Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Usyinara
"Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Eksaserbasi akut pada PPOK merupakan kejadian yang akan memperburuk penurunan faal paru. Saat fase ini berlalu, nilai faal paru tidak akan kembali ke nilai dasar, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat untuk mencegah terjadinya eksaserbasi.
Secara umum eksaserbasi adalah perburukan gejala pernapasan yang akut. Saat ini telah diketahui penyebab dan mekanisme yang mendasari terjadinya eksaserbasi. Faktor etiologi utama penyebab eksaserbasi adalah infeksi virus, infeksi bakteri, polusi. Perbedaan suhu dapat memicu eksaserbasi terutama saat musim dingin.
Infeksi bakteri merupakan pencetus eksaserbasi yang sangat penting. Eksaserbasi akut infeksi bakteri mudah terpicu karena pasien PPOK biasanya sudah terdapat kolonisasi bakteri. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat status merokok. Kolonisasi bakteri merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas. Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran napas. Hill dkk., menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan mempengaruhi aktivifi mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutrofil) yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat.
Mengingat pentingnya kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan.
Sputum masih sering digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman orofaring. Bartlett dkk., mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum hanya 15 30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas bawah, ternyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum. Terdapat berbagai metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi.
Berbagai usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk. melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usyinarsa
"Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Eksaserbasi akut pada PPOK merupakan kejadian yang akan memperburuk penurunan faal paru. Saat fase ini berlalu, nilai faal paru tidak akan kembali ke nilai dasar, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat untuk mencegah terjadinya eksaserbasi.
Secara umum eksaserbasi adalah perburukan gejala pernapasan yang akut. Saat ini telah diketahui penyebab dan mekanisme yang mendasari terjadinya eksaserbasi. Faktor etiologi utama penyebab eksaserbasi adalah infeksi virus, infeksi bakteri, polusi. Perbedaan suhu dapat memicu eksaserbasi terutama saat musim dingin.
Infeksi bakteri merupakan pencetus eksaserbasi yang sangat penting. Eksaserbasi akut infeksi bakteri mudah terpicu karena pasien PPOK biasanya sudah terdapat kolonisasi bakteri. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat status merokok. Kolonisasi bakteri merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas. Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran napas Hill dkk menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan mempengaruhi aktiviti mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutral) yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat.
Mengingat pentingnya kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan.
Sputum masih sering digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman orofaring. Bartlett dkk. mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum hanya 15-30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas bawah, temyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum. Terdapat berbagai metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi.
Berbagai usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk. melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manuhutu, Victor Paulus
"Latar belakang : Diantara pasien TB paru resisten OAT terdapat cukup banyak pasien yang memiliki riwayat pengobatan sebelumnya.
Tujuan : Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara riwayat pengobatan TB paru sebelumnya dengan pola resistensi OAT di RS Persahabatan. Tujuan lain penelitian ini adalah untuk mendapatkan data mengenai riwayat pengobatan sebelumnya pasien TB paru resisten OAT, menilai peranan pasien dalam menyebabkan terjadinya TB paru resisten OAT dan menilai secara tidak langsung peranan tenaga kesehatan dalam menyebabkan terjadinya TB paru resisten OAT.
