Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anisah M. Saleh
"Latar belakang. Penilaian aktivitas penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) dengan skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) berperan penting dalam pemantauan atau follow up aktivitas penyakit LES pada anak. Saat ini belum ada data mengenai aktivitas penyakit LES anak dengan menggunakan skor SLEDAI setiap 3 bulan di Indonesia.
Tujuan. Memantau aktivitas penyakit LES anak dengan skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan.
Metode. Studi deskriptif untuk memantau aktivitas penyakit LES anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo secara retrospektif menggunakan data rekam medis dari bulan Juli 2005 hingga Juli 2013.
Hasil penelitian. Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 30 pasien. Mayoritas penderita LES adalah perempuan. Rerata usia awitan 11,23 (SD 2,88) tahun dan rerata usia saat diagnosis ditegakkan 11,79 (SD 2,69) tahun, terbanyak didiagnosis di atas usia 10 tahun dan tidak ada yang di bawah usia 5 tahun. Median (rentang) waktu antara timbulnya gejala sampai diagnosis ditegakkan adalah 3 (1–84) bulan dan terbanyak pada jarak kurang dari 5 bulan. Terapi inisial yang paling banyak diberikan adalah kortikosteroid dalam bentuk metilprednisolon. Manifestasi klinis awal tersering adalah artritis, rash, dan demam, sedangkan untuk laboratorium adalah peningkatan dsDNA dan komplemen darah yang rendah. Perbedaan skor SLEDAI terutama terlihat antara pengamatan bulan ke-0 dengan bulan ke-3. Skor SLEDAI yang dinilai setiap 3 bulan menunjukkan perubahan aktivitas penyakit LES yang bermakna, dengan mayoritas high activity pada awal pengamatan menjadi no activity pada akhir pengamatan.
Simpulan. Penilaian skor SLEDAI setiap 3 bulan dapat digunakan untuk memantau aktivitas penyakit LES anak.

Background. Assessment of disease activity in pediatric systemic lupus erythematosus (SLE) with SLEDAI scoring system has an important role in monitoring or follow up disease activity of pediatric LES. Currently no available data that assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months in Indonesia.
Objective. To assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months for one year observation.
Methods. Descriptive study to assess disease activity of pediatric SLE at Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital using medical record retrospectively from July 2005 until July 2013.
Results. Thirty patients were included in this study. Majority of SLE subjects were girls. Mean age at symptoms onset was 11.23 (SD 2.88) y.o and mean age at diagnosis was 11.79 (SD 2.69) y.o, most of them were diagnosed above 10 y.o and no one had below 5 y.o. The median of duration between symptoms onset and diagnosis was 3 (1–84) months, most of them had duration below 5 months. Majority of the subjects received corticosteroid in the form of methylprednisolone as initial therapy. Most common clinical manifestations were arthritis, rash, and fever, for laboratorium results were elevation of dsDNA and low complement level. The difference of SLEDAI score were especially obtained between the initial month with the 3rd months. SLEDAI score that assessed every 3 months showed significant disease activity changes, with majority of patients had high activity in the beginnning and became no activity in the end of observation.
Conclusions. Assesment of SLEDAI score every 3 months is useful for monitoring disease activity of pediatric SLE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Aulia Kirana
"Infeksi HIV yang bersifat kronik memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup pasien, termasuk anak. Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah status ekonomi. Studi potong lintang ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara status ekonomi keluarga dengan kualitas hidup anak terinfeksi HIV. Secara consecutive sampling didapatkan 87 anak terinfeksi HIV yang sedang menjalani rawat jalan di RSCM beserta orang tua atau pengasuh utamanya. Nilai kualitas hidup didapatkan melalui kuesioner PedsQLTM generik dalam bahasa Indonesia, yang terdiri atas laporan anak (usia 5-18 tahun) dan laporan orang tua (usia 2-18 tahun).
