Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Ubbe
"Melalui UU RI. No. 1 Daruxat Tanun 1951, hukum pidana adat, kembali diakui keberadaannya. Hakim "wajib" rnemperhatikan hukum pidana adat dalam memutuskan suatu perkara yang terkait dengan delik adat. Kewajiban itu dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Keberadaan malaweng (pelanggaran kesusilaan siri) dan penyelesaiannya di masyarakat Bugis, diselimuti ketidakcoookan antara nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat dan yang dimuat dalam hukum pidana negara. Ketidakcocokan itu tergambarkan pada kenyaiaanz (1) Perbuaian malaweng, seperti incect, zina dan perkosaan, pencabulan yang merusak kehormatan wanita, merupakan perbuatan yang sangat tercela menurut kesusilaan siri' diancam hukuman cambuk atau mati. Sementara menurut hukum pidana negara, hanya dihukum penjara dalam bilangan bulan; (2) Tindakan penegakan siri', sebagai akibat malaweng, meskipun dilakukan dengan penganiayaan dan pembxmuhan, merupakan tindakan legal, legitim, dan diterima oleh masyarakat Bugis, sebagai pemenuhan kewajiban moral. Namun perbuatan itu, merupakan kejahatan yang diancam hukuman berat menurut KUHP dan rnemang dihukum berat oleh pengadilan. Penelitian ini, pada intinya menyoai dan menjawab secara teoritis dan faktual, (1) kebcradaan malaweng dalam masyarakat Bugis; (2) penyelesaian malaweng dan penegakan siri' di masyarakat Bugis; (3) keberadaan malaweng dan pcnegakan siri' dalam putusan hakim selama 10 tahun terakhir. Orang Bugis berani menegakkan siri'-nya dan siri' sanak keluarganya, sekalipun hams membunuh atau terbunuh, karena alasan, (1) percaya orang yang menegakkan siri? tidak akan terbunuh dan bila pun terbunuh, mereka menerimanya sebagai kemalian yang gurih (mati bersantan dan bergula); (2) percaya wanita dan tubuh manusia (seperti muka dan kepala), adalah lambang harga diri- Oleh karena ilu melanggar kehormatan wanita, melakukan percabulan, perkosaan, hubungan scksual dan perkawinan yang melanggar adat, menampar muka atau memukul kepala, menghina dengan kata-kata, adalah pelanggaran terhadap kesusilaan sirii Malaweng dalam masyamkat meliputi, (1) Malaweng Ati, pelanggamn hati; (2) Malaweng Care-care, pelanggaran busana; (3) Malaweng Pakkila 'pelanggaran mata; (4) malaweng udajpelangaran kata-kata'; (5) Malaweng Kedo/Pangkaukeng, 'pelanggaran gerak-gerild, atau yang sekarang disebut porno aksi, seperti: (a) memegang, mencium, merabah buah dada, mencoba memperkosa, mencabuli atau bersetubuh; (b) berpacaran dan bercumbuh rayu; (c) mengumbar gairah seks atau nafsu sahwat (to mangure), (d) pergaulan bebas antara wanita dan laki-laki; (6) Malaweng Luse 'hubungan seks yang tidak sah'. Malaweng kedo/pangkaukeng dan malaweng luse sebagian diselesaikan sendiri oleh masyarakat, baik dengan cara damai maupun dengan 'bertindak sendiri' (self help), sebagain Iagi diselesaikan melalui pengadilan. Kawin lari dan wanita hamil di luar nikah pada umumnya, diselesaikan secara adat, sedangkan yung lainnya, seperti perzinaan, pencabulan dan perkosaan diselesaikan secara yuridis formal di pengadilan, yang didasarkan pada Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 dikaitkan dengan Pasal-Pasal tertentu KUHP, sesuai dengan delik yang diperkarakan.