Hasil : Hasil penelitan ini menunjukkan terdapat 60 subjek yang terdiri dari 38 subjek laki - laki dan 22 subjek perempuan, sebagian besar subjek berasal dari kelompok umur 30 - 39 tahun (33,3%) dengan rata - rata umur 36,8 tahun. Sebanyak 81,7% mempunyai lebih dari 1 kali riwayat pengobatan TB paru sebelumnya, 28 subjek (46,7%) mempunyai 2 kali riwayat pengobatan TB paru sebelumnya dan terdapat 2 subjek (3,3%) dengan 5 kali riwayat pengobatan TB paru sebelumnya. Pada pengobatan pertama sampai pengobatan ketiga, lalai merupakan hasil pengobatan yang terbanyak (31,7%, 26,5% dan 33,3%) dan gagal konversi kategori II merupakan kriteria suspek TB paru resisten OAT yang terbanyak (46,7%). Sebanyak 71,7% subjek pernah mendapatkan pengobatan TB paru di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Dokter umum praktek swasta merupakan fasilitas kesehatan yang paling banyak tidak melakukan pemeriksaan BTA baik untuk diagnosis maupun untuk evaluasi pengobatan TB paru (66,7%, 60% dan 100%). Terdapat persentase pemberian rejimen pengobatan tidak sesuai yang lebih besar pada riwayat pengobatan kedua 32,7% apabila dibandingkan dengan pengobatan pertama 10%. Pola resistensi terhadap H - R - S - E adalah pola resistensi terbanyak (51,7%). Tidak terdapat hubungan antara jumlah riwayat pengobatan TB paru dengan pola resistensi, odds ratio pola resistensi H-R-S-E dengan jumlah riwayat pengobatan TB 1- 2 kali terhadap jumlah riwayat pengobatan TB 3 - 5 kali adalah 0,731 (CI 95% 0,245 - 2,074; p = 0,533).
Kesimpulan : Pola resistensi H - R - S - E adalah pola resistensi terbanyak. Tidak terdapat hubungan antara jumlah riwayat pengobatan TB paru dengan pola resistensi di RSUP Persahabatan.

Background : Most of anti tuberculosis drug resistant patients had previous history of pulmonary TB treatment.
Purpose : This study is primarily aimed to see the relationship between anti TB drug resistant patients previous history of TB treatment and patients resistance patterns at Persahabatan hospital. The other aims are to collect patient’s previous history of TB treament, see patient’s role in TB drug resistance and see the health worker’s role in TB drug resistance.
Method : This study uses cross sectional. Data collected by interview with questionnaire and from medical record.ving TB treatment and evaluation (66,7%, 44% and 100%).
Result : In this study there are 60 subjects that consist of 38 males and 22 females whose ages are around 30 to 39 (33,3%) and their mean age is 36,8. Around 81,7% of those subjects had more than 1 previous history of pulmonary TB treatment, 28 (46,7%) had twice and 2 (3,3%) had five times. Default from treatement mostly happened to the 1st up to 3rd of previous TB treatment (31,7%, 26,5% and 33,3%). Failure category 2 mostly happened to the drug resistant suspected criteria (46,7%). Around 71,7% subjects have been treated at the goverment healthcare facilities. Private clinics are the healthcare facilities that often don’t perform sputum smear before giving TB treatment. There are higher mistakes ATD regiment in 2nd previous previous TB treatment 32,7% if compared to 1st previous TB treatment 10%. Resistance to Isoniazid, rifampicin, ethambutol dan streptomycin is the the most frequent resistance patterns (51,7%). There is no correlation between the numbers of previous history of TB treatment and resistance patterns at Persahabatan hospital, the odds ratio resistance patterns H - R - S - E of 1- 2 times previous history of TB treatments to 3 - 5 times is 0,731 (CI 95% 0,245 - 2,074; p = 0,533).
Conclution : Resistance to H - R - S - E is the the most frequent resistance patterns. There is no correlation between the numbers of previous history of TB treatment and resistance patterns at Persahabatan hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhardi Jabang
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57286
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Fachrucha
"ABSTRAK
Latar belakang: Pneumonia komunitas merupakan penyakit yang sering terjadi dan berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengeluarkan pedoman pemberian antibiotik penanganan pasien pneumonia komunitas di Indonesia untuk mengurangi angka kematian pasien pneumonia komunitas.
Tujuan: untuk mengetahui angka kepatuhan penggunaan panduan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas yang di rawat inap berdasarkan panduan PDPI di RSUP Persahabatan serta pengaruhnya terhadap lama perawatan dan angka mortalitas pasien.
