Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadirah Rasyid Ridha
"ABSTRAK
Latar belakang: Peran utama matriks metalloproteinase-9 (MMP-9) adalah mendegradasi matriks ekstraseluler sehingga menyebabkan terjadinya invasi dan infiltrasi sel tumor. Tujuan utama penelitian ini adalah menilai kadar MMP-9 pada pasien leukemia limfoblastik akut-L1 (LLA-L1).
Metode: Penelitian dengan metode kohort prospektif telah di lakukan di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar dari bulan Augustus sampai Desember 2014. Jumlah pasien LLA sebanyak 20 orang yang dikelompokkan menjadi risiko tinggi (RT) dan risiko biasa (RB). Luaran pasien di kelompokkan menjadi remisi dan tidak remisi setelah kemoterapi fase induksi.
Hasil: Pada kelompok LLA dengan RT dan RB masing-masing terdiri dari 6(30%) dan 14(70%). Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar MMP-9 antara kelompok RT dan RB sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi dengan nilai p=0.216 dan 0.68, perubahan kadar MMP-9 antara RT dan RB sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi dengan nilai p=0.60 dan 0.975, kadar MMP-9 sebelum kemoterapi fase induksi antara kelompok remisi dan yang tidak remisi dengan nilai p=0.614 dan kadar MMP-9 sebelum kemoterapi fase induksi antara kelompok RT dan RB dengan nilai p=0.402 (p>0.05).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar MMP-9 antara kelompok RT dan RB sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi, perubahan kadar MMP-9 pada kelompok RT dan RB sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi, kadar MMP-9 sebelum kemoterapi fase induksi anrata kelompok remisi dan tidak remisi, kadar MMP-9 pada yang remisi antara kelompok RT dan RB.

ABSTRACT
Back ground: The main role of matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) in invasive and infiltration is degradation of extracellular matrix. The objective of this study was to evaluate the serum level of MMP-9 in children with acute lymphoblastic leukemia-L1 (ALL-L1) as prognostic marker.
Methods: A prospective cohort study was conducted in Dr Wahidin Sudirohusodo General Hospital, Makassar from August to December to 2014. Twenty patients were enrolled and devided into high risk (HR) and standard risk (SR) ALL group. In terms of outcome, patients were classified into remission and non-remission induction phase of chemotherapy.
Result: High risk and SR ALL group consisted of 6(30%) and 14(70%) patients respectively. Statistical analysis showed no significant differences levels of MMP-9 between HR and SR groups before and after induction phase of chemotherapy with p=0.216 and 0.68, changes levels of MMP-9 between HR and SR groups before and after induction phase of chemotherapy with p=0.60 and 0.975, levels of MMP-9 before induction phase of chemotherapy between remission and non-remission groups with p=0.614 and levels of MMP-9 before induction phase chemotherapy in remission between HR and SR groups with p=0.402 (p>0.05).
