Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wanda Tri Astuti
"Tanah ulayat merupakan suatu wilayah dari suatu kaum yang diakui sebagai pemilik dari tanah yang telah dikuasai oleh kaum tersebut sebagai suatu pusaka tinggi, yang diturunkan dari nenek moyang kaum tersebut dari garis keturunan ibu (matrilineal), yang diakui secara hukum adat Minangkabau. Sebagai pusaka tinggi tanah ulayat tidak dapat dimiliki secara pribadi oleh angota kaum, hal ini dikarenakan tanah ulayat merupakan hak kepemilikan bersama anggota kaum, untuk mengolah, menikmati hasil dari tanah ulayat tersebut yang pengelolaannya diawasi oleh mamak kepala waris. dengan berlakunya UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur lebih lanjut mengenai penguasan, pengelolaan, dan kepemilikan tanah yang ada di dalam wilayah negara Republik Indonesia, maka untuk pemerataan dan pembangunan diseluruh wilayah, maka hal-hal yang telah diakui oleh hukum adat disemua masyarakat hukum adat yang secara nyata masih ada keberadaannya, maka akan tetap diakui sebagai wilayah tanah adat. Akan tetapi penguasaan, pengelolaan dan kepemilikan tanah tersebut haruslah diselaraskan dengan kepentingan yang lebih luas untuk kepentingan pembangunan negara demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dalam pelaksanaan UU Agraria tersebut, ternyata ada pergeseran mengenai hak kepemilikan tanah ulayat, dimana disatu segi masih mempertahankan tanah ulayat tidak dapat dijual, atau tidak dapat dimiliki secara pribadi baik oleh anggota kaum maupun orang luar kaum, disisi lain karena adanya peluang untuk melakukan transaksi kepada orang pribadi maupun badan hukum  yang ingin berinvestasi diwilayah tanah ulayat, dengan cara pelepasan hak dari tanah ulayat tersebut sehingga tanah ulayat yang telah dilakukan pelepasan hak dibuatkan sertifikat dan menjadi sah berpindah kepemilikannya kepada orang pribadi maupun badan hukum. Hal inilah yang merupkan salah satu pemicu timbulnya sengketa yang berhubungan dengan tanah ulayat. Mamak kepala waris yang diberi tanggung jawab untuk mengawasi dan mengelola tanah ulayat, harus dapat memilih dan memilah, apakah transaksi yang dilakukan dengan orang luar kaum tersebut dapat memberikan keuntungan bagi masa depan keturunan kaum, seperti masa depan Pendidikan, kehidupan ekonomi, dan tetap menjaga agar suatu kaum tidak kehilangan tanah ulayatnya, disinilah peran mamak kepala waris dalam mempertahankan masa depan dan keberadaan tanah ulayat yang merupakan harta pemersatu suatu kaum menurut adat Minangkabau.    

Ulayat land is an area of ​​a people who is recognized as the owner of the land that has been controlled by that people as a high heritage, which is inherited from the ancestors of that people through the maternal lineage (matrilineal), which is recognized according to Minangkabau customary law. As a high heritage, ulayat land cannot be owned privately by members of the clan, this is because ulayat land is a joint ownership right of members of the clan, to cultivate and enjoy the results of the ulayat land, the management of which is supervised by the head of the inheritance. with the enactment of Law no. 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles, which further regulates the control, management and ownership of land within the territory of the Republic of Indonesia, so that for equal distribution and development throughout the territory, things that have been recognized by customary law In all customary law communities that actually still exist, they will still be recognized as customary land areas. However, control, management and ownership of land must be aligned with broader interests in the interests of state development for the prosperity of all Indonesian people. In the implementation of the Agrarian Law, it turns out that there has been a shift regarding customary land ownership rights, where on the one hand it is still maintained that customary land cannot be sold, or cannot be owned privately either by members of the clan or people outside the clan, on the other hand because there is an opportunity to carry out transactions with Individuals or legal entities who wish to invest in customary land areas, by relinquishing rights to the customary land, so that the customary land for which the rights have been relinquished is made a certificate and ownership becomes legally transferred to the individual or legal entity. This is one of the triggers for the emergence of disputes related to communal land. The head of the heir who is given the responsibility to supervise and manage the ulayat land, must be able to choose and sort out whether transactions carried out with people outside the clan can provide benefits for the future of the clan's descendants, such as the future of education, economic life, and maintaining good health. a people does not lose their customary land, this is the role of the head of the waris in maintaining the future and existence of the customary land which is the unifying property of a people according to Minangkabau custom."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Drajad Agung Priyohutomo
"Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh keadaan perekonomian Indonesia yang timpang dan tidak sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Skripsi ini membahas mengenai pembagian Sisa Hasil Usaha dalam Koperasi, pembagian keuntungan dalam Perseroan Terbatas serta perbandingan antara keduanya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pembagian Sisa Hasil Usaha Koperasi didasarkan pada jasa usaha tiap anggota sedangkan pembagian keuntungan dalam Perseroan Terbatas didasarkan pada jumlah kepemilikan saham. Penelitian ini juga memberikan saran kepada pemerintah agar berperan lebih besar dalam mendukung dan mengembangkan badan usaha Koperasi di Indonesia.