Metode: Penelitian observasional kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari data rekam medis pasien yang didiagnosis pneumonia komunitas, yang dirawat di ruang rawat inap Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi RSUP Persahabatan, periode Juli 2014 sampai dengan Juli 2016.
Hasil: Sampel penelitian 107 subjek, dengan karateristik pasien laki-laki 70,1% dan perempuan 29,9%. Median usia 56 tahun dengan usia minimum 18 tahun dan usia maksimum 96 tahun. Angka kepatuhan dokter terhadap penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman penatalaksanaan pneumonia PDPI pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebesar 70,1%. Angka mortalitas pasien pneumonia komunitas berhubungan secara bermakna dengan kesesuaian pemberian antibiotik dengan pedoman PDPI dan derajat risiko PSI dengan nilai OR berturut-turut 2,93 (95%IK1,23-6,94) dan OR 3.02 (95%IK 1.25-7.29). Kesimpulan: Angka kepatuhan penggunaan antibiotik angka kepatuhan penggunaan panduan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas berdasarkan panduan PDPI berhubungan dengan angka mortalitas pasien.

ABSTRACT<>br>
Background: Community acquired pneumonia (CAP) is a common disease and is associated with high morbidity and mortality. Indonesian Society of Respirology has been recommended empiric antibiotic guidelines for patients with community-acquired pneumonia in 2014. These guidelines are designed to reduce the mortality rate of CAP patients. Objective: to determine the compliance rate of antibiotic guidance for inpatient community pneumonia patients based on PDPI antibiotic guidelines in Persahabatan Hospital and its effect on the length of stay and mortality rate CAP patients. Method: This is a retrospective cohort observational study inPersahabatan Hospital. Data were collected from medical records of patients diagnosed with CAP, who were admitted to the Department of Pulmonology and Respiratory Medicine during July 2014 to July 2016. Results: The sample was 107 subjects. Proportion male and female were 70.1% and 29.9%. The median age was 56 years old with a minimum age was 18 years and a maximum age was 96 years. Doctors' compliance rates on PDPI's guidelines for the management CAP patients was 70.1%. The mortality rate of CAP patients was significantly associated with the national guidelines-concordant empiric antibiotic therapy and the class risk of PSI with OR 2.93 (95% IK1,23-6,94) and OR 3.02 (95% IK 1.25-7.29) reversely. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Katarina Damayanti
"Latar Belakang: Target angka keberhasilan pengobatan TB MDR/TB RR 2015 adalah ≥ 75 %. Angka keberhasilan pengobatan menurut WHO tahun 2013 adalah 52%. Kesenjangan antara target dan pencapaian masih sangat besar.
Metode: Penelitian cross sectional/potong lintang berdasarkan data rekam medis pasien TB MDR yang sudah ada hasil pengobatan sejak Januari 2013 sampai dengan Desember 2016. Hasil: Dari 409 pasien TB MDR di RSUP Persahabatan keberhasilan pengobatan 61,4% dengan hasil akhir pengobatan sembuh 243 subjek (59,4%), pengobatan lengkap 8 subjek (2%), meninggal 44 subjek (10,8%), loss to follow up 106 subjek (25,9%) dan gagal 8 subjek (2%). Pada penelitian ini 243 subjek (59,4%) laki-laki dengan rerata umur 38,79 ± 11,887 tahun, mayoritas gizi kurang dan terdapat pengobatan TB sebelumnya, resistensi terbanyak RHES dan efek samping terbanyak efek samping sedang (kelompok 2). Faktor umur, riwayat penggunaan alkohol dan komorbid DM mempunyai hubungan bermakna terhadap hasil akhir pengobatan (p<0,05). Riwayat penggunaan alkohol merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap hasil akhir pengobatan.
Kesimpulan: Keberhasilan pengobatan TB MDR di RSUP Persahabatan adalah sebesar 61,4% dan faktor yang berhubungan bermakna adalah umur, riwayat penggunaan alkohol dan terdapatnya komorbid DM.