By virtue of Emergency Law Number 1 Year 1951, the customary penal law was once again readopted. A judge is obliged to take the customary penal law into consideration when deciding custom-related criminal cases. The obligation seeks to adapts judge's decision to the living law and the local sense of justice. The practice of malaweng (moral offence of siri) and its handling in the Bugis community is cloaked by discrepancies between the values of the local, living law and those of the positive law. The research took place in South Sulawesi, and tried particularly to study in theory and practice, (1) the practice of maiaweng in the Bugis community; (2) the handling of malaweng and the enforcement of sirf' in the Bugis community; (3) the handling of malaweng and the enforcement of siri ' in court decisions during the last 10 years. The Buginese is proud to enforce his siri ' and the siri' of kirnsman, even when it causes him to kill or be killed, because of the believe that (I) person who upholds his siri? can not be killed and although he is killed, the death is a ?tasty? death (a death coated with spice and curry); (2) woman and human body is a symbol of honor and sellldignity, so a violation against woman dignity, obscenity, rape, sexual intercourse and marriage against the custom, a slap or a blow on the head, insulting words, are all seen as offences against siri'. Malaweng consists of (1)Malaweng Ati, heart offence': a person who likes to fancy a sexual intercourse between man and woman: (2) Malaweng Care-care, dress off'ence: a person who likes to dress up in the manner of the opposite sex; (3) Malaweng Palckira, eye offence: looking at a woman with lust, peeping at bathing person or sleeping couple: (4) Malaweng Ada, word offence: talking and speaking dirty words; (5)Malaweng Kedo/Pangkaukeng, gesture offence: nowadays popular as the porn action, such as (a) holding, kissing, touching a woman breast, attempt to rape or to make a sexual intercourse; (b) flirting; (c) uncontrolled sexual desire (tomangure), (d) loose relationship between man and woman; (6) Malaweng Luse, ?illegatimate sexual intercourse. Malaweng Kedo/Pangkaukeng and Malaweng Luse is handled partly by the community itself, either through peaceful settlement or through selg action and partly by the court of justice. Runaway marriage and pregnancy outside the marriage is generally settled by custom, while offences such as adultery and rape is brought to and resolved by the court of justice, in accordance with Article 5 of Emergency Law Number 1 Year 1951."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D1111
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Ubbe
"Melalui UU RI. No. 1 Daruxat Tanun 1951, hukum pidana adat, kembali diakui keberadaannya. Hakim "wajib" memperhatikan hukum pidana adat dalam memutuskan suatu perkara yang terkait dengan delik adat. Kewajiban itu dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Keberadaan malaweng (pelanggaran kesusilaan siri) dan penyelesaiannya di masyarakat Bugis, diselimuti ketidakcoookan antara nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat dan yang dimuat dalam hukum pidana negara. Ketidakcocokan itu tergambarkan pada kenyaiaanz (1) Perbuaian malaweng, seperti incect, zina dan perkosaan, pencabulan yang merusak kehormatan wanita, merupakan perbuatan yang sangat tercela menurut kesusilaan siri' diancam hukuman cambuk atau mati. Sementara menurut hukum pidana negara, hanya dihukum penjara dalam bilangan bulan; (2) Tindakan penegakan siri', sebagai akibat malaweng, meskipun dilakukan dengan penganiayaan dan pembxmuhan, merupakan tindakan legal, legitim, dan diterima oleh masyarakat Bugis, sebagai pemenuhan kewajiban moral. Namun perbuatan itu, merupakan kejahatan yang diancam hukuman berat menurut KUHP dan rnemang dihukum berat oleh pengadilan. Penelitian ini, pada intinya menyoai dan menjawab secara teoritis dan faktual, (1) kebcradaan malaweng dalam masyarakat Bugis; (2) penyelesaian malaweng dan penegakan siri' di masyarakat Bugis; (3) keberadaan malaweng dan pcnegakan siri' dalam putusan hakim selama 10 tahun terakhir. Orang Bugis berani menegakkan siri'-nya dan siri' sanak keluarganya, sekalipun hams membunuh atau terbunuh, karena alasan, (1) percaya orang yang menegakkan siri? tidak akan terbunuh dan bila pun terbunuh, mereka menerimanya sebagai kemalian yang gurih (mati bersantan dan bergula); (2) percaya wanita dan tubuh manusia (seperti muka dan kepala), adalah lambang harga diri- Oleh karena ilu melanggar kehormatan wanita, melakukan percabulan, perkosaan, hubungan scksual dan perkawinan yang melanggar adat, menampar muka atau memukul kepala, menghina dengan kata-kata, adalah pelanggaran terhadap kesusilaan sirii Malaweng dalam masyamkat meliputi, (1) Malaweng Ati, pelanggamn hati; (2) Malaweng Care-care, pelanggaran busana; (3) Malaweng Pakkila 'pelanggaran mata; (4) malaweng udajpelangaran kata-kata'; (5) Malaweng Kedo/Pangkaukeng, 'pelanggaran gerak-gerild, atau yang sekarang disebut porno aksi, seperti: (a) memegang, mencium, merabah buah dada, mencoba memperkosa, mencabuli atau bersetubuh; (b) berpacaran dan bercumbuh rayu; (c) mengumbar gairah seks atau nafsu sahwat (to mangure), (d) pergaulan bebas antara wanita dan laki-laki; (6) Malaweng Luse 'hubungan seks yang tidak sah'. Malaweng kedo/pangkaukeng dan malaweng luse sebagian diselesaikan sendiri oleh masyarakat, baik dengan cara damai maupun dengan 'bertindak sendiri' (self help), sebagain Iagi diselesaikan melalui pengadilan. Kawin lari dan wanita hamil di luar nikah pada umumnya, diselesaikan secara adat, sedangkan yung lainnya, seperti perzinaan, pencabulan dan perkosaan diselesaikan secara yuridis formal di pengadilan, yang didasarkan pada Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 dikaitkan dengan Pasal-Pasal tertentu KUHP, sesuai dengan delik yang diperkarakan.
