Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widi Mujono
"Latar belakang dan tujuan: Prevalensi osteoporosis di Indonesia cukup tinggi disertai peningkatan risiko patah tulang terutama pada wanita. Pemeriksaan kepadatan massa tulang dengan DXA merupakan baku emas dalam mendiagnosis osteopenia maupun osteoporosis dan memperkirakan risiko patah tulang berdasarkan nilai T-score, namun ketersediaan perangkat DXA sangat terbatas di wilayah Indonesia. Indeks ketebalan korteks merupakan salah satu parameter sederhana, objektif, dan mudah diterapkan pada radiografi konventional dalam memperkirakan kepadatan massa tulang, namun perlu dibuktikan korelasinya dengan nilai T-score.
Metode: Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada nilai indeks ketebalan korteks femur proksimal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA berdasarkan database populasi Indonesia, terhadap 31 subjek penelitian, menggunakan data sekunder dalam kurun waktu Juli 2012 sampai Juni 2016.
Hasil: Dengan uji korelasi Pearson, didapatkan nilai p<0,000 dan r=0,76 antara nilai indeks ketebalan korteks femur proksimal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang kuat antara nilai indeks ketebalan korteks femur proksimal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA.

Background and Objective: The prevalence of osteoporosis in Indonesia is high with increased risk of fractures, especially in women. Examination of bone density by DXA is the gold standard in the diagnosis of osteopenia or osteoporosis and predicts fracture risk based on the T-score, but the availability of DXA devices in Indonesia is very limited. The cortical thickness index is a simple, objective parameter, and easily applied to conventional radiography in estimating bone density, but needs to be proven its correlation with the T-score.
Methods: A cross sectional correlation study between the cortical thickness index of proximal femur by conventional radiography and T-score of femoral neck by DXA based on population database in Indonesia, conducted in 31 subjects in the period of July 2012 to June 2016.
Results : With the Pearson correlation test, there is a significant correlation (p < 0.001 and r = 0.76) between the cortical thickness index of proximal femur by conventional radiography and T-score of femoral neck by DXA.
Conclutions: There is a strong positive correlation between the cortical thickness index of proximal femur by conventional radiography and T-score of femoral neck by DXA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Biddulth
"Pendahuluan : Insidensi pembesaran kelenjar prostat mencapai 50% pada pria berusia 50 tahun keatas. Berbagai modalitas pemeriksaan radiologi memiliki sensitifitas yang berbedabeda dalam estimasi volume kelenjar prostat. Modalitas yang paling tersedia di Indonesia pada layanan kesehatan adalah USG transabdominal dan Computed tomography scan (CT scan).
Tujuan : Menilai korelasi modalitas USG transabdominal dan CT scan dalam estimasi ukuran volume kelenjar prostat.
Metode : Studi korelasi dilakukan pada pasien pria berusia diatas 50 tahun keatas yang menjalani pemeriksaan CT scan whole abdomen dan dilakukan pengukuran volume kelenjar prostat dengan USG transabdominal. Setiap dimensi ukuran kelenjar prostat dan volume merupakan data numerik terdistribusi tidak normal, sehingga digunakan uji Spearman.
Hasil : Dari 23 subjek penelitian, didapatkan korelasi dimensi panjang (r=0,53, p=0,01), dimensi lebar (r=0,81, p=0,00), dan dimensi tinggi (r=0,64, p=0,001) yang signifikan. Untuk korelasi volume kelenjar prostat (r=0,80, p=0,000) didapatkan signifikan.
Kesimpulan : Terdapat korelasi yang signifikan pada setiap ukuran dimensi kelenjar prostat dan volume yang didapatkan.

Introduction : Prostate gland enlargement incidence about 50% in male population age 50 years and above. There are so many radiology modalities with difference sensitifity in estimating prostate volume. The most available modalities in Indonesian health care services are transabdominal sonography and computed tomography scan (CT scan).
Objective : Assessing correlation in both modalities in evaluating prostate volume measurement.
Methods : Correlation study was done in male ages 50 years and above underwent whole abdominal CT scan and prostate gland were measured by transabdominal sonography. Both numeric data were abnormal distribution, so Spearman test was done.
Results : There are significant correlation either between length (r=0,53, p=0,01), wide (r=0,81, p=0,00), and height dimensions (r=0,64, p=0,001) or volume measurement (r=0,80, p=0,000) in 23 subjects.