Conclusion: MMP-9 expression was no significant difference in HR and SR groups before and after induction phase of chemotherapy, changes MMP-9 expression between HR and SR before and after induction phase of chemotherapy, MMP-9 expression between remission and non-remission groups and MMP-9 expression in remission between HR and SR groups.;"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sofia Salsabilla Syifa
"Data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (2013) menyebutkan bahwa sekitar 5—10% anak mengalami kelainan dalam perkembangannya, serta sekitar 1—3% anak usia di bawah 5 tahun mengalami kelainan pada lebih dari 1 aspek perkembangan (global developmental delay). Perkembangan motorik yang mengalami keterlambatan memiliki dampak negatif, bukan hanya terkait kompetensi motorik yang buruk, melainkan juga pada risiko keterlambatan di domain perkembangan lainnya beserta gangguan kesehatan yang berpotensi dialami anak di usia mendatang. Penelitian ini berfokus untuk mencari tahu peran pemeriksaan neurologis kepala dalam mendeteksi keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6—18 bulan. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional di Poliklinik Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Kiara pada bulan September—Oktober 2023. Sebanyak 80 subjek direkrut secara consecutive sampling. Analisis dilakukan untuk mengetahui indikator diagnostik sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV, dan DOR. Analisis dilakukan pada seluruh sampel dengan inklusi maupun eksklusi faktor risiko. Kemampuan menunjuk menunjukkan analisis hubungan signifikan dari analisis dengan sampel eksklusi faktor risiko. Sementara itu, pada sampel tanpa eksklusi faktor risiko, lingkar kepala, bentuk kepala, dan kemampuan menunjuk memiliki DOR yang signfikan. Rentang indikator diagnostik seluruh pemeriksaan kepala yakni sensitivitas 34—68% (tertinggi pada kemampuan menunjuk); spesifisitas 66,67—96,67% (tertinggi pada kontak visual); PPV 66,67—96,15% (tertinggi pada kontak visual); dan NPV 39,62%—61,90% (tertinggi pada kemampuan menunjuk). Indikator diagnostik pemeriksaan neurologis kepala cukup sebanding dengan alat asesmen keterlambatan motorik kasar lain. Pemeriksaan neurologis kepala, khususnya lingkar kepala, kontak visual, bentuk kepala, dan kemampuan menunjuk, memiliki potensi pemanfaatan sebagai alat deteksi keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6—18 bulan.

According to data sourced from Indonesian Pediatric Society (2013), approximately 5—10% of children experience abnormalities in their development and maturation process. Delay in motoric development not only affects said children’s motor skills, but could potentially risk delay in other developmental domains and make them more susceptible to other health issues in the future. This cross-sectional study was held at the Neurology Clinic of Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital for the period of September to October 2023. Exactly 80 samples were recruited using consecutive sampling according to patient visit. Analyses were done to acquire diagnostic indicators such as sensitivity, specificity, PPV, NPV, dan DOR (CI analyzed through binary logistic regression). Samples were analyzed both including and excluding significant risk factors. Pointing produced significant discriminative strength in the final sample group analysis (excluding samples with significant risk factors). Initial sample analysis (without baseline covariate exclusion) showed significant DOR in head circumference, head shape, and pointing ability examination. Diagnostic indicators including all head neurological assessments showed good result intervals, with sensitivity of 34—68% (highest in pointing test), specificity of 66.67—96.67% (highest in eye contact test), PPV of 66.67—96.15% (highest in eyes contact test), and NPV of 39,62—61,90% (highest in pointing test). Head neurological assessment in pediatric patients, especially evaluations of head circumference, head shape, dan pointing ability, have the potential to be effectively implemented as a tool for detecting gross motor development delay in children 6 to 18 months of age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Amanda Chairunnissa
"Tahun pertama kehidupan adalah periode vital yang merupakan masa perkembangan anak. Salah satu domain perkembangan anak ialah motorik kasar, yakni postur dan gerakan yang menggunakan otot besar. Deteksi keterlambatan perkembangan motorik kasar perlu dilakukan sedini mungkin agar anak dapat diberikan intervensi yang cepat dan tepat. Penelitian ini membahas mengenai peran pemeriksaan neurologis refleks primitif dalam mendeteksi keterlambatan motorik kasar pada bayi usia 6-18 bulan. Desain penelitian ini menggunakan uji diagnostik observasional dengan metode cross-sectional. Sumber data penelitian ini merupakan data primer, yaitu pemeriksaan neurologis refleks primitif dan penilaian perkembangan keterampilan motorik kasar sesuai usia secara langsung di Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUPN Cipto Mangunkusumo Kiara pada bulan September-Oktober 2023. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan tabel 2x2 dan uji bivariat serta multivariat. Dari 66 subjek, didapatkan tiga pemeriksaan neurologis refleks primitif signifikan dalam mendeteksi keterlambatan perkembangan motorik kasar. Pemeriksaan neurologis refleks primitif stepping merupakan pemeriksaan degan sensitivitas terbaik (81.08%), diikuti oleh pemeriksaan neurologis refleks Moro (35.13%), dan refleks sucking (24.32%). Adapun pemeriksaan neurologis dengan spesifisitas terbaik secara berturut-turut adalah pemeriksaan refleks sucking (96.55%), refleks Moro (89.66%), dan refleks stepping (82.76%). Empat pemeriksaa yang dilakukan lainnya, yakni refleks palmar grasp, plantar grasp, Babinski, dan Landau tidak signifikan dalam mendeteksi keterlambatan perkembangan motorik kasar. Dapat disimpulkan pemeriksaan neurologis stepping reflex dan sucking reflex merupakan pemeriksaan neurologis refleks primitif yang paling baik sebagai modalitas untuk mendeteksi keterlambatan perkembangan motorik kasar pada subjek penelitian.

