Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rezky Riswanto Mateka
"Skripsi ini memiliki sebuah pertanyaan penelitian, yakni bagaimana peran Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dalam proses perumusan RUU Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran? Pada akhir kesimpulan skripsi ini, jawaban pertanyaan penelitian tersebut terjawab bahwa ATVSI memiliki peran langsung dan aktif terhadap proses perumusan RUU Revisi atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kesimpulantersebut diperoleh dengan melakukan penelitian kualitatif dengan data yang diperoleh melalui wawancara dan studi literatur. Teori dan konsep yang digunakan sebagai pisau analisisdalam skripsi ini ialah konsep peran dari Soerjono Soekanto (1986), konsep elitedari Yamokoski dan Dubrow (2008), taktik media oleh Cooper (2002). Terdapat tiga temuan pendukung yang memperkuat kesimpulan penelitian skripsi diatas. Temuan pertama menunjukkan bahwa terdapat pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta. Pemusatan kekuasaan ini menjadikan beberapa pemilik Lembaga Penyiaran Swasta sebagai aktor elitedalam lembaga penyiaran swasta di Indonesia. Temuan kedua menunjukkan peran langsung dan aktif ATVSI terhadap RUU dapat dilihat pada pasal-pasal yang dimaksudkan untukmemperketat pengawasan terhadap LPS. Temuan ketiga menunjukkan peran langsung dan aktif yang dilakukan oleh ATVSI menyebabkan terjadi relasi kuasa antara ATVSI dan Panja Penyiaran, ATVSI dan Baleg, serta Baleg dan Panja Penyiaran. Diantara ketiga relasi tersebut, relasi antara ATVSI dan baleglah yang kemudian membuat kepentingan ATVSI terakomodir dan tertuang dalam naskah RUU."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Zahrah
"Televisi menampilkan representasi dunia lewat berbagai acaranya seperti sinetron, film, berita, dll. Refleksi stereotip gender pun dapat ditemukan pada televisi. Televisi pun sering mendukung gagasan-gagasan yang beredar dalam masyarakat mengenai apa yang disebut maskulin (yang menunjukkan sifat kelaki-lakian) dan feminin (yang menunjukkan sifat keperempuanan). Hal ini mencakup apa yang boleh/tidak boleh, pantas/tidak pantas dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Kebanyakan masyarakat mengharapkan tidak cukup seseorang tersebut menjadi laki-laki, namun is harus juga terlihat maskulin. Karakter seorang laki-laki umumnya dinilai dan bagaimana mereka bersikap tegas, bagaimana mereka menunjukkan `kejantanannya' dan ketika laki-laki tidak menunjukkan karakter feminin, entah dari cara berpakaian, perilaku, cara bicara maka masyarakat atau lingkungan sosialnya biasanya langsung mengadakan penolakan dengan menghukum, mengejek atau mencerca mereka. Penampilan pria yang feminin sebenarnya tidak asing bagi penonton televisi. Namun laki-laki yang feminin sering kali ditampilkan sebagai suatu yang dianggap lucu karena `Iceanehan' mereka. Tentu saja mereka dianggap sebagai penyimpangan terhadap konsep maskulin yang sudah terkonstruksi secara sosial di masyarakat. Tema-terra yang hadir di televisi biasanya mendukung gagasan tersebut. Televisi sebagai bagian dan kapitalisme sedikit sekali mendukung tema-tema minoritas sebagai wujud keberpihakannya pada yang berkuasa. Penelitian ini mengambil dua episode dari talk show Angin Malam RCTI yaitu "Badan Rambo, Hati ..." dan "Anakku Lain" sebagai kasus yang kan diteliti. Selain dipengaruhi oleh rutinitas media, teks media yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh faktor individu, ideologi yang dimiliki masyarakat serta institusi-institusi lainnya seperti pengiklan. Metode analisis yang dipakai adalah Critical Discourse Analysis (CDA). Dan CDA yang dipakai adalah pada tingkat teks adalah metode analisis Norman Fairclough. Pada tingkat teks, penelitian ini memakai framing Pan dan Kosicki. Teknik ini dipilih karena bisa melihat strukstur sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Struktur-struktur tersebut dapat memperlihatkan bagaimana pembuat teks menyusun peristiwa, menceritakan peristiwa, mengungkapkan pandangannya atas peristiwa, serta menekankan arti tertentu ke dalam berita sehingga penelitian ini dapat melihat tanda-tanda simbolik diluar bahasa tertulis, dalam hal ini citra visual yang menjadi karakteristik program televisi. Analisis intertekstual dilakukan untuk melihat bagaimana