The thesis is based on the unbalanced condition of Indonesian economic and not aligns with the article 33 of Indonesian Constitution (UUD 1945). The focus of this study is about distribution of Cooperative surplus, distribution of Limited Liability Company profit, and comparison between both of them. This research is using normative law research method. The outcome of this research showed that distribution of Cooperative surplus is based on contribution of each members, meanwhile distribution of Limited Liability Company profit is based on the ownership of shares. The research also give suggestion to the government to take a bigger role in supporting and developing Cooperative enterprise in Indonesia"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25071
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Afit Syahputra
"Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua objek pendaftaran tanah. Program PTSL sangat bermanfaat bagi masyarakat luas, kepastian hukum dan perlindungan hukum atas hak tanah menjadi tujuan paling mendasar. Presiden mendorong kegiatan ini melalui Intruksi Presiden Nomor 2 tahun 2018 tentang Percepatan PTSL di seluruh Indonesia. PTSL merupakan pendaftaran tanah secara serempak yang dahulunya terdapat program serupa yaitu PRONA. PTSL dan PRONA walau hampir serupa namun memiliki perbedaan yang mendasar pada pelaksanaannya. Objek pendaftaran pada pelaksanaan PTSL ialah keseluruhan bidang tanah di suatu wilayah, berbeda dengan PRONA yang pelaksanaannya masih terbatas pada beberapa bidang tanah saja. Kantor Pertanahan sebagai pelaksana PTSL kerap mendapatkan tantangan, permohonan yang diajukan dapat terhambat apabila terjadi sengketa. Sejak penyelenggaraan PTSL dimulai terdapat beberapa sengketa yang terjadi, salah satunya ditemukan di Kabupaten Buton Utara dalam putusan Pengadilan Negeri Raha Nomor 1/Pdt.G/2019/PN Rah. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai penyelesaian sengketa tanah oleh Kantor Pertanahan dalam PTSL; dan, menganalisis pertimbangan hukum Majelis Hakim yang mengadili sengketa objek PTSL. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian doktrinal dengan jenis penelitian problem identification. Hasil analisis adalah penyelesaian yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan dalam menangani sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan. Penyelesaian sengketa terhadap objek PTSL diakomodir pada Kluster 2, objek tersebut tetap akan dilakukan pembukuan hak dengan mengosongkan nama pemegang haknya dan sertipikat akan diserahkan apabila permasalahan telah selesai. Adapun saran yang dapat diberikan berupa masyarakat harus sadar dalam menjaga batas-batas kepemilikan hak atas tanah untuk meminimalisir terjadinya sengketa tanah. Dibutuhkan pula sosialisasi tentang penyelesaian kasus pertanahan pada objek PTSL untuk memberi pedoman kepada masyarakat luas.