The first year of life is a vital period in a child's development. One of the domains of child development is gross motor, which involves posture and movements that using large muscles. Detection of delays in gross motor development needs to be done as early as possible to enable prompt treatment. This study discusses the role of primitive reflex neurological examination in detecting gross motor delays in infants aged 6-18 months. This study design uses an observational diagnostic test with a cross-sectional method. The data source for this research is primary data consisted of a neurologic examination of primitive reflexes and direct gross motor skills assessment directly at the Polyclinic of the Department of Pediatrics, Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital in September-October 2023. The data obtained were then analyzed using 2x2 tables, bivariate and multivariate tests. Of the 66 subjects, three primitive reflex neurological examinations were found to be significant in detecting delays in gross motor development. Examination of the stepping primitive reflex has the best sensitivity (81.08%), followed by examination of the Moro reflex nerve (35.13%), and sucking reflex (24.32%). The most specific examinations were the sucking reflex (96.55%), Moro reflex (89.66%), and stepping reflex (82.76%) respectively. The other four neurologic examinations conducted, which includes palmar grasp reflex, plantar grasp reflex, Babinski, and Landau were not significant in detecting delays in gross motor development.  It can be concluded that the stepping reflex and sucking reflex are the best primitive reflex neurological examinations as modalities for detecting delays of gross motor development in research subjects."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kanya Ayu Paramastri
"ABSTRAK
Latar belakang : Infeksi saluran kemih ISK berulang adalah ISK yang timbul kembali pasca pengobatan, dengan kejadian 40-50 dari ISK pertama. Kekerapan berulangnya ISK meningkatkan komplikasi gagal ginjal kronik. Salah satu faktor penyebab adalah kolonisasi bakteri patogen feses dari saluran cerna di daerah periuretra. Bakteri saluran cerna terdiri dari 3 kelompok, bakteri patogen, komensal dan bakteri menguntungkan. Penelitian membuktikan disbiosis antara bakteri patogen dan menguntungkan berkaitan dengan kejadian penyakit sistemik, namun belum ada penelitian tentang pengaruh hal tersebut pada ISK berulang.Tujuan : Mengetahui kondisi disbiosis yaitu perbedaan proporsi Escherichia coli dan Bifidobacterium sp. saluran cerna pada anak ISK berulang.Metode : Penelitian uji potong lintang pada anak ISK berulang usia 6 bulan sampai dengan
ABSTRACT
Background Recurrent urinary tract infection UTIr is repeated UTI post antibiotic treatment, with recurrency is 40 50 from the first infection. Recurrency of UTI increases possibility of chronic renal failure as complication. One of the causal factors is colonization of faecal pathogens from gastrointestinal tract in periurethra. Gastrointestinal tract bacteria is divided into 3 groups pathogens, comensal, and beneficial bacteria. Studies proved that imbalance of condition or dysbiosis between pathogens and beneficial bacteria lead to systemic diseases, but there were no studies in UTIr.Objective To know about dysbiosis condition based on proportion differences between gastrointestinal Escherichia coli and Bifidobacterium sp. in UTIr.Methods A cross sectional studies with children with UTIr, aged 6 months old until 18 years old, in Pediatric Departement Cipto Mangunkusumo Hospital as a subject. Healty child which had