Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kyla Putri Nangkana
"Background: Thalassemia is a form of hemoglobin (Hb) disorder affecting the composition of Hb in the body that has a high prevalence in Indonesia and requires large funds for its treatment, categorized as one of the high burden diseases. Thalassemia patients who have anemia as the main characteristic require blood transfusion therapy. However, excess iron is one of the main side effects of this therapy coupled with the pre-transfusion Hb value that is not in accordance with the target set by the Thalassemia International Federation (TIF). This incident can cause growth problems in thalassemia patients, especially in children with thalassemia major. Therefore, this study was carried out to find a relationship between the pre-transfusion Hb levels and thalassemia major children’s anthropometry that can be observed through their anthropometric values.
Method: This study is a cross-sectional study using patient data records and direct anthropometric measurements. Finally, IBM SPSS software was used for data analysis.
Result: The results of the study did not find a significant relationship between pre-transfusion Hb values and anthropometry of pediatric thalassemia patients (p > 0.05). Thus, there are other factors that affect the patient's anthropometry.
Conclusion: Anthropometry of thalassemia major children is not only influenced by pre-transfusion Hb values, but there are also other possible influencing factors such as serum ferritin values, genetic factors, hormonal factors, and nutritional intake.

Latar Belakang: Talasemia sebagai salah satu bentuk kelainan Hemoglobin (Hb) mempengearuhi komposisi dari Hb di dalam tubuh memiliki prevalensi yang tinggi di Indonesia dan memerlukan dana yang tidak sedikit untuk pengobatannya, membuat talasemia dikategorikan sebagai salah satu “high burden diseases”. Pasien talasemia yang memiliki anemia sebagai karakteristik utama memerlukan terapi transfusi darah. Namun, zat besi yang berlebih merupakan salah satu efek samping utama dalam terapi tersebut. Ditambah lagi dengan nilai Hb pre-transfusi yang tidak sesuai dengan target yang telah ditentukan oleh Thalassemia International Federation (TIF). Kejadian ini bisa menyebabkan adanya masalah pertumbuhan pada pasien talasemia khususnya pada pasien anak. Maka dari itu, penelitian ini dilaksanakan untuk mencari hubungan antara nilai Hb pra-transfusi pasien talasemia mayor anak dengan pertumbuhan mereka yang dapat dilihat melalui nilai antropometri.
Metode: Penelitian ini adalah studi cross-sectional yang menggunakan catatan data pasien dan pengukuran antropometri secara langsung. Terakhir, software IBM SPSS digunakan untuk analisis data.
Hasil: Hasil dari penelitian tidak menemukan adanya hubungan bermakna antara nilai Hb pra-transfusi dengan antropometri pasien talasemia mayor anak (p>0.05). Dengan demikian, maka ada faktor lain yang memengaruhi antropometri pasien.
Kesimpulan: Antropometri pasien talasemia mayor anak tidak hanya dipengaruhi oleh nilai Hb pra-transfusi, namun juga ada kemungkinan faktor lain yang berpengaruh seperti nilai feritin serum, faktor genetik, faktor hormonal, dan juga faktor asupan nutrisi dari pasien.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Radhiyanisa Pratisto
"Introduction: Thalassemia is a single genetic disorder that occurs due to an imbalance in the globin chain of the hemoglobin (Hb). It is one of the health problems throughout the world, including in Indonesia. Thalassemia causes ineffective erythropoiesis and will lead to anemia and other complications. To treat anemia, patients need regular transfusion therapy, but it causes iron overload which is characterized by increased serum ferritin levels, so that there is a stigma that frequent transfusions will cause high serum ferritin levels. Therefore, this study aims to determine whether there is any association between Hb before transfusion and ferritin levels.
Method: This research is done by analytical research with a retrospective and the data analysis was done using IBM SPSS software.
Results: There were no significant association between Hb before transfusion and serum ferritin levels (p=0.694).
Conclusion: Pre-transfusion is not the only factor that plays a role in increasing serum ferritin in patients with thalassemia major. Other factors such as availability and adherence to iron chelation therapy and inflammatory conditions also play essential roles in increasing serum ferritin levels. Moreover, there is no significant difference in serum ferritin levels between the pretransfusion Hb group ≥9 g/dL and <9g/dL.