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) is the first simultaneous land registration activity carried out for all land registration objects. The PTSL program is very beneficial for the wider community, as legal certainty and legal protection of land rights are the most fundamental goals. The President encourages this activity through Presidential Instruction Number 2 of 2018 on the Acceleration of PTSL throughout Indonesia. PTSL is a simultaneous land registration system that was previously similar to the PRONA program. PTSL and PRONA, although nearly similar, have fundamental differences in their implementation. The object of registration in PTSL implementation is the entire land area in a certain region, unlike PRONA, whose implementation is still limited to a few land areas only. The implementation of PTSL by the Land Registry Office often poses challenges, as applications may be hindered in the event of disputes. Since the implementation of PTSL began, there have been several disputes, one of which was found in North Buton Regency in the decision of Raha District Court Number 1/Pdt.G/2019/PN Rah. The problem raised in this research is about the mechanism for resolving disputed objects by the Land Registry Office in PTSL; and, analyzing the legal considerations of the Panel of Judges who adjudicate PTSL object disputes. To answer these problems, a doctrinal research method was used with a problem identification research type. The result of the analysis is the mechanism used by the Land Registry Office in resolving disputes based on laws and regulations. The settlement of disputes over PTSL objects is accommodated in Cluster 2, where the object will still be registered, but the name of the holder of the right will be left blank and the certificate will be handed over once the issue has been resolved. As for suggestions, the community needs to be aware of maintaining the boundaries of land ownership rights to minimize land disputes. It is also necessary to socialize the settlement of land cases on PTSL objects to provide guidance to the wider community."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Glenn Adhitya Arnanda
"Salah satu wewenang yang dimiliki oleh seorang Notaris adalah membuat akta autentik. Akta autentik merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak yang terkait dalam suatu akta dan memiliki kekuatan yang mengikat bagi para pihak di dalamnya. Namun dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum banyak terjadi pemalsuan-pemalsuan akta yang mengatasnamakan notaris dengan cara membuat sendiri akta tersebut dan memalsukan semua atribut dan data yang ada pada akta mulai dari sampul akta hingga cap dan tanda tangan notaris itu sendiri. Salah satu contoh akta yang sering kali dibuat versi palsunya adalah Akta Pengoperan dan Penyerahan Hak. Hal ini sangat sering terjadi di Kota Palembang di mana nama notaris digunakan secara melawan hukum pada akta-akta yang sama sekali mereka tidak buat bahkan lihat sekali pun. Selanjutnya tesis ini membahas kedudukan akta pengoperan dan penyerahan hak yang dipalsukan sebagai satu-satunya bukti dalam melakukan peralihan hak dan akibat serta perlindungan hukum  bagi penerima hak atas tanah yang dirugikan atas akta pengoperan dan penyerahan yang dipalsukan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis empiris yang mana berfokus pada implementasi ketentuan-ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam hubungannya pada peristiwa hukum yang terjadi di dalam suatu masyarakat. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Dari hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa Akta Pengoperan dan Penyerahan Hak palsu  yang menjadi satu-satunya bukti peralihan hak tidak memenuhi syarat autentisitas akta dan syarat-syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat dan perlindungan hukum bagi penerima hak atas tanah yang dirugikan atas Akta Pengoperan dan Penyerahan Hak yang dipalsukan dapat berupa pemenuhan kembali haknya. Notaris yang digunakan namanya tidak dapat dituntut karena namanya dipakai tanpa sepengetahuan dan seizinnya yang mana hal tersebut merugikan dirinya. Dengan demikian pemegang hak yang sebenarnya selalu dapat menuntut kembali haknya yang telah dialihkan tanpa sepengetahuannya dari siapa pun hak itu berada.