been matched by sex and age was choosen as a control group. Faecal samples from both groups underwent DNA extractions, using real time PCR method, to look for Escherichia coli and Bifidobacterium sp. amount and proportions.Results There was a total of 25 subjects, 8 32 were classifed as simplex UTI and 17 68 were complex UTI, also 25 healthy children as control. The total amount of Escherichia coli in UTIr compared to control was 1.099.271 vs 453.181 p 0,240. The total amount of Bifidobacterium sp. in UTIr compared to control was 1.091.647 vs 359.336 p 0,148. Escherechia coli proportion in UTIr compared to control was 10,97 vs 4,74 p 0,014 that shown a significant different, while Bifidobacterium sp. 6,54 vs 9,33 p 0,594. In UTIr group, proportion differences beetwen Escherichia coli and Bifidobacterium sp. was 10,97 vs 6,54 p 0,819, while in control group 4,74 vs 9,33 p 0,021 which showed that Bifidobacterium sp. has a significant different. The total amount of Escherichia coli in simplex compared to complex UTIr was 996.004 vs 1.099.271 p 0,798, while amount of Bifidobacterium sp. 835.921 vs 1.196.991 p 0,711. Logarithm of Escherichia coli proportion in simplex and complex UTIr was 5,50 SB 1,45 vs 5,92 SB 0,71 p 0,333, while Bifidobacterium sp. 5,85 SB 0,75 vs 6,04 SB 5,50 p 0,562 showed no significant differences.Conclusions Escherchia coli proportion was higher in UTIr children and Bifidobacterium sp. proportion was higher in healthy children. The proportion of both bacteria was equal in simplex and complex UTIr."
[Jakarta, ]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imyadelna Ibma Nila Utama
"Latar belakang. Penyakit ginjal kronik-gangguan mineral tulang (PGK-GMT) adalah komplikasi dari penyakit ginjal kronik (PGK) yang dapat meningkatkan risiko gangguan kardiovaskular pada anak. Salah satu kelainan pada PGK-GMT adalah hiperfosfatemia dan gangguan otot skeletal. Sebuah studipada pasien dewasa didapatkan korelasi negatif antara kadar fosfat yang dengan kekuatan genggaman tangan. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai kekuatan genggaman tangan pada anak PGK G3-G5 di Indonesia dan faktor lain yang memengaruhi.
Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kekuatan otot melalui pemeriksaan kekuatan genggaman tangan pada anak PGK G3-G5.
Metode. Penelitian ini merupakan uji potong lintang terhadap 72 anak PGK G3-G5 usia 6-18 tahun diRSCM dan pemilihan anak dilakukan secara consecutive sampling. Variabel yang dianalisis adalah pemeriksaan massa otot, lingkar lengan atas (LILA), serum fosfat, hemoglobin (Hb), neuropati, dan kekuatan genggaman tangan menggunakan dinamometer hidrolik tangan (JAMAR, Japan).
Hasil. Median usia adalah 14 (11-16) tahun dengan lelaki 52/72 (72,2%). Penyebab terbanyak PGKadalah congenital anomalies of the kidney and urinary tract (CAKUT) 30/72 anak (41,7%) yang diikuti dengan glomerulonefritis 18/72 anak (25%). Median massa otot, LILA dan kekuatan genggaman tangan adalah 25,3 (18,7-32,9) kg, 19 (16-22) cm dan 8,65 (7,8-9,3) kg. Rerata kadar Hbdan fosfat adalah 10,45 (±1,72) g/dL dan 5,45 (± 1,92) mg/dL. Prevalens gangguan kekuatan genggaman tangan pada anak PGK G3-G5 adalah 98,6%. Pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara kekuatan genggaman tangan dan kadar fosfat (r= -0,03; p= 0,42). Namun, didapatkan korelasi antara massa otot, LILA, dan kadar Hb terhadap kekuatan genggaman tangan yaitu (r = 0,70; p<0,01), (r = 0,68; p<0,01),dan (r = 0,44; p<0,01). Simpulan. Kekuatan genggaman tangan memiliki korelasi kuat dengan massa otot dan LILA serta memiliki korelasi cukup dengan kadar Hb.