teks `berdialog' dengan teks yang datang sebelumnya mengenai konsep maskulinitas. Hasil analisis menunjukkan adanya frame Laki-laki tidak harus berotot dan kuat. Ini bertentangan dengan tuntutan bahwa laki-laki harus mempunyai sikap mental yang jantan dan macho. kemudian frame laki-laki tidak harus selalu macho, laki-laki boleh saja menangis hal tidak sesuai dengan nilai-nilai dan sifat kejantanan yang identik dengan lakilaki yaitu laki-laki dianggap harus pemberani, tidak boleh cengeng atau menangis, tidak pengecut, karena laki-laki dianggap bukan makhluk melankolis dan sentimentil. Juga frame laki-laki digambarkan punya sisi feminin dengan pekerjaan yang menurut pandangan publik adalah pekerjaan yang berkarakter feminin, seperti koki, desainer, perias, dll. Hal ini bertentangan dengan norma maskulinitas tradisional yaitu harus menghindari feminitas. Yang terakhir frame laki-laki bisa saja berdandan. Ini bertentangan dengan sifat laki-laki yang di refleksikan oleh masyarakat bahwa laki-laki tidak terlalu memperhatikan penampilan. Analisis pada tingkat discourse practice menjelaskan kaitan antara faktor pembuat teks, dalam hal ini Razak Satari, dengan keterbukaan gender yang ditampilkannya dalam kedua episode Angin Malam tersebut. Hasil analisis ini juga menemukan pengaruh kapitalisme dalam penayangan episode-episode Angin Malam. Konteks historic dalam penelitian tampak dalam analisis sociocultural dimana masyarakat patriarki yang masih mengacu pada konsep maskulin dan feminin sebagai logika dualistik dan lingkungan kapital melingkupi media televisi dalam menampilkan program-program di RCTI. Kesimpulannya, dalam tingkat mikro terjadi representasi feminitas pada sosok pria. Hal ini dalam level discourse dipandang sebagai topik yang fenomenal karena terjadi konflik sehingga dianggap akan menarik pemirsa, karena pada tingkat makro (sociocultural) konsep maskulin sudah terlanjur mapan terkonstruksi dan feminitas pada sosok pria masih merupakan tema yang tidak populer di tengah masyarakat. Pada gilirannya kapitalisme turut mendorong lahirnya teks tersebut ditengah-tengah mapannya konsep maskulinitas di tengah masyarakat dan media, dalam kasus ini lewat industri televisi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S4328
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resna Handayani
"Sinetron saat ini merupakan tayangan yang ada di semua stasiun televisi di Indonesia. Hampir setiap televisi menempatkan sinetron sebagai tayangan di jam tayang utama (prime time)-nya. Rumah produksi (production house) pun berlombalomba membuat sinetron. Tidak kurang dari 80 judul sinetron ditayangkan setiap minggunya di seluruh stasiun televisi. Berkembang pesatnya industri sinetron di Indonesia tentunya tidak lepas dari sambutan baik yang diberikan oleh khalayak. Rating tinggi yang diraih oleh hampir semua tayangan sinetron menunjukkan, sinetron dapat diterima oleh khalayaknya. Interaksi yang dinamis antara khalayak dengan isi teks sinetron merupakan suatu hal yang menarik. Berangkat dari pemikiran di atas, penelitian ini mencoba melihat bagaimana proses produksi sinetron Kecil-kecil Jadi Manten di media pembuat (Multivisionplus) dan media penayangnya (RCTI) serta interaksi yang terjadi di khalayak saat mengkonsumsinya. Penelitian ini berusaha mengetahui apa dan bagaimana representasi perempuan dan lelaki dalam sinetron Kecil-kecil Jadi Manten yang dikonstruksikan oleh media pembuat dan penayangnya, serta bagaimana khalayak menginterpretasikan representasi perempuan dan lelaki yang ditampilkan dalam sinetron tersebut. Penelitian ini menggunakan teori Ekonomi Politik Media dari Mosco untuk menganalisa proses produksi teks di media. Sementara untuk menganalisa proses konsumsi teks di khalayak, penelitian ini menggunakan teori Social Construction of Reality milik Peter L. Berger dan T. Luckmann. Dengan meminjam kerangka Critical Discourse Analysis dari Fairclough, analisis penelitian ini terbagi menjadi tiga level, yaitu level teks, level discourse practice dan level socio cultural. Pada level teks, penelitian ini berusaha menganalisis lima episode Kecil-kecil Jadi Manten (episode 11, 13, 15, 19, dan 21) untuk melihat bagaimana representasi perempuan dan lelaki dalam sinetron tersebut mengandung muatan feminitas dan maskulinitas. Teks dari kelima episode di atas