Background: The target of treatment success rate of MDR TB/RR TB in 2015 is ≥ 75 %. The success rate in WHO 2013 is 52%. The gap between target and achievement is still very large.
Method: A cross sectional design based on medical record data of MDR TB patients who have been treatment outcomes from January 2013 to December 2016.
Result: Of a total 409 MDR TB patients at Persahabatan Hospital succes rate of treatment is 61,4% with the final outcome consist of cured 243 subjects (59,4%), complete treatment 8 subjects (2%), death 44 subjects (10,8%), loss to follow up 106 subjects (25,9%) dan failed 8 subjects (2%). Patients in this study were male 243 subjects (59,4%) with mean age of subjects 38,79 ± 11,887 years old, majority is malnutrition and had previous TB treatment, the most resistance is RHES and the most side effects is moderate. The age, alcohol user and comorbid DM were found to have significant relationship to treatment outcomes (p<0,05). The alcohol user is the most influential factor to the treatment outcomes.
Conclusion: The success rate of treatment outcome of MDR TB in Persahabatan hospital is 61,4% and associated factors is the age, alcohol user dan comorbid DM. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Anggraini
"Data pola bakteri yang diisolasi dari sputum penderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi akut di Indonesia yang sangat terbatas, menunjukkan terdapat kecenderungan pola bakteri di Indonesia berbeda dengan yang dilaporkan banyak negara lain. Di kebanyakan negara lain Haemophilus injluenzae dan Moraxella catarrhalis merupakan bakteri terbanyak pertama dan kedua yang diisolasi dari sputum penderita PPOK eksaserbasi, sedangkan di Indonesia kekerapan isolasi kedua bakteri tersebut sangat rendah. H influenzae bersifat fastidious dan M catarrhalis sering terabaikan peranannya sebagai patogen. Ditambah lagi sebagian laboratorium di Indonesia belum dapat mengisolasi kedua bakteri ini. Oleh karena itu diperlukan metode deteksi yang lebih efektif untuk kedua bakteri ini. Pada penelitian ini dikembangkan metode PCR multipleks untuk H injluenzae dan M catarrhalis, serta aplikasinya pada sputum penderita PPOK eksaserbasi akut PCR multipleks ini dapat digunakan untuk mendeteksi H injluenzae dan M catarrhalis dalam sputum masing-masingnya sampai 1,5 x 1ifcFU/ml atau 30 CFU/ reaksi PCR pada uji simulasi. Pemeriksaan PCR multipleks pada 30 sampel sputum penderita PPOK eksaserbasi akut memberikan hasil pita yang sesuai untuk H injluenzae sebanyak 60% dan untuk M catarrhalis 46,7%. Sedangkan dari biakan sputum hanya didapatkan satu sampel positif H injluenzae dan tidak ada sampel yang positif untuk M catarrhalis. Dengan jumlah sampel yang terbatas tersebut pemeriksaan PCR multipleks ini memiliki nilai sensitivitas 100%, spesifisitas 41,38%, nilai prediksi positif 5,56% dan nilai prediksi negatif 100% untuk H injluenzae. Nilai spesifisitas dan nilai prediksi negatif untuk M catarrhalis adalah 53,33% dan 100% .. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan perlu dilakukan peningkatan· sensitivitas metode kultur untuk H injluenzae dan M catarrhalis.