Latar Belakang: Thalassemia merupakan kelainan genetik tunggal yang terjadi akibat ketidakseimbangan rantai globin dari hemoglobin (Hb). Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Thalassemia menyebabkan eritropoiesis tidak efektif dan akan menyebabkan anemia dan komplikasi lainnya. Untuk mengatasi anemia, pasien memerlukan terapi transfusi secara teratur, namun menyebabkan iron overload yang ditandai dengan peningkatan kadar feritin serum, sehingga terdapat stigma bahwa transfusi yang sering akan menyebabkan kadar feritin serum yang tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara Hb sebelum transfusi dengan kadar feritin.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian analitik dengan retrospektif dan analisis data dilakukan dengan menggunakan software IBM SPSS.
Hasil: Tidak ada hubungan bermakna antara Hb sebelum transfusi dengan kadar feritin serum (p=0,694).
Kesimpulan: Pra-transfusi bukan satu-satunya faktor yang berperan dalam peningkatan feritin serum pada pasien thalassemia mayor. Faktor lain seperti ketersediaan dan kepatuhan terhadap terapi kelasi besi dan kondisi inflamasi juga memainkan peran penting dalam meningkatkan kadar feritin serum. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kadar feritin serum antara kelompok Hb pretransfusi 9 g/dL dan <9g/dL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lyana Setiawan
"Di Indonesia, thalassemia mayor merupakan salah satu masalah kesehatan karena morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi. Thalassemia mayor ditandai dengan anemia berat sejak usia anak-anak dan memerlukan transfusi teratur untuk mempertahankan kadar hemoglobin. Untuk mengurangi kebutuhan akan transfusi darah, dilakukan splenektomi. Trombosis merupakan salah satu komplikasi thalassemia yang banyak dilaporkan di berbagai negara, tetapi di Indonesia sampai saat ini belum ada laporan. Trombosit dan sistem koagulasi memegang peranan dalam patogenesis trombosis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai kelainan trombosit serta aktivasi koagulasi pada penderita thalassemia mayor yang sudah maupun yang belum di-splenektomi di Indonesia.
Desain penelitian ini potong lintang. Subyek penelitian terdiri dari 31 orang penderita thalassemia mayor yang sudah displenektomi (kelompok splenektomi) dan 35 orang penderita thalassemia mayor yang belum mengalami splenektomi (kelompok nonsplenektomi). Untuk menilai fungsi trombosit, dilakukan pemeriksaan agregasi trombosit terhadap adenosin difosfat (ADP), aktivasi trombosit dinilai dengan mengukur kadar β-tromboglobulin (β-TG), sedangkan aktivasi koagulasi dinilai dengan pemeriksaan D-dimer.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah trombosit pada kelompok splenektomi Iebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok non-splenektomi (549.260+251.662/μI vs 156.000/μl (kisaran 34.000-046.000/μl); p<0,001). Demikian pula agregasi trombosit terhadap ADP 1 pM maupun 10 pM Iebih tinggi secara bermakna pada kelompok splenektomi dibandingkan dengan kelompok non-splenektomi (1 pM: 17,3% (kisaran 1,9-104,0%) vs 5,2% (kisaran 0,5-18,2%); p <0,001 dan 10 pM: 91,2% (kisaran 27,3-136,8%) vs 55,93 + 17,27%; p<0,001). Kadar β-TG Iebih tinggi secara bermakna pada kelompok splenektomi dibandingkan kelompok non-splenektomi (178,81 + 86,3 IU/ml vs 100,11 + 40,0 IU/ml; p<0,001). Kadar D-dimer juga Iebih tinggi secara bermakna pada kelompok splenektomi dibandingkan non-splenektomi walaupun keduanya masih dalam rentang normal (0,2 μg/ml (kisaran 0,1-0,7 g/ml) vs 0,1 μg/ml (kisaran 0,1-0,8 μg/mI).
Dari hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa pada penderita thalassemia mayor di Indonesia terdapat jumlah trombosit dan fungsi agregasi yang bervariasi, sedangkan aktivasi trombosit meningkat, tetapi belum dapat dibuktikan adanya aktivasi koagulasi. Pada penderita thalassemia mayor yang sudah displenektomi didapatkan trombositosis, serta agregasi trombosit terhadap ADP dan aktivasi trombosit yang Iebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang belum di-splenektomi.