dianalisis dengan perangkatframing Gamson dan Modigliani. Sementara di level discourse practice di sisi produksi, penelitian ini mewawancarai bagian programming RCTI dan menelusuri artikel di berbagai media mengenai proses produksi dan penayangan Kecil-kecil Jadi Manten di Multivisionplus dan RCTI. Sementara untuk sisi konsumsi media, penelinan ini. Untuk analisis level socio cultural, penelitian ini juga melakukan penelusuran artikel di berbagai media mengenai perkembangan televisi dan sinetron secara umum. Penelitian ini juga menganalisis level intertextuality dengan melihat bagaimana iklan dan lirik lagu pembuka di sinetron ikut mendukung representasi perempuan dan lelaki yang ditampilkan dalam teks. Pada analisis order of discourse, sinetron Kecil-kecil Jadi Manten diperlakukan sebagai sinetron komedi. Pada level teks, ditemukan tiga frame yang membingkai representasi perempuan dalam sinetron Kecil-kecil Jadi Manten. Ketiga frame tersebut adalah perempuan hams memperhatikan masalah penampilan, perempuan identik dengan kegiatan rumah tangga (domestik), dan perempuan hams bersikap lemah lembut. Sedangkan representasi lelaki di sinetron Kecil-kecil Jadi Manten dibingkai pula oleh tiga frame. Ketiga frame itu adalah lelaki hams memiliki keterampilan fisik, lelaki harus membuktikan kegagahannya dengan kemampuan reproduksi, dan lelaki identik dengan kegiatan di ruang publik. Dan hasil analisis intertextuality pun terlihat bahwa susunan iklan dan lirik lagu pembuka sinetron Kecil-kecil Jadi Manten ikut mendukung frame yang membingkai representasi perempuan dan lelaki dalam sinetron tersebut. Hasil analisis di level discourse practice di sisi produksi memperlihatkan, proses produksi sinetron Kecil-kecil Jadi Manten dipengaruhi oleh dua ideologi, yaitu ideologi patriarki dan ideologi kapitalis. Pengaruh ideologi patriarki dapat dilihat dari bagaimana sinetron tersebut berusaha mengemas representasi perempuan dan lelaki sesuai dengan feminitas dan maskulinitas. Terminologi patriarki di sini tidak terbatas dari bagaimana lelaki mendominasi perempuan tapi juga bagaimana lelaki dapat tertindas demi meraih dominasi tersebut. Sementara pengaruh ideologi kapitalis dapat dilihat dari bagaimana pembentukan komoditas isi, komoditas khalayak dan komoditas tenaga kerja yang terjadi selama proses produksi dan penayangan sinetron Kecil-kecil Jadi Manten. Di sisi konsumsi, hasil analisis menunjukkan, khalayak masih men-decode atau menginterpretasikan teks sinetron berdasarkan ideologi dominan, yaitu ideologi patriarki. Hal ini dipengaruhi oleh proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi yang dialami khalayak sejak kecil hingga dewasa. Kondisi lingkungan yang didominasi oleh ideologi patriarki juga mendukung proses interpretasi di khalayak. Namun cara interpretasi yang demikian tidak menghilangkan kekritisan khalayak untuk melihat isi teks yang disajikan oleh media sebagai suatu rekayasa. Khalayak menyadari adanya peran skenario yang menuntun representasi perempuan dan lelaki dalam sinetron Kecil-kecil Jadi Manten. Khalayak pun dapat mengambil keuntungan dari kehadiran sinetron itu. Keuntungan yang didapat oleh khalayak adalah perasaan terhibur dan mengurangi stres. Pihak produsen pembuat dan penayang pun mendapatkan keuntungan dari rating tinggi yang diperoleh sinetron Kecil-kecil Jadi Manten, yaitu besarnya pemasukan iklan di jam tayang sinetron tersebut. Jadi, baik produsen pembuat dan penayang maupun konsumen sinetron kecil-kecil Jadi Manten mendapat keuntungan masing-masing. Dengan demikian, hubungan yang terjalin diantara keduanya adalah hubungan yang mutualistik, bukan hubungan yang saling mendominasi antara satu pihak dengan pihak yang lain."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S4336
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mairanie Nurtaeni Antieyamirda