One of the authorities that is held by a Notary is to make authentic deeds. An authentic deed is perfect evidence for the parties involved in a deed and has binding force for the parties in it. However, in carrying out their duties as public officials, there are many deed forgeries on behalf of notaries by making the deed themselves and falsifying all attributes and data contained in the deed starting from the cover of the deed to the stamp and signature of the notary himself. One example of a deed that is often made in a fake version is the Deed of Conveyance and Submission of Rights. This happens very often in Palembang City where notaries' names are used unlawfully on deeds that they did not even make or see. Furthermore, this thesis discusses the position of the counterfeit Deed of Conveyance and Submission of Rights as the only evidence in transferring rights and the consequences and legal protection for recipients of land rights who are harmed by the falsified deed of transfer and delivery. The research method used is the empirical juridical approach method which focuses on the implementation of normative legal provisions (laws) in relation to legal events that occur in a society. The data obtained was analyzed using a qualitative method. From the results of the research, it can be concluded that the counterfeit Deed of Conveyance and Submission of Rights which is the only evidence of the transfer of rights does not meet the requirements of the authenticity of the deed and the legal requirements of the agreement based on Article 1320 of the Civil Code. The consequences and legal protection for recipients of land rights who are harmed by the counterfeit Deed of Conveyance and Submission of Rights can be in the form of re-fulfillment of their rights. The notary whose name is used cannot be sued because their names are used without their knowledge and permission, which is detrimental to them. Thus, the actual right holder can always claim back his rights that have been transferred without permission from whoever the rights belong to."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Berliana Nadhifah
"Tanah ulayat kaum merupakan harta milik bersama suatu kaum dan diwarisi secara turun-temurun. Dalam praktik pendaftaran sertipikat hak atas tanah harta pusaka tinggi di Minangkabau, banyak terjadi pensertipikatan atas nama perorangan tanpa sepengetahuan dan persetujuan anggota kaum atau disertipikatkan pertama kali oleh orang yang tidak berhak atas Harta Pusaka Tinggi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akibat hukum sertipikat hak milik atas tanah harta pusaka tinggi kaum yang dinyatakan lumpuh dan tidak berharga karena perbuatan melawan hukum, serta mengungkap peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam peralihan hak atas tanah harta pusaka tinggi. Metode penelitian yang digunakan adalah Doktrinal, yang mengacu kepada norma hukum sebagai sasaran penelitian. Akibat sertipikat hak milik atas tanah harta pusaka tinggi kaum yang dinyatakan lumpuh dan tidak berharga adalah tidak mempunyai kekuatan hukum sertipikat hak atas tanah serta segala dokumen yang dilahirkan sebelum ataupun setelah diterbitkan sertipikat, perbuatan hukum yang dilakukan setelah diterbitkannya sertipikat lumpuh dan tidak berharga, kembali ke keadaan semula, pemilik yang sebenarnya dapat mengajukan permohonan pembatalan sertipikat dan ganti kerugian. PPAT dalam melakukan tindakan hukum harus senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian. Berkaitan dengan peralihan hak atas tanah pusaka tinggi, peranan PPAT antara lain memastikan bahwa penghadap benar sebagai pemilik tanah, melakukan checking terhadap sertipikat, melakukan pengecekan terhadap warkah, melakukan konfirmasi faktual mengenai Harta Pusaka Tinggi tersebut ke nagari tempat objek tersebut berada, melakukan pengecekan SKPT, meminta dokumen lain seperti Ranji, Sporadik, Surat Penyataan Kepemilikan Tanah, Surat Kesepakatan atau Persetujuan Kaum, Surat Keterangan Wali Nagari atau Lurah setempat, Bukti bayar PBB serta KTP dan KK penghadap serta mengerti tentang hukum adat daerah di mana PPAT berkedudukan.