Limited database of bacterial pattern recorded in acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary diseases (COPD) in Indonesia showed that the trend of bacterial pattern that was isolated from the patients with acute exacerbations of COPD is different from that which was reported in many other countries. In many other countries, Haemophilus inj1uenzae and Moraxella catarrhalis are the first and second most common bacteria that were isolated from the sputum of patients with acute exacerbations of COPD while in Indonesia the frequency of isolation of both bacteria is very low. H inj1uenzae is a fastidious bacteria while M catarrhalis' role as pathogen was frequently ignored. Moreover, many laboratories in Indonesia have no capabilities in the isolation of both bacteria. Thus, more effective detection methods are needed. This study is aimed at developing a multiplex PCR assay for H inj/uenzae and M catarrhalis, as well as the method's application on the sputum of patients with acute exacerbations of COPD. The multiplex PCR can be applied for the detection of both H influenzae and M catarrhalis in sputum up to 1.5 x 102 CFU/ml or 30 CFU per PCR reaction in simulation test. The multiplex PCR analysis on 30 sputum samples of patients with acute exacerbations of COPD yielded band that 60% match that of H inj1uenzae and 46.7% that of M catarrhalis. However, analysis of the sputum culture only produced one positive sample for H inj1uenzae and no positive samples for M catarrhalis. With such limited samples, multiplex PCR assay has 100% sensitivity, 41.38% specificity, 5.56% positive predictive value, and 100% negative predictive value for H inj/uenzae. The aassay has 53.33% specificity and 100% negative predictive value for M catarrhalis. Further study with bigger sample size should be carried out as well as the improvement in the sensitivity of the culture method for H inj1uenzae and M catarrhalis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2008
T59041
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfanida Librianty
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Pengobatan TB MDR memiliki hasil yang buruk dengan keberhasilan hanya 48% di dunia. Salah satu indikator keberhasilan pengobatan adalah konversi dini. Identifikasi faktor yang mempengaruhi konversi merupakan hal yang penting.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara kohort retrospektif dengan menggunakan rekam medik pasien TB MDR di RSUP Persahabatan Jakarta yang berobat selama bulan Agustus 2009 - Desember 2013.
Hasil: Dari 436 pasien terdapat 248 pasien laki-laki (56.6%). Sebanyak 256 pasien (58,7%) mengalami konversi biakan dalam dua bulan pengobatan. Nilai tengah waktu konversi adalah 44 hari. Faktor yang memperlambat lama konversi adalah jenis kelamin perempuan (aHR 0,808; [95%CI 0,659-0,991]), IMT pasien kurang (0,792; [0,637-0,983]), ditemukan gambaran kavitas pada foto toraks (0,781;[0,634-0,961]), bacterial load 2+ (0,617;[0,439-0,869]), bacterial load 3+ (0,701;[0,501-0,979]), riwayat pengobatan OAT sebelumnya dengan lini kedua (0,597;[0,415-0,858]), jumlah resisten obat > 2 OAT (0,614;[0,429-0,879]), kelompok pasien Pre XDR dan TB XDR (0,486;[0,305-0,776]), dan jumlah limfosit rendah (0,681;[0,524-0,885]).
Kesimpulan: Jenis kelamin perempuan, IMT kurang, gambaran kavitas pada foto toraks, tingginya bacterial load, riwayat pengobatan OAT sebelumnya dengan lini kedua, jumlah resisten obat > 2 OAT, kelompok pasien Pre XDR dan TB XDR serta limpositopenia berhubungan dengan lamanya konversi pada pasien TB MDR.

ABSTRACT
Introduction: Treatment for MDR-TB has a poor outcomes, success rate was only 48% worldwide. One indicator of treatment success is early culture conversion. Identification of potential factors associated with culture conversion are important.
Methods: A cohort rectrospective study using medical records of MDR-TB patients of Persahabatan Hospital during August 2009 until December 2013. Data were analyzed using multivariate analysis.
Results : Of a total 436 patients, there are 248 patients (56.6%) were males. Two hundred fifty six patients (58,7%) had sputum culture conversion at two months. The median time to culture conversion was 44 days. The factors for longer sputum culture conversion were female (aHR 0,808; [95%CI 0,659-0,991]), underweight patients (0,792; [0,637-0,983]), cavitaty on chest radiograph (0,781;[0,634-0,961]), bacterial load 2+ (0,617;[0,439-0,869]), bacterial load 3+ (0,701;[0,501-0,979]), previous TB treatment with second line drugs (0,597;[0,415-0,858]), resistance to more 2 TB drugs (0,614;[0,429-0,879]), pre XDR and XDR-TB (0,486;[0,305-0,776]), and lower lymphocites count (0,681;[0,524-0,885]).