"Film Hollywood kini telah menguasai pasar global dan memberikan bentuk barn kolonialisme melalui pesan ideologis yang tersembunyi pada maknanya. Teks film dengan demikian perlu dibaca dan dipahami serta dikritik kandungan ideologisnya. Ideologi ini yang seringkali membuat teks film tampak menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Ernst Bloch, seorang pemikir Marxis dari Mazhab Frankfurt melihat aspek penarik perhatian ini sebagai sesuatu yang positif dan menarik. Aspek ini disebut sebagai utopia. Douglas Kellner melihat bahwa utopia yang dikemukakan Bloch berada di belakang ideologi. Ideologi seringkali dikritik melalui demistifikasi berisi hal-hal negatif seperti kesalahan, mistifikasi, dan manipulasi. Bloch menyatakan melihat ideologi saja tidak cukup dan menggunakan utopia sebagai cara lain dalam membaca teks budaya massa guna memberikan sesuatu yang positif dan menarik serta suatu solusi dalam mengatasi apa yang kurang pada kondisi masyarakat saat ini. Skripsi ini mengambil obyek studi film Hollywood populer, The Lord of the Rings, karena tertarik dengan jenis film fantasi dan tema heroisme yang digambarkannya. Film fantasi sebenarnya tetap tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak serius karena sebagai sebuah film, tetap merupakan hasil konstruksi pembuatnya dan terpengaruh oleh kondisi sosial lingkungannya. Sedangkan tema heroisme pada film-film Hollywood seringkali menampilkan cerita dengan ideologi superioritas Barat. Teks film The Lord of the Rings dengan demikian dianggap penting untuk dibaca, tetapi skripsi ini ingin melihat teks film tersebut dari sisi utopia guna memberikan perspektif baru dalam pembacaan media. Tujuan penelitian ini adalah guna mengetahui makna utopia apa yang terkandung pada tema heroisme film The Lord of the Rings, bagaimana makna utopia tersebut ditampilkan, mengapa dapat bermakna utopia seperti yang dikemukakan Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik analisis semiotika karena teks film tersusun dari gambar-gambar visual yang membentuk sebuah tanda dengan makna tertentu. Teknik analisis ini digunakan bersama teknik analisis sinematis mise-en-scene sebagai motivasi, yaitu teknik analisis pada setting atau properti, kostum atau tata rias, pencahayaan, akting atau pergerakan aktornya (proxemics), ditambah teknik kerja kamera seperti pengambilan gambar (shot size), sudut pengambilan (angle), dan kedalaman fokus. Unit analisis penelitian ini adalah ketiga bagian film The Lord of the Rings karena ketiganya adalah satu bagian yang utuh. Ketiga film The Lord of the Rings tersebut adalah The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring, The Lord of the Rings: The Two Towers, The Lord of the Rings: The Return of the King. Film The Lord of the Rings tersebut juga merupakan film yang beredar di bioskop-bioskop. Peneliti kemudian memilih adegan-adegan yang terkait dengan heroisme para tokoh protagonisnya, terutama karakter sembilan Fellowship dan melihat teknik mise-en-scene yang paling menonjol pada adegan tersebut. Hasil analisis semiotika tersebut dikaitkan dengan utopia pada teks film. Hasil analisis memperlihatkan bahwa film tersebut menggambarkan heroisme pada level yang ideal. Teknik mise-en-scene yang digunakan pada film mendukung makna dari konsep heroisme seperti komitmen terhadap moral yang kuat, kemampuan baik kemampuan fisik maupun mental, tindakan pahlawan yang selalu pantang menyerah, dan memiliki keberanian yang tinggi, kemudian mendapatkan hasil yang diharapkan, Heroisme ideal tesebut merupakan suatu bentuk utopia yang digambarkan oleh pembuat film. Utopia heroisme tersebut memperlihatkan pula apa yang sebenarnya kurang pada kondisi masyarakat, yaitu sikap heroisme dengan level tinggi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik. Pada akhirnya utopia hadir dalam teks media untuk mengingatkan mengenai apa yang kurang dan masih perlu diperjuangkan dalam masyarakat sosial sendiri. Teks media dalam hal ini memberikan hal positif bagi masyarakat. Implikasi penelitian ini secara teoritis adalah utopia dapat memberikan perspektif bare dalam memahami dan membaca teks media. Secara metodologis, penelitian ini memperkaya analisis teks media menggunakan teknik analisis semiotika yang masih jarang digunakan pada penelitian komunikasi. Penelitian ini dapat juga digunakan sebagai alternatif dalam membaca teks media. Implikasi praktisnya yaitu kita dapat mengetahui teknik pengemasan teks media dan penelitian ini dapat digunakan oleh pekerja media dalam membuat teks media yang berkualitas. Serta implikasi sosialnya adalah teks media dapat digunakan sebagai alat melihat kondisi masyarakat, pembuat konsep atau solusi dalam memecahkan masalah di masyarakat, serta dapat digunakan dalam pengembangan dan pendidikan media (media literacy).