Background. Chronic kidney disease-bone mineral disorders (CKD-BMD) is a complication of chronic kidney disease (CKD) which may increase the risk of cardiovascular disease in children.Hyperphosphatemia and skeletal muscle disorder are one of the abnormalities in CKD-MBD. Study in adult population shows there are negative correlation between phosphate levels and hand grip strength.There has been no study for CKD G3-G5 in pediatric population regarding handgrip strength and other factors that correlate to it.
Aim. To determine the factors that affect muscle strength through hand grip strength examination in children with CKD G3-G5
Methods. This is a cross-sectional study of 72 pediatric CKD G3-G5 aged 6-18 years old in RSCM.The subject was selected by consecutive sampling. The variables that we analyzed are muscle mass,mid-upper arm circumference (MUAC), serum phosphate, Hb, neuropathy, and hand grip strength usinghydraulic hand dynamometer (JAMAR, Japan).
Results. The median age of the subjects was 14 (11-16) years old with 52/72 (72.2%) male. The most common causes of CKD are CAKUT with 30/72 subjects (41.7%) followed by glomerulonephritis with 18/72 subjects (25%). The median muscle mass, MUAC, and handgrip strength are 25,3 (18,7-32,9) kg, 19 (16-22) cm, and 8.65 (7.8-9.3) kg. Mean Hb level and phosphate level are 10.45 (±1.72) g/dL and 5.45 (±1.92) mg/dL. The prevalence of handgrip strength disorders in CKD G3-G5 is 98.6%. In this study, we found no correlation between handgrip strength and phosphate levels (r= -0.03; p= 0.42). However, we found positive correlation between muscle mass, MUAC, and Hb levels with handgrip strength (r= 0,70; p<0,01), (r = 0.68; p<0.01), and (r = 0.44; p<0.01).
Conclusion. There is a correlation between muscle mass, MUAC, and Hb level with handgrip strength in pediatric CKD G3-G5.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Hidayati
"Latar belakang: Diare akut masih merupakan masalah kesehatan yang penting dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Virus merupakan penyebab tersering diare akut pada anak. Diare akut akibat virus akan menyembuh sendiri dan tidak membutuhkan terapi antibiotik. Namun, data dari Kemenkes Indonesia menyebutkan bahwa 85 pasien dengan diare di Jakarta diobati dengan antibiotik. Sampai saat ini, penelitian prevalens dan manifestasi klinis tentang diare akut akibat virus selain rotavirus masih jarang dilakukan. Penelitian tentang prevalens dan gambaran klinis diare akibat virus rotavirus, adenovirus, norovirus dan astrovirus belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui proporsi dan manifestasi klinis diare akut yang disebabkan oleh rotavirus, norovirus, adenovirus, dan astrovirus pada anak.
Metode: Studi potong lintang dilakukan di RSCM dan RSUD Budhi Asih Jakarta, sejak Februari hingga September 2017. Penelitian melibatkan 100 orang anak berusia 6-36 bulan yang datang dengan keluhan diare akut. Spesimen tinja diperiksa menggunakan rapid test CerTest untuk mendeteksi adanya rotavirus, adenovirus, norovirus dan astrovirus, kemudian dilakukan pemeriksaan analisis tinja untuk menilai terjadinya intoleransi laktosa.
Hasil: Diare akut akibat virus didapatkan pada 36 dari 100 anak, terdiri dari rotavirus 74,3 sebagai penyebab tersering, diikuti adenovirus 17,9 , norovirus 5,1 dan astrovirus 2,6 . Tiga spesimen ditemukan terdapat koinfeksi 2 virus. Diare akut akibat virus lebih sering terjadi pada anak berusia kurang dari 24 bulan 73,2 , dan 55,6 diantaranya mengalami gizi kurang. Laki-laki lebih banyak terinfeksi sebesar 1,5 kali dibandingkan perempuan. Muntah merupakan gejala yang bermakna secara statistik terkait diare akut akibat virus ini 66,7 ; p=0,045 . Manifestasi klinis lainnya yaitu diare lebih dari 10 kali per hari 58,3 , dehidrasi 68,8 , batuk 66,7 , pilek 77,8 , demam 88,6 , dan warna tinja kuning hijau 44,4 . Analisis tinja menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara diare akut akibat virus dengan terjadinya intoleransi laktosa pH.