Conclusion: Female, underweight patients, cavitaty, high bacterial load, previous TB treatment with second line drugs, resistance to more 2 TB drugs, resistance to rifampicine, isoniazid and other second line drugs, and lower lymphocites count were associated with longer time culture conversion in MDR-TB patients.;Introduction: Treatment for MDR-TB has a poor outcomes, success rate was only 48% worldwide. One indicator of treatment success is early culture conversion. Identification of potential factors associated with culture conversion are important.
Methods: A cohort rectrospective study using medical records of MDR-TB patients of Persahabatan Hospital during August 2009 until December 2013. Data were analyzed using multivariate analysis.
Results : Of a total 436 patients, there are 248 patients (56.6%) were males. Two hundred fifty six patients (58,7%) had sputum culture conversion at two months. The median time to culture conversion was 44 days. The factors for longer sputum culture conversion were female (aHR 0,808; [95%CI 0,659-0,991]), underweight patients (0,792; [0,637-0,983]), cavitaty on chest radiograph (0,781;[0,634-0,961]), bacterial load 2+ (0,617;[0,439-0,869]), bacterial load 3+ (0,701;[0,501-0,979]), previous TB treatment with second line drugs (0,597;[0,415-0,858]), resistance to more 2 TB drugs (0,614;[0,429-0,879]), pre XDR and XDR-TB (0,486;[0,305-0,776]), and lower lymphocites count (0,681;[0,524-0,885]).
Conclusion: Female, underweight patients, cavitaty, high bacterial load, previous TB treatment with second line drugs, resistance to more 2 TB drugs, resistance to rifampicine, isoniazid and other second line drugs, and lower lymphocites count were associated with longer time culture conversion in MDR-TB patients., Introduction: Treatment for MDR-TB has a poor outcomes, success rate was only 48% worldwide. One indicator of treatment success is early culture conversion. Identification of potential factors associated with culture conversion are important.
Methods: A cohort rectrospective study using medical records of MDR-TB patients of Persahabatan Hospital during August 2009 until December 2013. Data were analyzed using multivariate analysis.
Results : Of a total 436 patients, there are 248 patients (56.6%) were males. Two hundred fifty six patients (58,7%) had sputum culture conversion at two months. The median time to culture conversion was 44 days. The factors for longer sputum culture conversion were female (aHR 0,808; [95%CI 0,659-0,991]), underweight patients (0,792; [0,637-0,983]), cavitaty on chest radiograph (0,781;[0,634-0,961]), bacterial load 2+ (0,617;[0,439-0,869]), bacterial load 3+ (0,701;[0,501-0,979]), previous TB treatment with second line drugs (0,597;[0,415-0,858]), resistance to more 2 TB drugs (0,614;[0,429-0,879]), pre XDR and XDR-TB (0,486;[0,305-0,776]), and lower lymphocites count (0,681;[0,524-0,885]).
Conclusion: Female, underweight patients, cavitaty, high bacterial load, previous TB treatment with second line drugs, resistance to more 2 TB drugs, resistance to rifampicine, isoniazid and other second line drugs, and lower lymphocites count were associated with longer time culture conversion in MDR-TB patients.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kemalasari Nas Darisan
"ABSTRAK
Latar belakang : Penyebab kematian pada TB paru seringkali tidak
tergambarkan dengan jelas disebabkan sebagian besar studi mengandalkan pada
registrasi TB berdasarkan sertifikat kematian. Hanya sedikit studi penyebab
kematian berdasarkan otopsi ataupun audit kematian untuk mengetahui penyebab
kematian sebenarnya. Audit kematian diperlukan untuk meningkatkan mutu
pelayanan Rumah Sakit.