Hollywood movies now have dominated global market and give new form of colonialism through ideological messages that hidden in the meaning of the text. Film text then need to be read and comprehended also criticized the womb of ideological meaning. This ideology often made film text attractive and pleasurable. Ernst Bloch, a Marxist thinker from Frankfurt School saw this appeal aspect as something positive and attractive. This aspect called as utopia. Douglas Kellner saw, for Bloch, utopia is in ideological content. Ideology often be criticized through demystification contain negatives such as errors, mystification, and manipulation. Bloch explained that only read the ideology isn't enough and use utopia as another way to read text of mass culture to gives something positive and attractive also solutions for surmount what is lacking in this world. The object for this thesis (skripsi) is a popular Hollywood movie, The Lord of the Rings, because interested with fantasy movie and heroism theme which was described. Fantasy movie must be regarded as something serious. Heroism themes in Hollywood movies often show stories contain ideology of Western superiority. Text The Lord of the Rings was regarded important to be read, but this thesis want to read that film text from utopian side in order to gives new perspective in read the text media. Purpose of research are to know the meaning of utopia which contain in heroism theme in The Lord of the Rings, how that utopia was appeared, and why that utopia can be have meaning as said before. This thesis used method of qualitative with semiotic technique of analysis because the text was arranged by visual pictures that formed a sign with their own meaning. This analysis technique was used with cinematic technique of analysis mise-en-scene as motivation. Analysis technique mise-en-scene is a technique which is analysis setting or property, costume or make up, lighting, acting, or proxemics, add with camera technique such as shot size, angle, and deep of focus. Unit of analysis is the three parts of The Lord of the Rings because all of them are an intact part. The three parts The Lord of the Rings arc The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring, The Lord of the Rings: The Two Towers, The Lord of the Rings: The Return of the King. Also The Lord of the Rings which were released in theaters. Researcher then chose scenes which connected with heroism of the protagonist, especially nine Fellowship and then chose mise-en-scene which conspicuous. The result of semiotic analysis was related with utopia within the text. Result of analysis showed that this movie described heroism on ideal level. Mise-en-scene technique which was used in the movie supported the meaning of heroism such as powerful moral commitment, ability in accordance with physically or mentally, heroism action in the face opposition, dauntless, and them got the triumph at least in a spiritual form, if not a physical. That ideal heroism is forms utopias were described by the filmmaker. Those utopia of heroism also showed what is lacking in society that is heroism with high level to form better order of society. In the end, utopia to be present in media text for recalled what is lacking and what should be fought for within society itself. In this case, media text gave positive thinks for society. Implication of this research theoretically is utopia could give new perspective for comprehend and read media text. Implication in methodology is this research added analysis of media text using semiotic which is seldom used in communication research. This research also could be used as alternative in read media text. Practically, we could be knew how to make a media text and also this research could be used by media worker in make a quality text media. Implication in social are media text could be used as a tool to know the condition of society, to make a concept or solution in solving society problem, also could be used in development and media pedagogy (media literacy).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S4240
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
W. Putri Mahardhikartini
"Dewasa ini semakin banyak perusahaan yang melakukan ekstensifikasi atau perpanjangan produk dari film-film animasi yang disukai anak-anak. Perpanjangan produk itu mencakup berbagai jenis barang, mulai dari mainan untuk dikoleksi yang dipaketkan sebagai merchandise dari makanan kecil atau paket makanan dari restoran tertentu, pakaian, mainan, peralatan sekolah, peralatan makan, asesoris, kaset vcd, sampai kaset Play Statlon. Semua itu merupakan perpanjangan dari film-film animasi yang saat ini sedang disukai anak-anak seperti film Pokemon, Digimon, dan Digimon 2: Adventure.
Tugas karya akhir ini berusaha memberi gambaran bagaimana anak-anak dengan pemahaman mereka yang begitu terbatas tanpa disadari menjadi korban konsumtif dari para produsen yang melakukan perpanjangan produk tadi. Selain itu tugas karya akhir ini berusaha memberi gambaran tentang karakteristik anak seperti apa yang cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh budaya konsumtif, dan sebenarnya pengaruh apa yang lebih berperan dalam tindakan anak-anak yang mengkoleksi produk-produk tie-ins tersebut.