The customary land of the people is a joint property of a people and is inherited from generation to generation. In the practice of certifying high inheritance land rights in Minangkabau, there are many certificates in the name of individuals who do not get approval from members of other customary clans or are certified for the first time by individuals who are not entitled to the land which causes disputes over inherited land in the future. This study aims to analyze the legal consequences of ownership certificates on the High Inheritance’s land of people who are declared paralyzed and worthless due to acts against the law and to reveal the role of the Land Deed Making Officer (PPAT) in the transfer of rights to High Inheritance’s Land. The research method used is Doctrinal, which refers to legal norms as research targets. This study uses primary and secondary data with qualitative analysis methods. Legal consequences of land ownership certificates of high inheritance that has been declared paralyzed and worthless due to unlawful acts is certificates of land rights do not have the force of law, and all documents issued before or after the issuance of the certificate and legal actions taken after the issuance of the certificate are paralyzed and worthless, returning to their original state, the actual owner can apply for cancellation of the certificate and compensation. In carrying out legal actions, PPAT must always apply the precautionary principle. Concerning the transfer of rights to heritage high land, the role of the PPAT includes ensuring that the claimant is genuinely the owner of the land, checking the certificate, checking the Warkah, making factual confirmation regarding the inheritance to the Nagari where the object is located, checking the SKPT, ask for other documents such as Ranji, Sporadic, Declaration of Land Ownership, Letter of Agreement or Clan Agreement, Certificate of Wali Nagari or local Lurah, Proof of PBB payment and KTP and KK of the party and understand the customary law of the area where the PPAT is domiciled, thus can minimize disputes over high inheritance land within the scope of PPAT."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Dienta Putra
"Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat Akta Jual Beli Tanah harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Didalam Akta Jual Beli Tanah terdapat penjelasan mengenai luas, letak, dan batas-batas tanah sesuai dengan Surat Ukur Kantor Pertanahan yang dicantumkan dalam Akta Jual Beli Tanah. Namun terdapat kasus Akta Jual Beli Tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak menggunakan Surat Ukur Kantor Pertanahan melainkan menggunakan Surat Ukur yang dikeluarkan oleh Staf Kelurahan. Penelitian doktrinal ini menggunakan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data yang digunakan didalam penelitian ini adalah menggunakan studi dokumen yang dianalisis secara mendalam untuk mendapatkan hasil penelitian yang akurat. Hasil analisis didalam penelitian ini terbagi menjadi dua. Hasil penelitian yang pertama adalah Akta Jual Beli Tanah yang Surat Ukur nya tidak memakai Surat Ukur yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Surabaya menjadi cacat hukum dan akta tersebut menjadi batal demi hukum. Kelurahan Buntaran yang merupakan bagian dari wilayah Kota Surabaya tidak memiliki fungsi untuk melakukan pengukuran dan pemetaan suatu tanah yang maka dari itu Staf Kelurahan Buntaran tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan Surat Ukur. Sedangkan Kantor Pertanahan memiliki fungsi yaitu salah satunya adalah melakukan pengukuran dan pemetaan bidang tanah sehingga Data Fisik dan Data Yuridis dari tanah tersebut akurat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan. Untuk hasil penelitian kedua adalah OS sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah yang membuat Akta Jual Beli dalam kasus ini seharusnya memberikan penyuluhan hukum kepada SG terkait Surat Ukur Staf Kelurahan Buntaran tidak bisa dipakai dalam pembuatan Akta Jual Beli dan OS dapat bertanggung jawab secara administrasi dan/atau memberikan ganti rugi.

The Land Deed Official, in making the Deed of Sale and Purchase of Land, must pay attention to the applicable laws and regulations. In the Deed of Sale and Purchase of Land, there is an explanation regarding the land's area, location, and boundaries following the Measurement Letter of the Land Office stated in the Deed of Sale and Purchase of Land. However, there are cases where the Deed of Sale and Purchase of Land made by the Land Deed Official uses the Measurement Letter of the Land Office instead of the Measurement Letter issued by the Sub-District Staff. For this reason, this doctrinal research uses primary, secondary, and tertiary legal materials. The data collection used in this research uses document studies which are analyzed in depth to obtain accurate research results. The results of the analysis in this study are divided into two. The first research result is the Deed of Sale and Purchase of Land, where the Measurement Letter does not use the Measurement Letter issued by the Land Office of the City of Surabaya, becomes legally invalid, and the deed becomes null and void. The Buntaran Sub-District, which is part of the Surabaya City area, does not have the function of measuring and mapping a piece of land. Therefore, the Buntaran Sub-district Staff does not have the authority to issue a Measurement Letter. While the Land Office has a function, one of which is to measure and map land parcels so that the Physical Data and Juridical Data from the land are accurate in accordance with the actual conditions in the field. For the results of the second study, Co-Defendant I, as the Land Deed Making Officer who made the Sale and Purchase Deed in this case, should have provided legal counselling to the Plaintiff regarding the Buntaran Village Staff Measurement Letter, which could not be used in making the Sale and Purchase Deed and Co-Defendant I could be administratively responsible and/or provide compensation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istianah