Conclusions : Significant correlation either in each prostate dimension or prostate volume measurement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Afif Fauzan
"Magnetic Resonance spectroscopy (MRS) adalah suatu modalitas dari pemeriksaan MRI. MRS digunakan untuk mengetahui kandungan metabolit pada pasien penderita glioma otak Astrocytoma atau infeksi otak. Hasil analisa pada MRS tidak bisa dijadikan sebuah acuan untuk menentukan seorang pasien menderita glioma otak atau infeksi otak. Dalam tugas akhir ini akan dibahas proses klasifikasi terhadap data MRS untuk menentukan penyakit yang diderita oleh seorang pasien. Tujuan akhir dari penulisan akhir ini adalah mentukan keakuratan klasifikasi data MRS dengan menggunakan metode Modified Fuzzy C-Means. Modified Fuzzy C-Means adalah pengembangan dari metode Fuzzy C-Means. Sama seperti metode Fuzzy C-Means, metode Modified Fuzzy C-Means merupakan metode yang mengalokasikan data dengan menggunakan fungsi membership (keanggotaan). Fungsi membership ini digunakan untuk menentukan seberapa besar kemungkinan sebuah data dapat menjadi anggota kedalam sebuah cluster, dengan menggunakan pembobotan pada setiap pusat cluster-nya. Keakuratan klasifikasi sangat bergantung kepada parameter-parameter yang terdapat pada algoritma Modified Fuzzy C-Means.

Magnetic resonance spectroscopy (MRS) is a modality of MRI examination. MRS is used to determine the content of metabolites in patients with Astrocytoma brain glioma or brain infection. An analysis of the MRS could not be used as a reference for determining a patient suffering from a brain glioma or brain infection. In this project will discuss the process of classification of the data MRS to determine the diseases suffered by a patient. The ultimate purpose of writing this final project MRS data classification accuracy by using Modified Fuzzy C-Means. Modified Fuzzy C-Means is the development of methods of Fuzzy C-Means. Just like Fuzzy C-Means method, the method Modified Fuzzy C-Means is a method that allocates data by using the membership function (membership). This membership function is used to determine how likely a member of the data can be added to a cluster, using a weighting on each of its cluster center. Classification accuracy is very dependent on the parameters contained in the Modified algorithm Fuzzy C-Means.
"
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
S59393
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ary Widia Atmoko
"Kejadian sindrom koroner akut (SKA) pada pasien risiko atau suspek penyakit jantung koroner (PJK) terkait dengan tipe plaque-nya. Coronary Computed Tomography Angiography (CCTA) merupakan modalitas pilihan untuk melihat adanya soft plaque, mixed plaque dan calcified plaque pada arteri koronaria. Mengetahui hubungan antara vulnerable plaque dengan kejadian SKA pada pasien yang telah diperiksa CCTA menjadi informasi tambahan dalam evaluasi dan penatalaksanaan pasien. Metode.: Penelitian retrospektif dengan comparative cross sectional pasien risiko atau suspek PJK yang menjalani pemeriksaan CCTA yang terdapat soft plaque dan mixed plaque yang termasuk vulnerable plaque serta calcified plaque. Dilakukan penilaian rerata Hounsfield Unit dan perhitungan remodeling indeks (RI) untuk melihat komponen positif remodeling (PR). Hasil : Terdapat hubungan yang bermakna pada vulnerable plaque yang mengalami SKA dengan nilai p < 0,001 dan OR : 6.55. Selain itu didapatkan juga hubungan yang bemakna antara soft plaque dan mixed plaque dengan positif remodeling dibandingkan tanpa positif remodeling dengan nilai p : 0,039 dan OR : 2,92. Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara vulnerable plaque pada pasien risiko atau suspek PJK dengan kejadian SKA
Background and Objective : Acute coronary syndrome (ACS) event in risk or suspect of coronary artery disesase depent on their plaque type. Coronary Computed Tomography Angiography (CCTA) is modality of choice to recognise soft plaque, mixed plaque and calcified plaque in coronary artery disease (CAD). Correlation between vulnerable plaque with ACS event in risk or suspek CAD that already examined by CCTA have additional information for evaluation and treatment patient.Methods : Comparative cross sectional retrospective study patient with risk or CAD that already examined by CCTA that contain soft plaque and mixed plaque that categorized as vulnerable plaque and calcified plaque, also assessment average value of Hounsfield Unit and quantification of remodeling index (RI) to see the positive remodeling (PR). Results :There is correlation in vulnerable plaque related to ACS with p < 0,001 and OR : 6,55. Besides that there also correlation between soft plaque and mixed plaque with posistif remodeling compare without positive remodeling with value p 0,039 and OR : 2,92. Conclusions : There is correlation between ACS event and vulnerable plaque in patient with risk or suspect CAD"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Elisabeth H.