Penelitian ini menggunakan teknik penelitian observasi karena dianggap dapat memberi gambaran terlengkap tentang masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas. Ada tiga orang subyek penelitian yang berusia 6-8 tahun, dua orang laki-laki dan satu orang perempuan, ketigatiganya datang dari keluarga menengah ke atas. Namun waktu, tenaga, dan peralatan dalam proses observasi yang amat terbatas membuat hasil observasi belum maksimal.
Hasil pengamatan terhadap subyek penelitian dikaitkan dengan beberapa pemikiran seperti televisi sebagai sarana hiburan dan sarana komersial, hegemoni televisi, dan juga budaya konsumen. Hal ini karena film animasi yang diputar di televisi mempunyai hubungan yang erat dengan produk-produk tie-ins yang dibicarakan. Selain itu perilaku konsumtif anak dalam membeli produk tie-ins dikaitkan dengan budaya konsumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa televisi (film animasi) merupakan sarana hegemoni produsen terhadap anak-anak dalam mengkonsumsi produk tie-ins. Anak-anak bahkan keluarganya tanpa disadari ikut mengukuhkan dominasi produsen dengan membeli barang-barang dari film yang menjadi kesukaan anak-anak. Dilihat dari tingkah laku kosumtif anak-anak, dapat dikatakan bahwa tayangan televisi bukanlah hal utama yang mendorong perilaku konsumtif anak terhadap produk tie-ins, melainkan orang tua dan keluarga, serta keadaan keuangan keluarga. Kontrol terbesar ada di tangan orang tua, dan ini yang diharapkan mampu mengendalikan perilaku konsumtif anak-anak terhadap produk-produk tie-ins.
Dalam keluarga yang disiplin, dan pengawasan dilakukan oleh orang tua sendiri atau kakak yang sudah dewasa, maka perilaku konsumtif anak-anak cenderung lebih sedikit atau lebih dapat dikendalikan. Sedangkan dalam keluarga yang disiplinnya agak sedikit longgar, Han pengawasan lebih banyak dilakukan pembantu rumah tangga, maka perilaku konsumtif anak-anak cenderung lebih sulit untuk dikendalikan karena yang mengawasi bukan orang tua sendiri.
Anakanak kadang sulit untuk mematuhi pembantu rumah tangga karena merasa pembantu rumah tangga tidak berhak untuk mengatur atau memarahi mereka. Sifat anak itu sendiri juga mempengaruhi perilakunya dalam mengkoleksi produk tie-hu. Anak-anak yang tidak mau kalah, selalu ingin menang dari temannya, atau cenderung suka pamer, biasanya akan lebih banyak mengkoleksi produk tie-ins atau produk lain yang sedang dikoleksi oleh teman-temannya. Koleksi itu dilakukan bukan hanya karena ia menyukai produk itu, tapi juga karena ia tidak mau kalah dengan teman-teman lainnya yang sudah mempunyai produk tersebut, anak yang terbuka dan mudah beradaptasi juga cenderung lebih mudah menerima pengaruh dari teman atau lingkungan sekitarnya.
Selain itu, pengamatan juga menunjukkan bahwa pilihan anak-anak terhadap produk tieins yang mereka beli bukan didasarkan atas kesetiaan mereka terhadap tokoh atau film tertentu, melainkan terhadap kesukaan mereka terhadap film apapun yang sedang ramai dibicarakan teman-teman sebaya mereka saat itu yang selalu berganti. Dengan demikian pembelian terhadap produk tie-ins juga akan terus berlangsung tanpa henti."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S3746
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilda Balqis Hasba
"Identitas muslimah seringkali dikaitkan dengan gagasan penggunaan hijab sebagai bentuk ketaatan terhadap agama. Dalam sirkuit budaya, individu memiliki kemampuan untuk membentuk kembali identitasnya dengan menghasilkan makna baru melalui beberapa proses. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman muslimah yang menggunakan budaya cosplay untuk menyalurkan bakat dan kreativitas mereka dengan membuat budaya baru yaitu hijab cosplay. Cosplay merujuk pada kegiatan penggemar karakter media utama untuk meniru karakter favoritnya dengan mengadopsi ciri khas karakter tersebut. Kreativitas tersebut terletak dalam pengalaman sehari-hari hijab cosplayer, sehingga seluruh tindakan sosial hijab cosplayer adalah praktik bermakna untuk menciptakan makna dan budaya baru. Peneliti menggunakan teori sirkuit budaya Paul du Gay dan Stuart Hall untuk menganalisis negosiasi muslimah dalam proses penciptaan hijab cosplay. Metodologi yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dan diary study seperti teknik photo diary untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penciptaan hijab cosplay melalui proses identitas, produksi, konsumsi, regulasi, dan representasi yang saling mempengaruhi serta mendefinisikan satu sama lain. Identitas sebagai muslimah mempengaruhi bagaimana hijab cosplay diproduksi dan dijalankan. Kostum dan karakter yang ditampilkan menunjukkan bagaimana hijab cosplayer mengonsumsi suatu produk. Terdapat regulasi yang mengatur kegiatan hijab cosplayer seperti norma hijab cosplay yang berasal dari nilai-nilai Islam dan karakteristik cosplay. Keseluruhan proses pun merepresentasikan dan direpresentasikan oleh penampilan hijab cosplayer dalam kehidupan sehari-hari. Budaya hijab cosplay menjadi arena bagi muslimah untuk menciptakan makna dengan menyatukan dua wacana — praktik cosplay dan hijab— melalui tindakan sehari-hari.