Thalassemia major is one of the health problem in Indonesia due to its high morbidity and mortality. Thalassemia major is characterized by severe anemia presenting in the first years of life and requires regular transfusions to maintain hemoglobin level. Splenectomy is performed to decrease the need for transfusion. Thrombosis is one of the complications widely reported in patients with thalassemia in many parts of the world, but until now, there had been no report on this complication in Indonesia. Platelet and the coagulation system play a role in the pathogenesis of thrombosis. The aim of this study was to obtain the pattern of changes in platelet count, function and activation level, and activation of coagulation in patients with thalassemia major patients in Indonesia.
The design of this study was cross-sectional. The subjects were 31 splenectomized and 35 non-splenectomized patients with thalassemia major. Platelet aggregation to adenosine diphosphate (ADP) was performed to assess platelet function; β-thromboglobulin level was used as marker of platelet activation, and D-dimer for activation of coagulation.
The result of this study revealed a significantly higher platelet count in splenectomized compared to non-splenectomized patients (549.260 + 251.86210 vs-156.000/μl (34.000- 46.000/μl); p<0.001). Platelet aggregation to ADP were significantly higher in splenectomized patients than non-splenectomized group, both to 1 pM (17.3% (range 1.9-104M%) vs 5.2% (range 0.5-118.2%); p<0.001) and 10 μM ADP (91.2% (range 27.3-136.8%) vs 55.93 + 17.27%; p<0.001). β-thromboglobulin level was significantly higher in splenectomized patients compared to non-splenectomized patients (178.81 + 86.3 IU/rnl vs 100.11 + 40.0 IU/ml; p<0.001). D-dimer level was also significantly higher in the splenectomized group compared to non-splenectomized group although both had values within normal range (0.2 pglml (range 0.1-0.7 μg/mI) vs 0.1 pg1ml (range 0.1-0.8 μg/ml).
We concluded that the platelet count and function were varied, while platelet activation level was increased in patients with thalassemia major in Indonesia, but activation of coagulation was not established. We also concluded that in splenectomized patients there were thrombocytosis and increased platelet aggregation to ADP and platelet activation level compared to non-splenectomized patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inge Friska Widjaya
"Latar belakang dan tujuan : Hemosiderosis jantung dan pankreas merupakan komplikasi transfusi pada pasien thalassemia mayor. Evaluasi hemosiderosis pankreas dan jantung dilakukan dengan pemeriksaan MRI sekuens T2*. Kedua organ tersebut mempunyai kesamaan dalam penyimpanan besi dan tehnik pemeriksaan T2* pankreas lebih mudah dan cepat dibandingkan tehnik pemeriksaan jantung, sehingga diharapkan evaluasi hemosiderosis jantung dipermudah dengan menghitung nilai T2* pankreas.
Metode : Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada nilai T2* pankreas dan nilai T2* jantung dihitung menggunakan perangkat lunak CMRtools™ pada 30 subjek thalassemia mayor.
Hasil : Tidak terdapat korelasi antara nilai T2* pankreas dengan nilai T2* jantung (R = 0,05, p = 0,798).
Kesimpulan : Tidak terdapat korelasi antara nilai T2* pankreas dengan nilai T2* jantung pada pasien thalassemia mayor.

Background and objective : Cardiac and pancreatic hemosiderosis are transfusion complication in major thalassemia patients. Evaluation of cardiac and pancreatic hemosiderosis assessed by MRI T2* examination. Both organs have same iron deposition, pancreatic T2* examination easier and faster than cardiac. Pancreatic T2* score can be used to evaluate cardiac hemosiderosis.
Method : A cross sectional correlation study between pancreatic and cadiac T2*score calculated with CMRtools™ software conducted in 30 major thalassemia patients.