"Kerusakan target organ tersering pada hipertensi adalah left ventricular hypertrophy LVH dan mikroalbuminuria Radiografi toraks merupakan pemeriksaan non invasif untuk mengevaluasi LVH terutama proyeksi lateral dengan Hoffman Rigler sign. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan antara LVH berdasarkan modalitas radiografi toraks dengan mikroalbuminuria pada pasien hipertensi. Sampel merupakan pasien hipertensi yang telah diberikan terapi dan dilakukan radiografi toraks PA dan lateral. Dari 66 pasien hipertensi 19 28 8 dengan mikroalbuminuria positif. Dari 35 pasien hipertensi dengan LVH 12 34 3 dengan mikroalbuminuria positif. Pada penelitian ini radiografi toraks PA dan lateral dapat digunakan untuk menilai tanda LVH.

Common target organ damage in hypertension is left ventricular hypertrophy LVH and microalbuminuria Chest x ray is a non invasive examination to evaluate LVH especially lateral projection with Hoffman Rigler sign methode. The research aims to investigate the relationship between LVH based modalities PA and lateral chest x ray with microalbuminuria in hypertensive patients. Samples taken were hypertensive patients who have been given therapy and do PA and lateral chest x ray Of 66 hypertensive patients 19 28 8 with positive microalbuminuria Of 35 hypertensive patients with LVH 12 34 3 with positive microalbuminuria In this study PA and lateral chest x ray can be used to assess the sign of LVH."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugihen, Tribowo Tuahta Ginting
"Merokok merupakan masalah kronik di Indonesia yang menyebabkan kematian tertinggi dan meningkatkan beban kesehatan. Saat ini belum ada terapi farmakologis yang tersedia di Indonesia untuk penatalaksanaan adiksi merokok. N-asetilsistein (NAC) merupakan salah satu modalitas yang terbukti dapat menjadi terapi pengganti pada beberapa studi jangka pendek. Studi ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian NAC sebagai terapi adjuvan pada MET (motivational enhancement therapy) dibandingkan dengan kombinasi MET dan plasebo. Penelitian ini adalah uji klinis terandomisasi tersamar ganda yang terdiri dari 2 tahap yaitu validasi kuesioner dan uji klinis. Subjek pada penelitian ini adalah perokok dewasa dengan konsumsi rokok tembakau setidaknya selama 6 bulan. Subjek adalah pasien adiksi merokok yang ingin berhenti merokok dalam tahap preparation atau action. NAC yang diberikan adalah 1800 mg, 2 kali sehari dalam 3 bulan, MET diberikan dalam terapi individu sebanyak 7 sesi dalam 3 bulan. Pemantauan dilakukan selama 3 bulan untuk menilai efektivitas klinis, laboratoris dan radiologis. Dengan metabolik pemeriksaan rasio n-asetilaspartat/kreatin dan rasio glutamat/kreatin pada Spektroskopi Resonansi Magnetik (MRS). Sebanyak 80 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini. Studi ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan kejadian abstinensia, gejala craving, gejala withdrawal, jumlah rokok yang dikonsumsi dan kadar nikotin, terdapat perbedaan yang bermakna pada penurunan kadar karbon monoksida di minggu ke-2 pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terdapat perbedaan bermakna pada rasio glutamat/kreatin kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol pada regio medial prefrontal korteks kiri dengan nilai p < 0,02 serta terdapat perbedaan bermakna pada rasio n-asetilaspartat/kreatin kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol pada regio serebelum bilateral dengan nilai p < 0,01. Sebanyak 63,7% subjek melaporkan efek samping dan efek samping terbanyak adalah diare. Penelitian ini memperhatikan adanya efektivitas NAC pada MET yang diperhatikan dengan adanya penurunan yang bermakna kadar CO minggu kedua, disertai dengan regulasi glutamat yang diperlihatkan dari rasio glutamat/kreatin yang bermakna di korteks prefontal medial kiri serta rasio n-asetilaspartat/kreatin yang meningkat di serebelum yang menunjukkan perbaikan sel di area kognitif dan reward.