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian pada TB
paru bakteriologis terkonfirmasi apakah berkaitan dengan TB secara langsung
atau tidak langsung (berkaitan dengan komorbid) berdasarkan audit kematian,
guna identifikasi intervensi yang efektif untuk mencegah kematian TB.
Metoda : Penelitian potong lintang ini dilakukan di RSUP Persahabatan dengan
subjek penelitian adalah semua pasien TB paru bakteriologis terkonfirmasi yang
meninggal di RS Persahabatan tahun 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Data diambil dari rekam medis, dilakukan audit kematian dan dinilai
kesesuaian penyebab kematian langsung maupun tidak langsung antara sertifikat
kematian dengan audit kematian.
Hasil : Terdapat 51 subyek dengan laki-laki sebanyak 35 orang (68,6%) dan
perempuan 16 orang (31,4%). Penyebab kematian langsung terkait TB
berdasarkan audit kematian sebanyak 15 subyek (29,4 %) yaitu disebabkan oleh
gagal napas (17,6 %) dan meningitis TB (11,8%). Penyebab kematian langsung
tidak terkait TB berdasarkan audit kematian adalah 36 subyek (70,6%) yaitu
sepsis infeksi bakteri (41,2%) menjadi penyebab terbanyak, diikuti AIDS (3,9%),
penyakit kardiovaskular (3,9 %), penyebab lain (5,9 %) dan tidak diketahui
(15,7%). Diagnosis TB paru bakteriologis terkonfirmasi yang sesuai pada
sertifikat kematian berdasarkan audit adalah 25 subyek (49%) dan penyebab
kematian langsung TB paru bakteriologis terkonfirmasi pada sertifikat kematian
yang sesuai berdasarkan audit kematian adalah 27 subyek (52,9%).
Kesimpulan : Penyebab kematian langsung pada TB paru bakteriologis
terkonfirmasi terkait TB yang terbanyak disebabkan oleh gagal napas sedangkan
yang tidak terkait TB yang terbanyak disebabkan oleh sepsis infeksi bakteri.
Diperlukan intervensi lebih lanjut untuk mencegah kematian TB.

ABSTRACT
Background : The causes of death in pulmonary TB are often not represented
clearly caused most studies rely on the registration of TB based on death
certificates. Only a few studies based on autopsy or death audits. Medical audit is
necessary to improve the quality of service in the hospital.
Objective : The aim of the study is to know the cause of death in pulmonary TB
bacterically proven whether related directly or undirecly with TB (regarding
comorbid) based on audit of death to identify effective intervention to prevent
mortality in TB.
Method : This is cross sectional study in RSUP Persahabatan with subject of
study all of pulmonary TB patients bacterically proven died in RSUP
Persahabatan in 2014 according to inclution and exclusion criteria. The data were
taken from medical record, with audit of death asses the cause of death direct or
not direct between certificate of death and audit of death.
Result : There are 51 subjects. Male are 35 subjects (68,6%) and female are 16
subject (31,4%).The causes of death directly related with TB based on audit of
death are 15 (29,4%) caused by respiratory failure (17,6 %) and meningitis TB
(11,8 %). The causes of death are not directly related with TB based on audit of
death are 36 subjects (70,6 %) caused by sepsis with bacterial infection (41,2 %),
AIDS are (3,9 %), cardiovascular diseases (3,9 %), other causes are (5,9 %) and
unknown are (15,7 %). The diagnosis of pulmonary TB in a death certificate in
accordance with the results of the audit are 25 subjects (49%) and pulmonary
tuberculosis cause of death on death certificates in accordance with the results of
the audit are 27 subjects (52.9%).
Conclusion : The causes of death are pulmonary tuberculosis bacteriology most
directly caused by respiratory failure while the causes of death are not
immediately TB that most caused by sepsis with bacterial infection as the cause.