Data juga diperoleh dari pengisian kuesioner identitas dan rekam medik pasien. Sebanyak 48 (55,2%) subyek berasal dari keluarga dengan status ekonomi yang rendah, sedangkan 39 (44,8%) sisanya berstatus ekonomi tinggi. Berdasarkan laporan anak, 34 (65,4%) anak memiliki kualitas hidup normal dan 18 (34,6%) lainnya terganggu. Sementara berdasarkan laporan orang tua, 51 (58,6%) anak memiliki kualitas hidup normal dan 36 (41,4%) memiliki kualitas hidup terganggu. Uji chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara status ekonomi dan kualitas hidup anak terinfeksi HIV baik menurut laporan anak (p= 0,444) maupun laporan orang tua (p=0,415).

Chronic HIV infection has negative effect for patient’s quality of life (QoL), including children. The QoL can be affected by multiple factors, one of them is economic status. This cross sectional study was conducted to analyze the correlation between family’s economic status and QoL in HIV infected children. By consecutive sampling, there was 87 HIV infected children who were outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital with their parent or main caregiver. The QoL score was obtained from PedsQLTM questionnaire in bahasa Indonesia, conclude of child-self report (5-18 y.o.) and parent-proxy report (2-18 y.o.).
Data was also collected from identity questionnaire and medical record. About 48 (55.2%) subjects was in low economic status while 39 (44.8%) was in high economic status. Based on child-self report, QoL was normal in 34 (65.4%) children and low in 18 (34.6%) children. Meanwhile, parent-proxy report showed that 51 (58.6%) child had normal QoL and 36 (41.4%) child had the low one. The chi-square test showed that there is no significant correlation between economic status and QoL in HIV infected children, based on child-self report (p=0.444) and parent-proxy report (p=0.415.)
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noni Angraeni
"HIV merupakan suatu infeksi virus yang menyebabkan kerusakan sistem imun tubuh sehingga menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik dan mempengaruhi kualitas hidup penderita. Status gizi mempunyai peranan penting dalam fungsi imunitas tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas hidup dengan status gizi pada anak yang terjangkiti HIV di RSCM. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan data diambil pada bulan Juli 2012 hingga April 2014 dengan melakukan pengisian kuesioner dan pengukuran antropometri terhadap semua pasien anak yang memenuhi kriteria inklusi (69 orang). Data diolah menggunakan program SPSS versi 20.0 dan dianalisis dengan uji Fisher.
Hasil penelitian jumlah anak terinfeksi HIV yang memiliki kualitas hidup baik sebesar 71,0% (laporan anak) dan 63,8% (laporan orang tua). Sedangkan jumlah anak yang memiliki kualitas hidup kurang baik sebesar 29,0% (laporan anak) dan 36,2% (laporan orang tua). Uji Fisher menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara kualitas hidup anak yang terinfeksi HIV dengan status gizi berdasarkan laporan anak (p = 0,140) dan berdasarkan laporan orang tua (p = 0,478). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kualitas hidup dengan status gizi anak yang terinfeksi HIV.

HIV is one of viral infection that cause the damage of immune system thus becomes vulnerable to opportunistic infections and influence patient’s quality of life. The nutritional status has an important role in function of body immune. The purpose of this research is to determine the relationship between the quality of life and the nutritional status of children with HIV in RSCM. The research uses cross-sectional design and the data taken from July 2012 until April 2014 with questionnaires and anthropometry measurements against children that fulfill inclusion criteria (69 children). Data is processed by using SPSS version 20.0 and analyzed with Fisher test.
