"Perkembangan teknologi telah mendorong pesatnya penemuan terhadap benda-benda budaya bawah air. Salah satunya yakni kapal karam bersejarah yang didalamnya terkandung nilai yang sangat tinggi baik secara historis, arkeologis ataupun ekonomis. Keberadaan kapal karam bersejarah yang sangat signifikan inilah yang menjadikan isu kepemilikan atasnya merupakan suatu hal yang penting. Benturan kepentingan terjadi antara Negara bendera kapal, penemunya, Negara dimana kapal karam bersejarah tersebut karam ataupun negara dari mana muatan didalamnya berasal. Oleh karena itu, dalam skripsi ini akan dibahas konsepsi pengaturan mengenai kepemilikan atas kapal karam bersejarah di tingkat internasional melalui konvensi dan hukum kebiasaan internasional terkait, di tingkat nasional melalui peraturan dan praktik di beberapa negara dunia serta pengaturan dan praktik penerapannya di Indonesia.

Technology development pushed forward an access to underwater cultural heritage. One of them is historic shipwrecks which contain historical, archaeological or economic value. The significance of this historic shipwrecks leads to an issue about ownership. The dispute over historic shipwrecks happen because there is a clash about jurisdiction over the historic shipwrecks among Flag-state country, Finder, Coastal state, or state origin of the cargo. Therefore, it is an important thing to see the conception on regulation of historic shipwrecks at international level through international convention, at national level through its regulation and practice in several countries and also the regulation and practice in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55579
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Ardiastuti
"World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi internasional yang berperan penting dalam memastikan arus perdagangan global dapat berjalan dengan sesedikit mungkin hambatan. Akan tetapi, berdasarkan Pasal XX (b) GATT, anggota WTO dapat melakukan suatu tindakan perdagangan yang perlu dilakukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan. Persetujuan Penerapan Tindakan-Tindakan Sanitari dan Fitosanitari (Persetujuan SPS) merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal XX (b) GATT tersebut. Berdasarkan Persetujuan SPS, anggota WTO berhak menerapkan ketentuan-ketentuan yang diperlukan untuk melindungi kesehatan atau kehidupan manusia, hewan atau tumbuhan, dengan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan bukti ilmiah yang cukup, serta tidak menciptakan diskriminasi sewenang-wenang atau pembatasan terselubung bagi perdagangan internasional. Untuk memenuhi kebutuhan ilmiah dan teknis dalam penerapan Persetujuan SPS, Persetujuan SPS merujuk International Plant Protection Convention (IPPC) sebagai organisasi internasional relevan untuk mendorong harmonisasi tindakan fitosanitari dengan didasarkan pada standar internasional yang diadopsi oleh IPPC. Penelitian ini menganalisa penerapan Persetujuan SPS dan IPPC pada tiga kasus di WTO, yakni Japan - Agricultural Products II (2001), Japan - Apples (2005) dan Australia – Apples (2011).

World Trade Organization (WTO) is an international organization who plays an important role in ensuring that the global trade can works with a little barriers. However, pursuant to Article XX (b) GATT, WTO Members can perform an action trade necessary to protect human, animals or plants health or life. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) is derived from the provision of Article XX (b) GATT. Based on the SPS Agreement, WTO Member have a right to take sanitary and phytosanitary measures necessary for the protection of human, animal, health or plant life or health, which is based on scientific principle and is not maintained without sufficient scientific evidence; and not unjustifiably discriminate or be applied in a manner which would constitute a disguised restriction on international trade. For the fulfilment of scientific and technical need within the application of SPS Agreement, SPS Agreement refers International Plant Protection Convention (IPPC) as an international organization relevant, to encourage harmonisation of phytosanitary measures, based on international standards which adopted by IPPC. This thesis analyzes the application of the SPS Agreement and the IPPC in three cases at WTO: Japan- Agricultural Products II (2001), Japan - Apples (2005) and Australia - Apples (2011)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63493
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Widya Putri
"Agreement on Agriculture (AoA) merupakan perjanjian pertanian yang merupakan bagian dari perjanjian mengenai aspek khusus dari Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1995. AoA bertujuan untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. AoA menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan tindakan perdagangan di bidang pertanian termasuk pengaturan mengenai impor beras, terutama yang menyangkut akses pasar, bantuan domestik dan subsidi eskpor. Kesepakatan internasional yang disepakati Indonesia khususnya dalam bidang perdagangan beras tidak hanya diatur oleh AoA namun Indonesia juga memiliki kesepakatan impor beras yang berlaku secara regional yang diatur dalam AFTA. Sebagai anggota WTO, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan akses pasar dan mengurangi subsidisubsidi yang mendistorsi perdagangan melalui Schedule of Commitment masingmasing negara yang sudah dituangkan ke dalam peraturan nasional Indonesia. Dalam menjalankan komitmen-komitmennya pada AoA khususnya dalam menjalankan komitmen untuk membuka akses pasar, Indonesia mengalami dampak baik maupun buruk bagi keadaan beras di Indonesia. Dari uraian diatas,penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh AoA terhadap pembukaan akses pasar khususnya pada sektor impor beras di Indonesia.

Agreement on Agriculture (AoA) is an agreement that explores the field of agriculture and it is a part of special aspect agreement from the World Trade Organization (WTO). It is immediately enforced, right after January 1st 1995 after the ratification of the WTO Agreement in Marrakesh. The purpose of the AoA is
to reform public policies regarding agricultural products in order to create a fair and market-oriented agricultural trade system. AoA sets out some implementing regulation of international trade in the field of agriculture that includes some regulations regarding rice import, especially concerning market access, domestic
support and export subsidies. Indonesia, up until now, has participated in many international agreements involving the trade of rice. Beside what is regulated under the AoA, Indonesia also has some commitments involving rice imports under the ASEAN Free Trade Agreement (AFTA). Based on the AoA and AFTA,
WTO Members, including Indonesia, has agreed to increase their market access and reducing subsidies that can distort the practice of international trade. Those commitments had been set out in the Schedule of Commitment of each country,
including Indonesia. In applying its commitments regarding rice import under AoA, especially to open its market access, Indonesia has both negative and positive impacts on the availability of rice in Indonesia. Therefore, this research is
pursued to find out the implications of the AoA with regards to the opening of Indonesia’s market access, especially in the sector of rice import in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46258
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library