Required further interventions to reduce mortality of TB."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silmi Kaffah
"Latar Belakang dan tujuan: Masalah penting dalam pengobatan tuberkulosis multidrug-resistant (TB MDR) yaitu pemberian obat lini kedua jangka panjang yang erat kaitannya dengan nefrotoksisitas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalens acute kidney injury yang terjadi pada pasien yang mendapatkan paduan obat antituberkulosis MDR lini kedua serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan berbasis data rekam medis pasien TB MDR di poliklinik MDR dan ruangan rawat inap TB MDR RSUP Persahabatan yang mendapat paduan standar fase awal OAT MDR lini kedua. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling dalam kurun waktu Januari 2015 sampai dengan Desember 2015.
Hasil: Pada penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 123 pasien TB MDR. Prevalens AKI didapatkan pada 64 subjek (52%) dengan tingkat keparahan AKI terdiri 39 subjek (31,7%) dengan AKI ringan, 17 subjek (13,8%) dengan AKI sedang dan 8 subjek (6,5%) dengan AKI berat. Waktu terjadinya AKI terbanyak pada bulan kedua. Prevalens AKI lebih banyak ditemukan pada usia>40 tahun (66,7%) dibandingkan dengan usia <40 tahun (40,6%), komorbid diabetes melitus (71,9%) dibandingkan dengan tanpa komorbid DM (45,1%) dengan OR 2,45 (IK 95% 0,90-6,70) dan pada penggunaan Kapreomisin (76%) dibandingkan dengan Kanamisin (35,7%) dengan OR 5,45 (IK 95% 2,34-12,67). Hasil ini bermakna secara statistik dengan nilai p<0,05. Faktor jenis kelamin, status merokok, indeks brinkman, indeks massa tubuh (IMT), status human immunodeficiency virus (HIV), penggunaan Etambutol, hipotiroid tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Usia >40 tahun, komorbid DM dan penggunaan Kapreomisin merupakan faktor risiko terjadinya acute kidney injury pada pasien TB MDR yang medapatkan OAT lini kedua pada fase awal pengobatan MDR.

Background: An important problem in multidrug resistant tuberculosis (MDR TB) treatment is the second line tuberculosis drug therapy related to nephrotoxicity given in a long term. The aim of this study was to investigate the prevalence of acute kidney injury that occured in multidrug resistant tuberculosis patients who received second line tuberculosis drug therapy and the contributing factors in Persahabatan Hospital.
Method: This is a retrospective cohort study based on medical record data of multidrug resistant tuberculosis patients who received standard regimen of multidrug resistent tuberculosis program at MDR Clinic and inward MDR patients in the intensive phase of second line anti tuberculosis drug. Sampling was conducted from January 2015 until December 2015.
Results: Sample of this study was 123 patients multidrug resistant tuberculosis. Prevalence of AKI was obtained from 64 subjects (52%) based on its severity, consisting 39 subjects (31,7%) with mild severity, 17 subjects (13,8%) with moderate severity, and 8 subjects (6,5%) with high severity. The most occurrence of AKI was found in second month. Prevalence AKI was higher in patients with age >40 years (66,7%) than those with age <40 years (40,6%), higher in patients with diabetes melitus comorbid (71,9%) than those without comorbid DM (45,1%) with OR 2,45 (IK 95% 0,90-6,70) and higher in patients receiving Kapreomisin (76%) than those receiving Kanamisin (35,7%) with OR 5,45 (CI 95% 2,34-12,67). These result were statistically significant with p<0,05. Gender, smoking status, index brinkman, body mass index (BMI), human immunodeficiency virus (HIV) status, treatment with Etambutol, and hypothyroidism were not statiscally significant.
Conclusion: Age >40 years, DM and using Kapreomycin are risk factors for acute kidney injury in MDR TB patients whose received second line tuberulosis drugs in intensive phase."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>