The result showed that children with HIV that have good quality of life is 71.0% (child-self reports) and 63.8% (parent proxy reports). While the number of children with worse quality of life is 29.0% (child-self reports) and 36.2% (parent proxy reports). Fisher test have shown there is no significant relationship between the quality of life of children with HIV and the nutrition status based children’s reports (p= 0.140) and based parents’ reports (p= 0.478). So the conclusion is there is no relationship between the quality of life and the children’s nutritional status with HIV.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadha Aulia
"HIV/AIDS merupakan penyakit kronik progresif yang dapat menyerang siapa saja, termasuk anak-anak, karena sifatnya yang kronik maka penyakit ini dapat memberikan dampak pada kehidupan anak. Sementara kasus HIV/AIDS pada anak semakin bertambah, termasuk di Indonesia yang merupakan negara dengan fastest growing epidemic di Asia. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui salah satu komponen dari penyakit HIV/AIDS yaitu stadium klinis apakah dapat memberikan dampak pada fisik,emosional, dan sosial seorang anak yang diukur melalui kualitas hidup menggunakan kuesioner PedQLTM 4.0. Selain itu, penelitian yang serupa belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional yang melibatkan 79 anak yang berobat jalan di Poliklinik Alergi Imunologi RSCM, dengan jumlah laki-laki 39 orang (49,4%) dan perempuan 40 orang (50,6%), mayoritas merupakan stadium klinis III (berdasarkan WHO Clinical Staging) yaitu sebanyak 32 orang (40,5%), selebihnya yaitu stadium klinis I sebanyak 5 orang (6,3%), stadium klinis II sebanyak 22 orang (27,8%), dan stadium klinis IV sebanyak 20 orang (25,3%). Pengukuran kualitas hidup menggunakan instrumen PedsQL 4.0 yang terdiri atas komponen kualitas hidup menurut orangtua dan menurut anak.
Dilakukan uji chi-square ditemukan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara stadium menurut kategori klinis dengan kualitas hidup anak, baik pada usia <5 tahun berdasarkan laporan orangtua (p=0,131), pada usia ≥5 tahun berdasarkan laporan orangtua (p=0,535), dan pada usia ≥5 tahun berdasarkan laporan anak (p=0,881).

HIV/AIDS is chronic progressive disease that can affect anyone, including the children. Because of the progresivity, HIV/AIDS gives impact to the children’s whole life. Meanwhile the cases of HIV-infected children in Indonesia (one of the fastest growing epidemic country) is increasing over time. The study was conducted to obtain information about the relationship between HIV/AIDS disease severity and the children’s quality of life (QoL). Besides, there was no previous study in Indonesia that measured the HIV-infected children’s QoL and the contributing factors.
Design of this study was cross-sectional and a total of 79 children came to the Allergy Immunology Clinic of Ciptomangunkusumo Hospital answered the questionnaires (males 49,4% and womens 50,6%), the majority of the subjects were diagnosed with clinical stage III (40,5%), the remaining were diagnosed with clinical stage I (6,3%), clinical stage II (27,8%), and clinical stage IV (25,3%). The children’s quality of life was measured by the PedsQL consisted of quality of life answered by parents/caregivers and by the children.
The data was analyzed with Chi-square, the result there was no significance relationship between the clinical stage and the Quality of life of HIV-infected children, consisted of QoL answered by parents/caregivers in under five children(p=0,131), QoL answered by parents/caregivers in five and above five children (p=0,535), and QoL answered by children in five and above five children (p=0,881).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isna Arifah Rahmawati
"Latar belakang: Infeksi HIV pada anak masih menjadi beban masalah kesehatan di Indonesia. Kualitas hidup anak terinfeksi HIV lebih rendah dibandingkan dengan anak normal. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup anak terinfeksi HIV, salah satunya faktor pengasuh utama. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan tingkat pendidikan pengasuh terhadap kualitas hidup anak terinfeksi HIV.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Subjek penelitian adalah anak berusia 2-18 tahun dengan infeksi HIV yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo beserta orang tua/wali, diambil dengan metode consecutive sampling. Data tingkat pendidikan pengasuh utama didapatkan melalui wawancara dengan orang tua/wali. Kualitas hidup anak terinfeksi HIV diukur menggunakan kuesioner PedsQLTM 4.0 versi Indonesia serta dibedakan menjadi kualitas hidup menurut laporan anak dan laporan orang tua. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Fisher dengan perangkat lunak SPSS versi 20.0 untuk windows.