Result : There is no correlation between pancreatic and cardiac T2* score (R = 0,05, p = 0, 79)
Conclusion : There is no correlation between pancreatic and cardiac T2* score in major thalassemia patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ernie Setyawati
"Sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) masih menjadi penyebab penting kematian dan kesakitan pada bayi kurang bulan. Diagnosis yang cepat penting untuk penatalaksanaan yang sesuai. Diperlukan alat diagnostik yang sederhana, tidak mahal dan cepat hasilnya untuk mendiagnosis SNAL.Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai diagnostik rasio netrofil limfosit (RNL) dan kombinasi RNL dan rasio I/T untuk mendiagnosis SNAL. Data penelitian cross sectional ini diambil dari rekam medis pasien bulan januari 2018-Desember 2019 di Divisi Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Subyek penelitain adalah bayi kurang bulan >30-36 minggu, berusia 7-28 hari dengan klinis sepsis. Dari kultur darah, neonatus dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: proven sepsis dan unproven sepsis. Rasio netrofil limfosit dihitung dari data hitung jenis limfosit. Rasio I/T didapat dari rekam medis. Dari semua 126 subyek penelitian 70 termasuk kelompok proven sepsis dan 56 unproven sepsis. Analisis kurva Receiver operating characteristic RNL didapatkan area under the curve 0.953. Dengan cut off RNL 1.785 didapatkan sensitivitas 78,57%, spesifisitas 92,86%, nilai dugan positif (NDP) 93,22% dan nilai duga negative (NDN) 77,61%. Dengan titik potong rasio I/T > 0,2, didapatkan sensitivitas 55,70 %, spesifitas 83,70%, NDP 81,25% dan NDN 60,26%. Gabungan RNL dan rasio I/T meningkatkan sensitivitas dan NDP rasio I/T berturut-turut menjadi 90% dan 84,44%. Sebagai kesimpulan, RNL dengan titik potong 1,785 mempunyai nilai diagnostik yang baik untuk mendiagnosis SNAL. Kombinasi RNL dan rasio I/T akan meningkatkan nilai diagnostik rasio I/T.

Late-onset neonatal sepsis (LOS) remains an important cause of death and morbidity among preterm infants. Early diagnostic is important for appropiate management. The simple, inexpensive, and rapid diagnostic tool is required to diagnose LOS. The objective of this study is assesing diagnostic value of NLR and combination of NLR and I/T ratio for diagnosis LOS. The data for this retrospective cross-sectional study was collected from medical record from January 2018 to December 2019 at Neonatology Division Cipto Mangunkusumo Hospital. Preterm infants with >30 -36 gestational weeks, 7-28 days of postnatal age and clinically sepsis were eligible for this study. According to the result of blood cultures, all enrolled infant were classified into 2 groups: proven sepsis and unproven sepsis. The NLR was calculated as the ratio of neutrophil count to lymphocyte count. Immature-to-total neutrophil ratio was taken from medical record. A total of 126 subjects were involved: 70 proven sepsis and 56 unproven sepsis. Receiver operating curve analysis for NLR calculated and area under the curve of NLR corresponded to 0.953. Using a cut off point of 1.785 for NLR, the sensitivity was 78,57%, the specificity was 92,86%, positive predictive value (PPV) 93,22% and negative predictive value (NPV) 77,61%. Using cut off > 0,2, I/T ratio has sensitivity 55,70 %, specificity 83,70%, PPV 81,25% and NPV 60,26%. The combination NLR and ratio I/T increased sensitivity and PPV of ratio I/T became 90% and 84,44%, respectively.As conclusion The NLR with cut off 1,785 has good diagnostic value for SNAL. Combination NLR and I/T ratio can increase diagnostic value of I/T ratio."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55511
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Yuniar
"Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD) adalah kelainan metabolisme bawaan pada sel darah merah akibat defisiensi enzim yang paling sering ditemui. Defisiensi enzim ini diperkirakan mengenai kurang Iebih 400 juta orang di dunia dengan prevalensi tertinggi terdapat di daerah tropis Afrika, Timur Tengah, daerah tropis dan subtropis Asia, beberapa daerah di Mediteranea dan Papua Nugini. Insiden defisiensi G-6-PD berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tertinggi pada bangsa Yahudi yaitu 70%, diikuti daerah Afrika 26%, China 1,9-16% dan Italia 0-7%.2.
Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada defisiensi enzim G-6-PD berupa anemia hemolitik akut dan ikterus yang menetap pada neonatus. Terdapatnya anemia ringan, morfologi sel darah merah yang abnormal dan peningkatan kadar retikulosit sangat mungkin disebabkan oleh proses hemolitik yang dapat terjadi balk pada bayi prematur atau cukup bulan dengan defisiensi enzim G-6-PD. Antara bulan September 1975 sampai dengan bulan Oktober 1976, Suradi telah memeriksa adanya defisiensi enzim G-6-PD, menggunakan uji tapis dengan metode Bernstein pada 3200 neonatus yang lahir di RSCM. Pada penelitian ini didapatkan 85 neonatus (2,66%) menderita defisiensi enzim tersebut dan 35 neonatus diantaranya menjadi ikterus. Pada beberapa kasus, ikterus neonatorum dapat sangat berat sehingga menyebabkan kerusakan otak permanent bahkan sampai meninggal. Munculnya manifestasi klinik pada anemia hemolitik dapat dicetuskan oleh obat-obatan, infeksi atau favism.