By virtue of Emergency Law Number 1 Year 1951, the customary penal law was once again readopted. A judge is obliged to take the customary penal law into consideration when deciding custom-related criminal cases. The obligation seeks to adapts judge's decision to the living law and the local sense of justice. The practice of malaweng (moral offence of siri) and its handling in the Bugis community is cloaked by discrepancies between the values of the local, living law and those of the positive law. The research took place in South Sulawesi, and tried particularly to study in theory and practice, (1) the practice of maiaweng in the Bugis community; (2) the handling of malaweng and the enforcement of sirf' in the Bugis community; (3) the handling of malaweng and the enforcement of siri ' in court decisions during the last 10 years. The Buginese is proud to enforce his siri ' and the siri' of kirnsman, even when it causes him to kill or be killed, because of the believe that (I) person who upholds his siri? can not be killed and although he is killed, the death is a ?tasty? death (a death coated with spice and curry); (2) woman and human body is a symbol of honor and sellldignity, so a violation against woman dignity, obscenity, rape, sexual intercourse and marriage against the custom, a slap or a blow on the head, insulting words, are all seen as offences against siri'. Malaweng consists of (1)Malaweng Ati, heart offence': a person who likes to fancy a sexual intercourse between man and woman: (2) Malaweng Care-care, dress off'ence: a person who likes to dress up in the manner of the opposite sex; (3) Malaweng Palckira, eye offence: looking at a woman with lust, peeping at bathing person or sleeping couple: (4) Malaweng Ada, word offence: talking and speaking dirty words; (5)Malaweng Kedo/Pangkaukeng, gesture offence: nowadays popular as the porn action, such as (a) holding, kissing, touching a woman breast, attempt to rape or to make a sexual intercourse; (b) flirting; (c) uncontrolled sexual desire (tomangure), (d) loose relationship between man and woman; (6) Malaweng Luse, ?illegatimate sexual intercourse. Malaweng Kedo/Pangkaukeng and Malaweng Luse is handled partly by the community itself, either through peaceful settlement or through selg action and partly by the court of justice. Runaway marriage and pregnancy outside the marriage is generally settled by custom, while offences such as adultery and rape is brought to and resolved by the court of justice, in accordance with Article 5 of Emergency Law Number 1 Year 1951."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D877
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Achjani Zulfa
"ABSTRAK
Praktek penyelesaian perkara pidana melalui jalur ?musyawarah? antar pelaku dan korban Serta masyarakat yang terlibat didalamnya merupakan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mekanisme penyelesaian ini dalam prakteknya terselenggara dengan atau tanpa melibatkan penegak hukum. Dalam praktik, perdamaian sebagai hasil akhir dari rnusyawarah yang terjadi menjadi kunci penutup permasalahan yang terjadi seolah mendapatkan pembenaran dalam hukum yang hidup dalam masyarakat. Fenomena yang demikian dalam kenyataannya bukan hanya menjadi permasalahan di Indonesia saja. Di sejumlah negara telah dibuat kebijakan dalam rangka menjawab pennasalahan tersebut dalam bentuk program Pemerintah atau bahkan kebijakan dalam regulasinya. Kebijakan dan program ini dibuat berdasarkan filosofi pemidanaan tradisional yang membingkainya yang dikenal sebagai keadilan restoratif Keadilan restoratif merupakan suatu filosofi pemidanaan tradisional yang dapat dipakai sebagai pendekatan dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana yang terjadi dalarn masyarakat, Berangkat dari kenyataan tersebut, Disertasi ini membahas tentang kemungkinan penerapan pendekatan keadaan restoratif dalarn praktek penegakan hukum pidana di Indonesia Pencarian atas gagasan penerapan pendekatan keadilan restoralif dalam disertasi ini dimulai dengan kajian teoretis terhadap keadilan restoratif dimana terjadi pergulatan untuk menyatakannya sebagai sebuah teori atau filosofi pernidanaan. Penelitian dilanjutkan dengan penelusuran terhadap praktik penggunan pendekatan keadilan nestoratif di berbagai Negara, Kedua kajian ini yang menjadi pedoman penulis dalarn melihat plaktek penanganan perkara pidana di Indonesia terhadap sejumlah perkara pidana yang diselesaikan diluar sistem peradilan pidana, pandangan para petugas penegak hukum terhadap hal tersebut dan mengurai pula basil pilot project penerapan pendekatan keadilan restoratif di Bandung. Saluruh proses penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif Suatu metode penelitain yang ?multimethod in focus, involving an interpretive and naturalisilic approach ro its subject matter", dimana diharapkan melalui pendekatan ini akan terlihat nyata dari analisa dan pembahasan perrerapan pendekatan keadilan restoratif di dalam pandangan hukum pidana, sistem peradilan pidana, hukum adat yang menggali pandangan masyarakat terhadap Iembaga peradilan pidana dan proses yang berjalan didalamnya serta pengaruh dan norma hukum. Penelitian kualitatif juga telah membuka kemungkinan bagi penulis untuk meneliti dengan menggunakan berbagai sumber baik data yang diperoleh melalui penelitian lapangan, maupun Studi dokumen. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sebagai suatu filosofi pemidanaan, keadilan restoratif dapat membingkai berbagai kebijakan, gagasan program dan strategi penanganan perkara pidana sehingga diharapkan hasil proses tersebut dapat menciptakan keadilan yang dirasakan oleh pelaku, korban rnaupun masyarakat dan menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh sistem peradilan pidana saat ini."
Depok: 2009
D1029
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library