Hasil: Sebanyak 80 anak dan orang tua/wali terlibat dalam penelitian ini. Pengukuran kualitas hidup menurut laporan anak menunjukkan 13 (25.0%) dan menurut laporan orang tua sebanyak 24 (30.0%) anak terinfeksi HIV mengalami gangguan kualitas hidup. Sebanyak 58 (72.5%) pengasuh utama memiliki tingkat pendidikan menengah. Pengasuh utama dengan pendidikan rendah sebanyak 13 (16.3%) dan pendidikan tinggi 9 (11.3%). Hasil analisis hubungan tingkat pendidikan pengasuh utama dan kualitas hidup menurut laporan anak menunjukkan nilai significancy 1.000 (p<0.05).dan menurut laporan orang tua 0.441 (p<0.05).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan pengasuh utama dan kualitas hidup anak terinfeksi HIV.

Background: HIV infection in children is a health burden in Indonesia. HIV infected-children are known to be having lower quality of life than normal children. There are several factors affect quality of life of HIV-infected children relating with caregivers. The purpose of this study was to determine the relationship between caregiver’s education level and quality of life of HIV infected children.
Methods: This is a cross sectional study. Subjects are 2-18 years HIV-infected children who were outpatient of Cipto Mangunkusumo Hospital along with their caregivers, and taken using consecutive sampling method. The main caregiver’s education level data obtained through interviews with caregivers. Qualities of life of HIV-infected children were measured using Indonesian version of PedsQLTM 4.0 and grouped into children self-report and paret proxy-report quality of life. Data were analyzed with Fisher test using SPSS for windowa version 20.0.
Results: A total of 80 children and caregivers involved in this study. Low quality of life was found in 13 (25.0%) based on children self-report and 24 (30.0%) according to parent proxy-report. Most of caregivers has moderate education level. Caregivers with middle education level were 58 (72.5%), low were 13 (16.3%) and high were 9 (11.3%). Analysis of the relationship between caregiver’s education level and quality of life of HIV-infected children showed p-value 1.000 (p<0.05) according to children reports and parent proxy-reports 0.441 (p<0.005).
Conclusion: There was no correlation between caregiver’s education level and quality of life of HIV infected children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Meiy Andini
"Infeksi HIV pada anak merupakan masalah kesehatan global yang memberikan dampak terhadap morbiditas dan mortalitas. Berkembangnya terapi antiretroviral menyebabkan infeksi HIV berkembang menjadi suatu penyakit kronis dan mempengaruhi kualitas hidup pengidapnya. Diagnosis HIV pada anak penting dilakukan secara dini karena merupakan langkah awal untuk memulai terapi dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup.
Terbatasnya data di Indonesia mengenai kualitas hidup anak terinfeksi HIV membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kualitas hidup anak yang terinfeksi HIV dan hubungannya dengan waktu diagnosis. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional yang melibatkan 90 anak yang berobat jalan di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo.
Penilaian kualitas hidup dilakukan menggunakan instrumen PedsQL 4.0 Generic Core Scale. Kualitas hidup menurut orangtua menunjukkan responden yang memiliki kualitas hidup normal sebanyak 70%. Sedangkan menurut anak terdapat 75,9% anak memiliki kualitas hidup normal. Sebagian besar (70%) responden didiagnosis HIV pada usia di atas 18 bulan. Dilakukan uji chi-square dan didapatkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara waktu diagnosis dan kualitas hidup anak terinfeksi HIV (nilai p>0,05).

HIV infection in children is a global health problem that is growing quickly and have an impact on morbidity and mortality. The development of highly active antiretroviral therapy causes HIV infection develops into a chronic disease and affect the quality of life. Early diagnosis of HIV in children is important because it is the first step to initiating therapy and expected to improve the quality of life.
The limited data on the quality of life of HIV-infected children in Indonesia makes researchers interested in conducting research on the quality of life of HIV-infected children and their relation to the time of diagnosis. The design used in this study is cross-sectional involving 90 children in Dr.Cipto Mangunkusomo hospital.