Ikterus neonatorum yang disebabkan oleh defisiensi G-6-PD mempunyai banyak variasi pada berbagai populasi baik mengenai frekuensi maupun beratnya penyakit. Secara biokimia ditemukan kurang lebih 400 varian yang berbeda. Pada daerah Afrika Banat dan Asia Tenggara, defisiensi enzim G-6-PD ditemukan pada 30% ikterus neonatorum. Penyebab variasi ini tidak sepenuhnya diketahui, yang jelas berperan adalah faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik yang mendasari variasi ini diduga karena terdapat mutasi pada gen G-6-PD. Analisis molekular untuk melihat adanya mutasi ini telah dilakukan dan didapatkan kurang lebih 122 varian. WHO membagi varian-varian ini menjadi 5 kelas dengan manifestasi klinis yang berbeda-beda.
Di Indonesia defisiensi enzim G-6-PD secara biokimia pertama kali diteliti oleh Kirkman dan Lie Injo pada tahun 1969, kemudian diikuti oleh beberapa penelitian lain. Secara analisis molekuler juga telah dilakukan penelitian pada orang dewasa normal dengan hasil mutasi terbanyak terdapat pada ekson 5,6,11 dan 12. Sumantri dkk pada tahun 1995 melakukan penelitian defisiensi enzim G-6-PD dengan subyek orang dewasa normal dan melaporkan bahwa varian G-6-PD Mahidol (ekson 5), Taipe Hakka (ekson 5), Mediteranean (ekson 6), dan Kaiping (ekson 12) terdapat pada suku Jawa. Iwai dkk pada tahun 2001 melakukan skrining pemeriksaan enzim G-6-PD pada berbagai negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia dengan subyek laki-laki dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis anemia hemolitik akut. Pada penelitian ini ditemukan varian Vanua Lava (ekson 5) terdapat pada suku Ambon, dan varian Coimbran (ekson 6) pada suku Jawa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardra Christian Tana
"Latar belakang dan tujuan: Pasien transfusion dependent thalassemia (TDT) rutin mendapatkan transfusi darah untuk mencegah komplikasi anemia kronik, namun kadar besi dalam tiap kantung transfusi yang diberikan akan menumpuk pada organ-organ, dan pada jantung akan mengakibatkan iron overload cardiomyopathy (IOC). Komplikasi IOC ini merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada pasien thalassemia, sehingga dibutuhkan modalitas untuk deteksi dini agar tatalaksana dapat diberikan lebih awal. Modalitas terpilih untuk mendeteksi kadar besi dalam jantung adalah dengan mengukur nilai T2* miokardium menggunakan MRI sekuens T2*, namun karena adanya keterbatasan modalitas maka dibutuhkan metode lain. Pada pasien dengan IOC, akan terjadi gangguan pada fungsi diastolik jantung terlebih dahulu. Oleh karena itu parameter yang dapat menilai fungsi diastolik jantung diharapkan juga dapat mendeteksi IOC lebih dini. Parameter yang diajukan pada penelitian ini adalah left atrial ejection fraction (LAEF) dan left atrial expansion index (LAEI) yang menggambarkan fungsi diastolik jantung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode pemeriksaan alternatif dari penilaian T2* untuk mendeteksi IOC serta mengetahui korelasi antara LAEF dan LAEI dengan nilai T2* jantung.
Metode: Penelitian ini merupakan uji korelasi menggunakan desain potong lintang menggunakan data sekunder yang dilakukan di RSCM pada bulan April 2018 hingga September 2018. Didapatkan 70 subjek penelitian, yang masing-masing dilakukan pengukuran nilai T2* pada miokardium serta pengukuran dimensi atrium kiri. Analisis statistik menggunakan uji pearson.
Hasil: Didapatkan korelasi negatif rendah antara LAEF dengan nilai T2* (R= - 0,12, p>0,05) dan tidak didapatkan korelasi antara LAEI dengan nilai T2* (R= - 0,09, p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat korelasi berkebalikan rendah antara LAEF dengan nilai T2* miokardium serta tidak didapatkan korelasi antara LAEI dengan nilai T2* miokardium. Oleh karena itu tidak dianjurkan penggunaan parameter tersebut untuk memprediksi IOC pada pasien dengan TDT.