"Pemberlakuan wisata berbasis syari’ah di Indonesia belum dapat dikatakan sempurna, meskipun terdapat potensi yang besar dalam pemberlakuannya dalam menarik wisatawan Muslim dunia. Desa Wisata Cibuntu yang sejak tahun 2012 telah menjadi destinasi wisata di Kabupaten Kuningan dijadikan objek pengembangan pariwisata sebagai desa percontohan terciptanya Desa Wisata Halal berbasis komunitas di Jawa Barat. Terdapat tantangan dan hambatan dalam penyelenggaraan program, diantaranya adalah belum adanya regulasi yang berlaku di Indonesia, stigma negatif tentang Islam yang intoleran, serta dari segi internal, yaitu terbatasnya waktu dan anggaran pelaksanaan, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti bagaimana program desa wisata halal dalam Rancangan Peraturan Desa Wisata Halal dapat menjadi salah satu inovasi pengembangan desa melalui penerapan teori keislaman dalam mencapai maqashid asy-syari’ah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sosio legal yang berfokus pada pengembangan Desa Wisata Cibuntu menjadi Desa Wisata Halal Cibuntu menurut Raperdes dan tindakan sosial dengan tinjauan maqashid asy-syari’ah. Adapun hasil dari penelitian ini bahwa program desa wisata halal telah diberlakukan siklus pertama pemberdayaan oleh inisiator desa halal dengan metode PAR yang berlangsung dari tahun 2018 hingga tahun 2019. Desa Wisata Cibuntu sebagaimana regulasinya telah memenuhi cakupan kebutuhan primer (dharury) dalam pembahasan maqashid asy-syari’ah, meskipun belum sempurna dalam langkah pencapaian kemaslahatan dari tingkatan kebutuhan sekunder (hajiyat) dan kebutuhan tersier (tahtsiniyat).

The implementation of sharia-based tourism in Indonesia cannot be said to be perfect, although there is great potential in its implementation in attracting world Muslim tourists. Cibuntu Tourism Village, which since 2012 has become a tourist destination in Kuningan Regency, has been used as an object of tourism development as a pilot village for the creation of a community-based Halal Tourism Village in West Java. There are challenges and obstacles in implementing the program, including the absence of applicable regulations in Indonesia, negative stigma about intolerant Islam, as well as from an internal perspective, namely the limited time and budget for implementation, and so on. In this study, the author will examine how the halal tourism village program in the Draft Halal Tourism Village Regulation can be one of the village development innovations through the application of Islamic theory in achieving maqashid asy-syari’ah. This study uses socio-legal research method that focuses on developing the Cibuntu Tourism Village into a Cibuntu Halal Tourism Village according to the Raperdes and social actions with maqashid asy-syari’ah review. The results of this study show that the halal tourism village program has been implemented in the first cycle of empowerment by the halal village initiator with the PAR method which took place from 2018 to 2019. The Cibuntu Tourism Village as per its regulations has fulfilled the coverage of primary needs (dharury) in the discussion of maqashid ash-syari’ah , although not yet perfect in the steps of achieving benefit from the level of secondary needs (hajiyat) and tertiary needs (tahtsiniyat)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Yulia
"Tesis ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum terhadap tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terpilihnya Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi Ibu Kota Negara baru yang menciptakan peluang baru bagi daerah setempat namun di sisi lain juga menimbulkan tantangan besar bagi Masyarakat Hukum Adat yang mendiami wilayah tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan doktrinal, bersifat preskriptif, dan pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Rumusan permasalahan yag diangkat yakni bagaimana pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur serta bagaimana sistem hukum Indonesia melindungi hak ulayat mereka dalam menghadapi tantangan pembangunan IKN Nusantara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur telah mengeluarkan Perda No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, pengakuan formal terhadap Masyarakat Hukum Adat masih terbatas. Selain itu, peraturan perundang-undangan terkait masih membutuhkan penyelarasan dan harmonisasi yang lebih komprehensif. Pada pembangunan IKN Nusantara, upaya perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak ulayat mereka belum optimal. Hal ini terlihat dari sejumlah Masyarakat Hukum Adat yang tidak mendapatkan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil, serta dalam UU IKN yang sama sekali tidak memuat ketentuan tentang perlindungan hak ulayat Masyarakat Hukum Adat.