Assessment of quality of life is done using an instrument PedsQL 4.0 Generic Core Scale. Quality of life according to parents showed respondents who have a normal quality of life as much as 70%. Meanwhile, according to the child are 75.9% of children have a normal quality of life. Most (70%) of respondents were diagnosed with HIV at the age of 18 months. Chi-square test have been done and found no significant relation between tim
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Kartika
"Menurut WHO, kualitas hidup adalah persepsi seseorang terhadap posisinya di dalam kehidupan, di dalam konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, dan berhubungan dengan tujuan, harapan, standar, dan apa yang menjadi perhatiannya. Penilaian kualitas hidup penderita HIV anak dapat menggunakan PedsQL, yang mencakup aspek fisik, emosi, sosial, sekolah, menurut orang tua dan anak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas hidup anak terinfeksi HIV dan hubungannya dengan tipe caregiver.
Metode penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Subjek penelitian ini adalah pasien anak terinfeksi HIV berusia 2-18 tahun, yang dirawat jalan, dan memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria ekslusi. Teknik penentuan sampelnya adalah consecutive sampling.
Hasil penelitian pada 83 responden orang tua dan 72 responden anak diperoleh data bahwa sebanyak 89% responden anak merasa bahwa kualitas hidupnya baik, 11 % responden anak merasa bahwa kualitas hidupnya buruk. Selain itu, sebanyak 66 % responden orang tua merasa kualitas hidup anaknya baik, sedangkan 34% responden orang tua merasa kualitas hidup anaknya buruk. Sebagian besar tipe caregiver utama adalah orang tua pasien.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan antara kualitas hidup anak terinfeksi HIV dengan tipe caregiver utama.

According to WHO, quality of life is individual perception about his position in live, in cultural context and value system, and related with purpose, expectation , standard, and his focus. Quality of life in HIV infected children is evaluated using PedsQL which includes physical aspect, emotion, social, school, according to parent and children.
The purpose of this research is to measure quality of life in HIV infected children and it?s relationship with caregiver type.
The methode of this research is cross sectional. The subject of this research is hiv infected children 2-18 years old, inpatient, and fill the inclusion criteria and not fill the exclusion criteria. The sampling methode is consecutive sampling.
The result of the research in 83 parent respondent and 72 children respondent, is 89% children respondent think that they have good quality of life, 11 % children respondent think that they have bad quality of life. Besides that, 66 % parent respondent think thet they have good quality of life, while 34% parent respondent think that their children have bad quality of life. Mostly, the major caregiver type is the children?s parent.
The conclusion of this research is there is no relationship between quality of live in HIV infected children and major caregiver type.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurelius Raditya Tirto
"Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang bereplikasi di limfosit T-helper CD4+, mengakibatkan penurunan jumlahnya dan imunodefisiensi. Hal ini dapat menyebabkan kematian banyak anak HIV-positif akibat penyakit umum pada masa kanak-kanak. Salah satu cara untuk mencegahnya adalah dengan memberi terapi antiretroviral atau ART, yang meningkatkan jumlah Limfosit CD4+. Melalui percobaan ini, kami bertujuan untuk menentukan dinamika peningkatan ini. 360 pasien dipilih dari anak-anak dengan HIV di RSCM dari tahun 2005-2021. Data yang diambil meliputi persentase CD4, jumlah CD4, dan Usia. Datanya dibagi berdasarkan usia menjadi 4 kelompok dan kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif, analisis chi-square, dan analisis survival. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas anak dengan infeksi HIV mengalami imunosupresi berat, dan berusia di bawah 5 tahun. Saat terapi ART dilanjutkan, jumlah anak tanpa imunosupresi meningkat dan analisis kelangsungan hidup menunjukkan bahwa pasien yang lebih tua memiliki kemungkinan bertahan hidup yang lebih baik daripada yang lebih muda. Kesimpulannya, seiring berlanjutnya terapi ART, jumlah CD4 pasien dan kemungkinan bertahan hidup akan meningkat, dengan yang terbesar terjadi tepat pada awal terapi. 

The Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a retrovirus that replicates in CD4+ T-helper lymphocytes, resulting in a decrease in numbers and immunodeficiency. This can cause the death of many HIV-positive children from common childhood illnesses. One way to prevent this is by giving them antiretroviral therapy or ART, which increases the number of CD4+ Lymphocytes. Through this experiment, we aim to determine the dynamics of this increase. 360 patients were chosen from children with HIV at the RSCM from 2005-2021. Data taken include their CD4 percentage, CD4 count, and Age. The data was then divided based on their age into 4 groups and analysed using descriptive analysis, chi-square analysis, and survival analysis. Results showed that the majority of children with HIV infection are severely immunosuppressed, and are under 5 years old. As the ART therapy is continued the number of children without immunosuppression increases and survival analysis shows that older patients have better survival probability than younger ones. In conclusion, as ART therapy continues, patients’ CD4 count and survival probability will increase, with the largest occurring right at the start of the therapy. 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Arif Budiman
"Mengetahui proporsi gangguan fungsi paru pada remaja jalanan perokok dan hubungan antara perilaku merokok dengan gangguan fungsi paru.
Metode: Studi potong lintang pada 317 anak jalanan, usia 10-18 tahun, terdiri dari perokok dan bukan perokok. Uji fungsi paru dilakukan pada subjek dengan menilai FEV1/ FVC, FEV1, FVC, V50 dan V25.
Hasil: Subjek perokok sebanyak 182 remaja jalanan (57,4%), sebagian besar merupakan perokok kadang-kadang (53%), lama merokok 1-2 tahun (54%), jenis rokok yang digunakan adalah rokok filter (58%), dan jumlah rokok yang dikonsumsi 1-10 batang per hari (93%). Rerata parameter fungsi paru subjek perokok lebih rendah dibandingkan bukan perokok, dengan perbedaan bermakna pada nilai FEV1 dan FVC (p<0,05). Rerata nilai FEV1 dan FVC subjek perempuan perokok berbeda bermakna dengan bukan perokok, begitupun dengan rerata nilai FVC subjek lelaki (p<0,05). Proporsi gangguan fungsi paru subjek perokok berbeda bermakna dengan bukan perokok (p=0,016). Terdapat hubungan antara jenis rokok dengan gangguan fungsi paru (p<0,001), dimana pengguna rokok kretek paling banyak mengalami gangguan. Terdapat hubungan antara derajat perilaku merokok dengan gangguan fungsi paru (p=0,046).
Simpulan: Rerata parameter uji fungsi paru (FEV1 dan FVC) pada remaja jalanan perokok lebih rendah dibandingkan bukan perokok. Proporsi gangguan fungsi paru pada remaja jalanan perokok 26,5%, terdiri dari campuran (16,1%), restriktif (8,2%) dan obstruktif (2,2%). Jenis rokok dan derajat perilaku merokok memiliki hubungan dengan kejadian gangguan fungsi paru.

Street children and smoking prevalence are highly increasing. Studies on pulmonary function among adolescent street children smokers are still limited with controversial result.
Objective: To determine proportion of pulmonary dysfunction among adolescent street children smokers and to evaluate relation between smoking behaviour with pulmonary dysfunction.
Methods: A cross sectional study among 317 street children, aged 10-18 years old, including smokers and non-smokers which were recruited consecutively. Subjects undergone pulmonary function test which measured FEV1/ FVC, FEV1, FVC, V50 and V25.
Results: Subject smokers were 182 children, most of them were occasional smokers (53%), smoking period around 1-2 years (54%), using filtered cigarettes (58%), and consuming 1-10 cigarettes per day (93%). Mean pulmonary function parameter values of smokers were lower than non-smokers, significant difference for FEV1 and FVC (p<0.05). Mean FEV1 and FVC between smoking and nonsmoking girls were significant difference, and also mean FVC of boys (p<0.05). There was significant difference in proportion of pulmonary function abnormalities between smokers and non-smokers (p=0.016). There was relation between types of cigarettes with pulmonary dysfunction (p<0.001), the abnormalities mostly impact to kretek smokers. There was relation between smoking behaviour with pulmonary function abnormalities (p=0.046).
Conclusion: Mean pulmonary function parameter values (FEV1 and FVC) of smokers were lower than non-smokers. Pulmonary dysfunction proportion among adolescent street children smokers was 26.5%, consist of combined disorder (16.1%), restrictive (8.2%) and obstructive (2.2%). There was relation between types of cigarettes and smoking behavior with pulmonary function abnormalities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>