The identity of muslim women is often associated with the idea of using hijab as a form of obedience to religion. Based on circuit of culture theory, individuals have the ability to reshape their identity by generating new meanings through several processes. This research aims to examine the experiences of hijab women who make use of cosplay culture to represent their talents and creativity by creating a new culture. The creativity lies in the everyday life of hijab cosplayer so that hijab cosplayer’s social actions are meaningful practice to create new meaning and culture. This research uses circuit of culture theory by Paul du Gay and Stuart Hall to analyse hijab cosplayer’s experiences in the process of making hijab cosplay. The method used in this research is the qualitative research method and diary study photo study technique to collect the data. The result of this research shows that the process of creating hijab cosplay pass through identity process, production, consumption, regulation, and representation that interplay and define one another. Their identity as hijab women influence how hijab cosplay was produced and carried out. The costume and the character that they are cosplaying relate to how hijab cosplayers consume a product. There are regulations that regulate the activities of hijab cosplayers, such as the norm of hijab cosplay which comes from Islamic values and cosplay characteristics. Such as the norm of hijab cosplay which comes from Islamic values and cosplay characteristics. The whole process also represents and represented by the appearance of hijab cosplayers in everyday life. Therefore, hijab cosplay culture become an arena for hijab women to create new meanings by uniting two discourses — the practice of cosplay and hijab —through daily practice."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Subhan Asra
"Imperialisme platform sesungguhnya menjadi isu ekonomi politik di era globalisasi. Melalui teknologi platform digital Line Webtoon Indonesia dan platform webtoon global lainnya tidak hanya memiliki akses ke pasar konsumen saja namun juga pasar tenaga kerjanya. Penelitian ini menggabungkan hasil wawancara, pengalaman participant observer, dan sumber sekunder untuk membangun data dasar yang menggambarkan realita lapangan daripada sistem produksi komik Indonesia terkini. Teori ekonomi politik kemudian digunakan untuk menganalisis realita historical situatedness industri komik Indonesia yang diperkuat dengan analisis base-superstructure atas webtoon itu sendiri sebagai format maupun platform. Analisis menunjukkan bagaimana kelimpahan komikus Indonesia dimanfaatkan platform webtoon untuk memenuhi tuntutan arus konten deras yang diharuskan berdasarkan metode bisnisnya. Hubungan antara platform asing dan komikus Indonesia tersebut menciptakan relasi eksploitasi antarbangsa yang tercipta bukan karena desain melainkan karena kelalaian dari sisi bangsa Indonesia.