Background and objectives:Transfusion dependent thalassemia (TDT) patients routinely get blood transfusions to prevent complications of chronic anemia, but iron content in each given transfusion sac will accumulate in the organs. In the heart it will result in iron overload cardiomyopathy (IOC), which is the highest cause of mortality in thalassemia patients. Therefore, modalities for early detection are needed so that early treatment can be given. Currently, the chosen modality for detecting iron levels in the heart is by measuring the myocardial T2 * value using MRI T2 * sequences, but due to limitations in modalities another method is needed. In patients with IOC, the diastolic function of the heart will occur first. For that reason, a parameter that can assess cardiac diastolic function is also expected to detect IOC earlier. The parameters proposed in this study are left atrial ejection fraction (LAEF) and left atrial expansion index (LAEI) which define cardiac diastolic function. The purpose of this study was to obtain an alternative examination method other than T2 * assessment to detect IOC and also to find out the correlation between LAEF and LAEI with heart T2 * values.
Method: This study is a correlation test using a cross-sectional design with secondary data, conducted at RSCM in April 2018 to September 2018. T2* score and left atrial dimensions was measured from all 70 subjects. Statistical analysis was done using Pearson correlation test.
Results: There was a low negative correlation between LAEF and T2 * (R = - 0.12, p> 0.05) and there was no correlation between LAEI and T2 * (R = - 0.09, p> 0.05).
Conclusion: There is low inverse correlation between LAEF and the myocardium T2 * value and there is no correlation between LAEI and myocardium * T2 value. Therefore, it is not recommended to use these parameters to predict IOC in patients with TDT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Agung Wicaksana
"Penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik menyebabkan terjadinya hipoksia kronik yang akan memicu peningkatan eritropoietin dan meningkatkan kadar hemoglobin (Hb). Diagnosis defisiensi besi pada PJB sianotik menjadi sulit karena parameter standar seperti Hb dan indeks eritrosit tidak dapat digunakan. Parameter pemeriksaan lain seperti feritin dan saturasi transferin sering tidak akuirat karena dipengaruhi berbagai faktor seperti inflamasi akut. American Academy of Pediatrics merekomendasikan pemeriksan reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) sebagai alat diagnosis defisiensi besi yang tidak dipengaruhi inflamasi akut. Serial kasus ini bertujuan untuk menilai gambaran Ret-He dalam menilai defisiensi besi pada pasien PJB sianotik. Sebanyak 11 subjek berusia 6 bulan - 5 tahun dengan PJB sianotik mengikuti penelitian ini dan dilakukan pemeriksaan antropometri, saturasi oksigen, Hb, indeks eritrosit, serum besi, total iron binding complex (TIBC), feritin, dan Ret-He. Terdapat 7 subjek dengan diagnosis tetralogi Fallot dan 4 subjek dengan double-outlet right ventricle (DORV). Sebanyak 10 subjek mengalami malnutrisi dan gangguan penyimpanan besi, namun status gizi tidak berbanding lurus dengan status besi. Nilai Ret-He yang rendah ditemui pada 9 dari 10 subjek yang mengalami gangguan penyimpanan besi meskipun tidak ditemukan nilai yang linear. Berdasarkan temuan di atas, diperlukan beberapa pemeriksaan laboratorium dalam mendiagnosis defisiensi besi pada PJB sianotik.