Background Acute diarrhea remains a major cause of morbidity and mortality in Indonesia and worldwide. Virus is the most common cause of acute diarrhea in children. Viral acute diarrhea is usually self limited, and does not require antibiotic therapy. However, data from Ministry of Health Indonesia reported that 85 of patients with diarrhea in Jakarta are treated with antibiotics. Data on the prevalence and clinical manifestations of viral acute diarrhea other than rotavirus are still limited. Research on prevalence and clinical features of viral diarrhea rotavirus, adenovirus, norovirus and astrovirus has not been done in Indonesia.
Objective To know the prevalence of acute diarrhea caused by virus in children and its clinical manifestations.
Methods A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital and Budhi Asih Hospital from February to September 2017. A total of 100 stool specimens were collected from patients aged 6 36 months with acute diarrhea and tested for rotavirus, adenovirus, norovirus and astrovirus by rapid test and then performed for stool analysis.
Results Of the 100 specimens, 36 36 were found to be positive for virus causing diarrhea. Rotavirus 74.3 was the most frequently detected, followed by adenovirus 17.9 , norovirus 5.1 and astrovirus 2.6 . Three specimens were found positive by two viruses. Viral diarrhea was seen in 73.2 of children aged under 24 months, of whom 55.6 of them were undernourished. Males were affected 1.5 times as much as females. Vomiting was significantly associated with viral acute diarhhea 66.7 p 0.045 . Other clinical manifestations were passage of diarrheic stools more than 10 times a day 58.3 , dehydration 68.8 , cough 66.7 , rhinorhea 77.8 , fever 80.6 , and yellow greenish stools 44.4 . Stool analysis revealed that there was no statistically significant association between viral diarrhea and lactose intolerance pH
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ezy Barnita
"Latar belakang: Pilihan terapi terbaik untuk gagal hati terminal adalah transplantasi hati (TH). Setelah transplantasi seorang anak akan mempunyai hati dengan fungsi normal, namun tidak berarti menjadi anak yang sehat. Pasca TH anak akan berada dalam kondisi kronis dengan morbiditas tersendiri.
Tujuan: Mengetahui perbedaan Quality of Life anak dengan penyakit hati kronis (PHK) yang dilakukan TH dengan yang tidak secara kuantitatif.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap anak pasca TH minimal selama 1 tahun dan anak PHK yang merupakan kandidat TH berusia 2-18 tahun. Subjek pasca TH diambil secara konsekutif, kelompok PHK minimal berjumlah setara dengan dengan kelompok pasca TH. Kedua kelompok dilakukan penilaian Quality of Life (QoL) menggunakan kuesioner PedsQLTM4.0 dalam Bahasa Indonesia yang telah divalidasi. Rerata nilai PedsQLTM4.0 pada anak sehat adalah 82,92+15,55 dan 83,91+12,47 masing-masing untuk proksi orangtua (OT) dan penilaian anak (A). Pada kondisi kronis rerata PedsQLTM,4.0 untuk proksi OT dan A masing-masing adalah 73,14+16,46 dan 74,16+15,38. Nilai yang lebih tinggi menunjukkan QoL yang lebih baik. Nilai <1 SD adalah batas anak memerlukan intervensi terkait QoL nya.
Hasil: Kesintasan 1 dan 5 tahun pasca TH anak di RSCM adalah 85,4% dan 79,3%. Subjek pasca TH proporsi kelompok usia terbanyak adalah 5-7 tahun (66,7%), median usia 6 tahun 7,5 bulan; diagnosis dasar terbanyak adalah atresia bilier (84,6%). Pada subjek PHK kelompok usia terbanyak adalah 2-4 tahun (46,3%), median usia 9 tahun, penyebab terbanyak adalah kelainan vaskular (29,3%). Rerata total QoL subjek pasca TH 1 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan subjek PHK.