Smoking as a chronic problem in Indonesia causes one of the highest mortality rate and is a great national health burden. Currently, there is no pharmacological therapy available in Indonesia for the management of smoking addiction. N-acetylcysteine (NAC) is a modality that has been shown to be a substitute therapy in several short- term studies. This study aims to determine the effectiveness of NAC administration as adjuvant therapy in MET (motivational enhancement therapy) compared to the combination of MET and placebo. This study is a double-blind randomized clinical trial consisting of 2 stages, consisting of questionnaire validation and clinical trials. Subjects in this study were adult smokers with tobacco cigarette consumption for at least 6 months. Subjects were smoking addiction patients who wanted to quit smoking in the preparation or action stage. The NAC given was 1800 mg, 2 times a day in 3 months, MET was given in individual therapy for 7 sessions in 3 months. Monitoring was conducted for 3 months to assess clinical, laboratorial and radiological effectiveness. Metabolic examination included N-acetylaspartate/ creatin ratio and glutamate/creatin ratio on Magnetic Resonance Spectroscopy. A total of 80 subjects were included in this study. The study found that there was no difference in the incidence of abstinence, craving symptoms, withdrawal symptoms, number of cigarettes consumed and nicotine levels, there was a significant difference in the reduction of carbon monoxide levels at week 2 in the treatment group compared to the control group. And there was a significant difference in the glutamate/creatine ratio of the treatment group compared to the control group in the left medial prefrontal cortex region with a p value < 0.02 and there was a significant difference in the N-acetylaspartate/creatine ratio of the treatment group compared to the control group in the bilateral cerebellar region with a p value < 0.01. A total of 63.7% of subjects reported side effects and the most common side effect was diarrhea. This study noticed the effectiveness of NAC in MET which was noticed by a significant decrease in CO levels in week two, accompanied by glutamate regulation as shown by a significant glutamate/creatine ratio in the medial prefrontal cortex sinistra and an increased N- acetylaspartate/creatine ratio in the cerebellum which showed cellular improvement in cognitive and reward areas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyhan Eddy Yunus
"Stroke merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di Indonesia. Mengingat sempitnya jendela waktu pengobatan stroke iskemik hiperakut dan potensi komplikasi yang terkait dengan intervensi trombolisis, prognostikasi yang akurat esensial dalam memastikan terapi yang cepat dan tepat. Penelitian ini memanfaatkan pembelajaran mesin, khususnya Random Forest (RF), bertujuan untuk mengembangkan model yang mampu memprediksi hasil klinis (Δ NIHSS) pasien stroke iskemik hiperakut setelah trombolisis, berdasarkan CT scan otak, data klinis, dan nilai laboratorium. Klasifikasi Δ NIHSS menggunakan tiga skenario berbeda —CT, CT + Data klinis, dan CT + Data klinis + Data lab— dan dikategorikan menjadi 2 dan 3 kelas yang akan digunakan dalam pemantauan model prediksi mana yang memberikan performa paling optimal. Pengumpulan data studi kohort ini diperoleh saat kedatangan awal pasien, terdiri dari data klinis, laboratorium, dan data CT otak non-kontras dari rekam medis dan Picture Archiving Communication System (PACS) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan periode 10 tahun sejak November 2014 hingga Februari 2023 dan total 145 pasien. Arsitektur dari Bacchi et al.1 yakni convolutional neural network (CNN) dan model pembelajaran mesin konvensional lainnya juga dianalisis sebagai pendekatan alternatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa algoritma RF (2 kelas) menggunakan data validasi dan skenario CT + Data klinis + Data lab menampilkan akurasi tertinggi (75%) dan unggul dalam sensitivitas dan spesifisitas (0,61 dan 0,59). Performa metrik juga menunjukkan tren peningkatan dari setiap skenario. Model ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penatalaksanaan stroke iskemik hiperakut dengan memberikan informasi tambahan kepada klinisi dalam pengambilan keputusan terkait intervensi trombolisis.