This thesis aims to analyze the legal protection of customary land of Indigenous People in the development of the IKN Nusantara in the East Kalimantan. The background of the research is the challenges faced by the Indigenous People in East Kalimantan amid the development of the IKN Nusantara. Using the doctrinal and prescriptive research approach, and data collection conducted through literature review, this research addresses the recognition and protection of Indigenous Law Communities in East Kalimantan Province. It also explores how the Indonesian legal system safeguards their customary rights in the face of the challenges posed by the development of the IKN Nusantara. The findings indicate that, despite the issuance of Regional Regulation No. 1 of 2015 on Guidelines for Recognition and Protection of Indigenous People by the East Kalimantan Provincial Government, formal recognition of Indigenous People remains limited. Moreover, relevant legislation requires further alignment and comprehensive harmonization. In the development of the IKN Nusantara, efforts to protect Indigenous Law Communities and their customary rights are not yet optimal. This is apparent as numerous Indigenous People are not receiving sufficient and equitable compensation, and the IKN Law lacks clauses addressing the safeguarding of the customary rights of Indigenous People."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshimin Rizkyani Parman Putri
"Tesis ini menganalisis bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada penerima manfaat pada Dana Pensiun Pemberi Kerja yang berada dalam kondisi defisit pendanaan. Penerima manfaat pada Dana Pensiun Pemberi Kerja merupakan peserta, pensiunan dan/atau pihak lain yang berhak menerima manfaat pensiun dari Dana Pensiun Pemberi Kerja. Terhadap kondisi defisit pendanaan tersebut, akan dilakukan penyelesaian dengan penggabungan atau pembubaran pada Dana Pensiun Pemberi Kerja, yang mana dalam pembahasan tesis ini akan dikaitkan dengan kasus Dana Pensiun Pemberi Kerja ABC. Tesis ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan menggunakan data sekunder. Tesis ini membahas mengenai Dana Pensiun Pemberi Kerja ABC yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti yang berada dalam kondisi defisit pendanaan. Sebagai bentuk upaya dalam memperbaiki kondisi tersebut, pada Dana Pensiun Pemberi Kerja ABC akan dilakukan penggabungan dengan Dana Pensiun Pemberi Kerja lainnya. Adapun dikarenakan kondisi defisit pendanaan tersebut, dapat terjadi konsekuensi dimana Dana Pensiun Pemberi Kerja lain tidak menerima untuk dilakukan penggabungan dengan dana pensiun dimaksud. Atas hal tersebut, maka terhadap Dana Pensiun Pemberi Kerja ABC dapat dilakukan pembubaran sebagai bentuk penyelesaian defisit pendanaan. Dalam hal dilakukannya pembubaran terhadap dana pensiun dalam kondisi defisit pendanaan, diketahui penerima manfaat akan memperoleh hak yang akan dikurangi secara berimbang, yang mana akan sama dengan sisa kekayaan dari Dana Pensiun Pemberi Kerja. Hal tersebut berarti bahwa penerima manfaat Dana Pensiun Pemberi Kerja akan memperoleh hak yang kurang dari yang telah ditentukan dalam Peraturan Dana Pensiun akibat adanya defisit pendanaan pada dana pensiun.