Kesimpulan: Rerata nilai total QoL 39 subjek pasca TH lebih baik dibandingkan 41 subjek PHK kandidat TH baik berdasarkan proksi OT maupun A secara bermakna. Penilaian QoL proksi OT dan anak menyimpulkan dimensi terbaik adalah fungsi sosial dan terendah fungsi sekolah. Pada penelitian ini QoL tidak dipengaruhi oleh status gizi, infeksi CMV/ EBV, ataupun rejeksi.

Background: Liver transplantation (LT) is the best-known treatment for terminal chronic liver disease (CLD). Following a LT procedure, the patient will have a functional liver but is not considered as healthy child. Post LT, the patient will remain in a chronic condition with its own morbidity.
Objective: To distinguish Quality of Life (QoL) distinction between terminal CLD patient who underwent LT and not.
Methods: A cross-sectional study was conducted on 39 subjects consisting of 1 year LT survivor patient and 41 LT candidate children, aged 2-18 years. Liver recipient subjects were taken consecutively, equal amount CLD subjects were collected. Both groups were assessed for Quality of Life (QoL) using the validated PedsQLTM4.0 questionnaire in Indonesian. PedsQLTM4.0 cut-off point average scores in healthy children (population) are 82.92+15.55 and 83.91+12.47 each representing parent proxy (P) and child self-assessment (C). In chronic conditions children, cut off point average score of PedsQLTM4.0 for P and C were 73.14+16.46 and 74.16+15.38 respectively. Higher values ​​indicate better QoL. One standard deviation below the population mean was explored as a cut-off point score for an at-risk status of impaired QoL.
Results: The 1 and 5 years-survival rate of LT children in RSCM were respectively 85.4% and 79.3%. Liver recipient subjects mostly consist of 5-7 years (66.7%) age group, median age was 6 years and 7.5 months; and the most prevalent diagnosis was biliary atresia (84.6%). In CLD, a portion of 2-4 years old age group (46.3%) was the dominant, the median was 9 years, and the most common diagnosis was vascular disorders (29.3%). Higher QoL score in post-transplant subjects was observed.
Conclusion: LT children’s QoL was significantly higher than children who were candidate for LT, according to parent proxy and child self-assessment. Based on both parent proxy and child-assessment, social function was observed to have the best the QoL function and school function scored the lowest. In this study, QoL of liver recipient children were not affected by nutritional status, CMV or EBV infection, nor rejection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Johnny Rompis
"Tesis ini membahas perubahan kadar serum gamma glutamil transpeptidase GGT pada bayi dengan sepsis neonatorum. Penelitian ini merupakan suatu penelitian prospektif, yang dilakukan di ruang perawatan intensif bayi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa kadar serum GGT tidak mempengaruhi luaran bayi dengan sepsis. Simpulan penelitian ini bahwa kadar GGT yang diambil pada bayi dengan sepsis, baik saat awal terdiagnosis sepsis sampai hari ketujuh, tidak mempengaruhi luaran baik dan buruk bayi. Kadar leukosit, trombosit, CRP dan bilirubin direk mempengaruhi luaran bayi dengan sepsis.