Cyanotic congenital heart disease (CHD) would cause chronic hypoxia and trigger erythropoietin which led to increase hemoglobin (Hb) levels. Diagnosis of iron deficiency in cyanotic CHD is difficult because standard parameters such as Hb and erythrocyte index cannot be used. Another parameters like ferritin and transferrin saturation are confounded by various factor such as acute inflammation. The America Academy of Pediatrics recommends reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) as a diagnostic tool for iron deficiency which not influenced by acute inflammation. This case series aims to assess the role of Ret-He in diagnosing iron deficiency in cyanotic CHD. A total 11 subjects aged 6 months - 5 years with cyanotic CHD included in this study and were examined to anthropometric, oxygen saturation, Hb, erythrocyte index, serum iron, total iron binding complex (TIBC), ferritin, and Ret-He. There were 7 subjects diagnosed with tetralogy of Fallot’s and 4 subjects with double outlet right ventricle (DORV). Malnutrition found and iron storage disorder was found in 10 subject, but nutritional status was not directly proportional to iron status. A low Ret-He value was found in 9 out of 10 iron-deficient subjects, although no linearity between them. Based on the above findings, several laboratory tests are needed in diagnosing iron deficiency in cyanotic CHD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Silman
"Latar belakang dan tujuan: Penyebab utama kematian pada pasien thalassemia di Indonesia adalah siderosis jantung. MRI T2* relaxometry merupakan pemeriksaan non-invasif terbaik dalam mendeteksi siderosis jantung dan tidak tergantikan oleh pemeriksaan lain. Perhitungan T2* jantung menggunakan perangkat lunak CMRtoolsTM hanya terbatas di RSCM. Peneliti bertujuan menvalidasi perangkat lunak SyngoMRTM yang memiliki cakupan daerah yang lebih luas, sehingga pemeriksaan ini dapat dilakukan di tempat lain di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang ini menggunakan data sekunder MRI T2* relaxometry subjek thalassemia. Data kasar MRI T2* relaxometry dihitung ulang dengan perangkat lunak SyngoMRTM dan dibandingkan dengan hasil perhitungan perangkat lunak CMRtoolsTM. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif Perhitungan Syngo MRTM dengan CMRtoolsTM sebagai baku emas.
Hasil: Terdapat korelasi positif bermakna antara perhitungan Syngo MRTM dengan CMRtoolsTM. Nilai cut-off perhitungan T2* jantung SyngoMRTM sama dengan CMRtoolsTM. Perhitungan T2* berdasarkan SyngoMRTM dapat membedakan jantung siderosis dengan jantung normal subjek thalassemia dengan sensitivitas 91,8%, spesifisitas 100%, nilai prediksi positif 100%, nilai prediktif negatif 98,11%, accuracy 98,42%. SyngoMRTM dapat mendiferensiasi derajat siderosis ringan-sedang dengan siderosis berat dengan sensitivitas 86,6%, spesifisitas 100%, nilai prediksi positif 100%, nilai prediksi negatif 90,48%, accuracy 94,12%.
Kesimpulan: Perhitungan T2* berdasarkan SyngoMRTM dapat dengan baik membedakan jantung siderosis berat, ringan-sedang dan jantung normal subjek thalassemia.

Background and objective: Cardiac iron overload are the leading cause of death of Thallassemic patients in Indonesia. MRI T2* relaxometry are the best non- invasive examination in detecting cardiac iron overload. T2* Relaxometry calculated by CMRtoolsTM only limited in CiptoMangunkusumo Hospital. The goal of this research is to validate alternative T2* calculator software (SyngoMRTM) that’s more available in Indonesia.
Method: A cross-sectional method is used on thalassemia MRI T2* relaxometry raw data. This raw data are re-calculated with SyngoMRTM software and compared with the result that calculated using CMRtoolsTM software. Data analysis is performed to obtain sensitivity, specificity, positive predictive value and negative predictive value Syngo MRTM with CMRtoolsTM as a gold standard.
Result: There is a significant positive correlation between Syngo MRTM and CMRtoolsTM. SyngoMRTM has the same cut off point in determining cardiac iron overload with CMRtoolsTM. SyngoMRTM can differentiate between normal cardiac and cardiac iron overload on thalassemia with sensitivity 91,8%, specificity 100%, positive predictive value 100%, negative predictive value 98,11%, accuracy 98,42%. SyngoMRTM can differentiate degree of cardiac iron overload sensitivity 86,6%, specificity 100%, positive predictive value 100%, negative predictive value 90,48%, accuracy 94,12%.
Conclusion: T2* based on SyngoMRTM can differentiate normal cardiac and degree of cardiac iron overload on thalassemia major.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Puspita Sari
"[ABSTRAK
Latar belakang: Metode PCR rutin untuk mendeteksi mutasi pada thalassemia α seperti PCR multi kompleks dan restriction fragment length polymorphism (RFLP) membutuhkan proses yang lama dan reagen yang banyak serta biaya yang besar. Saat ini telah dikembangkan metode baru yaitu tes strip (α-globin strip assay), yang dapat mendeteksi 21 macam mutasi gen globin -α secara simultan dalam satu paket reaksi dan hanya membutuhkan DNA dalam jumlah sedikit.