This thesis analyzes how legal protection is given to beneficiaries on Employer Pension Funds in the condition of funding deficit. Beneficiaries on Employer Pension Funds are participants, retired participant and/or other party that is entitled to retirement benefits from Employer Pension Funds. In relation to the condition of funding deficit, will be settled through the merger or liquidation of Employer Pension Funds, which in this thesis will be associated with ABC Employer Pension Fund. This thesis was written using doctrinal research method and secondary data. In this thesis will be discussed about ABC Employer Pension Fund that organizes Definite Program Pension Plan that is in the condition of funding deficit. To remedy such condition, ABC Employer Pension Fund will be merge with other Employer Pension Fund. However, in relation to such deficit condition, there may be a consequence where the other Employer Pension Fund will not accept the merge of ABC Employer Pension Fund. As a result of ABC Employer Pension Fund not being able to merge with another Employer Pension Fund, ABC Employer Pension Fund can be liquidated, as a form of resolving the funding deficit. In relation to the liquidation of pension fund in the condition of funding deficit, the beneficiaries on employer pension fund will receive their rights that will be reduced proportionally, which will be equal to the remaining assets of the employer pension fund. This means that the beneficiaries of employer pension fund will receive their rights less than those specified in the Pension Fund Regulations due to the funding deficit in the pension fund."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bimantara Wisnu Aji Mahendra
"Masyarakat hukum adat sebagai suatu masyarakat yang tetap dan teratur telah berkembang secara internasional hal ini di dukung dengan adanya pembentukan United Nations Declaration on the rights of Indigenous People (UNDRIP) yang telah disahkan oleh PBB pada tahun 2007. Di Indonesia ketentuan mengenai masyarakat hukum adat telah tertuang pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dengan menganalisis bagaiman a pembentukan Rancangan Undang – Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat berpengaruh terhadap upaya pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat hukum adat. Rencana pembentukan RUU tentang masyarakat hukum adat tersebut telah ada sejak tahun 2004, dan pada tahun 2016 hingga 2018 RUU tersebut sudah masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di dalam DPR. Namun hingga saat ini RUU tersebut belum juga dilakukan pengesahan oleh pemerintah. Senyatanya pembentukan RUU tersebut sudah ada masuk dalam tahap urgensi seperti banyak kasus perampasan wilayah yang menimpa masyarakat hukum adat, pelanggaran hak atas free, prior, dan informed consent (FPIC) yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat terhadap pernyataan persetujuan atas suatu agenda, pelanggaran terhadap hak konstitusional termasuk hak politik, serta perempuan adat yang sering dihadapkan terhadap permasalahan diskriminasi. Dalam RUU tentang Masyarakat Hukum Adat yang saat ini masuk dalam tahap pembahasan DPR juga tak luput dari permasalahan, beberapa pasal menimbulkan kerancuan dalam implementasinya misalkan Pasal 11 hingga Pasal 17 yang memuat mengenai proses identifikasi dan verifikasi, Pasal 6 terhadap ketentuan persyaratan, Pasal 22 terhadap ketentuan perlindungan, dan Pasal 20 terhadap ketentuan evaluasi. Beberapa pasal dan ketentuan tersebut belum mencerminkan tujuan utama pembentukan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, namun secara nyata hal tersebut justru banyak mengurangi hak yang seharusnya diperoleh oleh masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pengesahan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat menjadi hal yang penting disahkan untuk melakukan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat hukum adat.

Indigenous Peoples, as stable and organized societies, have developed internationally, supported by the establishment of the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), which was ratified by the UN in 2007. In Indonesia, provisions concerning indigenous peoples are outlined in Article 18B, Paragraph (2) of the 1945 Constitution. This paper is composed using doctrinal research methods. It analyses how the drafting of the Draft Law on Indigenous Peoples impacts efforts to fulfill and protect human rights for indigenous legal communities. The plan to establish the Draft Law on Indigenous Peoples has been in place since 2004, and from 2016 to 2018, the draft law was included in the National Legislation Program (Prolegnas) within the House of Representatives (DPR). However, to date, the draft law has not yet been enacted by the government. In fact, the drafting of this draft law has reached an urgent stage due to numerous cases of territorial seizures affecting indigenous legal communities, violations of the right to free, prior, and informed consent (FPIC) regarding their approval of certain agendas, violations of constitutional rights including political rights, and indigenous women often facing issues of discrimination. The Draft Law on Indigenous Peoples currently under discussion in the DPR is not without problems. Several articles cause confusion in their implementation, such as Articles 11 to 17, which cover the processes of identification and verification. Article 6, which pertains to the requirements. Article 22, which concerns protection provisions. And Article 20, which deals with evaluation provisions. These articles and provisions do not yet reflect the main objectives of forming the Draft Law on Indigenous Peoples. In fact, they often diminish the rights that should be granted to the communities. This underscores the importance of enacting the Draft Law on Indigenous Peoples to ensure the fulfillment and protection of human rights for Indigenous Peoples."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>