This study discusses changes in serum levels of Gamma Glutamyl Transpeptidase GGT in infants with neonatal sepsis. This study is a prospective study, conducted in theNeonatal Intensive Care Unit NICU at Cipto Mangunkusumo Hospital. The resultsshowed that serum levels of GGT did not affect the outcome of infants with neonatalsepsis.The conclusion of this study is that the serum levels of GGT taken from infants with sepsisboth initially after the diagnosis of sepsis is established or until the seventh day, did notaffect the outcomes of neonatal sepsis. White blood cells, platelet, CRP and directbilirubin levels affect the outcome of infants with sepsis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Wulandaru Sukmaning Pertiwi
"Angka kesintasan dan kualitas hidup anak dengan penyakit hepatobilier kronik meningkat seiring dengan berkembangnya transplantasi hati. Insidens infeksi bakteri 36–79% pada 6 bulan pascatransplantasi dan mortalitasnya 3,0–10,6% pada 3 bulan pascatransplantasi. Pencegahan infeksi bakteri yang adekuat akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan kesintasan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko infeksi bakteri pada anak pascatransplantasi hati di Indonesia. Penelitian kohort retrospektif ini melibatkan pasien anak pascatransplantasi hati di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) mulai Desember 2010 s/d April 2023 dengan metode total sampling. Subjek dibagi menjadi kelompok infeksi bakteri dan tanpa infeksi bakteri. Prevalens infeksi bakteri dari 63 subjek penelitian ini adalah 84,13%. Infeksi bakteri didominasi oleh hospital acquired infection (HAI) berupa infeksi daerah operasi (29,63%), ventilator-associated pneumonia (14,81%), dan catheter-related urinary tract infection (13,58%). Angka mortalitas terkait infeksi bakteri adalah 12,70%. Analisis multivariat menunjukkan lama rawat ICU ≥ 20 hari (RR 1,212, IK 95% 1,028 −1,426, p = 0,022) dan volume kehilangan darah selama operasi ≥ 70 mL/kg (RR 1,283, IK 95% 1,009 −1,631, p = 0,042) adalah faktor risiko infeksi bakteri pascatranspantasi hati. Besar post-hoc power dari masing-masing uji hipotesis yang digunakan adalah 5,07−71,50%. Hasil analisis subgrup menunjukkan lama rawat ICU ≥ 20 hari memiliki risiko 2,479 kali lebih besar untuk mengalami infeksi bakteri multi-drug resistance (IK 95% 1,185 – 5,187, p = 0,016). Sebagai kesimpulan, prevalens infeksi bakteri pada anak dalam kurun waktu 0–6 bulan pascatransplantasi hati di RSCM adalah sebesar 84,13%, dengan faktor risiko berupa lama rawat ICU ≥ 20 hari dan volume kehilangan darah selama operasi ≥ 70 mL/kg. Penelitian lanjutan dengan desain lebih baik dan subjek lebih banyak diperlukan.

Survival rate and quality of life of children with chronic hepatobiliary disease has improved since the development of liver transplantation. Incidence of bacterial infection is 36–79% at 6 months post-transplantation and mortality of 3.0–10.6% at 3 months post-transplantation. Adequate prevention of bacterial infection will reduce morbidity and mortality and increase survival. This study aimed to determine the risk factors for bacterial infection in children who underwent liver transplantation in Indonesia. This retrospective cohort study includes pediatric recipients who underwent liver transplantation in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) during December 2010 – April 2023 with total sampling method. Subjects were classified into groups with and without bacterial infection. Prevalence of bacterial infection of the 63 subjects was 84.13%. A majority of the bacterial infection cases were hospital-acquired infections (HAIs), comprising of surgical site infections (29.63%), ventilator-associated pneumonia (14.81%), and catheter-related urinary tract infections (13.58%). Multivariate analysis showed ICU length of stay ≥20 days (RR 1.212; CI 95% 1.028 −1.426; p = 0.022) and volume of blood loss volume during surgery ≥70 mL/kg (RR 1.283; CI 95% 1.009 −1.631; p = 0.042) were risk factors risk factors for bacterial infection following liver transplantation. Post-hoc power of each hypothesis test was 5.07−71.50%. Subgroup analysis presented ICU length of stay ≥20 days increased risk of multi-drug resistance bacterial infection by 2.479 times (CI 95% 1.185 – 5.187; p = 0.016). Conclusions, Bacterial infection prevalence at six-months post-liver transplantation of children in CMH was 84.13% with ICU length of stay ≥20 days and volume of blood loss volume during surgery ≥70 mL/kg  as risk factors. Further studies with better design and more participants are needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library