Tujuan : Mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas metode α-globin strip assay dalam mendeteksi mutasi thalassemia-α.
Metode penelitian: Penelitian merupakan uji diagnostik yang dilakukan dengan metode belah lintang yang membandingkan pemeriksaan α -globin strip assay dan PCR rutin dalam mendeteksi mutasi gen pada thalassemia α. Pada tahap I disertakan 17 pasien yang berobat ke pusat thalassemia di RSCM dan Lembaga Biomolekular Eijkman Jakarta pada bulan Oktober 2014 sampai Maret 2015, kemudian tahap II disertakan 18 anggota keluarga inti subjek pada tahap I. Pada semua subjek dilakukan pemeriksaan hematologi termasuk indeks eritrosit, morfologi darah tepi, analisis Hb, PCR rutin dan α -globin strip assay.
Hasil penelitian dan pembahasan: Ditemukan tujuh jenis mutasi yang terdiri dari: 1) delesi 1 gen 3,7kb; 2) non delesi Cd59; 3) non delesi HbCS; 4) delesi 2 gen SEA; 5) mutasi campuran 3,7kb/Cd59 ; 6) mutasi campuran Cd59/HbCS; 7) mutasi campuran SEA/HbCS. Metode α-globin strip assay memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas sebesar 100%.
Kesimpulan : Metode α-globin strip assay akurat mendeteksi mutasi thalassemia-α dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas sebesar 100%.

ABSTRACT
Background : Routine PCR methods in detecting mutations that occur in α thalassemia such as multi-complex single tube PCR and PCR restriction fragment length polymorphism (RFLP) require a lengthy process and utilize large amount of reagents and are costly. α-globin strip assay is a new method in detecting α thalassemia related mutations that is able to detect 21 types of globin-α mutations simultaneously in a single reaction and requires only small amount of DNA.
Objective: To determine the sensitivity and specificity of α-globin strip assay compared to routine PCR in detecting α thalassemia associated mutations.
Methods: A cross sectional diagnostic study was performed comparing α-globin strip assay and routine PCR in detecting mutations related to α thalassemia. Phase I of the study includes 17 patients treated for α thalassemia at RSCM and Biomolecular Eijkman Institute between October 2014 and March 2015, phase II includes 18 close relatives of patients recruited in phase I. All subjects underwent hematological examination including erythrocyte indices, peripheral blood morphology, Hb analysis, routine PCR and α ?globin strip assay.
Results: Seven kind of mutations were identified including 1) deletion of one gene 3,7 kb; 2) non-deletion of CD59; 3) non deletion of HbCS; 4) deletion of two genes SEA; 5) mixed mutation of 3,7kb/CD59; 6) mixed mutation of CD59/HbCS; 7) mixed mutation of SEA/HbCS. α-globin strip assay has sensitivity and specificity of 100%.
Conclusion: α ?globin strip assay accurately detect mutations in α thalassemia with 100% sensitivity and specificity., Background : Routine PCR methods in detecting mutations that occur in α thalassemia such as multi-complex single tube PCR and PCR restriction fragment length polymorphism (RFLP) require a lengthy process and utilize large amount of reagents and are costly. α-globin strip assay is a new method in detecting α thalassemia related mutations that is able to detect 21 types of globin-α mutations simultaneously in a single reaction and requires only small amount of DNA.
Objective: To determine the sensitivity and specificity of α-globin strip assay compared to routine PCR in detecting α thalassemia associated mutations.
Methods: A cross sectional diagnostic study was performed comparing α-globin strip assay and routine PCR in detecting mutations related to α thalassemia. Phase I of the study includes 17 patients treated for α thalassemia at RSCM and Biomolecular Eijkman Institute between October 2014 and March 2015, phase II includes 18 close relatives of patients recruited in phase I. All subjects underwent hematological examination including erythrocyte indices, peripheral blood morphology, Hb analysis, routine PCR and α –globin strip assay.
Results: Seven kind of mutations were identified including 1) deletion of one gene 3,7 kb; 2) non-deletion of CD59; 3) non deletion of HbCS; 4) deletion of two genes SEA; 5) mixed mutation of 3,7kb/CD59; 6) mixed mutation of CD59/HbCS; 7) mixed mutation of SEA/HbCS. α-globin strip assay has sensitivity and specificity of 100%.
Conclusion: α –globin strip assay accurately detect mutations in α thalassemia with 100% sensitivity and specificity.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>