Stroke is the leading cause of both mortality and disability in Indonesia. Given the narrow time frame for treating acute ischemic stroke and the potential complications associated with thrombolysis intervention, accurate prognostication is essential to ensure a prompt and appropriate treatment. The National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) can be utilized to identify individuals who may benefit from reperfusion therapy. The data for this cohort study acquired during the initial presentation, comprising clinical, laboratory, and non-contrast brain CT data from the medical records and Picture Archiving Communication System (PACS) of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. The study included 145 patients who experienced acute ischemic stroke and received thrombolysis treatment from November 2014 to February 2023. Currently, there is no clinical outcome prediction model for hyperacute ischemic stroke using data from Indonesia. By utilizing machine learning, specifically Random Forest, the author aims to develop a model capable of predicting the clinical outcome (Δ NIHSS) of hyperacute ischemic stroke patients following thrombolysis, based on brain CT scans, clinical data, and laboratory values. The classification of Δ NIHSS used three distinctive scenarios —CT, CT + Clinic, and CT + Clinic + Lab— and is categorized by 2 and 3 classes will be used in monitoring which prediction model gives optimal performance. Architecture derived from the research conducted by Bacchi et al.1 employed a convolutional neural network (CNN) and other conventional machine learning models were also analyzed as alternative approach. Result revealed that RF algorithm (2 classes) using data validation and CT + Clinic + Lab scenario displays the highest accuracy (75%) and excels in sensitivity and specificity (0,61 and 0,59). The performance metrics show continuous improvement, indicating that this model can enhance hyperacute ischemic stroke management by providing clinicians with additional decision-making support for thrombolysis intervention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcel Prasetyo
"Latar belakang: Evaluasi sendi pada penyandang hemofilia memerlukan metode yang objektif dan terukur. USG sebagai metode yang relatif baru untuk artropati hemofilik AH belum memiliki konsensus sistem skor, sementara MRI telah memiliki sistem skor International Prophylaxis Study Group dari World Federation of Hemophilia IPSG-WFH . Penelitian ini mengembangkan sistem skor USG baru untuk artropati hemofilik lutut tahap dini, dan menilai keselarasannya dengan skor MRI IPSG-WFH dan kadar CTX-II urin.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Formulasi skor USG berdasarkan pada studi pustaka terhadap 25 publikasi terkait sejak tahun 1999 - 2015 dan peer review. Terdapat 27 anak penyandang hemofilia A berat yang dipilih secara konsekutif. AH lutut tahap dini ditetapkan berdasarkan klasifikasi radiografi Arnold-Hilgartner derajat 0 - II. USG dan MRI lutut dilakukan dengan penilaian skor MRI IPSG-WFH dan skor USG yang baru. Kadar CTX-II urin ditetapkan dengan pemeriksaan ELISA. Data dianalisis dengan uji Spearman.
Hasil: Sistem skor USG baru meliputi komponen efusi sendi, hipertrofi sinovium, hipervaskularisasi sinovium dengan Power Doppler, deposisi hemosiderin, dan kerusakan kartilago pada troklea femoris. Terdapat korelasi sedang antara skor USG dengan skor MRI. Tidak ada korelasi skor USG dengan CTX-II urin.
Kesimpulan: Skor US baru ini dapat digunakan sebagai alternatif MRI pada AH lutut tahap dini.

Introduction Assessment of knee haemophilic arthropathy HA required an objective measures. There was no consensus on preferrable US scoring system, while MRI already had a scoring system developed by the International Prophylaxis Study Group of the World Federation of Hemophilia IPSG WFH. This study developed a new US scoring system for early knee HA and its association with MRI scoring system and urinary CTX II level.
Method The study was cross sectional. US scoring system was developed based on literature studies of 25 publications between 1999 - 2015 and peer review. Twenty seven children with severe haemophilia A was recruited consecutively. Early HA was confirmed by radiography as Arnold Hilgartner stage 0 - II. Knee MRI and US were scored using MRI IPSG WFH scoring system and the new US scoring system, while urinary CTX II level was measured using ELISA. Correlation was analyzed using Spearman test.
Results US scoring system included joint effusion, synovial hypertrophy, synovial hypervascularization using Power Doppler, hemosiderin deposition, and cartilage damage. Moderate correlation was found between US score and MRI score. There was no correlation between US score and urinary CTX II level.
Conclusion The new US score can be used as an alternative for MRI in the assessment of early knee HA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library