Platform imperialism is actually a political economy issue in the era of globalization. Through digital platform technology Line Webtoon Indonesia and other global webtoon platforms have access not only to the consumer market but also to the labor market. This research combines interviews, participant observer experiences, and secondary sources to build a baseline that describes the ground realities of the current Indonesian comic production system. Political economy theory is then used to analyze the historical situatedness of the Indonesian comic industry, which is reinforced by a base-superstructure analysis of the webtoon itself as a format and platform. The analysis shows how the abundance of Indonesian comic artists is utilized by webtoon platforms to meet the demands of heavy content flow required by their business methods. The relationship between foreign platforms and Indonesian comic artists creates a relation of exploitation between nations that is created not by design but by negligence on the part of the Indonesian nation."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ariefqy Noermansyah
"Penelitian ini membahas salah satu fenomena diskriminasi berbasis ras, yaitu rasisme simbolik modern sebagai praktik yang tercermin melalui novel fantasi remaja terkenal Harry Potter and the Chamber of Secrets karya J.K. Rowling. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan dilakukan dengan membedah teks secara komprehensif melalui metode analisis wacana kritis Theo Van Leeuwen (1996) yang berfokus pada strategi representasi aktor-aktor sosial. Dengan paradigma kritis-konstruktivis, hasil penelitian menunjukkan bahwa: praktik rasisme simbolik modern yang dikonstruksi melalui cerita dipraktikkan melalui berbagai strategi wacana; fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari latar belakang dan pola pikir penulisnya; serta perlu adanya sensitivitas pembaca terhadap konsumsi bacaan sehingga internalisasi gagasan yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu dapat dihindari.

The study focuses on a form of racial discrimination, modern-symbolic racism as practices which emerge in one of the most popular fantasy teenlit novel Harry Potter and the Chamber of Secrets by J.K. Rowling. The research uses qualitative approach by analysing text comprehensively using Theo van Leeuwen’s critical discourse analysis (1996), focusing on representation strategies towards social actors. By using critical-constructivism paradigm, the result of study shows: modern-symbolic racism were constructed in the text in various discourse strategies; this phenomenon cannot be separated with the author’s background and ways of thinking; and people need to be more sensitive in consuming communication text (e.g. novels) in order to avoid discriminative ideas towards certain group of people.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farisa Nurintan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kelompok budaya electronic dance music di Jakarta sebagai sebuah subkultur yang sedang dalam proses pengukuhan identitas melalui praktik-praktik budaya yang dilakukan oleh individu-individu di dalamnya. Keterlibatan individu dalam kelompok budaya ini merupakan usaha yang mereka lakukan agar eksistensi budaya EDM di Jakarta dapat diterima oleh budaya dominan di Jakarta. Adanya penolakan terhadap penyelenggaraan salah satu festival EDM besar se-Asia Tenggara yang diadakan di Jakarta menjadi perhatian khusus apakah kelompok budaya ini dapat diterima atau tidak oleh masyarakat Jakarta. Penelitian-penelitian EDM sebelumnya di Indonesia lebih banyak membahas individu dalam konteks penokohan dan belum meneliti individu dalam konteks yang lebih besar seperti kelompok budaya. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bentuk eksistensi kelompok budaya EDM dan bagaimana praktik-praktik budaya EDM diterapkan di Jakarta melalui penggunaan artefak budaya EDM oleh individu-individu yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, paradigma interpretif dengan pendekatan fenomenologi digunakan untuk mengumpulkan pengalaman-pengalaman narasumber terhadap peran dan kontribusi mereka ketika menjalankan praktik-praktik budaya EDM di Jakarta. Penelitian ini menemukan bahwa kelompok budaya EDM di Jakarta merupakan sebuah subkultur yang masih dalam proses negosiasi untuk membentuk identitas budaya agar bisa berjalan berdampingan dengan nilai dan norma budaya lokal. Artefak budaya yang ditemukan dalam penelitian ini digunakan oleh para narasumber untuk menunjukkan eksistensi mereka dan menjadi tanda bahwa praktik-praktik budaya mereka membentuk identitas komunal.

ABSTRACT
This thesis discusses the electronic dance music culture (EDMC) in Jakarta as a subculture that is in the process of strengthening its identity through the cultural practices performed by the individuals within it. The involvement of individuals in this cultural group shows their effort to make the existence of EDM culture in Jakarta can be accepted by the dominant culture in Jakarta. The rejection of one of the biggest EDM festival in Southeast Asia that held in Jakarta every year is a particular concern whether this cultural group can be accepted or not by the majority people in Jakarta. The previous EDM studies in Indonesia discussed more in individual level in the context of characterizations and have not discussed about individuals in larger contexts such as cultural groups. Thus, this research aims to explore the existence of EDM culture and how EDM cultural practices are applied in Jakarta through the use of cultural artifacts by the individuals involved in the group. Therefore, the interpretive paradigm with a phenomenological approach is used to gather the experiences of research informants regarding their roles and contributions when performing the cultural practices in Jakarta. This study finds that the EDM culture in Jakarta is a subculture that is still in the process of negotiations to shape its cultural identity, and to be able to coexist with the local cultural values ​​and norms. Cultural artifacts found in this study were used by the informants to show their existence and as sign that their cultural practices shape the communal identity."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>